Share

-9-

Author: Tias Yuliana
last update Last Updated: 2021-04-05 19:59:01

Iring-iringan reog gebyog untuk merayakan malam satu Suro baru kembali ke kediaman Warok Sastro pada sore hari. Menjelang puncak malam para siswa dan gemblak di Padepokan Bantarangin menggelar pesta dengan menyantap beraneka hidangan di pendopo setelah upacara menjamas yang dipimpin oleh Warok Sastro selesai.

Sebuah dokar dengan iring-iringan pria berpenunggang kuda dalam jumlah besar datang memasuki regol Padepokan Bantarangin.

“Bandit Merah!”

“Warok Wengker!”

Teriakan dan pekikan tanda bahaya itu seketika mengubah kemeriahan pesta menjadi ketegangan yang luar biasa. Para warok Bantarangin langsung bersiaga dan mengadang sang pendatang sambil mengacungkan senjata masing-masing—belati, celurit, parang, bahkan tombak.

Endaru bersama para gemblak lain yang duduk melingkari aneka hidangan makanan turut bangkit untuk memeriksa keributan yang terjadi. Warok Sastro yang duduk bersila di karpet Turki di antara para gemblaknya juga bangkit untuk menyambut para tamu yang tak diundang itu.

Pria dalam pakaian beskap hitam, jarik parang cokelat, dan belangkon mondolan itu berjalan menuruni pendopo untuk menyambut tamu yang baru tiba. Dia perintahkan para siswanya agar menurunkan senjata dan bersikap hormat pada tamunya.

Para Bandit Merah yang mengiringi dokar itu segera turun dari kudanya masing-masing sambil melepas topeng dan memberikan tabik pada Sastro.

Endaru mengernyit. Berdasarkan cerita dari sang ibu, kedua padepokan itu adalah musuh bebuyutan. Namun, melihat pemandangan yang mengesankan ini sama sekali tak terlihat permusuhan di antara mereka.

Seorang pria tua dalam pakaian lurik dan jarik sederhana dipandu turun dari dokar oleh salah seorang warok muda yang mengiringinya menggunakan kuda. Pria itu berjalan dengan bantuan tongkat menuju pendopo dengan tenang. Tubuh kurus dengan jenggot putihnya terlihat begitu sederhana dan bersahaja.

Sugeng rawuh, Kangmas Sentikno ... Suatu kehormatan mendapat kunjungan dari Warok Wengker,” sapa Warok Sastro pada pria tua itu sambil menggenggam tangannya.

Mereka berdua duduk di sebuah sice jati berukir di pendopo tak jauh dari tempat jamuan makan malam. Para warok muda yang mengiringi Warok Sentikno juga duduk bersila dan membaur bersama warok muda dari Padepokan Bantarangin—seakan mereka adalah sahabat lama yang tak pernah bersua dan tak pernah saling menarik senjata.

“Aku dengar kau membawa cucuku ke sini, Sastro?” Pria tua itu membuka percakapan tanpa basa-basi setelah meletakkan tongkatnya.

Endaru yang beberapa saat lalu diperintahkan Sastro untuk duduk di balik gebyok seketika berjengit mendengar percakapan itu. Dadanya bergemuruh dan gelisah. Dari cela-cela ukiran gebyok dia dapat menyaksikan ketegangan dan permusuhan yang terpendam di antara kedua warok itu.

Apa mereka datang ke sini untuk memperebutkanku? Pada siapa aku akan berakhir? Tetapi, emak memintaku untuk kabur malam ini juga!

Endaru tersentak mendengar Warok Wengker berteriak, “Cukup kau merusak putraku! Biar aku bawa putra Dimas bersamaku!”

“Bukankah tidak bijak membuat tuduhan seperti itu, Kangmas? Bagaimana kalau kita bertanya langsung kepada anaknya?” tawar Sastro.

Seorang gemblak memberitahu Endaru agar menghadap ke pendopo. Bocah itu berjalan sambil jongkok menuju ke sice tempat Sastro dan Sentikno duduk. Sang Warok Wengker memukulkan tongkat ke lantai tanpa menoleh dan memerintahkan Endaru untuk bangkit, “Berjalan dengan tegak!”

