Suara ketukan di pintu kamar, membuat Ella mengerang sakit, terlebih pening di kepalanya sangat menganggu. Namun, ketukan itu tidak mau juga berhenti sejak semenit yang lalu. Radella perlahan beranjak dari kasur dan dengan langkah sempoyongannya dia menuju pintu, lalu memutar kenopnya.
“Kau sudah bangun?”
Radella menggaruk kepalanya dan mencoba fokus pada sosok yang berdiri di hadapannya.
“Kau mau apa?”
“Kemari!” perintah sosok itu, lalu menarik Radella menuju kamar mandi dan menyiramnya dengan air dingin shower yang berhasil membuat Radella menjerit seraya gelagapan untuk mencari oksigen.
“Apa kau sudah gila!?” pekik Ella tak terima. “Aku akan mengadukanmu pada nenek!”
“Adukan saja! Aku tidak peduli! Kurasa dia juga tidak akan mendengarkanmu!” sahut sosok yang masih menyiram Radella. “Kau adalah tanggung jawabku! Jadi semua yang kau lakukan adalah atas seizinku! Kau mengerti?!”
“Berengsek!” maki Radella seraya menepis shower yang mengguyurnya. Kemudian mendorong tubuh tegap di hadapannya dan dengan langkah lebar serta tubuh basahnya, Ella keluar dari kamar mandi. “Kau tidak bisa terus mengurungku di sini dengan ratusan mata yang mengawasiku!”
“Aku tidak mengurungmu.”
“Ya, kau tidak mengurungku, tapi kau tetap mengawasiku!” geram Ella. “Berapa kali kubilang, James? Aku bukan lagi anak kecil yang tidak bisa menjaga diriku sendiri.”
James terbahak mendengar jawaban Ella, lalu menuju meja belajar Ella dan melempar handuk pada gadis itu. “Menjaga diri, kau bilang? Apa kau ingat bagaimana semalam kau pulang?” tanyanya, kemudian menarik kursi belajar Ella dan duduk di sana. Ditatapnya Ella tanpa sepatah katapun, sampai gadis itu selesai mengeringkan rambutnya.
“Apa kau akan tetap di situ? Aku ingin ganti baju.”
James tidak menjawab, dia bergeming dan hanya mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Membuat Ella mendengkus sebal dan segera mengganti pakaian basahnya.
“Selama seminggu, kau tidak boleh keluar. Itu hukumanmu.”
Ella melotot mendengar kalimat James.
“Tidak ada tawar menawar.”
“Kau lupa kalau aku sudah 20 tahun? Aku seharusnya sudah punya SIM, minum alkohol, menyetir ke luar kota, bahkan bercinta dengan seorang pria, dua? Tiga? Atau bahkan melakukan foresome!”
“Jangan menguji kesabaranku, El!”
Seulas senyum terbit di wajah Ella, lebih tepatnya senyum meremehkan yang selalu tersemat di sana, hanya untuk James seorang.
“Kenapa? Apa kau sangat marah dengan keadaanku sekarang? Keadaan di mana kau tidak bisa lagi mengaturku? Kau sangat tidak suka jika ada hal-hal yang ada di luar kendalimu, kan?”
James beranjak dari duduknya, kemudian lebih memilih untuk keluar kamar Ella. Namun, sebelum benar-benar pergi, pria dengan rambut yang mulai memutih itu menoleh sejenak pada Ella yang masih menatapnya angkuh.
“Tidak ada hal yang di luar kendaliku, El. Termasuk dirimu.”
Ella berbalik mengambil bantal di kasurnya dan melemparkannya kepada James, tapi pria itu lebih dulu menghilang di balik pintu.
“Tidak James! Kali kau tidak bisa mengendalikanku!” gumam Ella. “Aku bisa mengelabui Lucasss dan Dave, tidaklah sulit kalau nanti aku melakukannya lagi. Apalagi—Tunggu!”
Ella tiba-tiba menyadari sesuatu, dia gegas mengambil ponselnya yang berada di atas nakas. Begitu dinyalakannya, ada puluhan pesan dan panggilan tidak terjawab dari Grace. Ella menepuk keningnya sendiri begitu menyadari tindakan bodohnya kemarin—mabuk! Pantas saja James begitu marah padanya pagi ini.
