Di akhir abad ke-18 ada seorang pemuda yang memiliki wajah androgini. Pemuda itu adalah seorang mantan gemblak (anak laki-laki yang dijadikan pemuas seksual seorang warok) di Ponorogo. Dia melarikan diri dari waroknya selama tujuh tahun dengan hidup berpindah-pindah. Akan tetapi trauma dan bayangan tentang sosok sang warok tidak juga memunah dari pikirannya. Pemuda itu merasa telah diselubungi sebuah mantra yang membuatnya selalu ingin kembali dan takhluk pada sang warok. Apa yang terjadi pada pemuda itu dan bagaimana perjuangannya untuk bisa lepas dari selubung mantra itu? Ikuti kisahnya di novel ini dan dapatkan versi cetaknya melalui penulis.
View MoreBojonegoro, September 1898
Sepasang tangan berotot dengan urat-urat kebiruan yang menonjol terus bergerak naik turun mengerek air dari sumur. Suara kelontang akibat gesekan timba dengan dinding sumur menggema di lubang yang dalam. Berulang kali air di timba logam itu muncrat dan tumpah karena lengannya gemetar.
Tetes-tetes darah yang meluruh dari bagian kemeja belacunya yang basah menggenang pada permukaan tanah berlapis batu kali datar, menguarkan anyir, lalu mengalir menuju selokan yang tersambung pada parit kecil di belakang rumah. Sebilah celurit berlumuran darah juga tergeletak di tanah tak jauh dari kakinya berpijak.
Sececah mata, tangan kasar sesosok pria dengan cambang bauk lebat yang membelai tubuhnya kembali berbayang. Tangan bertakhtakan cincin emas bermata kecubung itu berubah menjadi jemari lentik seorang mevrow yang tubuhnya menguarkan soga dan melati.
Dia menggosok dan terus menggosok bagian wajah, leher, dada, lengan, dan sekujur tubuh yang masih terbalut pakaian basah dengan sangat kasar dan cepat. Sekeras apa pun usahanya membersihkan diri, tetapi noda dan aroma yang tak kasat mata itu terus saja bersengkelit menimbulkan perasaan jijik.
Prang! Suara timba menghantam tubir sumur yang terbuat dari susunan batu bata. Karena kelelahan dan putus akal, sepasang kaki pemuda itu limbung. Tubuhnya melorot dengan punggung runduk yang tersengguk-sengguk.
Tangannya mengepal dan menghantam tubir sumur berlumut itu beberapa kali dengan perasaan muak dan marah yang menggelegak. Buk! Buk!
Buku-buku jarinya berdenyut dan membengkak. Darah segar mengular dari rekahan kulitnya yang koyak. Kini dia meringkuk bersandar pada dinding sumur dengan kedua lutut tertekuk ke dada. Wajahnya yang muram terbenam di antara dekapan lengan.
Rosemeijer Vallois-Crussoe berdiri menentang jendela yang terbuka di kamarnya di lantai dua. Tubuhnya terbalut dalaman rok dan korset yang membentuk lekuk sempurna. Puncak dada perempuan itu naik turun dengan napas pendek-pendek dan cepat. Rose mengangkat dagu lancip di bawah bibir busurnya yang memerah dengan sorot mata tajam menembusi sosok pemuda yang tengah meringkuk di sumur.
Jemari lentik Rosemeijer meraba batang lehernya sendiri yang berdenyut-denyut, membelai rahang, turun kembali ke puncak dadanya yang menegang, semakin ke bawah merasakan perut rata di balik permukaan korset yang berserat, dan berhenti tepat di bawah pusar dengan tangan gemetar. Kedua tangannya saling meremas di permukaan selembar gaun tipis yang menjadi pembatas antara tangan dengan pusat dirinya.
Tatapan lapar Rosemeijer tak bisa lepas dari sosok pemuda yang membuat dunia kecilnya di tanah Hindia menjadi jungkir balik seketika.
