Home / Romansa / Pengawal Nona Muda / Annoying Neighbor

Share

Annoying Neighbor

Author: wpwp
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Ben baru sampai di rumahnya saat petang. Seharian ini, setelah urusannya dengan perempuan gila tadi selesai, Vernon mengajaknya ke rumah temannya yang menawari pekerjaan untuk membersihkan kebun-kebunnya.

“Vernon, aku sangat berterima kasih soal pekerjaan itu.”

“Hey, itu belum seberapa dibanding apa yang ayahmu lakukan untukku.” Vernon melongokkan kepalanya keluar jendela mobil. “Tetanggamu berisik sekali.”

Ben menoleh ke rumah tetangganya, yang dia masih ingat adalah milik keluarga Oswald. “Kurasa anaknya sedang berpesta. Tuan dan Nyonya Oswald sedang menjenguk orang tuanya.”

“Ah, anak muda,” ujar Vernon mengerti. “Dia akan dapat masalah kalau nanti orang tuanya pulang.”

Ben terkekeh mendengar kalimat Vernon.

“Kulihat, kau sudah membersihkan halaman rumahmu?”

Ben mengangguk. “Tadi sebelum ke tempatmu.”

“Mampirlah lagi ke kedai, aku akan membuatkanmu makanan enak.”

“Besok sepulang kerja, aku akan mampir.”

“Baiklah, aku pulang dulu kalau begitu.”

“Hati-hati di jalan,” ujar Ben sambil melambaikan tangan pada Vernon yang mulai melaju meninggalkannya.

Satu masalah sudah selesai, setidaknya untuk beberapa minggu ke depan, Ben tidak perlu memikirkan dari mana dia akan mendapatkan uang dan makanan. Hal lain yang harus dia pikirkan saat ini adalah mencari orang yang harus bertanggung jawab atas apa yang dialaminya selama 15 tahun ini. Diambilnya ponsel pemberian Vernon dan mencari sebuah nama keluarga, tidak perlu waktu lama. Nama itu begitu termasyur di Rotterfoort, hampir semua sektor penting di kota ini dikuasai oleh mereka.

Jemari Ben masih menari di atas layar ponselnya, tapi kemudian kedua netranya membelalak sempurna saat membaca satu judul artikel di sana. Ernest Softucker tewas bunuh diri!

“Sial!” maki Ben dengan jemari yang mencengkeram erat ponselnya. “Kau sudah mati? Kita belum bertemu Ernest, tapi kenapa kau sudah mati?! Argh! Kau belum merasakan mendekam di dalam penjara atas perbuatanmu, Bajingan!”

Ben menggeram kasar, menendang meja kayu di depannya. Merutuki kematian Ernest Softucker yang terlalu cepat, kematian pria yang menyeret ayah Ben ke penjara atas tuduhan yang salah!  

“Tidak! Tidak! Meskipun kau sudah mati, keluargamu tetap harus menerima pembalasanku, Ernest! Ya, kau masih punya seorang adik yang mewarisi seluruh harta kekayaanmu! Aku akan membuat adikmu bertekuk lutut di hadapanku, memohon untuk dikasihani hidupnya. Seperti yang kau lakukan pada ayahku! Di alam sana, kau akan menyesali semua itu! Kau akan berharap bisa hidup kembali untuk menolong adikmu!”

Ben kembali menekuri layar ponselnya, mencari segala informasi tentang keluarga Softucker yang masih tersisa. Membuat keluarga Softucker hancur adalah tujuan pertama Ben setelah dia keluar penjara. Satu pun, Ben tidak akan menyisakan anggota keluarga Softucker, semuanya harus menerima pembalasannya. Sepeser pun, Ben tidak akan menyisakannya untuk keluarga bedebah itu.

Fokus Ben pada layar ponselnya teralihkan dengan suara ketukan kencang di pintu rumahnya. Ben segera beranjak untuk membuka pintu, tapi dia tidak menemukan seorang pun di sana. Ben melongok ke luar, dan dilihatnya dua pria berlari seraya terbahak.

“Dasar bocah!” maki Ben, lalu tak mengacuhkannya.