“Tunggu, bagaimana aku bisa pulang? Bukankah aku di rumah Oscar? Bagaimana Lucasss dan Dave menemukanku?” Ella buru-buru menyambar tasnya, kemudian berlari keluar kamar untuk pergi menemui Grace.
Namun, di anak tangga terakhir, Lucasss dan Dave merentangkan tangannya dengan serempak untuk menghalau keperfgian Ella.
“Singkirkan tangan kalian!”
Lucasss dan Dave bergeming.
“Singkirkan tangan kalian!” ulang Ella lagi. Namun, Lucasss dan Dave benar-benar tidak memedulikan perintah Ella, keduanya bahkan tidak sedetikpun melirik Ella yang sudah kesal. “James!” teriaknya.
James yang berada di ruang makan menoleh sekilas, tapi kemudian tak acuh dan kembali melanjutkan sarapannya.
“Sialan kau, James!”
Hentakan marah kaki Ella kembali menaiki tangga menuju kamarnya. Gadis itu tidak kehabisan akal untuk membuat James Softucker—garis pertama pewaris kekayaan Softucker—kesal. Ella membuka lebar-lebar jendela kamarnya, lalu melongok ke luar untuk sekedar menghitung kasar tinggi balkon kamarnya untuk sampai ke rerumputan yang berada di bawahnya. Cukup tinggi, sampai membuat Ella kesulitan menelan ludahnya.
Radella mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar, mencari apapun yang bisa dia gunakan untuk menuruni balkon kamarnya. Tatapnya berakhir tertuju pada selimut dan deretan gaun mahal yang ada di lemari kacanya. Tanpa berpikir dua kali, Ella langsung mengambil dua gaun Versace-nya dan dua gaun Gucci, mengaitkannya dengan selimut, kemudian melemparkannya hingga menjulur ke bawah balkon dan mengaitkan ujung lainnya dengan tiang ranjangnya.
Setelah memastikan bahwa sambungan tali itu cukup kuat untuk menahan beban tubuhnya yang mungil, Radella perlahan melompati pagar batas balkonnya, kemudian turun selangkah demi selangkah dengan memegang erat gaun-gaunnya. Sungguh suatu keberuntungan, gaun mahan nan tipis itu tidak robek sampai Ella menjejak di atas rumput basah. Masih dengan mengendap-endap, Ella menyusuri halaman samping rumahnya yang begitu luas. Beruntung tidak ada tukang kebun ataupun maid yang biasanya sibuk bercumbu di antara semak taman—Radella diam-diam sering memperhatikan dari balkon kamarnya.
Ketika dirinya dan mobil barunya hanya dibatasi oleh pintu taman yang tidak terkunci, Radella perlahan membuka pintu itu, tapi kemudian urung saat melihat seorang pria muncul dari sisi lain mobil barunya! Pria dengan jaket lusuh itu berjalan ke arah belakang mobil, seraya tangannya tidak berhenti mengelap badan mobil Ella.
“Sial!”
Ella tidak punya pilihan lain selain menunggu pria itu selesai mengelap mobilnya. Kemudian tatapnya melirik ke arah kotak penyimpanan kunci mobil-mobil milik keluarganya yang ada di balik pilar dekat pintu masuk rumah. Ella memicingkan matanya untuk memastikan salah satu kunci yang tersimpan di sana adalah kunci mobilnya. Benar saja, kunci dengan logo empat lingkaran saling berpotongan itu ada di sana.
Ella kembali berjinjit dan berusaha tidak menimbulkan suara apapun saat menuju kotak itu. Pelan-pelan dia membuka kotak penyimpanan itu dan langsung mengambil kuncinya. Dia kemudian berbalik untuk memastikan pria itu masih sibuk mengelap mobilnya, tapi nihil. Pria itu tidak terlihat di manapun!
“Bagus!”
Tanpa membuang waktu, Ella bergegas berlari menuju mobilnya.
“Kenapa terburu-buru, Nona?”
