Ben menutup album foto yang ditemukannya beberapa saat yang lalu. Album foto keluarga Softucker yang terlihat sangat bahagia. Berbeda sekali dengan keluarganya. Ayah dan ibu Ben bercerai saat dirinya berusia 12 tahun. Sejak saat itu, Ben tidak pernah lagi melihat ibunya. Kabar terakhir yang dia dengar, ibunya sudah menikah lagi dengan pria berkebangsaan asing dan kini menetap di negaranya. Meninggalkan Ben dan ayahnya dalam keterpurukan.
Ben menoleh sesaat, menatap majikannya yang masih terlelap di sofa. Tidak heran gadis itu begitu lelap, dia pasti lelah setelah melewati malam yang begitu menggairahkan. Terlebih saat tubuhnya menegang dang menjerit, karena kenikmatan yang diberikan oleh orang rendahan yang sanggup memuaskannya.
Ben beranjak mendekati Ella, gadis itu menggeliat pelan seraya menggumam akan sesuatu. Ben sedikit lebih dekat dan Ben mendengar Ella menyebut nama seseorang berulang kali. Ben kembali menegakkan punggungnya, menarik selimut untuk menutupi tubu
“Aku yang terlalu perasa atau sedari tadi pengawalmu yang seperti papan berjalan itu selalu menatapku?”Ella menoleh ke arah anggukan Grace. “Maksudmu Dave?”“Iya.”“Dia memang sedang menatapmu. Dia menyukaimu.”Grace hampir saja memuntahkan jus apel di dalam mulutnya, saat mendengar ucapan Ella. “Menyukaiku?” Grace langsung buru-buru menyambar topeng di meja.Ella mengangguk. “Kau pikir topeng itu bisa menyembunyikan pesonamu yang telah membius Dave?” cibir Ella. “Kau terlalu sibuk dengan deretan kekasih tidak bergunamu itu, sehingga tidak bisa melihat ada seorang pria menantimu, menyukaimu dari sejak awal kau datang ke rumahku.”“Kau mengada-ada.”“Tidak. Kau saja yang buta. Aku bisa langsung mengetahui kalau Dave punya perasaan terhadapmu.” Ella menatap Grace yang tersenyum simpul dengan tatapan yang tidak lepas dari para pen
Sudah seminggu sejak kejadian di pondok dan James Softucker masih bersikap sama, seolah tidak terjadi apa-apa. Hanya satu yang berbeda, Ben tidak lagi ditugaskan menjadi pengawal Ella. Ben tidak akan protes dengan keputusan James yang menugaskan dirinya untuk menjadi satpam di rumah. Ini jauh lebih baik, Ben bisa mengawasi jadwal kegiatan seluruh orang rumah dengan baik.James setiap pagi—kecuali akhir pekan—di jam yang sama akan berangkat ke kantor bersama supirnya. Saat jam makan siang, James lebih senang menghabiskan waktu di kedai kopi dekat kantor agar tidak terlalu membuang banyak waktu di luar. Setelah itu dia akan kembali tenggelam dalam pekerjaannya dan baru pulang menjelang jam makan malam. Di akhir pekan, James lebih senang menghabiskan waktunya dengan membaca buku di halaman belakang atau memutar piringan hitam musik klasik di ruang kerja. Sedangkan untuk Ella, akan berangkat ke kampus setelah sarapan. Seharian dia akan menghabiskan waktu bersama Grace
Ella pikir, hari-harinya akan kembali tenang setelah berhasil menyingkirkan Max dari kehidupannya. Namun, kenyataannya adalah sebaliknya. Hampir setiap malam pikiran Ella dipenuhi oleh Max. Ella tidak pernah menyangka, bahwa peristiwa satu malam di pondok musim panas Softucker, begitu menghantuinya. Berulang kali Ella berusaha mengenyahkan bayangan tubuh serta sentuhan Max, tapi yang terjadi adalah Ella malah merindukannya, menginginkan pria itu untuk kembali menyentuhnya. Hampir setiap malam pula, Ella bertanya-tanya, apakah Max juga merasakan hal sama? Belum lagi dengan tingkah Grace yang setiap hari seperti kaset rusak, merengek untuk bisa datang ke rumah—sekedar untuk bertemu Max.Hari-hari berlalu dan Ella menyadari, bahwa tidak hanya Grace yang ingin bertemu dengan Max, tapi juga dirinya sendiri. Seperti saat ini, Ella belum juga beranjak dari balik jendela kamarnya, karena hanya dari sanalah Ella bisa melihat Max yang sedang berada di pos jaga gerbang depan. Dari tempatnya itu,