Namun, baru beberapa saat berlalu, suara gedoran yang lebih kencang kembali terdengar. Ben kembali membuka pintu rumahnya, dan lagi-lagi dua bocah sialan itu terbahak! Persetan jika mereka masih bocah, Ben tidak peduli. Dia langsung mengejar kedua pria itu yang berakhir di rumah tetangganya yang sedang mengadakan pesta.

Sebenarnya Ben tidak ingin mencari masalah dengan anak Tuan dan Nyonya Oswald yang tadi siang memberinya pie apel. Namun, suara dentuman musik dan tingkah teman-temannya sudah sangat menganggu ketenangan Ben. Akhirnya Ben melangkahkan kaki memasuki pekarangan keluarga Oswald dan berulang kali menekan bel rumahnya.

“Ya?” sapa seorang wanita dengan segelas bir di tangannya. “Kau terlalu tua untuk ikut pesta ini. Tapi kau sangat seksi, lihat otot bisepmu ini. Sungguh menggairahkan. Apa kau sengaja memakai kaos tanpa lengan ini untuk memamerkan ototmu ini?” lanjutnya dengan suara serak dan jemari yang terus bermain di lengan Ben.

“Siapa yang bertanggung jawab atas pesta ini?”

“Uh! Kenapa terburu-buru, Honey?” bisik wanita itu di telinga Ben, lalu menggigit kecil telinganya. Membuat Ben refleks menghindar. “Ups! Maaf. Kau sensitif sekali rupanya. Baiklah, kalau kau tidak mau bermain.”

Wanita itu mengangkat gelasnya tinggi-tinggi, lalu menandaskan isinya hingga habis.

“Masuklah! Oscar mengadakan pesta ini untuk kita nikmati!”

“Di mana Oscar?”

“Kenapa kau ingin bertemu dengan orang yang sedang sibuk dengan kekasihnya? Lebih baik, kau ikut saja bersamaku, kita—”

Ben mencekal lengan wanita itu, membuatnya meringis menahan nyeri.

“Aku tidak punya waktu bermain dengan kalian, para bocah! Cepat suruh Oscar keluar sekarang juga!”

Wanita itu mencebik kesal, tapi kemudian berlalu meninggalkan Ben menuju lantai dua. Ben mengedarkan pandangannya dan hanya tersenyum miris, membayangkan apa yang akan Tuan dan Nyonya Oswald lakukan kalau mengetahui bahwa putra tunggalnya mengadakan pesta untuk menghancurkan rumah mereka?  

Tak berapa lama menunggu, seorang pemuda menuruni tangga dengan wajah muram. Langkahnya berhenti tepat di depan Ben dan menyapanya hanya dengan tatapan dingin.

“Kau Oscar?”

Oscar mengangguk kecil sebagai jawabannya, seraya menatap Ben dari ujung kepala hingga sepatunya yang kusam.

“Apa aku mengenalmu?”

“Kurasa kau tidak ingat siapa aku. Terakhir aku melihatmu, saat kau masih memakai popok.”

“Oh, jadi sekarang kau adalah Pak Tua … maaf, siapa tadi kau bilang namanu?”

“Aku belum mengatakannya.” Ben menghela napas. “Aku Ben, tetangga sebelah rumahmu,” lanjutnya sembari mengangguk ke arah rumahnya.

Oscar mengikuti ke mana arah pandang Ben, tapi tetap tidak berminat menanggapi obrolan Ben dengan lebih serius.

“Dua temanmu mengangguku.”

Oscar menengok ke belakang dan memperhatikan teman-temannya dengan saksama. “Hei! Apa kalian menganggu pria tua ini?”

Para anak ingusan yang sedang asyik bergoyang itu bukannya menjawab pertanyaan Ben, malahan kompak berseru mengoloknya.

“Kau lihat sendiri? Tidak ada yang menganggumu. Mungkin kau—”

Belum selesai Oscar berucap, Ben sudah mencengkeram pipinya dengan satu tangan. Membuat Oscar dan beberapa orang teman di dekatnya terkejut.

“Dengar, Bocah! Aku tidak peduli jika kau mau menghancurkan rumah orang tuamu dengan pesta tidak bergunamu ini. Tapi satu hal!” Ben mengetatkan cengkeramannya. “Jangan ganggu ketenanganku. Paham?”

Oscar mengangguk cepat.