Ella hampir saja terjungkal saat tiba-tiba tanya itu menyapannya. Kaki Ella berhenti berlari dan dirinya menoleh ke belakang, mendapati pria dengan rambut gondrong itu sedang bersandar di pilar, menghisap sepuntung rokok, lalu mengembuskan asapnya.
“Ke-kenapa kau bersembunyi di situ?”
Pria itu membuang sisa punting rokoknya, menginjaknya hingga mati, lalu berjalan mendekati Ella. “Aku tidak bersembunyi.”
“Lalu kenapa kau sama sekali tidak bersuara? Bukannya tadi kau sibuk mengelap mobilku?”
“Aku sengaja melakukannya, karena melihat seorang Nona Muda berusaha mencuri kunci mobil untuk melarikan diri sangat menghiburku.”
“Jangan kurang ajar! Siapa kau?! Dasar berengsek!” Ella mengangkat tangannya hendak memberi tamparan keras di salah satu pipi pria itu, tapi lengannya lebih dulu ditahan.
“Aku Max dan menampar orang, bukanlah sifat seorang Nona dari keluarga terpandang. Apa kata—”
“Tidak usah banyak bicara!” Ella menghentakkan cekalan di tangannya. “Mulai saat ini, kau dipecat!”
“Maaf, Nona. Bukan Nona yang membayar upah saya, melainkan Tuan James Softucker.”
Ella kehabisan kata-kata untuk melawan pria di hadapannya ini. Dia memperhatikan sosok Max di depannya ini dari ujung kepala hingga sepatu lusuh yang hampir berlubang itu. Rambut gondrong yang dibiarkan terurai—sungguh terlihat sangat urakan, jaket dengan warna yang hampir pudar dan sedikit menguarkan bau tidak sedap, begitu pula celananya. Ditambah dengan sepatu itu. Sungguh, Ella tidak percaya jika pria kotor seperti ini diizinkan masuk ke kediaman Softucker!
“James yang aku kenal, tidak mungkin mempekerjakan orang dengan penampilan kotor sepertimu.” Ella menunjuk dua orang satpam yang berada di pos satpam. “Kau lihat? Paling tidak kau harus berpakaian seperti mereka untuk bekerja di sini, atau setidaknya pakailah minyak wangi!”
Merasa tidak perlu lagi meladeni pria kotor itu, Ella langsung melangkah kembali menuju mobilnya, tapi tangannya kembali dicekal.
“Lepaskan, Berengsek!”
“Mulut Nona sungguh perlu disekolahkan.”
“Diam, Bajingan!” geram Ella, kali ini dengan lebih keras menghentak tangannya dan begitu terlepas, dia langsung berlari menuju mobilnya, dan begitu sudah berada di dalam, Ella langsung mengunci pintunya.
“Turun sekarang, Nona! Sebelum Tuan James keluar dan marah padamu!”
“Aku tidak peduli jika James marah!”
Ella menekan tombol mesinnya dan setelah menggeser tongkat perseneling, kakinya menginjak pedal gas sedalam mungkin. Membuat mobil keluaran terbaru itu melompat begitu saja tak terkendali dan berakhir menabrak air mancur yang berada di tengah halaman depan.
Dua orang satpam yang berjaga di pos langsung berlari untuk memastikan bahwa Nona Mudanya baik-baik saja. Seorang diantaranya langsung meneriakkan nama Lucass dan Dave. Di detik berikutnya dua bodyguard yang menjaga Ella menghambur keluar dan langsung mendorong tubuh Max yang mencoba membuka pintu mobil Ella.
“Dave! Panggil ambulans!” perintah Lucass seraya memastikan Ella masih bernapas. “Mau apa kau?!” sergahnya saat Max mencoba mengangkat Ella.
“Kita harus keluarkan dia dari mobil.”
“Jangan bodoh! Bagaimana jika ada yang patah, lebih baik tunggu petugas medis!”
“Kalian berdua diamlah! Aku baik-baik saja!” kesal Ella. “Singkirkan mobil rongsokan ini!”
Meski tertatih, Ella akhirnya bisa keluar dengan bantuan Lucass dan Max di masing-masing lengannya. Namun, tanpa dinyana siapapun, Max tiba-tiba saja melepaskan topangannya di lengan Ella, hanya untuk mengangkat Ella dalam gendongannya.
