“Yang terkilir adalah kakiku, bukan tanganku,” ucap Ella seraya mengambil roti lapis dari tangan seorang maid yang hendak menyuapinya. Kemudian mengunyahnya dengan potongan besar-besar. “Apa dia akan berdiri di sini terus seperti anjing penjaga?” tambah Ella, kali ini melirik pada Max yang berdiri di sebelahnya.
“Dia adalah pengawalmu,” sahut James.
“Pengawal?” Ella memutar matanya malas mendengar jawaban dari James. “Lucas dan Dave belum cukup? Dan sekarang kau menambah seorang lagi?”
“Kenapa? Kau tidak suka?”
“James! Tarik semua pengawalmu atau aku bisa melakukan hal-hal nekat! Kali ini aku serius! Aku sudah muak dengan segala fasilitas pengawalan yang kau berikan ini!”
“Ella—”
“Oh, ayolah, James! Beri aku sedikit kepercayaan!”
“Kepercayaan? Kemarin kau lupa sudah mengkhianatinya? Kau membuat dua orang pengawal terbaikku hampir kupecat!!” James beranjak dari kursi makannya. “Max adalah pengawalmu juga mulai saat ini!”
“Setidaknya suruh dia mandi dan ganti baju! Aku muak dan ingin muntah hanya dengan melihatnya!” geram Ella dan langsung menyambar tasnya, dan sembari menahan nyeri di pergelangan kakinya, dia memaksakan diri untuk melangkah keluar.
Di halaman, Lucas dan Dave sudah siap dengan mobil yang akan mengantarnya menuju kampus. Tanpa mengucapkan salam perpisahan pada James yang mengikutinya keluar, Ella langsung masuk mobil dan memutar lagu rock kesukaannya dengan volume yang dapat dipastikan akan meredam suara ocehan James di luar sana.
“Coba kalian pikir! Di mana pria kumuh itu akan duduk? Kalian berdua sudah duduk di depan. Apa James berniat menyuruhnya duduk di sampingku?”
Dave yang menoleh ke belakang—meskipun tidak terlalu yakin dengan apa yang didengarnya—hanya mengangkat kedua bahunya.
Namun, pertanyaan Ella itu akhirnya terjawab saat suara derum knalpot motor berhasil menembus pertahanan tembok rock ‘n roll-nya! Dengan masih mengenakan pakaian lusuhnya, Max mengendarai motor—yang kalau Ella tidak salah ingat, itu adalah salah satu Ducati kesayangan James yang dia beli tahun lalu—dan berhenti tepat di sisi lain Ella duduk. Sedangkan di sisi lainnya, Ella mendapati James menunduk dan mengetuk jendela mobilnya. Ella menurunkan jendela di sebelahnya, tanpa perlu repot-repot menatap James yang hendak berbicara dengannya.
“Sementara, Max akan naik Ducati-ku, sampai dia mendapatkan seragamnya.”
Ella mendengkus sebal. “Apa setelah itu dia akan duduk di sebelahku?”
“Hanya kalau kau mengizinkannya.”
“Jangan pernah bermimpi aku akan mengizinkannya! Lucas, ayo berangkat!”
Dalam sekali perintah, Lucas langsung menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya menuju kampus Ella. Sesekali Ella akan melihat Max menyejajari sisi mobilnya, tapi Ella tak acuh dan lebih memilih untuk fokus berbalas pesan dengan Grace, karena dia sedang menyusun rencana bersama sahabatnya itu, untuk membuat pelarian berikutnya.
Saat sudah sampai, Ella langsung keluar dari mobil dan berjalan cepat menghampiri Grace yang sudah menunggunya di tempat biasa.
“Apa yang kau lakukan?” teriak Ella saat Max membuntuti langkahnya untuk menyapa Grace.
“Lucas dan Dave menjagamu sampai di sana,” jawab Max sambil mengangguk ke mobil Ella. “Sedangkan aku akan ikut sampai ke dalam kelas, kalau perlu sampai ke toilet.”
“Sinting! Jangan mimpi kau bisa terus mengikuti dengan tampang seperti ini!”
“Seperti ini? Seperti apa maksudmu?”
Ella menggeram kesal, karena ucapan Max. Sepertinya pria itu memang sengaja diciptakan dan dipekerjakan oleh James untuk membuat Ella mati muda, sehingga James bisa mendapatkan seluruh harta kekayaan Softucker!