Sesosok pria yang bertelanjang dada—hanya mengenakan udeng dan celana gombroh selutut—berlari mobat-mabit mendekati sumur. Diraihnya celurit dari tanah yang tergenangi air bercampur darah.
“Apa yang kau lakukan di sini, Endaru? Cepat pergi!” Pria itu mengguncang-guncang tubuh pemuda yang masih meringkuk di sumur dengan satu tangan. “Mereka akan datang. Kau harus pergi sekarang juga!”
Dari arah depan terdengar ringkikan kuda dan gilasan roda kereta yang memasuki halaman. Sang pria yang bertelanjang dada segera bangkit untuk memastikan pemilik kereta yang baru saja tiba.
“Kereta polisi!” pekiknya.
Pria itu memutar badan dan berlari kembali menghampiri Endaru yang mulai mengangkat wajah.
Mata Endaru menyorotkan kobar dendam dan kebencian, bukan rasa takut dan kekhawatiran. Rahang bawahnya mengeras dengan urat-urat leher yang menegang, mempertegas barut bekas luka yang memanjang di bawah mata kanan. Wajahnya terbentuk dari perpaduan alami antara ketampanan dan kecantikan yang begitu mengesani—baik di mata perempuan maupun laki-laki.
Tengkuk pria yang bertelanjang dada itu sesaat meremang. Dia seakan menghadapi sosok Endaru yang sama sekali berbeda—terasa asing dan tak terjangkau.
“Endaru, pergilah! Polisi-polisi itu sudah turun dari kereta.”
Pemuda itu menanap. Saat tersadar dia mengeritkan geraham. Endaru meraih kemeja dan celana bersih dari jemuran, berlari memelesat meninggalkan sumur, lalu melompati semak tanaman pagar di kebun belakang.
Di kamarnya, tatap jalang Rosemeijer dibuyarkan oleh ketukan tiga kali pada pintu dengan nada yang mendesak. Salah seorang babunya berbicara dalam bahasa Belanda dengan nada yang terbata-bata.
“Mevrow, de politie is gearriveerd!”[1]
Rosemeijer berbalik meninggalkan jendela dan meraih jubah yang tersampir di sandaran kursi. Sekilas dia melirik gaun tidur putihnya yang berubah menjadi merah tampak mencuat dari dalam peti di kolong tempat tidur. Dia memijit-mijit pangkal hidung bangirnya untuk mengeluarkan air mata sebelum membuka pintu kamar.
Endaru berlari dan terus berlari melintasi kebun dan rimbun jati yang masih menjadi bagian dari tanah kekuasaan Kontrolir Crussoe. Tak ada buruh dan pekerja di hari Jumat Legi itu. Semua orang memperoleh hari libur hanya untuk berkumpul di jalan-jalan merayakan kenaikan sang ratu ke kursi kekuasaan.
Saat tiba di sebuah gubuk penjaga ladang, Endaru bergegas bersulih pakaian. Diambilnya topi jerami milik salah seorang penjaga ladang, memelesakkannya ke kepala hingga menutupi sebagian wajah, lalu kembali berjalan dengan masih bertelanjang kaki.
Beberapa kilometer kemudian, Endaru memasuki pasar dengan napas merengap dan dada yang bergemuruh. Dia membaur di tengah-tengah keramaian. Dunia sekelilingnya ingar-bingar dengan bunyi meriam yang berdentum-dentum di kejauhan. Jalan-jalan dihiasi oleh triwarna dan umbul-umbul kertas silang-menyilang yang sangat meriah. Namun, hatinya empas dan merusuh seorang diri. Satu matanya yang normal menyelidik dan mengawasi sosok-sosok polisi yang sedang berjaga di sepanjang jalannya acara.
Di kedua sisi jalan orang-orang berdiri berdesak-desakan—pribumi, totok, indo, Tionghoa—semua membaur menjadi satu. Mereka meninggalkan kegiatan masing-masing hanya untuk menyaksikan arak-arakan dan panembrama. Lamat-lamat mulai terdengar Wilhelmus[2] mengalun di sepanjang jalan utama dari mulut para totok dan indo yang merayakan kenaikan tahta sang ratu Belanda.