Melihat ekspresi ketakutan Oscar, Ben langsung melepaskan cengkeramannya diiringi oleh senyum miring yang menambah kesan sinis di wajahnya.

“Pelankan musikmu. Aku butuh istirahat, karena besok aku harus bangun pagi.”

“Ba—baiklah.”

Tanpa pamit, Ben langsung berlalu dari rumah keluarga Oswald. Sekuat tenaga dia menahan tawanya, yang sedari tadi berusaha tidak meledak saat melihat ekspresi putra Tuan Oswald. Bahkan Ben yakin, jika semenit lebih lama Ben belum melepaskan cengkeramannya, pemuda itu akan mengompol di celananya.

Ben mengunci pintu rumah, menurunkan gorden, kemudian melangkah menuju kamarnya untuk beristirahat. Pegal di tubuhnya harus segera hilang, agar besok pagi dia bisa mulai bekerja dengan baik. Namun, baru selangkah dia memasuki kamarnya, kedua netranya berhasil membulat sempurna, menatap sesuatu—bukan, lebih tepatnya seseorang berbaring di ranjangnya! Seorang wanita dengan rambut berantakan yang menutupi seluruh wajahnya, tengkurap, dan mendengkur!

Ben menggeram kesal mendapati satu kawan Oscar yang mabuk ada di kamarnya. Bahkan tanpa malu, wanita itu menguasai seluruh ranjang Ben, yang bahkan untuk ditempati dirinya sendiri saja sudah sesak!

“Hei!” bentak Ben dari ambang pintu kamarnya. “Nona! Bagaimana kau bisa masuk ke sini? Ini bukan tempat tidurmu, bahkan bukan rumahmu! Kau salah rumah! Kalau mau mabuk, pergilah ke rumah Tuan Oswald!”

Wanita itu masih terlelap. Tidak ada tanda-tanda, dirinya akan menjawab seluruh makian Ben.

“Hei!” sekali lagi Ben memanggilnya, tapi wanita itu tetap tidak berkutik. Dengan kekesalan yang membuncah, Ben menghampiri wanita itu dan berusaha membangunkannya. “Hei! Bangunlah!”

Ben kembali menggoyang pundak wanita itu, kemudian menyingkirkan rambut yang menutupi wajahnya. Perlahan Ben menelentangkan tubuh wanita itu, dan saat mendapati bagaimana rupasi pemabuk itu, Ben memutar matanya malas. Tapi tangannya cepat-cepat meraih selimut yang terlipat di ujung kasur untuk menutupi tubuh bagian atas wanita itu.

“Sial sekali aku hari ini!” gerutunya. “Kenapa bertemu dengan dirimu lagi?!”

Wanita itu mengerang, menggumamkan sesuatu di tengah lelapnya. Ben tidak terlalu menangkap dengan jelas apa yang diucapkannya.

“Kau bilang apa?” tanya Ben yang tengah mendekatkan wajahnya ke lawan bicaranya yang masih meracau.

“Tolong aku,” rintihnya. “Dad akan membunuhku, jika aku pulang.”

Ben mencebik. “Dasar anak manja!”

Wanita itu masih bergeming, yang berhasil menyulut kekesalan Ben hingga titik maksimalnya. Tanpa memedulikan hal lainnya, Ben mengangkat tubuh wanita itu dan membawanya keluar.

Dad, seseorang ingin membunuhku,” racaunya lagi.

“Memangnya kau siapa? Sampai ada yang ingin membunuhmu? Tapi itu tidak mengherankan, melihat bagaimana menyebalkannya dirimu tadi saat di kedai Vernon. Pasti kau adalah gadis kaya yang manja, yang terbiasa dengan segala kemewahan, suka memerintah, dan—”

Ben seketika merasa dirinya seperti orang gila, karena turut mengomel tidak jelas.

Ben menurunkan wanita itu di undakan teras rumahnya, tetap menyelimutinya dengan satu-satunya selimut yang dimilikinya. Ben memang berniat meninggalkan wanita mabuk ini di teras rumahnya. Dirinya yakin, setelah sadar, dengan sendirinya dia akan pulang, atau setidaknya kembali ke rumah Oscar.

