Share

-6-

Author: Tias Yuliana
last update Last Updated: 2021-04-05 19:55:51

Fajar mulai berpendar kemerahan. Endaru tiba di batas Kademangan Jetis setelah berjalan hampir semalaman. Bibirnya membiru dengan rahang yang terus-menerus bergemeletuk. Bebat luka di wajahnya sudah lembap karena darah yang terus saja merembas. Lukanya masih terasa menyayat-nyayat dan semakin perih setiap kali melangkahkan kaki. Dia berjongkok sambil bersedekap di bawah beringin tua untuk mengistirahatkan raga yang larat.

Dia harus segera tiba di Pesantren Tegalsari untuk meminta perlindungan kepada siapa saja yang berada di sana. Terlihat dua orang preman memanggul buntelan dari kain sarung berjalan meninggalkan gapura Kademangan Jetis. Endaru segera bangkit dan mengadang salah satu dari mereka.

Kulo nuwun,[1] Pak Lik.” Endaru memberikan tabik.

Partikelir itu tersentak melihat bebat kain di wajah Endaru yang memerah. “Kau terluka, Nak?”

Pria itu tiba-tiba berlari ke arah semak belukar untuk mencari sesuatu. Endaru menunggu dengan rasa sakit yang menjadi-jadi. Tak lama preman itu kembali dengan membawa beberapa lembar daun berwarna merah dan hijau pada masing-masing sisi yang berbeda. Dia berjongkok dan menumbuk daun-daun tersebut hingga lumat menggunakan batu.

“Kemarilah!” perintahnya pada Endaru. Dilepasnya bebatan pada wajah si bocah yang terlihat kesakitan.

“Kau harus bisa menahannya karena akan terasa perih.” Lumatan daun tadi dia bobokkan pada luka Endaru yang menganga lalu membebatnya kembali dengan selembar kain baru yang biasa digunakan untuk udeng.

Endaru menggigit bibir menahan perih yang menjadi-jadi.

“Ini adalah daun sambang getih. Jika kau menumbuknya bisa digunakan untuk menghentikan pendarahan. Namun, aku tidak yakin matamu akan baik-baik saja karena sepertinya luka itu cukup dalam.” Pria itu bangkit dan memanggul kembali buntelannya.

“Tunggu, di mana letak Pesantren Tegalsari?” tanya Endaru seraya turut bangkit.

“Ada di batas sisi selatan. Kau mau ke sana? Aku harus meneruskan perjalanan dan semoga kau baik-baik saja.” Preman itu berlalu meninggalkan Endaru yang masih memaku diri di depan gapura.

Paman itu sudah pergi dan aku belum menyampaikan terima kasih.

Bocah bercawat itu baru melangkah beberapa hasta ketika sebuah dokar menyusul dari belakang. Dia menepi untuk memberi jalan. Di belakang dokar berdiri seorang jongos pria yang menandakan sang penumpang dokar adalah perempuan dari keluarga terpandang. Akan tetapi, dokar itu berhenti tak jauh setelah melewatinya.

Endaru terus memperhatikan. Si jongos yang berdiri di bagian belakang dokar segera turun dan berlari ke depan untuk menghadap sang majikan. Entah apa yang penumpang itu perintahkan, tetapi si jongos melihat sekilas ke arah Endaru dan mulai berjalan menghampiri.

Bocah cilik itu merasakan ancaman segera datang. Dia berbalik dan bersiap lari ketika si jongos tiba-tiba mencengkeram dan menarik lengannya.

“Jangan takut! Ndoro Putri hanya ingin berbicara denganmu.”

Endaru berhenti meronta dan menatap tepat ke mata sang jongos. Apa ini tipuan? Kenapa semua orang perlu memburuku?

“Siapa namamu?” tanya si Jongos. “Mari bicara sebentar dengan Ndoro Putri!”

Endaru menurut ketika tangan sang jongos menariknya menghadap penumpang dokar. Seorang perempuan bertubuh sedang mengenakan kebaya putih dan jarik cokelat duduk di atas dokar dengan kipas terayun di tangan. Kepalanya tertutup selendang putih membiaskan paras yang teduh.