“Wilhelmus van Nassouwe ... Ben ik, van Duitsen bloed ... Den vaderland getrouwe ....”[3]
Endaru berlari menerabas sekumpulan manusia, menyelinap, dan menyembunyikan diri di antara mereka. Telinganya memerangkap suara geretak bingkai besi roda karper—menggilas jalanan batu kekuningan—yang mengangkut sang bupati semakin mendekat. Langkah Endaru tertahan. Bersama-sama dengan para pribumi yang lain, dia diharuskan berlutut—memberikan tabik dan sembah—pada sang raja kecil penguasa tanah Bojonegoro.
Gigilan seketika merambati tengkuk dan punggung pemuda itu. Sekitar tiga meter di depan berdiri dua orang polisi yang terus saja mengawasi. Dia lesapkan wajah ke balik topi dan berjalan mundur menghindari kerumunan warga yang berdesak-desakan ingin menyaksikan lebih dekat arak-arakan sang bupati.
Di antara deretan manusia yang tengah mendengungkan Wilhelmus, sebuah tangan menariknya dengan kasar menuju ke barisan paling belakang. Tubuh berotot Endaru seakan-akan sehelai kapas yang terseret-seret oleh embusan angin silir. Di sana dia berhadapan dengan seorang pria berkumis baplang dalam pakaian Jawa. Pria itu berdiri dengan membawa parang panjang di pinggang.
[1] “Nyonya, polisi sudah datang!”
[2] Lagu kebangsaan Belanda
[3] “Wilhelmus van Nassouwe ... Apakah aku berdarah Jerman ... Setia pada tanah air ....”
Dada telanjang Endaru bersimbah darah Sastro. Hanya dengan memakai sarung batik dia melompati regol, mencuri salah satu kuda dari istal, dan memacunya kembali ke rumah pertanian Cornellis.Saat tiba di depan pagar sebuah peluru melesak menghentikan laju kudanya. Kuda itu meringkik ketakutan hingga membuatnya jatuh terpental ke tanah. “Rose, ini aku!” teriak Endaru ke arah lantai dua rumah itu sambil berusaha bangkit dari tanah.“Endaru?” Rose melempar senapannya ke tempat tidur dan segera berlari ke halaman, “Apa aku melukaimu?”Pemuda itu berjalan limbung menuju rumah. Rose menghambur ke arah Endaru tetapi pemuda itu menolaknya, “Tubuhku kotor!”Kilat dan guruh memecah langit pekat. Rose membeliak saat menyadari tubuh Endaru berlumuran darah. Perempuan itu menutup mulutnya dengan tangan yang gemetar.Pyaar! Suara petir menggelegar di udara yang dingin. Hujan deras berjatuhan dari langit meng
Endaru meraba-raba dalam kegalapan. Dia melepas bebatan pada matanya yang sudah tak lagi mengeluarkan darah tetapi yang terjadi malah penglihatannya menjadi semakin buram.“Dasi? Di mana kau?” bisik Endaru putus asa.“Kau masih menginginkan gadis itu, Enes?” suara serak Sastro terdengar bagaikan gong yang dipukul.Dengan kepala yang masih berdenyut-denyut Endaru berusaha bangkit dan mencoba keluar dari bilik Sastro. Dia seperti terkurung di dalam ruangan yang sempit dan pengap. Endaru merasai gigilan di tubuhnya semakin dahsyat. Baru dia sadari bahwa pakaian tak lagi melekat di raganya.Dalam remang cahaya sintir yang kekuningan Endaru mulai bisa melihat Sastro tengah bersila di tengah ruangan hanya mengenakan kain jarik. Matanya terpejam dengan bibir yang terus merapal mantra.Endaru berusaha bangkit dari dipan dengan tubuh sempoyongan. Kepalanya berdentam-dentam dengan sensasi tusukan-tusukan yang menyakitkan pada mata. Sa