“Ikut aku!”
Ella kembali berjalan menuju mobilnya, kemudian meminta Dave untuk bertukar pakaian dengan Max. Jangan pikir itu berlangsung cepat, tentu saja Max menolak. Namun, ancaman Ella untuk tidak masuk kelas dan melaporkan Max pada James, berhasil membuat Max tunduk. Max langsung membuka jaket lusuhnya, dan pemandangan dua bisep kekar itu langsung menyapa Ella. Membuat gadis itu tidak sanggup berkedip dan mengalihkan pandangannya.
Ella memang pernah melihat tubuh kekar para pemain football kampusnya, atau beberapa model pria di majalah dewasa—milik Grace tentunya—tapi tidak ada satupun dari itu yang berhasil membuatnya kesulitan menelan ludahnya. Di lengan kiri Max pula, Ella melihat bekas luka carut yang sepertinya memanjang hingga punggung pria itu.
“Bagaimana?” tanya Max setelah memakai jas Dave yang terlihat sedikit sesak, dan rambut gondrong ikalnya itu sudah diikat rapi kembali. “Aku sudah bisa melakukan tugasku sekarang? Kau puas?”
Tanpa menjawab pertanyaan Max, Ella melenggang kembali menuju Grace yang masih menunggunya di dekat mobil. Keduanya kemudian melangkah menuju kelas tanpa memedulikan Max yang ada di belakang mereka. Namun, tiba-tiba saja langkah Ella dan Grace berbelok masuk ke toilet.
“Oh, ternyata pria itu cukup tahu sopan santun juga,” gumam Ella saat tidak menemukan Ben mengikutinya masuk ke toilet. “Bagaimana?” tanya Ella lagi.
Grace membuka satu per satu bilik toilet untuk memastikan tidak ada siapapun di sana. Lalu menutup kembali semua bilik itu.
“Bagus! Kemarilah!”
Grace dan Ella langsung mengambil posisi di belakang pintu toilet. Kemudian Ella berdeham kecil, menarik napas dalam-dalam, dan langsung menjerit nyaring. Seperti dugaannya, Max langsung mendobrak masuk dan bergegas memeriksa bilik-bilik di sana. Sesuai dengan rencana mereka, Ella dan Grace diam-diam langsung keluar dan mengunci Max di dalam toilet.
“Berhasil!” seru Ella dan Grace bersamaan.
“Kau yakin dia tidak akan merusak pintu ini?”
“Dia tidak akan berani.”
“Kau yakin?”
“Sudahlah, ayo kita ke kelas!”
Grace dan Ella kembali melangkah menuju loker untuk mengambil beberapa buku sebelum ke kelas, meninggalkan Max yang masih berteriak dan menggedor pintu toilet tanpa henti.
“Ella!”
Ella yang sedang mengambil buku dari lokernya menoleh, dan pria yang kemarin hampir menidurinya sedang berlari ke arahnya.
“Aku minta maaf untuk yang kemarin.”
“Menyingkirlah, Berengsek!” gusar Grace.
“Aku tidak sedang bicara denganmu.”
“Ella, jangan percaya pada pria ini. Dia sama bejatnya dengan Luis!”
“Menyingkirlah, urus saja urusanmu dengan Luis, Grace. Jika hubunganmu dengan Luis tidak berhasil, jangan kau lampiaskan pada hubunganku dan Ella.”
“Kau yang menyingkir, Oscar!” ucap Ella sambil membanting pintu lokernya. “Kau sudah melecehkanku dan sekarang berani muncul di depanku?”
“Oh, ayolah! Itu tidak benar, Ella.” Oscar mendekatkan bibirnya ke telinga Ella. “Kita sama-sama menginginkannya, kan?”
Ella langsung mendorong tubuh Oscar dan memukulkannya dengan setumpuk buku yang baru saja diambil dari loker.
“Beruntung Dad-ku tidak menembak mati dirimu, Oscar! Orang tuamu pasti menyesal jika tahu bagaimana anak kebanggaannya ini memperlakukan wanita!” teriaknya marah, tidak peduli pada banyak pasang mata yang menatapnya.