“Naiklah! Saya ingin berbicara dengan kamu,” perintah perempuan itu.

Endaru seperti tercucuk oleh kelembutan suaranya. Dia menurut dan duduk berhadapan dengan sang penumpang dokar. Sesaat dia lupa akan tujuannya datang ke Jetis.

“Kau terluka, Nak?” Dia ulurkan tangan menarik dagu Endaru agar mendongak lebih tinggi untuk mengamati bebatan luka di wajahnya.

Tangan itu begitu lembut dan wangi tak seperti tangan sang ibu yang selalu kasar penuh barut dan kapal. Endaru membisu, menunduk, bahkan merasa mengecil di hadapan sang nyai. Dokar mulai melaju tetapi mengambil arah yang berlawanan.

“Ikut ke rumah saya, ya!? Kita obati lukamu di sana. Cah Bagus, sungguh indah parasmu ....” Perempuan itu mengulurkan sekali lagi tangannya ke bagian wajah Endaru yang tak terbebat kain.

***

Alunan gending-gending Panaragan terdengar rancak meski mengalun dengan lembut. Telinga Endaru bisa menangkap bunyi-bunyian selompret yang nyompret, kempul yang ngungkung, permainan kendang yang begitu riyel, dan imbal-imbalan pada permainan ketipung. Semua nada-nada rancak dari perangkat gamelan itu disempurnakan dengan perpaduan slendro-pelog yang menyadarkan Endaru bahwa dia baru saja memasuki kawasan desa reog di Somoroto.

Kereta membelok dan memasuki sebuah regol yang di dalamnya terhampar halaman luas dengan rumah bergaya joglo berdiri megah di tengah-tengahnya. Sudah terlambat bagi anak itu untuk berbalik. Dia telah masuk ke dalam jerat sang warok yang sekaligus menjabat sebagai demang.

“Cah Bagus bisa belajar apa saja nanti di sini sama Romo seperti anak-anak itu.” Perempuan itu mengibaskan tangannya ke arah pendopo yang disesaki oleh anak-anak seusia Endaru.

Anak-anak yang semuanya laki-laki itu didampingi sejumlah pria dewasa yang melatih mereka memainkan gamelan Panaragan dan menari jatilan. Di pelataran anak-anak yang lebih besar tengah berlatih kanuragan. Mereka bersebelahan dengan beberapa pria muda yang berlatih menari warok. Di sisi yang berbeda para pembarong tengah berlatih memainkan dadak merak seberat lima puluh kilogram hanya menggunakan gigi.   

Kini perhatian Endaru tersedot pada rombongan pria bertubuh kekar yang baru saja datang dengan menandu macan Jawa yang sudah tak bernyawa. Macan itu akan diambil kulitnya untuk dijadikan topeng dadak merak

Grebeg Suro digelar tiga hari lagi. Mereka harus berlatih keras untuk menampilkan reog gebyog sebagai wujud syukur dan penolak bala,” lanjut sang nyai.

Endaru menoleh ke arah perempuan itu. Suara dan resam tubuhnya begitu mengesani seakan mengandung daya tarik yang tak bisa ditolak. Seorang jongos segera berlari menghampiri begitu dokar mereka berhenti di sayap kiri rumah utama.

“Karyo, gendong Cah Bagus ini dan bawa masuk ke dalam. Mandikan dan beri dia makan. Suruh orang untuk menjemput Dokter Schneider ke sini. Luka Cah Bagus harus segera diobati.” Perempuan itu turun dari kereta setelah memberi satu usapan lembut di puncak kepala Endaru.

Tubuh Endaru membeku. Dia kehilangan jati diri. Keberanian dan pemberontakan seakan tercerabut dari pedalaman jiwanya saat itu juga. Pengorbanannya dengan merusak wajah, tangisan sang emak yang tiada terkira, semuanya menjadi sia-sia. Jiwa dan raganya kini di dalam genggaman sang demang.

Dia biarkan jongos Karyo menggendong raganya yang serupa gombal nglumpruk. Endaru didudukkan oleh Karyo di sebuah bangku kayu di dekat sumur. Ketika jongos itu pergi untuk menyiapkan air mandi, Endaru berputar-putar mencoba mencari jalan keluar.

Malam Suro masih tiga hari lagi. Mungkin Demang Sastro masih melakukan tirakat. Pasti karena itu dia mengirimkan istrinya untuk membawaku ke sini.

Endaru benci sekaligus ketakutan setiap bertemu dengan laki-laki yang bergelar warok. Bukan karena statusnya sebagai pimpinan rombongan kesenian reog, melainkan lelakunya yang lebih banyak sewenang-wenang dan menyimpang.

Bocah laki-laki itu terlalu disibukkan dengan pikirannya sendiri sehingga tak menyadari ada seorang anak perempuan berkebaya putih yang terus memperhatikan dari bawah bulu matanya yang panjang.

“Siapa kau?” pekik Endaru terkejut.

“Sebaiknya kau pergi sebelum semuanya terjadi,” kata anak perempuan itu acuh tak acuh.

“Terjadi, apa, maksudmu?” tanya Endaru dengan gelisah.

“Kau akan tahu. Malam itu pasti akan tiba juga,” lanjut sang anak perempuan.

“A-pa maksudmu? Malam a-pa?” Endaru mulai ketakutan di kursinya.

“Aku tahu kau datang ke sini karena dipaksa dan mantra itu belum juga mengenai pedalamanmu.”

Endaru mulai dijalari rasa nyeri di tengkuk dan wajah. Entah karena luka atau ketakutan yang mendera.

“Selama tiga hari ini Romo akan berada di tempat semedi. Jadi ambil peluang ini atau tidak sama sekali!” Bocah perempuan itu berlari dan menghilang di balik gebyok jati berukir.

[1] Permisi

Related chapters

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -7-

    Dokter Schneider baru keluar dari kamar Endaru dan segera disambut senyum ramah Nyai Larsih, “Bagaimana keadaannya, Dokter?”Pria berambut dan bermata cokelat di balik kaca monokelnya itu menghela. Dia berbicara dalam bahasa Melayu yang baik, “Penyembuhannya cepat, hanya tiga hari lukanya sudah cukup kering. Akan tetapi, pasti akan meninggalkan bekas dan kemungkinan menjadi buta juga besar.”Perempuan yang membawa Endaru ke rumah Demang Sastro menggunakan dokar tiga hari lalu itu mengangguk dan memandang iba pada Endaru yang masih duduk di ranjang, “Anak setampan itu!”“Izinkan saya undur diri dulu, Nyai.”“Tidak singgah lebih lama, Dokter?” sergah sang nyai, “Siang ini kami mengadakan pertunjukan reog gebyog[1].”“Ada perayaan rupanya?” tanya sang dokter sambil melepas kaca monokelnya.“Hanya perayaan wujud syukur dan penolak

    Last Updated : 2021-04-05
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -8-

    Warok Sastro menyesap kembali pipa tembakaunya dengan pandangan menerawang jauh.“Suatu malam bapakmu datang ke sini dan berkata bahwa dia merasa gagal menjadi seorang bapak. Nak, Gus, maka kubawa kau ke sini untuk kudidik dan kusiapkan sebelum menempuh jalan yang sunyi untuk menjadi warok sejati. Oleh karena itu, belajarlah apa saja yang bisa kau ambil di sini.”Tubuh Endaru semakin bergetar hebat. Dia berusaha mengendalikannya dengan mengepalkan tangan sekuat tenaga dan mengalirkan segala kecamuk rasa itu ke dalam genggaman tangannya.“Nyai, bagaimana persiapan menjamas[1]?”Terdengar suara gesekan kain jarik dan tapak selop Nyai Larsih yang mendekat, “Sudah semua, Kangmas. Mari saya bantu bersalin baju.”Warok Sastro berjalan diiringi Nyai Larsih menuju ke biliknya. Endaru berjalan gontai di belakang mereka menuju ke bangsal para babu. Endaru memperlambat langkah saat terdengar teriakan dan keributan