Semua mata yang hadir di sana tersentak. Endaru mendongak dan mulai berdiri. Langkahnya rikuh. Dia berjalan perlahan dengan punggung runduk-runduk menuju dua orang pria yang berbeda karakter itu. Endaru tak bisa membaca raut Sastro yang mengatupkan bibir dengan sangat rapat sedang matanya terus tertuju pada Sentikno.

Sentikno bangkit dari sice dan meraba-raba wajah Endaru. Bocah itu membelalak memandang sepasang mata Sentikno yang buta. “Aku bisa merobohkan padepokan ini dalam satu malam hanya untuk membawamu pergi bersamaku, Endaru!”

Anak laki-laki itu kembali menganga. Tak seorang pun tahu nama Endaru selain sang emak.

“Akan tetapi, sumpahku sebagai warok menghalangiku dari berbuat kerusakan. Sekarang sumpah itu akan aku langgar jika memang kau ingin kuselamatkan!” Kakek tua itu meremas pundak kanan Endaru yang menggigil. “Aku ingin kau membuat keputusan! Mengikutiku pulang ke Wengker atau bertahan di sini dan bernasib sama seperti bapakmu?”

Sepasang mata putih Sentikno menatap tepat ke pedalaman mata kiri Endaru yang bening—seakan-akan kebutaannya hanya sebuah ilusi.

Bocah itu jatuh berlutut sambil memberikan sembah di hadapan Sentikno, “Ampun, Ndoro!”

Dagu Endaru melekat ke dada. Betapa bungah hatinya ketika tahu ada seseorang yang bersedia mempertaruhkan segalanya demi hidup Endaru. Akan tetapi, Sastro pun akan melakukan hal yang sama.

Ini memang kesempatan untukku bisa bebas dan lepas dari Sastro, tetapi mungkin aku akan terikat pada Sentikno. Mereka sama-sama warok, bukan?

Bocah itu merunduk sedih sambil menggigiti bibir bawahnya.

“Tentukan keputusanmu, Nak!” desa Warok Wengker itu.

“Izinkan saya untuk tetap berada di sini!” Endaru menyembah semakin dalam. Aku tidak ingin terikat dengan kalian. Aku ingin bebas dan memilih jalanku sendiri!

Endaru melihat kekecewaan di wajah Sentikno. Tangan pria tua itu bergetar samar di atas tongkatnya. Sentikno menunduk dan merengkuh Endaru agar berdiri tegak. Dia dekap kepala bocah itu dengan penuh kasih sayang dan membisikkan sesuatu pada telinganya, “Datanglah padaku kapan pun kau membutuhkan pertolongan!”

***

Endaru tinggal di sebuah kamar bersama dua anak laki-laki lain yang usianya satu atau dua tahun lebih tua darinya. Sejak sore dia sudah menyiapkan diri untuk kabur bersama sang ibu. Kedatangan Warok Wengker ke Bantarangin membuatnya gelisah dan mulai ketakutan dengan hal-hal yang tidak dia pahami.

Endaru berjengit hendak kabur saat tiba-tiba pintu kamar terkuak perlahan. Dia kembali ke pembaringan sambil menahan napas. Angin dingin menyelinap dari pintu yang terbuka diikuti suara isak tangis yang tertahan. Getaran pada ranjang membangunkan Endaru yang berpura-pura terlelap. Dia dapati anak laki-laki yang sore tadi dipanggil ke kamar Warok Sastro baru saja kembali dalam keadaan menangis.

“Apa yang terjadi?” Dia tepuk bahu anak itu, “Apakah Romo menghukummu? Kenapa kau baru kembali?” Endaru tak bisa melihat wajah temannya.

Keributan itu membangunkan anak yang lain, “Setiap kembali dari kamar Romo, dia selalu begitu. Kembali tidur saja kalian!”

Rasa ingin tahu berdesak-desakan dalam pikiran Endaru. Dia teringat pada perkataan Dasi.

“Bagaimana kalian bisa sampai di sini?” tanya Endaru.