Vernon tertawa lirih saat membaca tajuk berita yang terpampang di koran Rotter Daily. Kabar bahwa dua keluarga besar akan bersatu, menjadi berita panas hari ini. Setelah semalam acara pertunangan antara Radella Softucker dan Prince Loshen menjadi gambaran awal bagaimana bisnis keluarga mereka akan berjalan ke depannya nanti. Dalam semalam, harga saham Loshen Corp. langsung melejit, begitu pula dengan milik keluarga Softuckker, dan hampir seluruh orang di Rotterfort tidak berhenti membicarakan tentang hal itu. Vernon tidak sabar ingin melihat bagaimana reaksi Ben tentang berita ini. Pria itu pasti sangat kecewa, karena rencananya terganggu. Namun, sepertinya Vernon salah. Ben terlihat biasa saja saat melangkah masuk ke kedainya dan langsung menyambar satu gelas whiski yang baru dituangnya. Tidak nampak raut bingung, kecewa, atau apa pun di wajah pria itu. Bahkan saat matanya membaca tajuk koran, Ben hanya mendengus kecil, lalu kembali menandaskan whiskinya. “Kau baik-
Ella hampir tersedak ludahnya sendiri saat mendengar kabar bahwa Max memiliki kekasih. Berita itu, jauh lebih tidak lucu dari lawakan yang pernah dilontarkan Grace tentang salah satu dosen mereka. Namun, saat seorang wanita—oh, tidak, bagi Ella, dia lebih terlihat seperti pelacur murahan dari Red District—bergelayut dengan cara paling menjijikan yang pernah Ella lihat. Tentu saja, saat Max membawa pelacur itu diperkenalkan, Ella lebih memilih menjilat es krim murahan dari penjual di tengah taman. “Kau baik-baik saja?” tanya Prince. “Ya, kenapa memangnya?” “Hari ini kau lebih pendiam dari biasanya. Kau juga mau datang ke taman untuk berkencan denganku.” “Kau jangan besar kepala, Prince. Aku datang ke sini, karena tidak ingin mendengar ocehan James yang terus menyuruhku untuk menemuimu,” kesal Ella. “Hari ini, kita hanya perlu duduk dan menunggu wartawan mana pun untuk menangkap basah kita berdua, ‘kan?” “Sayang, kenapa masih bersikap s
Ben menggeram marah, karena gagal mengejar laju mobil Prince. Dirinya tidak menyangka, bahwa pasangan bodoh itu akan mengakalinya sampai seperti ini, bukankah itu artinya Ben lebih bodoh? Kenyataan itu membuat Ben sekali lagi memukul setir mobil, memaki, dan menambah laju mobilnya seperti orang kesetanan. Ben tidak peduli lagi dengan lalu lintas dan makian dari mobil lain, karena saat ini yang paling penting adalah menemukan keberadaan Ella dan menyeret gadis itu pulang.Dan di saat Ben hampir putus asa, dirinya baru menyadari bahwa dia memiliki cara untuk tahu di mana posisi Ella. Ben meraih ponselnya, membuka aplikasi GPS-nya yang terhubung dengan ponsel Ella. Ini sebenarnya adalah standar keamanan yang diterapkan di keluarga Softucker. James benar-benar mempertimbangkan segala hal—khususnya mengenai keselamatan Ella. Oleh karena itu, James diam-diam memasang pelacak di ponsel Ella yang terkoneksi dengan ponsel para pengawal di rumah. Ben tersenyum penuh kemenangan sa