“Hentikan, Ella!” geram Oscar yang langsung menyambar tangan Ella, menghentikan pukulannya yang bertubi-tubi. Kemudian Oscar langsung mendorong tubuh Ella hingga membentur loker, lalu mengungkungnya. “Aku datang untuk minta maaf dan—”
“Menjauh dari Ella, Berengsek!” potong Grace yang mendorong tubuh Oscar. Kemudian dengan sigap dia melindungi sahabatnya itu. “Jangan pernah ganggu Ella lagi! Atau aku akan benar-benar mengadukanmu pada James Softucker!”
“Grace,” bisik Ella yang berdiri di belakang Grace.
“Tapi, El—”
“Cepat panggil Max! Atau kita berdua akan mati di sini!” lanjutnya selirih mungkin.
Bukan tanpa alasan Ella memaksa Grace untuk segera memanggil Max. Melihat bagaimana wajah Oscar saat ini, pria itu benar-benar kesal padanya. Dan dengan tangan yang biasa melempar bola bowling itu, hanya sekali pukul, maka Ella dan Grace bisa langsung gegar otak!
“Cepatlah!”
Meski ragu, tapi pada akhirnya Grace menuruti perintah Ella.
“Hanya seperti itu keberanianmu?!” cibir Oscar, dan detik berikutnya tatapan tajamnya beralih pada Ella yang masih terpaku di tempatnya. “Kau sendirian sekarang.”
“Kau tidak lihat mereka semua?”
“Tidak akan ada yang berani menganggu urusanku, Ella. Kau lupa siapa aku dan jasa apa saja yang sudah kuperbuat untuk kampus ini? Tanpa aku, tim football dan bowling mungkin sudah bubar. Aku juga adalah kesayangan para dosen di sini.”
Ella terkikik geli mendengar Oscar yang membanggakan dirinya sendiri. Sungguh, tidak ada yang salah dengan ucapannya. Namun, tetap saja itu menggelikan untuk Ella. Dirinya tidak butuh berurusan dengan pria yang dengan mudahnya melecehkan dirinya, tidak peduli sebanyak apapun prestasinya. Di mata Ella, mereka tetaplah sampah tidak berguna!
“Dengan perbuatanmu, di mataku, kau tetap sampah!”
“Ella!” geram Oscar seraya tangannya melayang, hendak menampar gadis yang sedikitpun tidak terlihat ketakutan di matanya. Namun, ayunan tangan Oscar terhenti di udara. “Jangan ikut campur, Berengsek!”
“Jangan pernah memukul gadis, apalagi di depanku.”
“Lepaskan tanganku! Aku tidak akan mengulang perintahku lagi.”
“Berjanjilah untuk tidak memukulnya, maka aku melepaskanmu.”
“Sialan!” maki Oscar, lalu dengan tangannya yang lain mengayunkan tinju ke arah sosok yang mencekal tangannya. Namun, sosok itu lebih cepat menghindar dan malah menangkap kedua tangan Oscar. Kemudian memutarnya ke belakang, dan mendorong tubuh bagian depan Oscar hingga membentur loker.
“Ini hari pertamaku di kampus. Aku tidak ingin membuat banyak orang salah paham dengan kejadian ini. Aku ingin menjadi anak baik-baik di sini.”
“Lepaskan aku, Berengsek!” ronta Oscar yang masih terhimpit. “Siapa, kau?!”
“Aku? Oh, maaf, aku sudah tidak sopan, karena belum memperkenalkan diri,” kekehnya. “Namaku Prince. Prince Loshen.”