Anak itu masih terisak. Anak yang lain menjawab, “Karena kami miskin! Romo membawa kami ke sini agar bisa hidup enak.”

“Lalu kenapa dia menangis jika memang kalian suka hidup seperti ini?” desak Endaru.

“Kau juga akan tahu nanti saat giliranmu tiba dipanggil Romo ke kamarnya!”

“Aku tidak bisa tinggal lebih lama di sini. Aku harus pergi!” Endaru merasakan sesuatu yang mengancam, “Aku benci tidak tahu apa yang sedang aku hadapi.”

“Untuk apa di luar sana kalau hanya untuk menjadi susah? Di sini kita bisa makan dan tidur enak, mempunyai pakaian indah, juga bebas melakukan apa saja. Kita hanya perlu nurut dan manut dengan apa yang diucapkan Romo.”

“Sial! Semua yang aku dengar tentang menjadi gemblak hanyalah hal-hal yang menyenangkan sedangkan menjadi warok artinya bersedia hidup prihatin. Tetapi apa yang aku saksikan saat ini hanyalah penderitaan. Katakan saja padaku apa yang diperbuat Romo pada kalian selama di sini?” Endaru memukul ranjang.

Karena tak mendapat jawaban, diam-diam Endaru menyelinap ke pemondokan sang ibu di bangsal paling belakang. Mereka sudah berjanji untuk bertemu dan pergi bersama.

“Kau terlambat!” bisik sebuah suara.

“Dasi?” Endaru berputar-putar mencari Dasi di sekitar dapur yang mengarah ke pemondokan para babu.

“Sore tadi seseorang membawa emakmu keluar dari kademangan!” Dasi muncul dari dapur dengan membawa kendi berisi air.

Endaru meraih bahu Dasi dan mengguncangkannya dengan sangat kasar. Prang! Kendi terjatuh dan pecah.

“Ke mana mereka membawa emakku?” Bocah laki-laki itu mendesis dan terus mencengkeram bahu Dasi.

Gadis itu merintih kesakitan, “Aku tidak tahu. Pergilah sebelum mereka terbangun karena suara kendi itu!”

Endaru mengehela napas berat dan berputar-putar gelisah sebelum akhirnya berlari menuju regol. Dia minggat sendirian dan berlari ke rumah lamanya di kaki bukit Siman. Sang emak tak ada di sana. Dia teringat pada Meneer Cornellis dan mulai berlari menuju rumah pertanian mewah itu.

Pagi masih buta saat Endaru tiba di halaman Cornellis. Dia berteriak dan membuat keributan di depan pagar besi yang menjulang tinggi. Seorang jongos pria berlari-lari menghalau Endaru.

“Biarkan aku bertemu Gandari, emakku!”

Sang jongos kesal dan balas berteriak, “Tidak ada emakmu di sini! Nyai Gandari adalah milik Meneer Cornellis, pergilah!”

Merasa tak mendapat sambutan, dia berlari menerjang sang jongos dan melemparkan sebongkah batu hingga mengenai jendela. Prang!

Keributan itu sampai juga di telinga sang tuan rumah. Seorang Belanda totok berkulit totol-totol dengan berewok kecokelatan muncul dari balik pintu dengan membawa lentera, “Jongos, ada apa ini ribut-ribut?”

Sang jongos berusaha berlutut sambil mehanan tubuh Endaru yang terus meronta. Cornellis di bawah mata kantuknya memijat pelipis yang berdenyut, “Bocah, apa yang Kowe inginkan di sini?”

“Saya ingin menebus emak saya!”

Cornellis mencebik, “Dengan apa kau akan membayarnya? Membebaskan diri sendiri dari Warok Sastro saja kau tak mampu!”

Endaru mengamuk dan kembali berteriak-teriak. Dia tahu betul apa yang dikatakan oleh Cornellis adalah suatu kebenaran. “Emak, jangan abaikan aku! Kita pergi dari sini bersama-sama ...!”