Rombongan bupati tiba di Somoroto ketika bola api sudah tenggelam di langit barat. Di sana sudah ramai oleh para pendekar dan warok dari berbagai penjuru Panaragan. Semenjak Padepokan Wengker dikalahkan oleh padepokan milik Sastro para warok mulai berkiblat dan mempertimbangkan posisi Padepokan Bantarangin sebagai padepokan terkuat. Oleh karena itu sedapat mungkin mereka menjalin hubungan baik dengan Sastro untuk mencegah perselisihan sekaligus untuk memperoleh pos-pos jabatan penting di Panaragan.Upacara penentuan pimpinan Padepokan Bantarngin dihadiri oleh sejumlah perwakilan dari padepokan lain. Upacara penyambutan begitu meriah dengan adanya hiburan reog itu sendiri, atraksi pencak silat, dan jamuan beraneka ragam makanan.Warok Sastro yang kini menjabat sebagai bupati datang dalam iring-iringan yang meriah menuju kediaman lamanya di Somoroto. Sastro dalam pakaian kebesaran seorang warok duduk di pendopo yang sudah dihias sedemikian rupa. Para warok lain yang turu
“Tinggallah di sini bersamaku memimpin Padepokan Bantarangin dan satukan seluruh warok di bumi Panaragan ini di bawah kekuasaanku! Lima tahun aku bertarung dengan para warok lain untuk bisa menduduki takhta Bupati Panaragan. Jadi sudah sepatutnya jika aku menuntut pengakuan dari mereka, bukan?” Sastro menyulut kembali tembakau di dalam pipanya.Tanpa diduga Endaru bangkit dan berdiri tegak. Dengan perasaan berat dia mengucapan kalimat yang mungkin akan disesali seumur hidupnya, “Kau pikir aku akan menerima tawaranmu hanya karena menawan ibuku? Dia bahkan sudah memutuskan hubungan denganku!”Endaru mulai berjalan meninggalkan Sastro tetapi sekali lagi para opas itu menahan langkahnya. Salah satu dari mereka menunjukkan topeng bujang ganong yang semalam dikenakan Endaru saat menyelinap ke kediaman Sastro di Somoroto. “Anda tidak bisa pergi, Raden Mas. Anda harus ditahan sampai persidangan digelar karena kami menemukan bukti bahwa Anda terlib
Endaru sudah menguak pintu selebar mungkin dengan senyum semringah saat Rose mencegahnya. Pemuda itu berharap Dasi berdiri di sana dengan kebaya dan sanggul gantung seperti dalam imajinya selama tujuh tahun terakhir. Akan tetapi, pemuda itu membeliak saat mendapati orang yang berbeda berdiri di balik pintu. Terdengar pekik tertahan dari Rose yang baru sampai di tengah-tengah anak tangga.“Berlutut!” teriak orang yang berdiri di depan pintu.“Polisi?” Endaru berbisik lemah dengan kedua lutut melemas.Tiga orang opas dalam seragam serba hitam mengadang Endaru dengan dua moncong senapan tertuju ke arahnya. Seorang opas lagi yang bersenjatakan tongkat memukul bahu Endaru agar segera berjongkok. Dengan cepat mereka membelenggu kedua tangan dan kaki pemuda itu menggunakan gelang besi yang terhubung dengan rantai.Rose menerjang dan memasang badan untuk mencegah ketiga opas itu membawa Endaru pergi. Sesaat setelah Endaru berlari ke lantai
Dasi memutar ebor berisi pakaian basah ke depan untuk melindungi perut yang terbuka. “Kau bodoh karena kembali ke sini, Enes!”Endaru menerjang dasi dan merengkuhnya dalam dekapan. Ebor di tangan perempuan itu terlepas. Pakaian berhamburan ke tanah. Endaru mendekapnya lebih dalam seakan ingin menyatukan raga mereka dan melebur menjadi satu.Ragu-ragu tangan dasi terangkat dan dengan keras mendrorong Endaru hingga terlepas. Perempuan itu membungkuk berusaha memunguti pakaian yang terjatuh.Endaru tak menyerah. Dia tarik lengan Dasi dan kembali meraihnya dalam dekapan. Ingin dia ulangi kejadian tujuh tahun lalu—bibirnya melumat bibir Dasi yang merah tanpa gincu. Akan tetapi Endaru mundur dan melepas gadis itu. Mereka terengah dengan napas memburu—kecewa karena gelegak rindu yang urung tersalur.Dasi mendorong Endaru lebih kuat. Plak! Satu tamparan mendarat di pipi Endaru, “Kau tak suka pada perempuan