Namun, yang terjadi beberapa jam kemudian benar-benar membuat Ben frustasi! Matanya sulit terpejam, bukan, bukan karena sisa wangi parfum wanita itu yang masih melekat di sprei, tapi karena otak Ben tidak berhenti memikirkan kemungkinan bahwa wanita menyebalkan itu mungkin saja masih kedinginan meskipun sudah diselimuti dengan selimut tipis. Gusar, Ben langsung beranjak dari baringanya dan melangkah cepat menuju pintu rumahnya. Sesaat Ben mengintip di balik celah gorden, wanita itu masih dalam posisi yang sama, semenjak dia tinggalkan tiga jam yang lalu.

“Kenapa Oscar tidak mencarinya? Berapa banyak alkohol yang diminumnya? Kenapa sampai sekarang belum sadar?” gumamnya sendiri. “Ah, sudahlah. Itu bukan urusanku. Paling beberapa jam lagi dia akan sadar dan segera pulang.”

Ben membuka pintu rumahnya, kemudian berjongkok untuk memperhatikan dengan saksama wajah lelap di hadapannya ini. Sialnya, tatapan Ben sulit untuk beralih dari bibir mungil dengan warna merah itu.

Ben menghela napas. Meskipun hatinya diliputi dendam, tapi membiarkan wanita asing yang polos—walau sangat menyebalkan—perlahan bibirnya membiru karena dingin, Ben tidak setega itu. Jemari Ben perlahan mengancingkan kembali kancing baju yang terlepas, kemudian mengangkatnya. Tidak, Ben tidak akan membawa wanita itu untuk tidur di ranjangnya lagi, tapi Ben akan membawanya kembali ke tempat yang seharusnya. Rumah Oscar.

Related chapters

  • Pengawal Nona Muda   The Rebel Princess

    Suara ketukan di pintu kamar, membuat Ella mengerang sakit, terlebih pening di kepalanya sangat menganggu. Namun, ketukan itu tidak mau juga berhenti sejak semenit yang lalu. Radella perlahan beranjak dari kasur dan dengan langkah sempoyongannya dia menuju pintu, lalu memutar kenopnya.“Kau sudah bangun?”Radella menggaruk kepalanya dan mencoba fokus pada sosok yang berdiri di hadapannya.“Kau mau apa?”“Kemari!” perintah sosok itu, lalu menarik Radella menuju kamar mandi dan menyiramnya dengan air dingin shower yang berhasil membuat Radella menjerit seraya gelagapan untuk mencari oksigen.“Apa kau sudah gila!?” pekik Ella tak terima. “Aku akan mengadukanmu pada nenek!”“Adukan saja! Aku tidak peduli! Kurasa dia juga tidak akan mendengarkanmu!” sahut sosok yang masih menyiram Radella. “Kau adalah tanggung jawabku! Jadi semua yang kau lakukan adalah a

  • Pengawal Nona Muda   One Step Closer

    Ben memaki dirinya sendiri berulang kali, menyesali kebodohannya yang turut campur urusan gadis yang ada di gendongannya ini. Kenapa dia harus repot-repot mengembalikannya ke rumah Oscar? Lebih baik dia tinggalkan saja di pinggir jalan! Namun, semuanya sudah terlanjur, dan kini Ben kembali memasuki pekarangan rumah keluarga Oswald. Diturunkannya gadis yang belum sadarkan diri itu di kursi teras, kemudian tangannya mulai sibuk menggedor pintu dengan keras.Tak berapa lama pintu itu terbuka dan seorang gadis lainnya menghambur memeluk Ben.“Cepat pergi! Oscar dan kawan-kawannya sudah gila!” teriaknya seraya mendorong tubuh Ben hingga tersungkur di lantai. “Ella?”Ben menoleh bergantian antara Ella dan gadis yang sedang menindihnya ini. “Kau mengenalnya?”“Tentu saja! Dia sahabatku!” sahut Grace yang langsung berdiri dan menghampiri Ella. “Apa yang terjadi padanya? Kau apakan dia?”“Aku