Tak mendapat jawaban dari sang emak yang entah berada di mana, Endaru berlutut dan membungkuk di lantai tegel yang dingin. Meraung-raung mengibakan dengan tubuh ditahan sang jongos agar tidak merusak perabotan.

Cornellis memberi perintah pada jongosnya, “Antarkan anak ini kembali ke rumah Demang Sastro sekarang! Aku tak ingin terlibat urusan dengan para warok itu.”

Tubuh kuyu Endaru ditarik dan dibopong oleh sang jongos seperti karung beras tanpa jiwa menuju dokar yang sudah siap di depan. Dari balik tirai jendela di lantai dua, Gandari terisak tanpa suara. Tangannya mencengkeram ujung tirai hingga lepas. Rambut panjangnya terburai menutupi dada, punggung, dan paha yang tak terbalut pakaian.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fahran Boy
mengesan kan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -10-

    Bojonegoro, September 1898Endaru menghentikan ceritanya sampai saat jongos Cornellis mengirimnya kembali ke rumah Warok Sastro. Bisik-bisik mulai merebak disusul tatapan jijik, cemoohan, bahkan tududuhan dari mulut-mulut manusia berkulit cokelat, kuning, dan putih yang hadir dalam persidangan tersebut. Mereka tiba-tiba berperan menjadi hakim bagi masa lalu Endaru yang belum juga tahu di mana kebenarannya.Semula mereka menduga-duga bagaimana seorang budak pekerja bisa menjadi pahlawan bagi sesama kaumnya yang papah dengan melawan tuan tanah yang memiliki kelainan seksual—penyuka sesama jenis. Orang-orang yang mulanya bersimpati dan memberikan dukungan pada Endaru, kini berbalik memusuhi dan mencibirnya. Mereka menganggap bahwa pemuda berparas cantik itu sengaja datang ke rumah Crussoe untuk menjadi budak nafsu sang kontrolir. Menjual diri dari satu tangan tuan besar ke tangan tuan besar yang lainnya.Seorang perempuan yang menjual diri&mdash

    Last Updated : 2021-04-05
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -11-

    Di tengah kekacauan itu tubuh Endaru mulai bergetar hebat. Dia peluk lutut yang menempel kuat ke dadanya dengan wajah terbenam di sana. Suara-suara teriakan dan cacian yang berusaha dihalau oleh para opas itu terus berjejalan memasuki liang telinganya. Lamat-lamat terdengar seperti bisikan lirih Warok Sastro di telinga Endaru saat malam pertama dia memasuki kamarnya.Hanya di bumi Panaragan kau akan mendapat sanjungan dan dielu-elukan setara dengan putra para sultan. Hanya di tanah Paragan semua orang—dari berbagai kalangan—akan memuja dan mengagumi status gemblakmu. Tak akan ada mulut-mulut yang melukaimu, tak akan ada tatapan yang merendahkanmu, karena mereka begitu mengagumi paras rupawan para gemblak pilihan. Mereka juga yang akan terus memuliakan kesaktian dan kebijaksanaan para warok yang mampu menjaga dan melindungi para pengikutnya.Endaru mulai meraung dan berteriak-teriak kehilangan kendali diri. Dibekapnya telinga sambil meringkuk di lan

    Last Updated : 2021-04-06
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -12-

    “Jadi karena cambuk kuda itu akhirnya kau memutuskan menjadi warok dan menjauhi para perempuan?” selidik Suro.“Tidak! Justru karena cambuk kuda itu aku semakin jatuh cinta pada Dasi tetapi ragaku seakan cenderung pada Warok Sastro yang membuat jiwa dan akalku semakin kacau. Kepala ini ingin sekali menolak setiap perintah dan permintaan Sastro untuk memasuki bilik dan mendampinginya setiap kali berpelesir, tetapi ragaku selalu mengkhianatiku. Seakan ada kekuatan besar tak kasat mata yang selalu membuatku manut dan nurut. Aku selalu merasa tak berdaya setiap kali tatapan Warok Sastro turun ke mataku. Di sisi lain aku terus membiakkan cinta kepada Dasi.”Kenangan Endaru melambung ke Ponorogo pada suatu siang di tahun 1891. Endaru memanjat pohon sampai tiba di salah satu dahan tertinggi. Dia ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentang kekebalan dan kehebatan ilmu kanuragan para warok saat sedang duel.Ujung kemeja hitam tak berkanci