“Apa yang kau lakukan!? Dasar kurang ajar! Singkirkan tangan kotormu, Bodoh!” ronta Ella, tapi Max tak acuh dan terus berjalan masuk ke rumah.
“Turunkan aku! Turunkan!”
“Ada apa ini?!”
Seketika halaman rumah kediaman Softucker hening saat James berteriak marah dan meminta penjelasan atas keributan yang sedang terjadi.
“Ada yang mau menjelaskan padaku?”
“Tuan, Nona Ella dan mobilnya menabrak—”
James mengangkat tangannya untuk membungkam Dave. “Hei, kau!” teriaknya seraya melambai pada Max untuk datang mendekat. “Apa yang sedang kau lakukan?”
“Nona kesakitan. Sepertinya lukanya tidak terlalu parah dan hanya terkilir di pergelangan kakinya. Karena dia memakai heels saat menyetir dan menabrak tadi,” jawab Max dengan Ella masih dalam gendongannya dan menatapnya sebal. “Maaf, Tuan. Saya sudah berusaha mencegah nona untuk mengemudi, tapi dia tetap memaksa.”
James hanya diam, kemudian tatapnya beralih pada pergelangan kaki Ella dan Dave bergantian. “Dokter sudah dipanggil?”
“Sudah, Tuan,” jawab Dave.
“Bagaimana, El? Kau tetap dalam kendaliku, kan?”
Ella membuang tatapan kesalnya ke segala penjuru—yang terpenting tidak melihat wajah angkuh dan puas akan kemenangan milik James. Tatapannya kemudian jatuh pada wajah Max yang masih menatap James lurus-lurus.
“Kenapa masih diam? Kau dengan perintah tuanmu, kan, Anjing jalanan!”
“Ella!” tegur James. “Jaga bicaramu!”
“Tidak apa, Tuan,” ujar Max. “Nona, anjing jalanan tidak pernah memiliki seorang tuan. Dia akan hidup bebas di luar sana.”
“Tapi kau lebih mirip anjing jalanan yang diadopsi oleh seorang sosiopat, menuruti segala perintahnya untuk membuat orang-orang di sekitarnya menderita.”
Max tersenyum kecil mendengar cibiran Ella. Kemudian dia menoleh, menatap tajam dua manik mata biru yang balas menatapnya penuh kesombongan. “Deskripsimu tepat sekali.”
Ben memaki dirinya sendiri berulang kali, menyesali kebodohannya yang turut campur urusan gadis yang ada di gendongannya ini. Kenapa dia harus repot-repot mengembalikannya ke rumah Oscar? Lebih baik dia tinggalkan saja di pinggir jalan! Namun, semuanya sudah terlanjur, dan kini Ben kembali memasuki pekarangan rumah keluarga Oswald. Diturunkannya gadis yang belum sadarkan diri itu di kursi teras, kemudian tangannya mulai sibuk menggedor pintu dengan keras.Tak berapa lama pintu itu terbuka dan seorang gadis lainnya menghambur memeluk Ben.“Cepat pergi! Oscar dan kawan-kawannya sudah gila!” teriaknya seraya mendorong tubuh Ben hingga tersungkur di lantai. “Ella?”Ben menoleh bergantian antara Ella dan gadis yang sedang menindihnya ini. “Kau mengenalnya?”“Tentu saja! Dia sahabatku!” sahut Grace yang langsung berdiri dan menghampiri Ella. “Apa yang terjadi padanya? Kau apakan dia?”“Aku
“Yang terkilir adalah kakiku, bukan tanganku,” ucap Ella seraya mengambil roti lapis dari tangan seorang maid yang hendak menyuapinya. Kemudian mengunyahnya dengan potongan besar-besar. “Apa dia akan berdiri di sini terus seperti anjing penjaga?” tambah Ella, kali ini melirik pada Max yang berdiri di sebelahnya.“Dia adalah pengawalmu,” sahut James. “Pengawal?” Ella memutar matanya malas mendengar jawaban dari James. “Lucas dan Dave belum cukup? Dan sekarang kau menambah seorang lagi?”“Kenapa? Kau tidak suka?”“James! Tarik semua pengawalmu atau aku bisa melakukan hal-hal nekat! Kali ini aku serius! Aku sudah muak dengan segala fasilitas pengawalan yang kau berikan ini!”“Ella—” “Oh, ayolah, James! Beri aku sedikit kepercayaan!”“Kepercayaan? Kemarin kau lupa sudah mengkhianatinya? Kau membuat
“Sialan!” Ben memaki berulang kali sembari berusaha membuka pintu toilet.Benar-benar di luar perkiraan Ben! Ella benar-benar meyebalkan dan sangat licik dengan mengunci Ben di dalam toilet agar dirinya bisa kabur. Bahkan sebelum benar-benar meninggalkannya, Ben sempat mendengar bagaimana gadis itu menertawakan kebodohannya, yang semakin membuat darah Ben mendidih.Ben kembali memeriksa jendela ventilasi di dalam toilet, tapi tentu saja ukuran jendela itu terlalu kecil untuk tubuh berototnya. Bisa saja dirinya mendobrak pintu ini, tapi Ben masih waras, dia tidak ingin membuat keributan yang malah bisa membuatnya dipecat di hari pertamanya bekerja.“Siapapun di luar sana! Buka pintunya! Hey! Apa kali—”Teriakan Ben terputus, karena suara kunci pintu yang diputar, dan akhirnya pintu itu terbuka! Grace muncul di sana dengan napas terengah, lalu tanpa berbicara sepatah katapun, gadis itu langsung meraih tangan Ben.“
“Bagaimana?” tanya Ella dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya. “Apa kata James?”Lucas kembali memasukkan ponselnya, kemudian mengangguk hormat pada Ella. “Tuan James mengizinkan Nona pergi bersama Nona Grace, tapi dengan syarat.”“Oh, ayolah! Kali ini aku tidak akan pergi ke rumah Oscar. Aku sudah tidak ada urusan dengan pria kurang ajar itu. Kalian tenang saja, ok? Aku hanya pergi ke mal membeli baju untuk acara halloween di kampus.”“Maaf, Nona. Ini adalah syarat—”“Ya sudah! Katakan cepat, apa syarat dari si Tua James!” kesal Ella.“Anda harus ditemani oleh pengawal, lalu—”“Hanya satu di antara kalian! Kalau lebih dari itu, aku akan melakukan hal yang lebih gila dari kemarin!”Lucas mengangguk. “Tidak masalah. Tuan James memang menyarankan salah satu dari kami, yakni Max.”“Max?&rdq
Jika tidak mengingat alasan dia memohon bekerja pada James Softucker, Ben akan dengan senang hati meninggalkan gadis yang sedari tadi bermulut kasar ini. Tanpa memedulikan perasaan orang lain, mulutnya begitu mudah mengucap makian dan hinaan untuk orang-orang seperti Ben. Bagian terburuknya, gadis itu mengatai Ben adalah seorang gay! Darimana pikiran itu berasal?Tatapan Ben tidak pernah meninggalkan sosok Ella yang keluar-masuk ruang ganti dan berkeliling toko, meskipun Grace begitu menggoda. Terlebih saat tubuh gadis belia ini berada di atas pangkuan Ben, tangan yang melingkar di leher Ben, pria itu bisa menghidu aroma wangi bunga yang menenangkan. Mungkin jika Grace bukan sahabat Ella dan sekarang mereka tidak di tempat umum, Ben akan langsung memeluk pinggang ramping itu, menelanjanginya, dan membuat gadis ini mendesah di pangkuannya.Namun, yang terjadi adalah mimpi buruk Ben selanjutnya. Dihajar banyak orang, karena ucapan gadis manja dan angkuh yang kin