  • Pengawal Nona Muda   Prince of Loshen

    “Yang terkilir adalah kakiku, bukan tanganku,” ucap Ella seraya mengambil roti lapis dari tangan seorang maid yang hendak menyuapinya. Kemudian mengunyahnya dengan potongan besar-besar. “Apa dia akan berdiri di sini terus seperti anjing penjaga?” tambah Ella, kali ini melirik pada Max yang berdiri di sebelahnya.“Dia adalah pengawalmu,” sahut James. “Pengawal?” Ella memutar matanya malas mendengar jawaban dari James. “Lucas dan Dave belum cukup? Dan sekarang kau menambah seorang lagi?”“Kenapa? Kau tidak suka?”“James! Tarik semua pengawalmu atau aku bisa melakukan hal-hal nekat! Kali ini aku serius! Aku sudah muak dengan segala fasilitas pengawalan yang kau berikan ini!”“Ella—” “Oh, ayolah, James! Beri aku sedikit kepercayaan!”“Kepercayaan? Kemarin kau lupa sudah mengkhianatinya? Kau membuat

  • Pengawal Nona Muda   A Familiar Face

    “Sialan!” Ben memaki berulang kali sembari berusaha membuka pintu toilet.Benar-benar di luar perkiraan Ben! Ella benar-benar meyebalkan dan sangat licik dengan mengunci Ben di dalam toilet agar dirinya bisa kabur. Bahkan sebelum benar-benar meninggalkannya, Ben sempat mendengar bagaimana gadis itu menertawakan kebodohannya, yang semakin membuat darah Ben mendidih.Ben kembali memeriksa jendela ventilasi di dalam toilet, tapi tentu saja ukuran jendela itu terlalu kecil untuk tubuh berototnya. Bisa saja dirinya mendobrak pintu ini, tapi Ben masih waras, dia tidak ingin membuat keributan yang malah bisa membuatnya dipecat di hari pertamanya bekerja.“Siapapun di luar sana! Buka pintunya! Hey! Apa kali—”Teriakan Ben terputus, karena suara kunci pintu yang diputar, dan akhirnya pintu itu terbuka! Grace muncul di sana dengan napas terengah, lalu tanpa berbicara sepatah katapun, gadis itu langsung meraih tangan Ben.“

  • Pengawal Nona Muda   Cunning Ella

    “Bagaimana?” tanya Ella dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya. “Apa kata James?”Lucas kembali memasukkan ponselnya, kemudian mengangguk hormat pada Ella. “Tuan James mengizinkan Nona pergi bersama Nona Grace, tapi dengan syarat.”“Oh, ayolah! Kali ini aku tidak akan pergi ke rumah Oscar. Aku sudah tidak ada urusan dengan pria kurang ajar itu. Kalian tenang saja, ok? Aku hanya pergi ke mal membeli baju untuk acara halloween di kampus.”“Maaf, Nona. Ini adalah syarat—”“Ya sudah! Katakan cepat, apa syarat dari si Tua James!” kesal Ella.“Anda harus ditemani oleh pengawal, lalu—”“Hanya satu di antara kalian! Kalau lebih dari itu, aku akan melakukan hal yang lebih gila dari kemarin!”Lucas mengangguk. “Tidak masalah. Tuan James memang menyarankan salah satu dari kami, yakni Max.”“Max?&rdq

  • Pengawal Nona Muda   The Summer House

    Jika tidak mengingat alasan dia memohon bekerja pada James Softucker, Ben akan dengan senang hati meninggalkan gadis yang sedari tadi bermulut kasar ini. Tanpa memedulikan perasaan orang lain, mulutnya begitu mudah mengucap makian dan hinaan untuk orang-orang seperti Ben. Bagian terburuknya, gadis itu mengatai Ben adalah seorang gay! Darimana pikiran itu berasal?Tatapan Ben tidak pernah meninggalkan sosok Ella yang keluar-masuk ruang ganti dan berkeliling toko, meskipun Grace begitu menggoda. Terlebih saat tubuh gadis belia ini berada di atas pangkuan Ben, tangan yang melingkar di leher Ben, pria itu bisa menghidu aroma wangi bunga yang menenangkan. Mungkin jika Grace bukan sahabat Ella dan sekarang mereka tidak di tempat umum, Ben akan langsung memeluk pinggang ramping itu, menelanjanginya, dan membuat gadis ini mendesah di pangkuannya.Namun, yang terjadi adalah mimpi buruk Ben selanjutnya. Dihajar banyak orang, karena ucapan gadis manja dan angkuh yang kin