    Last Updated : 2021-04-05
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -9-

    Iring-iringan reog gebyog untuk merayakan malam satu Suro baru kembali ke kediaman Warok Sastro pada sore hari. Menjelang puncak malam para siswa dan gemblak di Padepokan Bantarangin menggelar pesta dengan menyantap beraneka hidangan di pendopo setelah upacara menjamas yang dipimpin oleh Warok Sastro selesai.Sebuah dokar dengan iring-iringan pria berpenunggang kuda dalam jumlah besar datang memasuki regol Padepokan Bantarangin.“Bandit Merah!”“Warok Wengker!”Teriakan dan pekikan tanda bahaya itu seketika mengubah kemeriahan pesta menjadi ketegangan yang luar biasa. Para warok Bantarangin langsung bersiaga dan mengadang sang pendatang sambil mengacungkan senjata masing-masing—belati, celurit, parang, bahkan tombak.Endaru bersama para gemblak lain yang duduk melingkari aneka hidangan makanan turut bangkit untuk memeriksa keributan yang terjadi. Warok Sastro yang duduk bersila di karpet Turki di anta

    Last Updated : 2021-04-05
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -10-

    Bojonegoro, September 1898Endaru menghentikan ceritanya sampai saat jongos Cornellis mengirimnya kembali ke rumah Warok Sastro. Bisik-bisik mulai merebak disusul tatapan jijik, cemoohan, bahkan tududuhan dari mulut-mulut manusia berkulit cokelat, kuning, dan putih yang hadir dalam persidangan tersebut. Mereka tiba-tiba berperan menjadi hakim bagi masa lalu Endaru yang belum juga tahu di mana kebenarannya.Semula mereka menduga-duga bagaimana seorang budak pekerja bisa menjadi pahlawan bagi sesama kaumnya yang papah dengan melawan tuan tanah yang memiliki kelainan seksual—penyuka sesama jenis. Orang-orang yang mulanya bersimpati dan memberikan dukungan pada Endaru, kini berbalik memusuhi dan mencibirnya. Mereka menganggap bahwa pemuda berparas cantik itu sengaja datang ke rumah Crussoe untuk menjadi budak nafsu sang kontrolir. Menjual diri dari satu tangan tuan besar ke tangan tuan besar yang lainnya.Seorang perempuan yang menjual diri&mdash

    Last Updated : 2021-04-05
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -11-

    Di tengah kekacauan itu tubuh Endaru mulai bergetar hebat. Dia peluk lutut yang menempel kuat ke dadanya dengan wajah terbenam di sana. Suara-suara teriakan dan cacian yang berusaha dihalau oleh para opas itu terus berjejalan memasuki liang telinganya. Lamat-lamat terdengar seperti bisikan lirih Warok Sastro di telinga Endaru saat malam pertama dia memasuki kamarnya.Hanya di bumi Panaragan kau akan mendapat sanjungan dan dielu-elukan setara dengan putra para sultan. Hanya di tanah Paragan semua orang—dari berbagai kalangan—akan memuja dan mengagumi status gemblakmu. Tak akan ada mulut-mulut yang melukaimu, tak akan ada tatapan yang merendahkanmu, karena mereka begitu mengagumi paras rupawan para gemblak pilihan. Mereka juga yang akan terus memuliakan kesaktian dan kebijaksanaan para warok yang mampu menjaga dan melindungi para pengikutnya.Endaru mulai meraung dan berteriak-teriak kehilangan kendali diri. Dibekapnya telinga sambil meringkuk di lan

    Last Updated : 2021-04-06
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -12-