Sialan!Entah sudah berapa kali Ella memaki sampai saat ini. Sudah setengah jam berlalu dan belum ada tanda-tanda jika Max akan segera keluar dari pintu itu. Juga Ella sudah lupa, berapa kali dirinya melirik spion, memastikan bahwa gerombolan di belakang sana semakin mendekatinya. Sebut Ella terlalu besar kepala, mengira gerombolan itu mengincarnya, tapi bagaimana jika itu adalah yang sebenarnya? Kalau gerombolan itu tiba-tiba saja mengepung mobil, Ella tidak tahu bagaimana cara untuk melindungi dirinya. Bisa saja dia berteriak, tapi butuh waktu berapa lama untuk Max mendengar dan segera berlari menyelamatkannya. Bahkan Ella yakin, Max hanya akan berdiri di teras rumah bobrok itu dengan senyum menyebalkannya.Namun, semua pikiran buruk itu, ternyata tidak mampu membuat panas dan rona merah di pipi Ella menghilang. Sejak dirinya membuka mata pagi tadi dan menemukan dirinya dalam pelukan Max, membuat degup jantungnya berantakan. Mengingat bagaimana Max menyentuhnya, memb
Bertahun-tahun lalu, tidak ada yang bisa dibanggakan dari kehidupan seorang Maxwell Cerg, terlebih setelah ia kehilangan istrinya. Membiarkan putra satu-satunya bekerja untuk bisa membeli sebungkus permen. Hingga ia bertemu dengan dua sahabat yang dikenalnya saat menghabiskan uang asuransi istrinya di bar. Beberapa tahun mengenal Arian dan Samuel, benar-benar mengubah kehidupan Max yang miskin, setidaknya ia bisa memperbaiki atap rumahnya yang bocor dan mengajak putranya pergi memancing setiap akhir pekan.“Kau ingin berhenti?”“Ben membutuhkanku. Selama ini aku sibuk bersama kalian, setidaknya aku akan mencari pekerjaan yang tidak terlalu banyak menyita waktuku,” jawab Max.“Apa Sam tahu tentang ini?”Max menggeleng. “Aku belum memberitahunya.”“Aku yakin, dia tidak akan mengizinkanmu berhenti.”“Oh, ayolah, Arian. Mau sampai kapan kau bekerja seperti ini? Kau pikir ayah si nona muda akan memberimu restu, jika kau masih bekerja serabutan seperti ini? Setidaknya, jadilah pelayan di re
Ben pikir, setelah Ella mengatakan ya padanya, semuanya akan berjalan lancar hingga hari pernikahan—yang entah kapan akan mereka gelar. Nyatanya, dua hari setelah pulang dari pondok, Ella meminta waktu lebih lama untuk memikirkan kapan sebaiknya pernikahan mereka dilangsungkan. Jangan tanya bagaimana paniknya Ben saat itu, tapi sebisa mungkin berusaha ia sembunyikan. Ia tidak ingin membuat Ella merasa terpaksa menikahi Ben, meski sebenarnya Ben juga sudah tidak sabar ingin menjadikan Ella sebagai istrinya, karena ia sangat takut kehilangan Ella lagi.“Ella belum memutuskan kapan dia akan menikahimu?” tanya Jensen, saat ia menyempatkan diri mampir ke rumah Ben sebelum berangkat bertugas. “Kalian bertengkar lagi?”Ben menggeleng. “Aku juga tidak tahu. Sudah berhari-hari dia sulit dihubungi. Bahkan Prince juga kesulitan menemuinya di kantor. Kata sekretarisnya, Ella tiba-tiba saja ingin menyendiri,” jawab Ben.&ldq