Ella menatap Max tajam, berusaha menunjukkan bahwa dirinya tidak akan bisa dikalahkan oleh Max begitu saja! Tidak akan takut dengan ancaman pria itu, meski Ella juga melihat kebencian di sana. Ella yakin 100%, bahwa tebakannya tidak pernah meleset, Max adalah seorang gay! Tidak mungkin pria normal akan membiarkan begitu saja wanita mabuk yang hampir telanjang, tertidur di ranjang kamarnya. Bukannya membiarkannya kedinginan di teras rumah! Kali ini, Ella benar-benar mempertaruhkan harga dirinya saat memutuskan membawa Max ke pondok keluarga Softucker. Di tempat ini, Ella akan membuat Max berakhir mengenaskan, dipecat! Ella merangkul leher Max, mendekatkan bibirnya ke telinganya, menggigit pelan cuping telinganya dan menjilatnya. “Bagaimana? Kau tergoda dengan apa yang aku lakukan?” bisik Ella, lalu kembali menjilat telinga Max. Ella menarik wajahnya, menatap kembali mata Max yang masih sama—tanpa ekspresi. Sial! Pria itu sama sekali tidak bereaksi, ta
Ben sepertinya harus segera menceburkan diri ke danau yang ada di luar untuk mendinginkan otak dan tubuhnya, yang seketika memanas akibat segala hal yang dilakukan Ella pada tubuhnya. Gadis itu menggesekkan dadanya ke tubuh Ben. Pria yang diam di penjara selama 15 tahun dan tidak dapat menyalurkan gairahnya dengan benar, selain dengan sabun dan tangannya—itu pun seringkali terganggu oleh tahanan lainnya yang sudah tidak sabar untuk memuaskan hasratnya. Lalu bagaimana bisa menahan godaan dari seorang Radella? Otak Ben berusaha waras, tapi tubuhnya memilih mengikuti permainan Ella. Ben bukanlah pria polos dan bodoh yang tidak tahu maksud dari segala tindakan Ella saat ini. Ben tahu benar, bahwa gadis yang sekarang berada di bawah kuasanya, sengaja menggoda, agar dia memiliki alasan untuk memecat Ben. Namun, Ben juga punya rencananya sendiri. Dia akan membuat Nona Muda yang suka memberontak ini, tergila-gila padanya. Ben akan membuat Ella tidak bisa hidup tanpanya. Persetan jik
Ella membuka mata dan mendapati sepi di hadapannya. Detik berikutnya, dia seperti tersadar dari hipnotis gairah yang semalam diciptakannya bersama Max. Ella terduduk, membuat selimut yang menutupi tubuhnya melorot hingga ke perutnya.“Apa yang semalam belum puas?”Suara serak Max yang berasal dari luar membuat Ella langsung menarik selimut itu untuk menutupi bagian atas tubuhnya yang polos. Sekali dia mengintip bagian bawah tubuhnya—celana dalamnya masih di sana—Ella langsung menghela napas lega.“Kenapa harus malu, Nona?” tanya Max yang menghampiri Ella, lalu mengecup bibirnya.“Kurang ajar!” maki Ella, lalu mendorong tubuh Max, beranjak memunguti seluruh pakaiannya, dan berlalu masuk ke kamar.Dari dalam kamar, Ella masih mendengar kekehan Max yang sedang menertawakan dirinya. Ella menggeram kesal dan buru-buru memakai kembali pakaiannya. Untuk beberapa saat dia menatap pantulan dirinya di cermin.