“Sialan!” Ben memaki berulang kali sembari berusaha membuka pintu toilet.Benar-benar di luar perkiraan Ben! Ella benar-benar meyebalkan dan sangat licik dengan mengunci Ben di dalam toilet agar dirinya bisa kabur. Bahkan sebelum benar-benar meninggalkannya, Ben sempat mendengar bagaimana gadis itu menertawakan kebodohannya, yang semakin membuat darah Ben mendidih.Ben kembali memeriksa jendela ventilasi di dalam toilet, tapi tentu saja ukuran jendela itu terlalu kecil untuk tubuh berototnya. Bisa saja dirinya mendobrak pintu ini, tapi Ben masih waras, dia tidak ingin membuat keributan yang malah bisa membuatnya dipecat di hari pertamanya bekerja.“Siapapun di luar sana! Buka pintunya! Hey! Apa kali—”Teriakan Ben terputus, karena suara kunci pintu yang diputar, dan akhirnya pintu itu terbuka! Grace muncul di sana dengan napas terengah, lalu tanpa berbicara sepatah katapun, gadis itu langsung meraih tangan Ben.“
“Bagaimana?” tanya Ella dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya. “Apa kata James?”Lucas kembali memasukkan ponselnya, kemudian mengangguk hormat pada Ella. “Tuan James mengizinkan Nona pergi bersama Nona Grace, tapi dengan syarat.”“Oh, ayolah! Kali ini aku tidak akan pergi ke rumah Oscar. Aku sudah tidak ada urusan dengan pria kurang ajar itu. Kalian tenang saja, ok? Aku hanya pergi ke mal membeli baju untuk acara halloween di kampus.”“Maaf, Nona. Ini adalah syarat—”“Ya sudah! Katakan cepat, apa syarat dari si Tua James!” kesal Ella.“Anda harus ditemani oleh pengawal, lalu—”“Hanya satu di antara kalian! Kalau lebih dari itu, aku akan melakukan hal yang lebih gila dari kemarin!”Lucas mengangguk. “Tidak masalah. Tuan James memang menyarankan salah satu dari kami, yakni Max.”“Max?&rdq
Jika tidak mengingat alasan dia memohon bekerja pada James Softucker, Ben akan dengan senang hati meninggalkan gadis yang sedari tadi bermulut kasar ini. Tanpa memedulikan perasaan orang lain, mulutnya begitu mudah mengucap makian dan hinaan untuk orang-orang seperti Ben. Bagian terburuknya, gadis itu mengatai Ben adalah seorang gay! Darimana pikiran itu berasal?Tatapan Ben tidak pernah meninggalkan sosok Ella yang keluar-masuk ruang ganti dan berkeliling toko, meskipun Grace begitu menggoda. Terlebih saat tubuh gadis belia ini berada di atas pangkuan Ben, tangan yang melingkar di leher Ben, pria itu bisa menghidu aroma wangi bunga yang menenangkan. Mungkin jika Grace bukan sahabat Ella dan sekarang mereka tidak di tempat umum, Ben akan langsung memeluk pinggang ramping itu, menelanjanginya, dan membuat gadis ini mendesah di pangkuannya.Namun, yang terjadi adalah mimpi buruk Ben selanjutnya. Dihajar banyak orang, karena ucapan gadis manja dan angkuh yang kin