“Kamar?!”Entah itu sebuah pertanyaan atau perintah. Ella tidak mengerti apa yang diucapkannya, karena saat ini tidak bisa berpikir jernih. Napasnya terengah, hampir habis, karena terlalu bergairah membalas ciuman Ben. Ya, Tuhan, ia tidak pernah menyangka kalau bisa merindukan sebuah ciuman seperti ini. Ini bukan perkara ciumannya, tapi siapa orang yang kau cium. Bagi Ella, orang itu adalah Benedict Cerg.Tak jauh berbeda dengan Ella, Ben pun mendadak bodoh dan hanya mampu mengangguk, tapi insiting liarnya menyuruhnya untuk mengangkat tubuh Ella, lalu berjalan tergesa menuju kamar. Ben tidak menyangka akan datang hari ini—lagi—untuknya, melakukan hal paling intim yang bisa dilakukan sepasang manusia yang sedang dilanda gairah.Ella merasakan tubuhnya terhempas menyentuh permukaan kasur, Ben langsung menindihnya, kembali menciumnya penuh tuntutan rindu yang harus segera tersalurkan. Bahayanya, tidak ada yang tahu berapa lama yang diperluka
Sudah lebih dari tiga jam sejak dokter meninggalkan ruang rawat Ben, tapi pria itu belum juga sadarkan diri. Jensen pun harus kembali ke kantor polisi untuk membuat laporan. Sedangkan Prince dan Grace juga pulang bersama anak-anak mereka. Martin belum terlihat lagi sejak satu jam yang lalu. Hanya ada Ella dan Aj yang tersisa menjaga Ben di ruangan itu.“Mommy, kapan Paman Ben akan bangun?”Ella yang sedang membaca majalah menoleh pada putranya yang ternyata sudah bangun dari tidur lelapnya di sofa. Ella menghampiri Aj dan langsung memangku bocah itu, sembari menepuk-nepuk punggungnya agar kembali tidur, mengingat tidur bocah itu pasti tidak nyaman di rumah sakit.“Sayang, kau sudah bangun? Jika masih mengantuk, tidur lagi saja.”Aj menggeleng. “Mom, kapan P
“Sayang, kau baik-baik saja?” tanya Martin khawatir, saat melihat Ella diam saja sejak masuk ke mobilnya. “Kau mau makan dulu sebelum kita menjemput Aj di rumah Prince?”“Tidak usah. Kita langsung ke sana.”“Kau yakin?”Ella mengangguk pasti, lalu kembali diam, menatap jalanan Rotterfort yang mulai ramai pagi ini.“Sialan!” maki si supir tiba-tiba?“Ada apa?” tanya Martin sambil mencoba melihat apa yang sedang terjadi di depan.“Orang-orang ini seperti tidak punya pekerjaan. Hampir setiap hari mereka turun ke jalan untuk berunjuk rasa,” gerutunya pada ratusan orang dengan spanduk dan poster-poster menuntut keadilan yang sedang lewat di depan mobilnya.“Tentang apa?”
Entah sudah berapa kali Ben menghela napas dan berapa liter bensin yang dihabiskannya. Sepertinya ia sudah mengelilingi Rotterfort puluhan kali, hanya untuk menenangkan pikiran dan keinginan hatinya yang ingin bertemu dengan Aj. Ben menggunakan segala cara, dari mulai mencari kesibukan di bengkel, hingga berkeliling Rotterfort. Namun, rasa rindu pada putranya—juga Ella—benar-benar tidak terbendung.Motornya berhenti di tempat terjauh dari Rotterfort yang bisa ia jangkau. Ia kembali ke pemakaman di luar Rotterfort yang beberapa hari lalu ia kunjungi. Ben berjalan dengan seikat lili di tangannya, melewati nisan-nisan yang kusam, lalu langkahnya berhenti beberapa meter dari kuburan orang tuanya. Lili yang kemarin dibawanya sudah nampak layu, tapi ada lima tangkai lili yang masih terlihat segar. Bukan, itu bukan lili di tangan B