Ben pikir, setelah Ella mengatakan ya padanya, semuanya akan berjalan lancar hingga hari pernikahan—yang entah kapan akan mereka gelar. Nyatanya, dua hari setelah pulang dari pondok, Ella meminta waktu lebih lama untuk memikirkan kapan sebaiknya pernikahan mereka dilangsungkan. Jangan tanya bagaimana paniknya Ben saat itu, tapi sebisa mungkin berusaha ia sembunyikan. Ia tidak ingin membuat Ella merasa terpaksa menikahi Ben, meski sebenarnya Ben juga sudah tidak sabar ingin menjadikan Ella sebagai istrinya, karena ia sangat takut kehilangan Ella lagi.“Ella belum memutuskan kapan dia akan menikahimu?” tanya Jensen, saat ia menyempatkan diri mampir ke rumah Ben sebelum berangkat bertugas. “Kalian bertengkar lagi?”Ben menggeleng. “Aku juga tidak tahu. Sudah berhari-hari dia sulit dihubungi. Bahkan Prince juga kesulitan menemuinya di kantor. Kata sekretarisnya, Ella tiba-tiba saja ingin menyendiri,” jawab Ben.&ldq
“Kamar?!”Entah itu sebuah pertanyaan atau perintah. Ella tidak mengerti apa yang diucapkannya, karena saat ini tidak bisa berpikir jernih. Napasnya terengah, hampir habis, karena terlalu bergairah membalas ciuman Ben. Ya, Tuhan, ia tidak pernah menyangka kalau bisa merindukan sebuah ciuman seperti ini. Ini bukan perkara ciumannya, tapi siapa orang yang kau cium. Bagi Ella, orang itu adalah Benedict Cerg.Tak jauh berbeda dengan Ella, Ben pun mendadak bodoh dan hanya mampu mengangguk, tapi insiting liarnya menyuruhnya untuk mengangkat tubuh Ella, lalu berjalan tergesa menuju kamar. Ben tidak menyangka akan datang hari ini—lagi—untuknya, melakukan hal paling intim yang bisa dilakukan sepasang manusia yang sedang dilanda gairah.Ella merasakan tubuhnya terhempas menyentuh permukaan kasur, Ben langsung menindihnya, kembali menciumnya penuh tuntutan rindu yang harus segera tersalurkan. Bahayanya, tidak ada yang tahu berapa lama yang diperluka
Sudah lebih dari tiga jam sejak dokter meninggalkan ruang rawat Ben, tapi pria itu belum juga sadarkan diri. Jensen pun harus kembali ke kantor polisi untuk membuat laporan. Sedangkan Prince dan Grace juga pulang bersama anak-anak mereka. Martin belum terlihat lagi sejak satu jam yang lalu. Hanya ada Ella dan Aj yang tersisa menjaga Ben di ruangan itu.“Mommy, kapan Paman Ben akan bangun?”Ella yang sedang membaca majalah menoleh pada putranya yang ternyata sudah bangun dari tidur lelapnya di sofa. Ella menghampiri Aj dan langsung memangku bocah itu, sembari menepuk-nepuk punggungnya agar kembali tidur, mengingat tidur bocah itu pasti tidak nyaman di rumah sakit.“Sayang, kau sudah bangun? Jika masih mengantuk, tidur lagi saja.”Aj menggeleng. “Mom, kapan P
“Sayang, kau baik-baik saja?” tanya Martin khawatir, saat melihat Ella diam saja sejak masuk ke mobilnya. “Kau mau makan dulu sebelum kita menjemput Aj di rumah Prince?”“Tidak usah. Kita langsung ke sana.”“Kau yakin?”Ella mengangguk pasti, lalu kembali diam, menatap jalanan Rotterfort yang mulai ramai pagi ini.“Sialan!” maki si supir tiba-tiba?“Ada apa?” tanya Martin sambil mencoba melihat apa yang sedang terjadi di depan.“Orang-orang ini seperti tidak punya pekerjaan. Hampir setiap hari mereka turun ke jalan untuk berunjuk rasa,” gerutunya pada ratusan orang dengan spanduk dan poster-poster menuntut keadilan yang sedang lewat di depan mobilnya.“Tentang apa?”