Ella menatap Max tajam, berusaha menunjukkan bahwa dirinya tidak akan bisa dikalahkan oleh Max begitu saja! Tidak akan takut dengan ancaman pria itu, meski Ella juga melihat kebencian di sana. Ella yakin 100%, bahwa tebakannya tidak pernah meleset, Max adalah seorang gay! Tidak mungkin pria normal akan membiarkan begitu saja wanita mabuk yang hampir telanjang, tertidur di ranjang kamarnya. Bukannya membiarkannya kedinginan di teras rumah! Kali ini, Ella benar-benar mempertaruhkan harga dirinya saat memutuskan membawa Max ke pondok keluarga Softucker. Di tempat ini, Ella akan membuat Max berakhir mengenaskan, dipecat! Ella merangkul leher Max, mendekatkan bibirnya ke telinganya, menggigit pelan cuping telinganya dan menjilatnya. “Bagaimana? Kau tergoda dengan apa yang aku lakukan?” bisik Ella, lalu kembali menjilat telinga Max. Ella menarik wajahnya, menatap kembali mata Max yang masih sama—tanpa ekspresi. Sial! Pria itu sama sekali tidak bereaksi, ta
Ben sepertinya harus segera menceburkan diri ke danau yang ada di luar untuk mendinginkan otak dan tubuhnya, yang seketika memanas akibat segala hal yang dilakukan Ella pada tubuhnya. Gadis itu menggesekkan dadanya ke tubuh Ben. Pria yang diam di penjara selama 15 tahun dan tidak dapat menyalurkan gairahnya dengan benar, selain dengan sabun dan tangannya—itu pun seringkali terganggu oleh tahanan lainnya yang sudah tidak sabar untuk memuaskan hasratnya. Lalu bagaimana bisa menahan godaan dari seorang Radella? Otak Ben berusaha waras, tapi tubuhnya memilih mengikuti permainan Ella. Ben bukanlah pria polos dan bodoh yang tidak tahu maksud dari segala tindakan Ella saat ini. Ben tahu benar, bahwa gadis yang sekarang berada di bawah kuasanya, sengaja menggoda, agar dia memiliki alasan untuk memecat Ben. Namun, Ben juga punya rencananya sendiri. Dia akan membuat Nona Muda yang suka memberontak ini, tergila-gila padanya. Ben akan membuat Ella tidak bisa hidup tanpanya. Persetan jik
Ella membuka mata dan mendapati sepi di hadapannya. Detik berikutnya, dia seperti tersadar dari hipnotis gairah yang semalam diciptakannya bersama Max. Ella terduduk, membuat selimut yang menutupi tubuhnya melorot hingga ke perutnya.“Apa yang semalam belum puas?”Suara serak Max yang berasal dari luar membuat Ella langsung menarik selimut itu untuk menutupi bagian atas tubuhnya yang polos. Sekali dia mengintip bagian bawah tubuhnya—celana dalamnya masih di sana—Ella langsung menghela napas lega.“Kenapa harus malu, Nona?” tanya Max yang menghampiri Ella, lalu mengecup bibirnya.“Kurang ajar!” maki Ella, lalu mendorong tubuh Max, beranjak memunguti seluruh pakaiannya, dan berlalu masuk ke kamar.Dari dalam kamar, Ella masih mendengar kekehan Max yang sedang menertawakan dirinya. Ella menggeram kesal dan buru-buru memakai kembali pakaiannya. Untuk beberapa saat dia menatap pantulan dirinya di cermin.