    Last Updated : 2021-04-06
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -13-

    Perut Dasi menegang. Endaru melingkarkan lengannya begitu kuat di sana.Gadis itu berbisik, “Kau tahu kenapa Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan? Bukan semua laki-laki atau semua perempuan?”“Beri tahu aku Dasi ... berikan jawaban untuk segala kegelisahan ini,” balas Endaru parau di belakang telinga Dasi yang bersubang intan.“Karena mereka ada untuk saling melengkapi. Kau ada karena bapak dan emakmu bertemu. Jika saja kedua orang tuamu sesama laki-laki atau sesama perempuan, maka mungkin kau terlahir dari batu lumpang!” Dasi melepaskan lilitan tangan Endaru. Dia berjalan cepat meninggalkan pemuda kencur yang kebingungan akan jati dirinya itu.Tak! Satu sabetan besar dari celurit Warok Sastro mendarat di punggung pemuda yang menjadi lawannya. Perasaan kecewa menggelombang dalam dada Endaru. Pemuda yang wajahnya terlihat kemerahan karena pantulan sintir di kamar Nyai Centini malam itu mulai menemui kekalah

    Last Updated : 2021-04-15
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -14-

    Sebuah tangan menahan dan mencengkeram kuat pergelangan Endaru yang sepenuh tenaga ingin menancapkan ujung belati pada batang leher Warok Sastro. “Kau ... ingin menjadi pembunuh, Enes?” Suara Warok Sastro berat dan parau berusaha keras mempertahankan kehidupan.Cengkeraman belati pada tangan Endaru melemah. Tubuhnya menggigil dan ketakutan. Tangannya terkulai ke lantai dengan tubuh bersimbah keringat. Warok Sastro sendiri sudah hilang kesadaran dan tergolek di lantai.Nyai Larsih datang tergopoh-gopoh membawa sintir setelah mendengar teriakan dan kegaduhan. Rambut hitam dengan pangkal keperakan perempuan itu tergerai sepanjang pinggang. Wajahnya pucat tanpa polesan gincu dan calit. Betapa terkejut perempuan itu melihat Endaru mencengkeram belati di hadapan sang warok yang sudah tak sadarkan diri.“Kangmas?” Dia guncang-guncangkan tubuh Warok Sastro dengan penuh pengibaan.Nyai Larsih kini berpaling pada Endaru dan berganti menggunc

    Last Updated : 2021-04-16
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -15-

    Nyai Larsih mulai berkisah tentang sosok bernamaKi Ageng Kutu—seorang abdi kerajaan Majapahit—pada masakekuasaan Bhre Kertabhumi di abad ke-15.Ki Ageng Kutudapat melihat kekuasaan Majapahit akan segera berakhir akibat pemerintahan di bawah Raja Bhre Kertabhumi yang rusak. Ki Ageng Kutu akhirnya meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan kanuragan untuk melakukan pemberontakan yang dimulai dari wilayah kekuasaannya di Wengker. Di sana dia mengajar seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan pada anak-anak muda dengan harapan mereka akan menjadi bibit dari kebangkitan kerajaan Majapahit kembali. Ki Ageng Kutu sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan. Maka, pesan perjuangan itu disampaikannya melalui sebuah pertunjukan seni Reog.“Jadi Nak, Gus, reog pada mulanya merupakan sindiran kepada RajaKertabhumidan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu untuk membangun p

    Last Updated : 2021-04-16
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -16-