Entah sudah berapa kali Ben menghela napas dan berapa liter bensin yang dihabiskannya. Sepertinya ia sudah mengelilingi Rotterfort puluhan kali, hanya untuk menenangkan pikiran dan keinginan hatinya yang ingin bertemu dengan Aj. Ben menggunakan segala cara, dari mulai mencari kesibukan di bengkel, hingga berkeliling Rotterfort. Namun, rasa rindu pada putranya—juga Ella—benar-benar tidak terbendung.Motornya berhenti di tempat terjauh dari Rotterfort yang bisa ia jangkau. Ia kembali ke pemakaman di luar Rotterfort yang beberapa hari lalu ia kunjungi. Ben berjalan dengan seikat lili di tangannya, melewati nisan-nisan yang kusam, lalu langkahnya berhenti beberapa meter dari kuburan orang tuanya. Lili yang kemarin dibawanya sudah nampak layu, tapi ada lima tangkai lili yang masih terlihat segar. Bukan, itu bukan lili di tangan B
Sudah 15 menit Ben berdiri di dapur. Diam-diam ia mengawasi Martin dan Aj yang sedang bermain bersama Max di ruang tamu. Ia sudah menemukan jawaban dari semua pertanyaan di kepalanya atas teka-teki yang ia temukan beberapa saat lalu ketika mereka masih berdiri di halaman rumah.Tunangan Martin adalah Ella.Aj adalah putranya.Ingin rasanya Ben memeluk bocah itu dan mengatakan betapa ia sangat merindukannya. Namun, Ben kembali menyadari posisi dirinya yang bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan Martin. Untuk saat ini, Ben hanya bisa membuatkan putranya segelas cokelat hangat—seperti yang selalu ia sajikan untuk ibunya.Buku-buku jemari Ben mengepal erat nampan yang membawa secangkir teh dan cokelat hangat itu. Perlahan ia letakkan dua cangkir itu di atas meja, tanpa memutuskan tatapannya pada Aj yang kini berlari mengitari ruang tamunya bersama Max.Prince sialan! Mengapa ia tidak mengatakan pada Ben, kalau Aj adalah putranya?“Ben, apa hubunganmu dengan Ella?” tanya Martin, set
Ben sedang dalam perjalanan pulang dari memperbaiki mobil milik temannya, saat ia melihat wajah yang tak asing sedang berdiri di halte bus. Sebagai tetangga yang baik, Ben berhenti dan menawarkan diri untuk membonceng tetangganya itu pulang.“Terima kasih, Ben.”“Tidak masalah. Kenapa kau berpakaian seperti ini?” tanya Ben penasaran.“Aku kalah taruhan dengan kawan-kawanku, jadi aku harus meminjam pakaian kakak perempuanku untuk pergi ke prom.”Ben terkekeh mendengar penjelasan tetangganya ini.“O, iya, Ben, kau mau membantuku sekali lagi?”“Apa itu?”“Sebagai tambahan hukuman kalah taruhan, aku juga harus mencium seorang pria. Kau bisa membantuku? Hanya satu kecupan saja. Kumohon. Kalau tidak, minggu depan aku harus memakai pakaian wanita dan berdandan untuk keluar rumah.”Ben menggeleng tak percaya mendengar ucapan tetangganya ini. “Kali ini aku aka
Sudah bertahun-tahun rumah megah di tengah kota itu sepi. Dulu sekali, si Tuan Rumah rutin mengadakan acara amal bersama koleganya. Namun, tidak jarang pula ia mengundang orang-orang kurang beruntung untuk turut hadir dan merasakan masakan dari tangan chef handal. Sejak beberapa tahun lalu rumah itu dilelang, hanya remang cahaya lampu taman yang sering dilihat dan dibicarakan penduduk Rotterfort.Hingga kini, si anak perempuan pembawa sial, tapi juga yang paling beruntung kembali ke rumahnya. Lampu-lampu di hampir seluruh sudut rumah itu diganti dengan lampu yang nyalanya lebih terang. Para tamu undangan yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang itu sudah datang dan duduk berdampingan di kursi makan. Sebastian sibuk mengobrol dengan Frederick—pengusaha muda yang sedang merintis usahanya di bidang nano teknologi—sambil menikmati lobster. Delapan orang lainnya pun sibuk membicarakan bisnis dan kerjasama yang barang kali bisa mereka bentuk.
“Jangan menertawakanku.”Ben menggeleng, tapi ia tidak sanggup menyembunyikan senyum di wajahnya.“Kondisimu juga tidak lebih baik dari aku.”Ben tertawa mendengar Sebastian yang bersungut-sungut sejak ia duduk di bangku itu. Sedangkan Ben, sibuk dengan kunci inggris, oli, dan mesin mobil Sebastian.“Lihat saja, kau lebih memilih kotor seperti ini, bekerja di ruang panas, daripada dengan setelan jas di kantorku.”Ben menjejakkan kakinya sebagai tumpuan untuk menarik diri dari bawah kolong mobil. Ia muncul dari sana dengan pakaian bengkelnya yang sudah kotor, berlumuran oli dari mobil-mobil yang diperbaikinya.Sejak bebas dari Blackford enam bulan lalu, Ben memilih memulai hidup barunya dengan menjadi montir. Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya selama lima tahun di Blackford, Ben bisa menyelesaikan—hampir—semua masalah mesin, khususnya mobil.“Jika kau bingung, kenap