    “Jadi karena cambuk kuda itu akhirnya kau memutuskan menjadi warok dan menjauhi para perempuan?” selidik Suro.“Tidak! Justru karena cambuk kuda itu aku semakin jatuh cinta pada Dasi tetapi ragaku seakan cenderung pada Warok Sastro yang membuat jiwa dan akalku semakin kacau. Kepala ini ingin sekali menolak setiap perintah dan permintaan Sastro untuk memasuki bilik dan mendampinginya setiap kali berpelesir, tetapi ragaku selalu mengkhianatiku. Seakan ada kekuatan besar tak kasat mata yang selalu membuatku manut dan nurut. Aku selalu merasa tak berdaya setiap kali tatapan Warok Sastro turun ke mataku. Di sisi lain aku terus membiakkan cinta kepada Dasi.”Kenangan Endaru melambung ke Ponorogo pada suatu siang di tahun 1891. Endaru memanjat pohon sampai tiba di salah satu dahan tertinggi. Dia ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentang kekebalan dan kehebatan ilmu kanuragan para warok saat sedang duel.Ujung kemeja hitam tak berkanci

    Last Updated : 2021-04-06
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -13-

    Perut Dasi menegang. Endaru melingkarkan lengannya begitu kuat di sana.Gadis itu berbisik, “Kau tahu kenapa Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan? Bukan semua laki-laki atau semua perempuan?”“Beri tahu aku Dasi ... berikan jawaban untuk segala kegelisahan ini,” balas Endaru parau di belakang telinga Dasi yang bersubang intan.“Karena mereka ada untuk saling melengkapi. Kau ada karena bapak dan emakmu bertemu. Jika saja kedua orang tuamu sesama laki-laki atau sesama perempuan, maka mungkin kau terlahir dari batu lumpang!” Dasi melepaskan lilitan tangan Endaru. Dia berjalan cepat meninggalkan pemuda kencur yang kebingungan akan jati dirinya itu.Tak! Satu sabetan besar dari celurit Warok Sastro mendarat di punggung pemuda yang menjadi lawannya. Perasaan kecewa menggelombang dalam dada Endaru. Pemuda yang wajahnya terlihat kemerahan karena pantulan sintir di kamar Nyai Centini malam itu mulai menemui kekalah

    Last Updated : 2021-04-15
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -14-

    Sebuah tangan menahan dan mencengkeram kuat pergelangan Endaru yang sepenuh tenaga ingin menancapkan ujung belati pada batang leher Warok Sastro. “Kau ... ingin menjadi pembunuh, Enes?” Suara Warok Sastro berat dan parau berusaha keras mempertahankan kehidupan.Cengkeraman belati pada tangan Endaru melemah. Tubuhnya menggigil dan ketakutan. Tangannya terkulai ke lantai dengan tubuh bersimbah keringat. Warok Sastro sendiri sudah hilang kesadaran dan tergolek di lantai.Nyai Larsih datang tergopoh-gopoh membawa sintir setelah mendengar teriakan dan kegaduhan. Rambut hitam dengan pangkal keperakan perempuan itu tergerai sepanjang pinggang. Wajahnya pucat tanpa polesan gincu dan calit. Betapa terkejut perempuan itu melihat Endaru mencengkeram belati di hadapan sang warok yang sudah tak sadarkan diri.“Kangmas?” Dia guncang-guncangkan tubuh Warok Sastro dengan penuh pengibaan.Nyai Larsih kini berpaling pada Endaru dan berganti menggunc

    Last Updated : 2021-04-16

Latest chapter

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -43- End

    Dada telanjang Endaru bersimbah darah Sastro. Hanya dengan memakai sarung batik dia melompati regol, mencuri salah satu kuda dari istal, dan memacunya kembali ke rumah pertanian Cornellis.Saat tiba di depan pagar sebuah peluru melesak menghentikan laju kudanya. Kuda itu meringkik ketakutan hingga membuatnya jatuh terpental ke tanah. “Rose, ini aku!” teriak Endaru ke arah lantai dua rumah itu sambil berusaha bangkit dari tanah.“Endaru?” Rose melempar senapannya ke tempat tidur dan segera berlari ke halaman, “Apa aku melukaimu?”Pemuda itu berjalan limbung menuju rumah. Rose menghambur ke arah Endaru tetapi pemuda itu menolaknya, “Tubuhku kotor!”Kilat dan guruh memecah langit pekat. Rose membeliak saat menyadari tubuh Endaru berlumuran darah. Perempuan itu menutup mulutnya dengan tangan yang gemetar.Pyaar! Suara petir menggelegar di udara yang dingin. Hujan deras berjatuhan dari langit meng

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -42-

    Endaru meraba-raba dalam kegalapan. Dia melepas bebatan pada matanya yang sudah tak lagi mengeluarkan darah tetapi yang terjadi malah penglihatannya menjadi semakin buram.“Dasi? Di mana kau?” bisik Endaru putus asa.“Kau masih menginginkan gadis itu, Enes?” suara serak Sastro terdengar bagaikan gong yang dipukul.Dengan kepala yang masih berdenyut-denyut Endaru berusaha bangkit dan mencoba keluar dari bilik Sastro. Dia seperti terkurung di dalam ruangan yang sempit dan pengap. Endaru merasai gigilan di tubuhnya semakin dahsyat. Baru dia sadari bahwa pakaian tak lagi melekat di raganya.Dalam remang cahaya sintir yang kekuningan Endaru mulai bisa melihat Sastro tengah bersila di tengah ruangan hanya mengenakan kain jarik. Matanya terpejam dengan bibir yang terus merapal mantra.Endaru berusaha bangkit dari dipan dengan tubuh sempoyongan. Kepalanya berdentam-dentam dengan sensasi tusukan-tusukan yang menyakitkan pada mata. Sa

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -41-

    Rombongan bupati tiba di Somoroto ketika bola api sudah tenggelam di langit barat. Di sana sudah ramai oleh para pendekar dan warok dari berbagai penjuru Panaragan. Semenjak Padepokan Wengker dikalahkan oleh padepokan milik Sastro para warok mulai berkiblat dan mempertimbangkan posisi Padepokan Bantarangin sebagai padepokan terkuat. Oleh karena itu sedapat mungkin mereka menjalin hubungan baik dengan Sastro untuk mencegah perselisihan sekaligus untuk memperoleh pos-pos jabatan penting di Panaragan.Upacara penentuan pimpinan Padepokan Bantarngin dihadiri oleh sejumlah perwakilan dari padepokan lain. Upacara penyambutan begitu meriah dengan adanya hiburan reog itu sendiri, atraksi pencak silat, dan jamuan beraneka ragam makanan.Warok Sastro yang kini menjabat sebagai bupati datang dalam iring-iringan yang meriah menuju kediaman lamanya di Somoroto. Sastro dalam pakaian kebesaran seorang warok duduk di pendopo yang sudah dihias sedemikian rupa. Para warok lain yang turu

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -40-

    “Tinggallah di sini bersamaku memimpin Padepokan Bantarangin dan satukan seluruh warok di bumi Panaragan ini di bawah kekuasaanku! Lima tahun aku bertarung dengan para warok lain untuk bisa menduduki takhta Bupati Panaragan. Jadi sudah sepatutnya jika aku menuntut pengakuan dari mereka, bukan?” Sastro menyulut kembali tembakau di dalam pipanya.Tanpa diduga Endaru bangkit dan berdiri tegak. Dengan perasaan berat dia mengucapan kalimat yang mungkin akan disesali seumur hidupnya, “Kau pikir aku akan menerima tawaranmu hanya karena menawan ibuku? Dia bahkan sudah memutuskan hubungan denganku!”Endaru mulai berjalan meninggalkan Sastro tetapi sekali lagi para opas itu menahan langkahnya. Salah satu dari mereka menunjukkan topeng bujang ganong yang semalam dikenakan Endaru saat menyelinap ke kediaman Sastro di Somoroto. “Anda tidak bisa pergi, Raden Mas. Anda harus ditahan sampai persidangan digelar karena kami menemukan bukti bahwa Anda terlib