    Dua opas Jawa menggelandang Endaru dan Suro yang baru turun dari kereta untuk kembali ke sel mereka sampai persidangan berikutnya tiba. Setelah kedua opas tersebut menggembok terali dan pergi, diam-diam Selamet menyelinap ke sana. Pria itu berjongkok sambil bersandar pada terali besi dan berbisik pada Suro, “Eh, anu, Cak ...?”“Panggil saja aku Suro. Ada perlu apa kowe?” bentak Suro dengan kesal karena didera kelelahan yang teramat sangat.Jongos berbadan jangkung dengan gigi sedikit tongos itu terperanjak. Dia raba dadanya yang berdebar-debar sambil menelan ludah. Sesaat dia melirik Endaru yang sudah meringkuk membelakangi terali. “Siapa di antara kalian yang bergelar Warok?”Endaru yang berusaha terlelap langsung siaga meski tetap dalam posisi meringkuk. Suro yang duduk paling dekat dengan terali segera menarik kerah surjan Selamet yang lusuh hingga membuat rahang pria itu memelesak menghantam terali besi d

    Last Updated : 2021-04-16
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -17-

    Pikiran Suro melayang pada pesta yang serupa di tahun 1891. Dia baru datang dari Ngawi ketika melihat warga Ponorogo berbondong-bondong dan berdiri di sepanjang jalan dusun seakan menyambut kedatangan tamu agung. Mereka begitu antusias ingin menyaksikan iring-iringan para warok dan gemblaknya yang diarak keliling kademangan.Topeng singo barong yang dipanggul oleh para warok muda berada pada barisan paling depan. Di belakangnya beriringan para penari jathil yang terdiri dari anak-anak laki-laki pilihan berusia belasan. Wajah mereka tampan dengan warna kulit kuning langsat yang bersih terawat. Di belakang para jatil, duduk di atas kereta adalah para warok pemimpin sekaligus pemilik mereka. Sejumlah warok dari berbagai daerah di kademangan itu duduk didampingi dua sampai tiga gemblak pilihan yang paling mereka banggakan.“Semua warok menanti acara tukar pakai gemblak ini. Desas-desus mereka mengincar gemblak Warok Sastro yang matanya picak satu!&rdqu

    Last Updated : 2021-04-16

Latest chapter

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -43- End

    Dada telanjang Endaru bersimbah darah Sastro. Hanya dengan memakai sarung batik dia melompati regol, mencuri salah satu kuda dari istal, dan memacunya kembali ke rumah pertanian Cornellis.Saat tiba di depan pagar sebuah peluru melesak menghentikan laju kudanya. Kuda itu meringkik ketakutan hingga membuatnya jatuh terpental ke tanah. “Rose, ini aku!” teriak Endaru ke arah lantai dua rumah itu sambil berusaha bangkit dari tanah.“Endaru?” Rose melempar senapannya ke tempat tidur dan segera berlari ke halaman, “Apa aku melukaimu?”Pemuda itu berjalan limbung menuju rumah. Rose menghambur ke arah Endaru tetapi pemuda itu menolaknya, “Tubuhku kotor!”Kilat dan guruh memecah langit pekat. Rose membeliak saat menyadari tubuh Endaru berlumuran darah. Perempuan itu menutup mulutnya dengan tangan yang gemetar.Pyaar! Suara petir menggelegar di udara yang dingin. Hujan deras berjatuhan dari langit meng

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -42-

    Endaru meraba-raba dalam kegalapan. Dia melepas bebatan pada matanya yang sudah tak lagi mengeluarkan darah tetapi yang terjadi malah penglihatannya menjadi semakin buram.“Dasi? Di mana kau?” bisik Endaru putus asa.“Kau masih menginginkan gadis itu, Enes?” suara serak Sastro terdengar bagaikan gong yang dipukul.Dengan kepala yang masih berdenyut-denyut Endaru berusaha bangkit dan mencoba keluar dari bilik Sastro. Dia seperti terkurung di dalam ruangan yang sempit dan pengap. Endaru merasai gigilan di tubuhnya semakin dahsyat. Baru dia sadari bahwa pakaian tak lagi melekat di raganya.Dalam remang cahaya sintir yang kekuningan Endaru mulai bisa melihat Sastro tengah bersila di tengah ruangan hanya mengenakan kain jarik. Matanya terpejam dengan bibir yang terus merapal mantra.Endaru berusaha bangkit dari dipan dengan tubuh sempoyongan. Kepalanya berdentam-dentam dengan sensasi tusukan-tusukan yang menyakitkan pada mata. Sa