  • Pengawal Nona Muda   (18+) His Temptation

    Ella menatap Max tajam, berusaha menunjukkan bahwa dirinya tidak akan bisa dikalahkan oleh Max begitu saja! Tidak akan takut dengan ancaman pria itu, meski Ella juga melihat kebencian di sana. Ella yakin 100%, bahwa tebakannya tidak pernah meleset, Max adalah seorang gay! Tidak mungkin pria normal akan membiarkan begitu saja wanita mabuk yang hampir telanjang, tertidur di ranjang kamarnya. Bukannya membiarkannya kedinginan di teras rumah! Kali ini, Ella benar-benar mempertaruhkan harga dirinya saat memutuskan membawa Max ke pondok keluarga Softucker. Di tempat ini, Ella akan membuat Max berakhir mengenaskan, dipecat! Ella merangkul leher Max, mendekatkan bibirnya ke telinganya, menggigit pelan cuping telinganya dan menjilatnya. “Bagaimana? Kau tergoda dengan apa yang aku lakukan?” bisik Ella, lalu kembali menjilat telinga Max. Ella menarik wajahnya, menatap kembali mata Max yang masih sama—tanpa ekspresi. Sial! Pria itu sama sekali tidak bereaksi, ta

  • Pengawal Nona Muda   (18+) Her Temptation

    Ben sepertinya harus segera menceburkan diri ke danau yang ada di luar untuk mendinginkan otak dan tubuhnya, yang seketika memanas akibat segala hal yang dilakukan Ella pada tubuhnya. Gadis itu menggesekkan dadanya ke tubuh Ben. Pria yang diam di penjara selama 15 tahun dan tidak dapat menyalurkan gairahnya dengan benar, selain dengan sabun dan tangannya—itu pun seringkali terganggu oleh tahanan lainnya yang sudah tidak sabar untuk memuaskan hasratnya. Lalu bagaimana bisa menahan godaan dari seorang Radella? Otak Ben berusaha waras, tapi tubuhnya memilih mengikuti permainan Ella. Ben bukanlah pria polos dan bodoh yang tidak tahu maksud dari segala tindakan Ella saat ini. Ben tahu benar, bahwa gadis yang sekarang berada di bawah kuasanya, sengaja menggoda, agar dia memiliki alasan untuk memecat Ben. Namun, Ben juga punya rencananya sendiri. Dia akan membuat Nona Muda yang suka memberontak ini, tergila-gila padanya. Ben akan membuat Ella tidak bisa hidup tanpanya. Persetan jik

Latest chapter

  • Pengawal Nona Muda   Happily Ever After (?)

    Ben pikir, setelah Ella mengatakan ya padanya, semuanya akan berjalan lancar hingga hari pernikahan—yang entah kapan akan mereka gelar. Nyatanya, dua hari setelah pulang dari pondok, Ella meminta waktu lebih lama untuk memikirkan kapan sebaiknya pernikahan mereka dilangsungkan. Jangan tanya bagaimana paniknya Ben saat itu, tapi sebisa mungkin berusaha ia sembunyikan. Ia tidak ingin membuat Ella merasa terpaksa menikahi Ben, meski sebenarnya Ben juga sudah tidak sabar ingin menjadikan Ella sebagai istrinya, karena ia sangat takut kehilangan Ella lagi.“Ella belum memutuskan kapan dia akan menikahimu?” tanya Jensen, saat ia menyempatkan diri mampir ke rumah Ben sebelum berangkat bertugas. “Kalian bertengkar lagi?”Ben menggeleng. “Aku juga tidak tahu. Sudah berhari-hari dia sulit dihubungi. Bahkan Prince juga kesulitan menemuinya di kantor. Kata sekretarisnya, Ella tiba-tiba saja ingin menyendiri,” jawab Ben.&ldq

  • Pengawal Nona Muda   Yes, I do.