Seorang pria bersarung batik dan berbeskap putih duduk di sebuah kursi goyang sambil memangku seorang anak laki-laki berusia empat tahun yang sedang terlelap. Kumis baplang putihnya berayun-ayun saat bibir melantunkan kidung pengantar tidur.Sret ... sret ... terdengar suara gesekan celana gombroh dari sosok bertopeng merah yang berjalan mendekat ke arah kursi goyang. Kidung terputus. Sembah terangkat dari sosok bertopeng itu, “Sudah saya selesaikan seperti perintah Ndoro!”“Dia menjadi serakah dengan mencoba merebut dan menyakiti apa yang menjadi kebangaannku. Orang seperti itu memang pantas untuk disingkirkan, bukan?” Kursi kembali berayun, “Aku dengar ada kegaduhan di sana. Apa mereka tahu kau pelakunya? Bukankah kubilang untuk melakukannya dengan tenang?”“Ampun, Ndoro ...,” suara di balik topeng itu bergetar dengan sepasang tangan terangkat memberi sembah sekali lagi, “Ada seseorang yang juga me
Gadis itu menghilang saat Endaru berhasil mencapai rumah dalem tempat tinggal para nyai. Sejenak dia ragu karena tak ingin bertemu dengan Nyai Larsih atau siapa pun yang mungkin masih mengenalinya. Dipanjatnya dinding pemisah antara dua gadok—sisi kanan menuju bilik Sastro dan sisi kiri menuju pemondokan Dasi. Endaru memutuskan untuk turun ke sisi kanan.“Dasi, tunggulah sebentar lagi!” gumamnya pada diri sendiri.Dia mencabut belati dari punggung dan mengendap-endap memasuki bilik Sastro. Rapalan mantra dan pemusatan pikiran penyerahan diri pada Sang Kuasa lamat-lamat dia lantunkan. Kilasan-kilasan bayangan masa lalu kembali berkelebat hingga dengan satu entakan keyakinan dia dorong pintu bilik Sastro.Bilik itu kosong.“Sial!”Suara tapak-tapak kaki terdengar bergema semakin mendekat. Bisikan dan tawa bocah-bocah laki-laki terdengar saling bersahutan.“Para gemblak,” Endaru menutup bilik d
Ringkik kuda bersahutan dengan dekut para kuak. Halimun menggantung membatasi penglihatan. Cahaya sintir meliuk-liuk dengan sinar yang berpendar.Kraak ... suara pintu lumbung yang dikuak membuat para pengerat lari ketakutan. Aroma pengap dan masam menguar berhamburan dari bukaan pintu. Udara dingin puncak malam menggantikan lembap di dalam lumbung.Endaru membungkuk meraih bangku yang bergelimpang di lantai berdebu. Dia letakkan sintir di atas kursi dan berputar memandangi atap yang dihuni para pemintal. Jalinan sarang laba-laba yang menghitam menambah suram ruangan. Dia berjalan ke pusat gas dan memompanya hingga seluruh rumah kembali disinari cahaya.Bekas kediaman Cornellis kini menjadi rumah terkutuk yang ditakuti oleh warga. Tak ada yang berani menjamah bahkan sekadar lewat pun mereka enggan. Rumah pertanian itu kini dikepung gelagah, semak belukar, dan tumbuhan pancang. Sulur-sulur tanaman rambat menutupi hampir seluruh gerbangnya menyembunyikan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments