Share

-8-

Author: Tias Yuliana
last update Last Updated: 2021-04-05 19:58:05

Warok Sastro menyesap kembali pipa tembakaunya dengan pandangan menerawang jauh.

“Suatu malam bapakmu datang ke sini dan berkata bahwa dia merasa gagal menjadi seorang bapak. Nak, Gus, maka kubawa kau ke sini untuk kudidik dan kusiapkan sebelum menempuh jalan yang sunyi untuk menjadi warok sejati. Oleh karena itu, belajarlah apa saja yang bisa kau ambil di sini.”

Tubuh Endaru semakin bergetar hebat. Dia berusaha mengendalikannya dengan mengepalkan tangan sekuat tenaga dan mengalirkan segala kecamuk rasa itu ke dalam genggaman tangannya.

“Nyai, bagaimana persiapan menjamas[1]?”

Terdengar suara gesekan kain jarik dan tapak selop Nyai Larsih yang mendekat, “Sudah semua, Kangmas. Mari saya bantu bersalin baju.”

Warok Sastro berjalan diiringi Nyai Larsih menuju ke biliknya. Endaru berjalan gontai di belakang mereka menuju ke bangsal para babu. Endaru memperlambat langkah saat terdengar teriakan dan keributan dari batas antara rumah dalem dan luar.

“Hei, Gadis ingusan, kenapa kau berkeliaran di sini? Tempatmu di pondok pingitan! Jangan berani menyentuh keris-keris itu!”

Endaru menyaksikan seorang pemuda tengah menghardik putri Nyai Centini dengan sangat kasar. Gadis kecil itu melawan dan membalas dengan melempar segenggam pasir.

“Dasar Wandu!” teriak gadis kecil itu dengan lantang.

Wajah pemuda itu memerah dan siap melayangkan pukulan, tetapi Endaru segera meghalaunya. Keributan terjadi saat tanpa sengaja Endaru menabrak seorang anak yang datang membawa bokor mas berisi air kembang untuk menjamas. Bokor terpental menimbulkan bunyi kelontang. Air kembang membasahi sebagian keris dan tombak keramat yang ditata berjajar di sebuah meja.

“Hei, Anak baru, kau mau merusak segalanya?” teriak pemuda yang lain.

Sontak para gemblak yang lain berdatangan dan melerai mereka, “Hentikan! Bagaimanapun gadis itu adalah putri Romo sedangkan anak baru itu adalah calon pewaris padepokan ini.”

Endaru menarik gadis kecil itu menjauh meninggalkan para gemblak yang menghujani mereka dengan lirikan tajam dan bisik-bisik permusuhan. Setelah lepas dari kepungan para gemblak, gadis kecil itu menarik tangannya dari cengkeraman Endaru.

“Aku bisa melindungi diriku sendiri! Kau tak perlu ikut campur, Anak baru!”

Endaru menatap kepangan rambut gadis itu yang terburai sambil menyeringai, “Benarkah kau seorang perempuan? Berkepang saja kau tak mampu.”

“Sialan, kau!” Gadis kecil itu memberengut dan pergi meninggalkan Endaru.

Endaru tergelak dan berlari menyusulnya, “Kenapa mereka memusuhimu? Bukankah para Raden Ayu biasanya selalu dihormati dan disanjung?”

“Perempuan menduduki posisi paling belakang di bumi Panaragan ini, apalagi di rumah para pembesar yang bergelar warok. Kata ibundaku, perempuan harus cukup hanya mengabdi sampai di sumur dan dapur. Selamanya gemblak yang menduduki posisi tertinggi setelah waroknya, merekalah yang harus mengabdikan diri di kasur!”

“Aku tidak mengerti!”

Gadis itu memutar mata, “Mereka menganggap perempuan sebagai pantangan yang harus dihindari, ‘kan? Kehadiran perempuan bisa melesapkan kekuatan dan kesaktian para warok.”

Gadis itu tiba-tiba berbalik dan hampir bertabrakan dengan Endaru. “Sebentar lagi mungkin kau juga akan membenciku,” tatapannya tertunduk dan sedih.

“Hei, aku tak punya teman di sini! Anak-anak laki-laki itu tampaknya mereka juga membenciku. Bukankah, musuh dari musuhmu adalah temanmu?” Endaru menyeringai memamerkan deretan gigi putihnya yang gingsul.

Gadis kecil itu membeliak menatap satu mata Endaru yang tak terbebat kain, “Kau tak mengerti rupanya. Meski kau tak membenciku, tapi mereka akan memaksamu untuk menjauhiku!” Gadis itu berlari sambil menarik lengan Endaru lagi, “Mari aku antar ke tempat emakmu!”

“Namaku Enes ... kau?” teriak Endaru dengan napas terengah di antara larinya.

Gadis kecil itu menoleh sambil menggerakkan bibirnya tanpa bersuara. Endaru mengikuti gerak bibir itu dan merapal sebuah nama, “Dasi? Nama yang indah.”

***

Sesuai arahan dari Dasi, dia menunggu di sungai tak jauh dari Padepokan Bantarangin. Tak lama kemudian Dasi muncul bersama Gandari sambil membawa ebor berisi pakaian kotor. Endaru menerjang ingin memeluk sang ibu, tetapi perempuan itu menahan dan mendorongnya.

Plak! Tangan kanan Gandari mendarat di pipi kiri Endaru. Baik Endaru maupun Dasi sama-sama terperangah.

“Sudah kukatakan untuk pergi ke Tegalsari, bukan?” Gandari memekik sambil berurai air mata.

Endaru masih mematung menahan nyeri pada pipi. Kedua tangan bocah itu terkepal dan tiba-tiba bersimpuh di hadapan ibunya. Gandari mendongak dan mengusap wajahnya yang basah dengan kasar.

“Bagaimana lagi aku bisa melindungimu dari para warok itu, Nak? Larilah! Selamatkan dirimu!” pekik perempuan itu.

Endaru merangkak dan memeluk lutut ibunya, “Bagaimana bisa aku meninggalkan Emak di sini? Apa yang sebenarnya Emak takutkan? Apa yang akan mereka lakukan padaku?”

Gandari mundur dan melepas pelukan Endaru pada kakinya, “Jauhkan dirimu dariku! Jika Demang Sastro tahu, aku tak bisa menanggung penderitaan melihat kau terluka! Pergilah sebelum semua terlambat. Pergilah pada malam perayaan satu Suro nanti ke Tegalsari!”

Endaru berusaha mengejar ibunya, tetapi Dasi menarik dan menahan bocah itu.

[1] Upacara mencuci senjata di malam satu Suro

Related chapters

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -9-

    Iring-iringan reog gebyog untuk merayakan malam satu Suro baru kembali ke kediaman Warok Sastro pada sore hari. Menjelang puncak malam para siswa dan gemblak di Padepokan Bantarangin menggelar pesta dengan menyantap beraneka hidangan di pendopo setelah upacara menjamas yang dipimpin oleh Warok Sastro selesai.Sebuah dokar dengan iring-iringan pria berpenunggang kuda dalam jumlah besar datang memasuki regol Padepokan Bantarangin.“Bandit Merah!”“Warok Wengker!”Teriakan dan pekikan tanda bahaya itu seketika mengubah kemeriahan pesta menjadi ketegangan yang luar biasa. Para warok Bantarangin langsung bersiaga dan mengadang sang pendatang sambil mengacungkan senjata masing-masing—belati, celurit, parang, bahkan tombak.Endaru bersama para gemblak lain yang duduk melingkari aneka hidangan makanan turut bangkit untuk memeriksa keributan yang terjadi. Warok Sastro yang duduk bersila di karpet Turki di anta

    Last Updated : 2021-04-05
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -10-

    Bojonegoro, September 1898Endaru menghentikan ceritanya sampai saat jongos Cornellis mengirimnya kembali ke rumah Warok Sastro. Bisik-bisik mulai merebak disusul tatapan jijik, cemoohan, bahkan tududuhan dari mulut-mulut manusia berkulit cokelat, kuning, dan putih yang hadir dalam persidangan tersebut. Mereka tiba-tiba berperan menjadi hakim bagi masa lalu Endaru yang belum juga tahu di mana kebenarannya.Semula mereka menduga-duga bagaimana seorang budak pekerja bisa menjadi pahlawan bagi sesama kaumnya yang papah dengan melawan tuan tanah yang memiliki kelainan seksual—penyuka sesama jenis. Orang-orang yang mulanya bersimpati dan memberikan dukungan pada Endaru, kini berbalik memusuhi dan mencibirnya. Mereka menganggap bahwa pemuda berparas cantik itu sengaja datang ke rumah Crussoe untuk menjadi budak nafsu sang kontrolir. Menjual diri dari satu tangan tuan besar ke tangan tuan besar yang lainnya.Seorang perempuan yang menjual diri&mdash

    Last Updated : 2021-04-05
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -11-

    Di tengah kekacauan itu tubuh Endaru mulai bergetar hebat. Dia peluk lutut yang menempel kuat ke dadanya dengan wajah terbenam di sana. Suara-suara teriakan dan cacian yang berusaha dihalau oleh para opas itu terus berjejalan memasuki liang telinganya. Lamat-lamat terdengar seperti bisikan lirih Warok Sastro di telinga Endaru saat malam pertama dia memasuki kamarnya.Hanya di bumi Panaragan kau akan mendapat sanjungan dan dielu-elukan setara dengan putra para sultan. Hanya di tanah Paragan semua orang—dari berbagai kalangan—akan memuja dan mengagumi status gemblakmu. Tak akan ada mulut-mulut yang melukaimu, tak akan ada tatapan yang merendahkanmu, karena mereka begitu mengagumi paras rupawan para gemblak pilihan. Mereka juga yang akan terus memuliakan kesaktian dan kebijaksanaan para warok yang mampu menjaga dan melindungi para pengikutnya.Endaru mulai meraung dan berteriak-teriak kehilangan kendali diri. Dibekapnya telinga sambil meringkuk di lan

    Last Updated : 2021-04-06
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -12-

    “Jadi karena cambuk kuda itu akhirnya kau memutuskan menjadi warok dan menjauhi para perempuan?” selidik Suro.“Tidak! Justru karena cambuk kuda itu aku semakin jatuh cinta pada Dasi tetapi ragaku seakan cenderung pada Warok Sastro yang membuat jiwa dan akalku semakin kacau. Kepala ini ingin sekali menolak setiap perintah dan permintaan Sastro untuk memasuki bilik dan mendampinginya setiap kali berpelesir, tetapi ragaku selalu mengkhianatiku. Seakan ada kekuatan besar tak kasat mata yang selalu membuatku manut dan nurut. Aku selalu merasa tak berdaya setiap kali tatapan Warok Sastro turun ke mataku. Di sisi lain aku terus membiakkan cinta kepada Dasi.”Kenangan Endaru melambung ke Ponorogo pada suatu siang di tahun 1891. Endaru memanjat pohon sampai tiba di salah satu dahan tertinggi. Dia ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentang kekebalan dan kehebatan ilmu kanuragan para warok saat sedang duel.Ujung kemeja hitam tak berkanci

    Last Updated : 2021-04-06
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -13-

    Perut Dasi menegang. Endaru melingkarkan lengannya begitu kuat di sana.Gadis itu berbisik, “Kau tahu kenapa Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan? Bukan semua laki-laki atau semua perempuan?”“Beri tahu aku Dasi ... berikan jawaban untuk segala kegelisahan ini,” balas Endaru parau di belakang telinga Dasi yang bersubang intan.“Karena mereka ada untuk saling melengkapi. Kau ada karena bapak dan emakmu bertemu. Jika saja kedua orang tuamu sesama laki-laki atau sesama perempuan, maka mungkin kau terlahir dari batu lumpang!” Dasi melepaskan lilitan tangan Endaru. Dia berjalan cepat meninggalkan pemuda kencur yang kebingungan akan jati dirinya itu.Tak! Satu sabetan besar dari celurit Warok Sastro mendarat di punggung pemuda yang menjadi lawannya. Perasaan kecewa menggelombang dalam dada Endaru. Pemuda yang wajahnya terlihat kemerahan karena pantulan sintir di kamar Nyai Centini malam itu mulai menemui kekalah

    Last Updated : 2021-04-15
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -14-

    Sebuah tangan menahan dan mencengkeram kuat pergelangan Endaru yang sepenuh tenaga ingin menancapkan ujung belati pada batang leher Warok Sastro. “Kau ... ingin menjadi pembunuh, Enes?” Suara Warok Sastro berat dan parau berusaha keras mempertahankan kehidupan.Cengkeraman belati pada tangan Endaru melemah. Tubuhnya menggigil dan ketakutan. Tangannya terkulai ke lantai dengan tubuh bersimbah keringat. Warok Sastro sendiri sudah hilang kesadaran dan tergolek di lantai.Nyai Larsih datang tergopoh-gopoh membawa sintir setelah mendengar teriakan dan kegaduhan. Rambut hitam dengan pangkal keperakan perempuan itu tergerai sepanjang pinggang. Wajahnya pucat tanpa polesan gincu dan calit. Betapa terkejut perempuan itu melihat Endaru mencengkeram belati di hadapan sang warok yang sudah tak sadarkan diri.“Kangmas?” Dia guncang-guncangkan tubuh Warok Sastro dengan penuh pengibaan.Nyai Larsih kini berpaling pada Endaru dan berganti menggunc

    Last Updated : 2021-04-16
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -15-

    Nyai Larsih mulai berkisah tentang sosok bernamaKi Ageng Kutu—seorang abdi kerajaan Majapahit—pada masakekuasaan Bhre Kertabhumi di abad ke-15.Ki Ageng Kutudapat melihat kekuasaan Majapahit akan segera berakhir akibat pemerintahan di bawah Raja Bhre Kertabhumi yang rusak. Ki Ageng Kutu akhirnya meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan kanuragan untuk melakukan pemberontakan yang dimulai dari wilayah kekuasaannya di Wengker. Di sana dia mengajar seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan pada anak-anak muda dengan harapan mereka akan menjadi bibit dari kebangkitan kerajaan Majapahit kembali. Ki Ageng Kutu sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan. Maka, pesan perjuangan itu disampaikannya melalui sebuah pertunjukan seni Reog.“Jadi Nak, Gus, reog pada mulanya merupakan sindiran kepada RajaKertabhumidan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu untuk membangun p

    Last Updated : 2021-04-16
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -16-

    Dua opas Jawa menggelandang Endaru dan Suro yang baru turun dari kereta untuk kembali ke sel mereka sampai persidangan berikutnya tiba. Setelah kedua opas tersebut menggembok terali dan pergi, diam-diam Selamet menyelinap ke sana. Pria itu berjongkok sambil bersandar pada terali besi dan berbisik pada Suro, “Eh, anu, Cak ...?”“Panggil saja aku Suro. Ada perlu apa kowe?” bentak Suro dengan kesal karena didera kelelahan yang teramat sangat.Jongos berbadan jangkung dengan gigi sedikit tongos itu terperanjak. Dia raba dadanya yang berdebar-debar sambil menelan ludah. Sesaat dia melirik Endaru yang sudah meringkuk membelakangi terali. “Siapa di antara kalian yang bergelar Warok?”Endaru yang berusaha terlelap langsung siaga meski tetap dalam posisi meringkuk. Suro yang duduk paling dekat dengan terali segera menarik kerah surjan Selamet yang lusuh hingga membuat rahang pria itu memelesak menghantam terali besi d

    Last Updated : 2021-04-16

Latest chapter

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -43- End

    Dada telanjang Endaru bersimbah darah Sastro. Hanya dengan memakai sarung batik dia melompati regol, mencuri salah satu kuda dari istal, dan memacunya kembali ke rumah pertanian Cornellis.Saat tiba di depan pagar sebuah peluru melesak menghentikan laju kudanya. Kuda itu meringkik ketakutan hingga membuatnya jatuh terpental ke tanah. “Rose, ini aku!” teriak Endaru ke arah lantai dua rumah itu sambil berusaha bangkit dari tanah.“Endaru?” Rose melempar senapannya ke tempat tidur dan segera berlari ke halaman, “Apa aku melukaimu?”Pemuda itu berjalan limbung menuju rumah. Rose menghambur ke arah Endaru tetapi pemuda itu menolaknya, “Tubuhku kotor!”Kilat dan guruh memecah langit pekat. Rose membeliak saat menyadari tubuh Endaru berlumuran darah. Perempuan itu menutup mulutnya dengan tangan yang gemetar.Pyaar! Suara petir menggelegar di udara yang dingin. Hujan deras berjatuhan dari langit meng