Sudah 15 menit Ben berdiri di dapur. Diam-diam ia mengawasi Martin dan Aj yang sedang bermain bersama Max di ruang tamu. Ia sudah menemukan jawaban dari semua pertanyaan di kepalanya atas teka-teki yang ia temukan beberapa saat lalu ketika mereka masih berdiri di halaman rumah.Tunangan Martin adalah Ella.Aj adalah putranya.Ingin rasanya Ben memeluk bocah itu dan mengatakan betapa ia sangat merindukannya. Namun, Ben kembali menyadari posisi dirinya yang bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan Martin. Untuk saat ini, Ben hanya bisa membuatkan putranya segelas cokelat hangat—seperti yang selalu ia sajikan untuk ibunya.Buku-buku jemari Ben mengepal erat nampan yang membawa secangkir teh dan cokelat hangat itu. Perlahan ia letakkan dua cangkir itu di atas meja, tanpa memutuskan tatapannya pada Aj yang kini berlari mengitari ruang tamunya bersama Max.Prince sialan! Mengapa ia tidak mengatakan pada Ben, kalau Aj adalah putranya?“Ben, apa hubunganmu dengan Ella?” tanya Martin, set
Ben sedang dalam perjalanan pulang dari memperbaiki mobil milik temannya, saat ia melihat wajah yang tak asing sedang berdiri di halte bus. Sebagai tetangga yang baik, Ben berhenti dan menawarkan diri untuk membonceng tetangganya itu pulang.“Terima kasih, Ben.”“Tidak masalah. Kenapa kau berpakaian seperti ini?” tanya Ben penasaran.“Aku kalah taruhan dengan kawan-kawanku, jadi aku harus meminjam pakaian kakak perempuanku untuk pergi ke prom.”Ben terkekeh mendengar penjelasan tetangganya ini.“O, iya, Ben, kau mau membantuku sekali lagi?”“Apa itu?”“Sebagai tambahan hukuman kalah taruhan, aku juga harus mencium seorang pria. Kau bisa membantuku? Hanya satu kecupan saja. Kumohon. Kalau tidak, minggu depan aku harus memakai pakaian wanita dan berdandan untuk keluar rumah.”Ben menggeleng tak percaya mendengar ucapan tetangganya ini. “Kali ini aku aka
Sudah bertahun-tahun rumah megah di tengah kota itu sepi. Dulu sekali, si Tuan Rumah rutin mengadakan acara amal bersama koleganya. Namun, tidak jarang pula ia mengundang orang-orang kurang beruntung untuk turut hadir dan merasakan masakan dari tangan chef handal. Sejak beberapa tahun lalu rumah itu dilelang, hanya remang cahaya lampu taman yang sering dilihat dan dibicarakan penduduk Rotterfort.Hingga kini, si anak perempuan pembawa sial, tapi juga yang paling beruntung kembali ke rumahnya. Lampu-lampu di hampir seluruh sudut rumah itu diganti dengan lampu yang nyalanya lebih terang. Para tamu undangan yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang itu sudah datang dan duduk berdampingan di kursi makan. Sebastian sibuk mengobrol dengan Frederick—pengusaha muda yang sedang merintis usahanya di bidang nano teknologi—sambil menikmati lobster. Delapan orang lainnya pun sibuk membicarakan bisnis dan kerjasama yang barang kali bisa mereka bentuk.
“Jangan menertawakanku.”Ben menggeleng, tapi ia tidak sanggup menyembunyikan senyum di wajahnya.“Kondisimu juga tidak lebih baik dari aku.”Ben tertawa mendengar Sebastian yang bersungut-sungut sejak ia duduk di bangku itu. Sedangkan Ben, sibuk dengan kunci inggris, oli, dan mesin mobil Sebastian.“Lihat saja, kau lebih memilih kotor seperti ini, bekerja di ruang panas, daripada dengan setelan jas di kantorku.”Ben menjejakkan kakinya sebagai tumpuan untuk menarik diri dari bawah kolong mobil. Ia muncul dari sana dengan pakaian bengkelnya yang sudah kotor, berlumuran oli dari mobil-mobil yang diperbaikinya.Sejak bebas dari Blackford enam bulan lalu, Ben memilih memulai hidup barunya dengan menjadi montir. Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya selama lima tahun di Blackford, Ben bisa menyelesaikan—hampir—semua masalah mesin, khususnya mobil.“Jika kau bingung, kenap