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -41-

    Rombongan bupati tiba di Somoroto ketika bola api sudah tenggelam di langit barat. Di sana sudah ramai oleh para pendekar dan warok dari berbagai penjuru Panaragan. Semenjak Padepokan Wengker dikalahkan oleh padepokan milik Sastro para warok mulai berkiblat dan mempertimbangkan posisi Padepokan Bantarangin sebagai padepokan terkuat. Oleh karena itu sedapat mungkin mereka menjalin hubungan baik dengan Sastro untuk mencegah perselisihan sekaligus untuk memperoleh pos-pos jabatan penting di Panaragan.Upacara penentuan pimpinan Padepokan Bantarngin dihadiri oleh sejumlah perwakilan dari padepokan lain. Upacara penyambutan begitu meriah dengan adanya hiburan reog itu sendiri, atraksi pencak silat, dan jamuan beraneka ragam makanan.Warok Sastro yang kini menjabat sebagai bupati datang dalam iring-iringan yang meriah menuju kediaman lamanya di Somoroto. Sastro dalam pakaian kebesaran seorang warok duduk di pendopo yang sudah dihias sedemikian rupa. Para warok lain yang turu

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -40-

    “Tinggallah di sini bersamaku memimpin Padepokan Bantarangin dan satukan seluruh warok di bumi Panaragan ini di bawah kekuasaanku! Lima tahun aku bertarung dengan para warok lain untuk bisa menduduki takhta Bupati Panaragan. Jadi sudah sepatutnya jika aku menuntut pengakuan dari mereka, bukan?” Sastro menyulut kembali tembakau di dalam pipanya.Tanpa diduga Endaru bangkit dan berdiri tegak. Dengan perasaan berat dia mengucapan kalimat yang mungkin akan disesali seumur hidupnya, “Kau pikir aku akan menerima tawaranmu hanya karena menawan ibuku? Dia bahkan sudah memutuskan hubungan denganku!”Endaru mulai berjalan meninggalkan Sastro tetapi sekali lagi para opas itu menahan langkahnya. Salah satu dari mereka menunjukkan topeng bujang ganong yang semalam dikenakan Endaru saat menyelinap ke kediaman Sastro di Somoroto. “Anda tidak bisa pergi, Raden Mas. Anda harus ditahan sampai persidangan digelar karena kami menemukan bukti bahwa Anda terlib

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -39-

    Endaru sudah menguak pintu selebar mungkin dengan senyum semringah saat Rose mencegahnya. Pemuda itu berharap Dasi berdiri di sana dengan kebaya dan sanggul gantung seperti dalam imajinya selama tujuh tahun terakhir. Akan tetapi, pemuda itu membeliak saat mendapati orang yang berbeda berdiri di balik pintu. Terdengar pekik tertahan dari Rose yang baru sampai di tengah-tengah anak tangga.“Berlutut!” teriak orang yang berdiri di depan pintu.“Polisi?” Endaru berbisik lemah dengan kedua lutut melemas.Tiga orang opas dalam seragam serba hitam mengadang Endaru dengan dua moncong senapan tertuju ke arahnya. Seorang opas lagi yang bersenjatakan tongkat memukul bahu Endaru agar segera berjongkok. Dengan cepat mereka membelenggu kedua tangan dan kaki pemuda itu menggunakan gelang besi yang terhubung dengan rantai.Rose menerjang dan memasang badan untuk mencegah ketiga opas itu membawa Endaru pergi. Sesaat setelah Endaru berlari ke lantai