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -42-

    Endaru meraba-raba dalam kegalapan. Dia melepas bebatan pada matanya yang sudah tak lagi mengeluarkan darah tetapi yang terjadi malah penglihatannya menjadi semakin buram.“Dasi? Di mana kau?” bisik Endaru putus asa.“Kau masih menginginkan gadis itu, Enes?” suara serak Sastro terdengar bagaikan gong yang dipukul.Dengan kepala yang masih berdenyut-denyut Endaru berusaha bangkit dan mencoba keluar dari bilik Sastro. Dia seperti terkurung di dalam ruangan yang sempit dan pengap. Endaru merasai gigilan di tubuhnya semakin dahsyat. Baru dia sadari bahwa pakaian tak lagi melekat di raganya.Dalam remang cahaya sintir yang kekuningan Endaru mulai bisa melihat Sastro tengah bersila di tengah ruangan hanya mengenakan kain jarik. Matanya terpejam dengan bibir yang terus merapal mantra.Endaru berusaha bangkit dari dipan dengan tubuh sempoyongan. Kepalanya berdentam-dentam dengan sensasi tusukan-tusukan yang menyakitkan pada mata. Sa

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -41-

    Rombongan bupati tiba di Somoroto ketika bola api sudah tenggelam di langit barat. Di sana sudah ramai oleh para pendekar dan warok dari berbagai penjuru Panaragan. Semenjak Padepokan Wengker dikalahkan oleh padepokan milik Sastro para warok mulai berkiblat dan mempertimbangkan posisi Padepokan Bantarangin sebagai padepokan terkuat. Oleh karena itu sedapat mungkin mereka menjalin hubungan baik dengan Sastro untuk mencegah perselisihan sekaligus untuk memperoleh pos-pos jabatan penting di Panaragan.Upacara penentuan pimpinan Padepokan Bantarngin dihadiri oleh sejumlah perwakilan dari padepokan lain. Upacara penyambutan begitu meriah dengan adanya hiburan reog itu sendiri, atraksi pencak silat, dan jamuan beraneka ragam makanan.Warok Sastro yang kini menjabat sebagai bupati datang dalam iring-iringan yang meriah menuju kediaman lamanya di Somoroto. Sastro dalam pakaian kebesaran seorang warok duduk di pendopo yang sudah dihias sedemikian rupa. Para warok lain yang turu

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -40-

    “Tinggallah di sini bersamaku memimpin Padepokan Bantarangin dan satukan seluruh warok di bumi Panaragan ini di bawah kekuasaanku! Lima tahun aku bertarung dengan para warok lain untuk bisa menduduki takhta Bupati Panaragan. Jadi sudah sepatutnya jika aku menuntut pengakuan dari mereka, bukan?” Sastro menyulut kembali tembakau di dalam pipanya.Tanpa diduga Endaru bangkit dan berdiri tegak. Dengan perasaan berat dia mengucapan kalimat yang mungkin akan disesali seumur hidupnya, “Kau pikir aku akan menerima tawaranmu hanya karena menawan ibuku? Dia bahkan sudah memutuskan hubungan denganku!”Endaru mulai berjalan meninggalkan Sastro tetapi sekali lagi para opas itu menahan langkahnya. Salah satu dari mereka menunjukkan topeng bujang ganong yang semalam dikenakan Endaru saat menyelinap ke kediaman Sastro di Somoroto. “Anda tidak bisa pergi, Raden Mas. Anda harus ditahan sampai persidangan digelar karena kami menemukan bukti bahwa Anda terlib

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -39-

    Endaru sudah menguak pintu selebar mungkin dengan senyum semringah saat Rose mencegahnya. Pemuda itu berharap Dasi berdiri di sana dengan kebaya dan sanggul gantung seperti dalam imajinya selama tujuh tahun terakhir. Akan tetapi, pemuda itu membeliak saat mendapati orang yang berbeda berdiri di balik pintu. Terdengar pekik tertahan dari Rose yang baru sampai di tengah-tengah anak tangga.“Berlutut!” teriak orang yang berdiri di depan pintu.“Polisi?” Endaru berbisik lemah dengan kedua lutut melemas.Tiga orang opas dalam seragam serba hitam mengadang Endaru dengan dua moncong senapan tertuju ke arahnya. Seorang opas lagi yang bersenjatakan tongkat memukul bahu Endaru agar segera berjongkok. Dengan cepat mereka membelenggu kedua tangan dan kaki pemuda itu menggunakan gelang besi yang terhubung dengan rantai.Rose menerjang dan memasang badan untuk mencegah ketiga opas itu membawa Endaru pergi. Sesaat setelah Endaru berlari ke lantai