    “Kamar?!”Entah itu sebuah pertanyaan atau perintah. Ella tidak mengerti apa yang diucapkannya, karena saat ini tidak bisa berpikir jernih. Napasnya terengah, hampir habis, karena terlalu bergairah membalas ciuman Ben. Ya, Tuhan, ia tidak pernah menyangka kalau bisa merindukan sebuah ciuman seperti ini. Ini bukan perkara ciumannya, tapi siapa orang yang kau cium. Bagi Ella, orang itu adalah Benedict Cerg.Tak jauh berbeda dengan Ella, Ben pun mendadak bodoh dan hanya mampu mengangguk, tapi insiting liarnya menyuruhnya untuk mengangkat tubuh Ella, lalu berjalan tergesa menuju kamar. Ben tidak menyangka akan datang hari ini—lagi—untuknya, melakukan hal paling intim yang bisa dilakukan sepasang manusia yang sedang dilanda gairah.Ella merasakan tubuhnya terhempas menyentuh permukaan kasur, Ben langsung menindihnya, kembali menciumnya penuh tuntutan rindu yang harus segera tersalurkan. Bahayanya, tidak ada yang tahu berapa lama yang diperluka

  • Pengawal Nona Muda   Sorry and Thank You.

    Sudah lebih dari tiga jam sejak dokter meninggalkan ruang rawat Ben, tapi pria itu belum juga sadarkan diri. Jensen pun harus kembali ke kantor polisi untuk membuat laporan. Sedangkan Prince dan Grace juga pulang bersama anak-anak mereka. Martin belum terlihat lagi sejak satu jam yang lalu. Hanya ada Ella dan Aj yang tersisa menjaga Ben di ruangan itu.“Mommy, kapan Paman Ben akan bangun?”Ella yang sedang membaca majalah menoleh pada putranya yang ternyata sudah bangun dari tidur lelapnya di sofa. Ella menghampiri Aj dan langsung memangku bocah itu, sembari menepuk-nepuk punggungnya agar kembali tidur, mengingat tidur bocah itu pasti tidak nyaman di rumah sakit.“Sayang, kau sudah bangun? Jika masih mengantuk, tidur lagi saja.”Aj menggeleng. “Mom, kapan P

  • Pengawal Nona Muda   Foolish Love

    “Sayang, kau baik-baik saja?” tanya Martin khawatir, saat melihat Ella diam saja sejak masuk ke mobilnya. “Kau mau makan dulu sebelum kita menjemput Aj di rumah Prince?”“Tidak usah. Kita langsung ke sana.”“Kau yakin?”Ella mengangguk pasti, lalu kembali diam, menatap jalanan Rotterfort yang mulai ramai pagi ini.“Sialan!” maki si supir tiba-tiba?“Ada apa?” tanya Martin sambil mencoba melihat apa yang sedang terjadi di depan.“Orang-orang ini seperti tidak punya pekerjaan. Hampir setiap hari mereka turun ke jalan untuk berunjuk rasa,” gerutunya pada ratusan orang dengan spanduk dan poster-poster menuntut keadilan yang sedang lewat di depan mobilnya.“Tentang apa?”

  • Pengawal Nona Muda   Goodbye, Radella Softucker.

    Entah sudah berapa kali Ben menghela napas dan berapa liter bensin yang dihabiskannya. Sepertinya ia sudah mengelilingi Rotterfort puluhan kali, hanya untuk menenangkan pikiran dan keinginan hatinya yang ingin bertemu dengan Aj. Ben menggunakan segala cara, dari mulai mencari kesibukan di bengkel, hingga berkeliling Rotterfort. Namun, rasa rindu pada putranya—juga Ella—benar-benar tidak terbendung.Motornya berhenti di tempat terjauh dari Rotterfort yang bisa ia jangkau. Ia kembali ke pemakaman di luar Rotterfort yang beberapa hari lalu ia kunjungi. Ben berjalan dengan seikat lili di tangannya, melewati nisan-nisan yang kusam, lalu langkahnya berhenti beberapa meter dari kuburan orang tuanya. Lili yang kemarin dibawanya sudah nampak layu, tapi ada lima tangkai lili yang masih terlihat segar. Bukan, itu bukan lili di tangan B

  • Pengawal Nona Muda   Will You Marry Me?

    Sudah 15 menit Ben berdiri di dapur. Diam-diam ia mengawasi Martin dan Aj yang sedang bermain bersama Max di ruang tamu. Ia sudah menemukan jawaban dari semua pertanyaan di kepalanya atas teka-teki yang ia temukan beberapa saat lalu ketika mereka masih berdiri di halaman rumah.Tunangan Martin adalah Ella.Aj adalah putranya.Ingin rasanya Ben memeluk bocah itu dan mengatakan betapa ia sangat merindukannya. Namun, Ben kembali menyadari posisi dirinya yang bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan Martin. Untuk saat ini, Ben hanya bisa membuatkan putranya segelas cokelat hangat—seperti yang selalu ia sajikan untuk ibunya.Buku-buku jemari Ben mengepal erat nampan yang membawa secangkir teh dan cokelat hangat itu. Perlahan ia letakkan dua cangkir itu di atas meja, tanpa memutuskan tatapannya pada Aj yang kini berlari mengitari ruang tamunya bersama Max.Prince sialan! Mengapa ia tidak mengatakan pada Ben, kalau Aj adalah putranya?“Ben, apa hubunganmu dengan Ella?” tanya Martin, set

  • Pengawal Nona Muda   Hello, El.

    Ben sedang dalam perjalanan pulang dari memperbaiki mobil milik temannya, saat ia melihat wajah yang tak asing sedang berdiri di halte bus. Sebagai tetangga yang baik, Ben berhenti dan menawarkan diri untuk membonceng tetangganya itu pulang.“Terima kasih, Ben.”“Tidak masalah. Kenapa kau berpakaian seperti ini?” tanya Ben penasaran.“Aku kalah taruhan dengan kawan-kawanku, jadi aku harus meminjam pakaian kakak perempuanku untuk pergi ke prom.”Ben terkekeh mendengar penjelasan tetangganya ini.“O, iya, Ben, kau mau membantuku sekali lagi?”“Apa itu?”“Sebagai tambahan hukuman kalah taruhan, aku juga harus mencium seorang pria. Kau bisa membantuku? Hanya satu kecupan saja. Kumohon. Kalau tidak, minggu depan aku harus memakai pakaian wanita dan berdandan untuk keluar rumah.”Ben menggeleng tak percaya mendengar ucapan tetangganya ini. “Kali ini aku aka

  • Pengawal Nona Muda   Rotterfort Now

    Sudah bertahun-tahun rumah megah di tengah kota itu sepi. Dulu sekali, si Tuan Rumah rutin mengadakan acara amal bersama koleganya. Namun, tidak jarang pula ia mengundang orang-orang kurang beruntung untuk turut hadir dan merasakan masakan dari tangan chef handal. Sejak beberapa tahun lalu rumah itu dilelang, hanya remang cahaya lampu taman yang sering dilihat dan dibicarakan penduduk Rotterfort.Hingga kini, si anak perempuan pembawa sial, tapi juga yang paling beruntung kembali ke rumahnya. Lampu-lampu di hampir seluruh sudut rumah itu diganti dengan lampu yang nyalanya lebih terang. Para tamu undangan yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang itu sudah datang dan duduk berdampingan di kursi makan. Sebastian sibuk mengobrol dengan Frederick—pengusaha muda yang sedang merintis usahanya di bidang nano teknologi—sambil menikmati lobster. Delapan orang lainnya pun sibuk membicarakan bisnis dan kerjasama yang barang kali bisa mereka bentuk.

  • Pengawal Nona Muda   As The Years Passed By

    “Jangan menertawakanku.”Ben menggeleng, tapi ia tidak sanggup menyembunyikan senyum di wajahnya.“Kondisimu juga tidak lebih baik dari aku.”Ben tertawa mendengar Sebastian yang bersungut-sungut sejak ia duduk di bangku itu. Sedangkan Ben, sibuk dengan kunci inggris, oli, dan mesin mobil Sebastian.“Lihat saja, kau lebih memilih kotor seperti ini, bekerja di ruang panas, daripada dengan setelan jas di kantorku.”Ben menjejakkan kakinya sebagai tumpuan untuk menarik diri dari bawah kolong mobil. Ia muncul dari sana dengan pakaian bengkelnya yang sudah kotor, berlumuran oli dari mobil-mobil yang diperbaikinya.Sejak bebas dari Blackford enam bulan lalu, Ben memilih memulai hidup barunya dengan menjadi montir. Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya selama lima tahun di Blackford, Ben bisa menyelesaikan—hampir—semua masalah mesin, khususnya mobil.“Jika kau bingung, kenap

DMCA.com Protection Status