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -38-

    Dasi memutar ebor berisi pakaian basah ke depan untuk melindungi perut yang terbuka. “Kau bodoh karena kembali ke sini, Enes!”Endaru menerjang dasi dan merengkuhnya dalam dekapan. Ebor di tangan perempuan itu terlepas. Pakaian berhamburan ke tanah. Endaru mendekapnya lebih dalam seakan ingin menyatukan raga mereka dan melebur menjadi satu.Ragu-ragu tangan dasi terangkat dan dengan keras mendrorong Endaru hingga terlepas. Perempuan itu membungkuk berusaha memunguti pakaian yang terjatuh.Endaru tak menyerah. Dia tarik lengan Dasi dan kembali meraihnya dalam dekapan. Ingin dia ulangi kejadian tujuh tahun lalu—bibirnya melumat bibir Dasi yang merah tanpa gincu. Akan tetapi Endaru mundur dan melepas gadis itu. Mereka terengah dengan napas memburu—kecewa karena gelegak rindu yang urung tersalur.Dasi mendorong Endaru lebih kuat. Plak! Satu tamparan mendarat di pipi Endaru, “Kau tak suka pada perempuan

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -37-

    Seorang pria bersarung batik dan berbeskap putih duduk di sebuah kursi goyang sambil memangku seorang anak laki-laki berusia empat tahun yang sedang terlelap. Kumis baplang putihnya berayun-ayun saat bibir melantunkan kidung pengantar tidur.Sret ... sret ... terdengar suara gesekan celana gombroh dari sosok bertopeng merah yang berjalan mendekat ke arah kursi goyang. Kidung terputus. Sembah terangkat dari sosok bertopeng itu, “Sudah saya selesaikan seperti perintah Ndoro!”“Dia menjadi serakah dengan mencoba merebut dan menyakiti apa yang menjadi kebangaannku. Orang seperti itu memang pantas untuk disingkirkan, bukan?” Kursi kembali berayun, “Aku dengar ada kegaduhan di sana. Apa mereka tahu kau pelakunya? Bukankah kubilang untuk melakukannya dengan tenang?”“Ampun, Ndoro ...,” suara di balik topeng itu bergetar dengan sepasang tangan terangkat memberi sembah sekali lagi, “Ada seseorang yang juga me

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -36-

    Gadis itu menghilang saat Endaru berhasil mencapai rumah dalem tempat tinggal para nyai. Sejenak dia ragu karena tak ingin bertemu dengan Nyai Larsih atau siapa pun yang mungkin masih mengenalinya. Dipanjatnya dinding pemisah antara dua gadok—sisi kanan menuju bilik Sastro dan sisi kiri menuju pemondokan Dasi. Endaru memutuskan untuk turun ke sisi kanan.“Dasi, tunggulah sebentar lagi!” gumamnya pada diri sendiri.Dia mencabut belati dari punggung dan mengendap-endap memasuki bilik Sastro. Rapalan mantra dan pemusatan pikiran penyerahan diri pada Sang Kuasa lamat-lamat dia lantunkan. Kilasan-kilasan bayangan masa lalu kembali berkelebat hingga dengan satu entakan keyakinan dia dorong pintu bilik Sastro.Bilik itu kosong.“Sial!”Suara tapak-tapak kaki terdengar bergema semakin mendekat. Bisikan dan tawa bocah-bocah laki-laki terdengar saling bersahutan.“Para gemblak,” Endaru menutup bilik d

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -35-

    Ringkik kuda bersahutan dengan dekut para kuak. Halimun menggantung membatasi penglihatan. Cahaya sintir meliuk-liuk dengan sinar yang berpendar.Kraak ... suara pintu lumbung yang dikuak membuat para pengerat lari ketakutan. Aroma pengap dan masam menguar berhamburan dari bukaan pintu. Udara dingin puncak malam menggantikan lembap di dalam lumbung.Endaru membungkuk meraih bangku yang bergelimpang di lantai berdebu. Dia letakkan sintir di atas kursi dan berputar memandangi atap yang dihuni para pemintal. Jalinan sarang laba-laba yang menghitam menambah suram ruangan. Dia berjalan ke pusat gas dan memompanya hingga seluruh rumah kembali disinari cahaya.Bekas kediaman Cornellis kini menjadi rumah terkutuk yang ditakuti oleh warga. Tak ada yang berani menjamah bahkan sekadar lewat pun mereka enggan. Rumah pertanian itu kini dikepung gelagah, semak belukar, dan tumbuhan pancang. Sulur-sulur tanaman rambat menutupi hampir seluruh gerbangnya menyembunyikan

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status