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -38-

    Dasi memutar ebor berisi pakaian basah ke depan untuk melindungi perut yang terbuka. “Kau bodoh karena kembali ke sini, Enes!”Endaru menerjang dasi dan merengkuhnya dalam dekapan. Ebor di tangan perempuan itu terlepas. Pakaian berhamburan ke tanah. Endaru mendekapnya lebih dalam seakan ingin menyatukan raga mereka dan melebur menjadi satu.Ragu-ragu tangan dasi terangkat dan dengan keras mendrorong Endaru hingga terlepas. Perempuan itu membungkuk berusaha memunguti pakaian yang terjatuh.Endaru tak menyerah. Dia tarik lengan Dasi dan kembali meraihnya dalam dekapan. Ingin dia ulangi kejadian tujuh tahun lalu—bibirnya melumat bibir Dasi yang merah tanpa gincu. Akan tetapi Endaru mundur dan melepas gadis itu. Mereka terengah dengan napas memburu—kecewa karena gelegak rindu yang urung tersalur.Dasi mendorong Endaru lebih kuat. Plak! Satu tamparan mendarat di pipi Endaru, “Kau tak suka pada perempuan

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -37-

    Seorang pria bersarung batik dan berbeskap putih duduk di sebuah kursi goyang sambil memangku seorang anak laki-laki berusia empat tahun yang sedang terlelap. Kumis baplang putihnya berayun-ayun saat bibir melantunkan kidung pengantar tidur.Sret ... sret ... terdengar suara gesekan celana gombroh dari sosok bertopeng merah yang berjalan mendekat ke arah kursi goyang. Kidung terputus. Sembah terangkat dari sosok bertopeng itu, “Sudah saya selesaikan seperti perintah Ndoro!”“Dia menjadi serakah dengan mencoba merebut dan menyakiti apa yang menjadi kebangaannku. Orang seperti itu memang pantas untuk disingkirkan, bukan?” Kursi kembali berayun, “Aku dengar ada kegaduhan di sana. Apa mereka tahu kau pelakunya? Bukankah kubilang untuk melakukannya dengan tenang?”“Ampun, Ndoro ...,” suara di balik topeng itu bergetar dengan sepasang tangan terangkat memberi sembah sekali lagi, “Ada seseorang yang juga me

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -36-

    Gadis itu menghilang saat Endaru berhasil mencapai rumah dalem tempat tinggal para nyai. Sejenak dia ragu karena tak ingin bertemu dengan Nyai Larsih atau siapa pun yang mungkin masih mengenalinya. Dipanjatnya dinding pemisah antara dua gadok—sisi kanan menuju bilik Sastro dan sisi kiri menuju pemondokan Dasi. Endaru memutuskan untuk turun ke sisi kanan.“Dasi, tunggulah sebentar lagi!” gumamnya pada diri sendiri.Dia mencabut belati dari punggung dan mengendap-endap memasuki bilik Sastro. Rapalan mantra dan pemusatan pikiran penyerahan diri pada Sang Kuasa lamat-lamat dia lantunkan. Kilasan-kilasan bayangan masa lalu kembali berkelebat hingga dengan satu entakan keyakinan dia dorong pintu bilik Sastro.Bilik itu kosong.“Sial!”Suara tapak-tapak kaki terdengar bergema semakin mendekat. Bisikan dan tawa bocah-bocah laki-laki terdengar saling bersahutan.“Para gemblak,” Endaru menutup bilik d

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -35-

    Ringkik kuda bersahutan dengan dekut para kuak. Halimun menggantung membatasi penglihatan. Cahaya sintir meliuk-liuk dengan sinar yang berpendar.Kraak ... suara pintu lumbung yang dikuak membuat para pengerat lari ketakutan. Aroma pengap dan masam menguar berhamburan dari bukaan pintu. Udara dingin puncak malam menggantikan lembap di dalam lumbung.Endaru membungkuk meraih bangku yang bergelimpang di lantai berdebu. Dia letakkan sintir di atas kursi dan berputar memandangi atap yang dihuni para pemintal. Jalinan sarang laba-laba yang menghitam menambah suram ruangan. Dia berjalan ke pusat gas dan memompanya hingga seluruh rumah kembali disinari cahaya.Bekas kediaman Cornellis kini menjadi rumah terkutuk yang ditakuti oleh warga. Tak ada yang berani menjamah bahkan sekadar lewat pun mereka enggan. Rumah pertanian itu kini dikepung gelagah, semak belukar, dan tumbuhan pancang. Sulur-sulur tanaman rambat menutupi hampir seluruh gerbangnya menyembunyikan

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status