Ben menutup album foto yang ditemukannya beberapa saat yang lalu. Album foto keluarga Softucker yang terlihat sangat bahagia. Berbeda sekali dengan keluarganya. Ayah dan ibu Ben bercerai saat dirinya berusia 12 tahun. Sejak saat itu, Ben tidak pernah lagi melihat ibunya. Kabar terakhir yang dia dengar, ibunya sudah menikah lagi dengan pria berkebangsaan asing dan kini menetap di negaranya. Meninggalkan Ben dan ayahnya dalam keterpurukan.Ben menoleh sesaat, menatap majikannya yang masih terlelap di sofa. Tidak heran gadis itu begitu lelap, dia pasti lelah setelah melewati malam yang begitu menggairahkan. Terlebih saat tubuhnya menegang dang menjerit, karena kenikmatan yang diberikan oleh orang rendahan yang sanggup memuaskannya.Ben beranjak mendekati Ella, gadis itu menggeliat pelan seraya menggumam akan sesuatu. Ben sedikit lebih dekat dan Ben mendengar Ella menyebut nama seseorang berulang kali. Ben kembali menegakkan punggungnya, menarik selimut untuk menutupi tubu
“Aku yang terlalu perasa atau sedari tadi pengawalmu yang seperti papan berjalan itu selalu menatapku?”Ella menoleh ke arah anggukan Grace. “Maksudmu Dave?”“Iya.”“Dia memang sedang menatapmu. Dia menyukaimu.”Grace hampir saja memuntahkan jus apel di dalam mulutnya, saat mendengar ucapan Ella. “Menyukaiku?” Grace langsung buru-buru menyambar topeng di meja.Ella mengangguk. “Kau pikir topeng itu bisa menyembunyikan pesonamu yang telah membius Dave?” cibir Ella. “Kau terlalu sibuk dengan deretan kekasih tidak bergunamu itu, sehingga tidak bisa melihat ada seorang pria menantimu, menyukaimu dari sejak awal kau datang ke rumahku.”“Kau mengada-ada.”“Tidak. Kau saja yang buta. Aku bisa langsung mengetahui kalau Dave punya perasaan terhadapmu.” Ella menatap Grace yang tersenyum simpul dengan tatapan yang tidak lepas dari para pen
Ben pikir, setelah Ella mengatakan ya padanya, semuanya akan berjalan lancar hingga hari pernikahan—yang entah kapan akan mereka gelar. Nyatanya, dua hari setelah pulang dari pondok, Ella meminta waktu lebih lama untuk memikirkan kapan sebaiknya pernikahan mereka dilangsungkan. Jangan tanya bagaimana paniknya Ben saat itu, tapi sebisa mungkin berusaha ia sembunyikan. Ia tidak ingin membuat Ella merasa terpaksa menikahi Ben, meski sebenarnya Ben juga sudah tidak sabar ingin menjadikan Ella sebagai istrinya, karena ia sangat takut kehilangan Ella lagi.“Ella belum memutuskan kapan dia akan menikahimu?” tanya Jensen, saat ia menyempatkan diri mampir ke rumah Ben sebelum berangkat bertugas. “Kalian bertengkar lagi?”Ben menggeleng. “Aku juga tidak tahu. Sudah berhari-hari dia sulit dihubungi. Bahkan Prince juga kesulitan menemuinya di kantor. Kata sekretarisnya, Ella tiba-tiba saja ingin menyendiri,” jawab Ben.&ldq
“Kamar?!”Entah itu sebuah pertanyaan atau perintah. Ella tidak mengerti apa yang diucapkannya, karena saat ini tidak bisa berpikir jernih. Napasnya terengah, hampir habis, karena terlalu bergairah membalas ciuman Ben. Ya, Tuhan, ia tidak pernah menyangka kalau bisa merindukan sebuah ciuman seperti ini. Ini bukan perkara ciumannya, tapi siapa orang yang kau cium. Bagi Ella, orang itu adalah Benedict Cerg.Tak jauh berbeda dengan Ella, Ben pun mendadak bodoh dan hanya mampu mengangguk, tapi insiting liarnya menyuruhnya untuk mengangkat tubuh Ella, lalu berjalan tergesa menuju kamar. Ben tidak menyangka akan datang hari ini—lagi—untuknya, melakukan hal paling intim yang bisa dilakukan sepasang manusia yang sedang dilanda gairah.Ella merasakan tubuhnya terhempas menyentuh permukaan kasur, Ben langsung menindihnya, kembali menciumnya penuh tuntutan rindu yang harus segera tersalurkan. Bahayanya, tidak ada yang tahu berapa lama yang diperluka
Sudah lebih dari tiga jam sejak dokter meninggalkan ruang rawat Ben, tapi pria itu belum juga sadarkan diri. Jensen pun harus kembali ke kantor polisi untuk membuat laporan. Sedangkan Prince dan Grace juga pulang bersama anak-anak mereka. Martin belum terlihat lagi sejak satu jam yang lalu. Hanya ada Ella dan Aj yang tersisa menjaga Ben di ruangan itu.“Mommy, kapan Paman Ben akan bangun?”Ella yang sedang membaca majalah menoleh pada putranya yang ternyata sudah bangun dari tidur lelapnya di sofa. Ella menghampiri Aj dan langsung memangku bocah itu, sembari menepuk-nepuk punggungnya agar kembali tidur, mengingat tidur bocah itu pasti tidak nyaman di rumah sakit.“Sayang, kau sudah bangun? Jika masih mengantuk, tidur lagi saja.”Aj menggeleng. “Mom, kapan P
“Sayang, kau baik-baik saja?” tanya Martin khawatir, saat melihat Ella diam saja sejak masuk ke mobilnya. “Kau mau makan dulu sebelum kita menjemput Aj di rumah Prince?”“Tidak usah. Kita langsung ke sana.”“Kau yakin?”Ella mengangguk pasti, lalu kembali diam, menatap jalanan Rotterfort yang mulai ramai pagi ini.“Sialan!” maki si supir tiba-tiba?“Ada apa?” tanya Martin sambil mencoba melihat apa yang sedang terjadi di depan.“Orang-orang ini seperti tidak punya pekerjaan. Hampir setiap hari mereka turun ke jalan untuk berunjuk rasa,” gerutunya pada ratusan orang dengan spanduk dan poster-poster menuntut keadilan yang sedang lewat di depan mobilnya.“Tentang apa?”
Entah sudah berapa kali Ben menghela napas dan berapa liter bensin yang dihabiskannya. Sepertinya ia sudah mengelilingi Rotterfort puluhan kali, hanya untuk menenangkan pikiran dan keinginan hatinya yang ingin bertemu dengan Aj. Ben menggunakan segala cara, dari mulai mencari kesibukan di bengkel, hingga berkeliling Rotterfort. Namun, rasa rindu pada putranya—juga Ella—benar-benar tidak terbendung.Motornya berhenti di tempat terjauh dari Rotterfort yang bisa ia jangkau. Ia kembali ke pemakaman di luar Rotterfort yang beberapa hari lalu ia kunjungi. Ben berjalan dengan seikat lili di tangannya, melewati nisan-nisan yang kusam, lalu langkahnya berhenti beberapa meter dari kuburan orang tuanya. Lili yang kemarin dibawanya sudah nampak layu, tapi ada lima tangkai lili yang masih terlihat segar. Bukan, itu bukan lili di tangan B
Sudah 15 menit Ben berdiri di dapur. Diam-diam ia mengawasi Martin dan Aj yang sedang bermain bersama Max di ruang tamu. Ia sudah menemukan jawaban dari semua pertanyaan di kepalanya atas teka-teki yang ia temukan beberapa saat lalu ketika mereka masih berdiri di halaman rumah.Tunangan Martin adalah Ella.Aj adalah putranya.Ingin rasanya Ben memeluk bocah itu dan mengatakan betapa ia sangat merindukannya. Namun, Ben kembali menyadari posisi dirinya yang bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan Martin. Untuk saat ini, Ben hanya bisa membuatkan putranya segelas cokelat hangat—seperti yang selalu ia sajikan untuk ibunya.Buku-buku jemari Ben mengepal erat nampan yang membawa secangkir teh dan cokelat hangat itu. Perlahan ia letakkan dua cangkir itu di atas meja, tanpa memutuskan tatapannya pada Aj yang kini berlari mengitari ruang tamunya bersama Max.Prince sialan! Mengapa ia tidak mengatakan pada Ben, kalau Aj adalah putranya?“Ben, apa hubunganmu dengan Ella?” tanya Martin, set
Ben sedang dalam perjalanan pulang dari memperbaiki mobil milik temannya, saat ia melihat wajah yang tak asing sedang berdiri di halte bus. Sebagai tetangga yang baik, Ben berhenti dan menawarkan diri untuk membonceng tetangganya itu pulang.“Terima kasih, Ben.”“Tidak masalah. Kenapa kau berpakaian seperti ini?” tanya Ben penasaran.“Aku kalah taruhan dengan kawan-kawanku, jadi aku harus meminjam pakaian kakak perempuanku untuk pergi ke prom.”Ben terkekeh mendengar penjelasan tetangganya ini.“O, iya, Ben, kau mau membantuku sekali lagi?”“Apa itu?”“Sebagai tambahan hukuman kalah taruhan, aku juga harus mencium seorang pria. Kau bisa membantuku? Hanya satu kecupan saja. Kumohon. Kalau tidak, minggu depan aku harus memakai pakaian wanita dan berdandan untuk keluar rumah.”Ben menggeleng tak percaya mendengar ucapan tetangganya ini. “Kali ini aku aka
Sudah bertahun-tahun rumah megah di tengah kota itu sepi. Dulu sekali, si Tuan Rumah rutin mengadakan acara amal bersama koleganya. Namun, tidak jarang pula ia mengundang orang-orang kurang beruntung untuk turut hadir dan merasakan masakan dari tangan chef handal. Sejak beberapa tahun lalu rumah itu dilelang, hanya remang cahaya lampu taman yang sering dilihat dan dibicarakan penduduk Rotterfort.Hingga kini, si anak perempuan pembawa sial, tapi juga yang paling beruntung kembali ke rumahnya. Lampu-lampu di hampir seluruh sudut rumah itu diganti dengan lampu yang nyalanya lebih terang. Para tamu undangan yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang itu sudah datang dan duduk berdampingan di kursi makan. Sebastian sibuk mengobrol dengan Frederick—pengusaha muda yang sedang merintis usahanya di bidang nano teknologi—sambil menikmati lobster. Delapan orang lainnya pun sibuk membicarakan bisnis dan kerjasama yang barang kali bisa mereka bentuk.
“Jangan menertawakanku.”Ben menggeleng, tapi ia tidak sanggup menyembunyikan senyum di wajahnya.“Kondisimu juga tidak lebih baik dari aku.”Ben tertawa mendengar Sebastian yang bersungut-sungut sejak ia duduk di bangku itu. Sedangkan Ben, sibuk dengan kunci inggris, oli, dan mesin mobil Sebastian.“Lihat saja, kau lebih memilih kotor seperti ini, bekerja di ruang panas, daripada dengan setelan jas di kantorku.”Ben menjejakkan kakinya sebagai tumpuan untuk menarik diri dari bawah kolong mobil. Ia muncul dari sana dengan pakaian bengkelnya yang sudah kotor, berlumuran oli dari mobil-mobil yang diperbaikinya.Sejak bebas dari Blackford enam bulan lalu, Ben memilih memulai hidup barunya dengan menjadi montir. Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya selama lima tahun di Blackford, Ben bisa menyelesaikan—hampir—semua masalah mesin, khususnya mobil.“Jika kau bingung, kenap