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -39-

    Endaru sudah menguak pintu selebar mungkin dengan senyum semringah saat Rose mencegahnya. Pemuda itu berharap Dasi berdiri di sana dengan kebaya dan sanggul gantung seperti dalam imajinya selama tujuh tahun terakhir. Akan tetapi, pemuda itu membeliak saat mendapati orang yang berbeda berdiri di balik pintu. Terdengar pekik tertahan dari Rose yang baru sampai di tengah-tengah anak tangga.“Berlutut!” teriak orang yang berdiri di depan pintu.“Polisi?” Endaru berbisik lemah dengan kedua lutut melemas.Tiga orang opas dalam seragam serba hitam mengadang Endaru dengan dua moncong senapan tertuju ke arahnya. Seorang opas lagi yang bersenjatakan tongkat memukul bahu Endaru agar segera berjongkok. Dengan cepat mereka membelenggu kedua tangan dan kaki pemuda itu menggunakan gelang besi yang terhubung dengan rantai.Rose menerjang dan memasang badan untuk mencegah ketiga opas itu membawa Endaru pergi. Sesaat setelah Endaru berlari ke lantai

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -38-

    Dasi memutar ebor berisi pakaian basah ke depan untuk melindungi perut yang terbuka. “Kau bodoh karena kembali ke sini, Enes!”Endaru menerjang dasi dan merengkuhnya dalam dekapan. Ebor di tangan perempuan itu terlepas. Pakaian berhamburan ke tanah. Endaru mendekapnya lebih dalam seakan ingin menyatukan raga mereka dan melebur menjadi satu.Ragu-ragu tangan dasi terangkat dan dengan keras mendrorong Endaru hingga terlepas. Perempuan itu membungkuk berusaha memunguti pakaian yang terjatuh.Endaru tak menyerah. Dia tarik lengan Dasi dan kembali meraihnya dalam dekapan. Ingin dia ulangi kejadian tujuh tahun lalu—bibirnya melumat bibir Dasi yang merah tanpa gincu. Akan tetapi Endaru mundur dan melepas gadis itu. Mereka terengah dengan napas memburu—kecewa karena gelegak rindu yang urung tersalur.Dasi mendorong Endaru lebih kuat. Plak! Satu tamparan mendarat di pipi Endaru, “Kau tak suka pada perempuan

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -37-

    Seorang pria bersarung batik dan berbeskap putih duduk di sebuah kursi goyang sambil memangku seorang anak laki-laki berusia empat tahun yang sedang terlelap. Kumis baplang putihnya berayun-ayun saat bibir melantunkan kidung pengantar tidur.Sret ... sret ... terdengar suara gesekan celana gombroh dari sosok bertopeng merah yang berjalan mendekat ke arah kursi goyang. Kidung terputus. Sembah terangkat dari sosok bertopeng itu, “Sudah saya selesaikan seperti perintah Ndoro!”“Dia menjadi serakah dengan mencoba merebut dan menyakiti apa yang menjadi kebangaannku. Orang seperti itu memang pantas untuk disingkirkan, bukan?” Kursi kembali berayun, “Aku dengar ada kegaduhan di sana. Apa mereka tahu kau pelakunya? Bukankah kubilang untuk melakukannya dengan tenang?”“Ampun, Ndoro ...,” suara di balik topeng itu bergetar dengan sepasang tangan terangkat memberi sembah sekali lagi, “Ada seseorang yang juga me

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -36-

    Gadis itu menghilang saat Endaru berhasil mencapai rumah dalem tempat tinggal para nyai. Sejenak dia ragu karena tak ingin bertemu dengan Nyai Larsih atau siapa pun yang mungkin masih mengenalinya. Dipanjatnya dinding pemisah antara dua gadok—sisi kanan menuju bilik Sastro dan sisi kiri menuju pemondokan Dasi. Endaru memutuskan untuk turun ke sisi kanan.“Dasi, tunggulah sebentar lagi!” gumamnya pada diri sendiri.Dia mencabut belati dari punggung dan mengendap-endap memasuki bilik Sastro. Rapalan mantra dan pemusatan pikiran penyerahan diri pada Sang Kuasa lamat-lamat dia lantunkan. Kilasan-kilasan bayangan masa lalu kembali berkelebat hingga dengan satu entakan keyakinan dia dorong pintu bilik Sastro.Bilik itu kosong.“Sial!”Suara tapak-tapak kaki terdengar bergema semakin mendekat. Bisikan dan tawa bocah-bocah laki-laki terdengar saling bersahutan.“Para gemblak,” Endaru menutup bilik d

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -35-

    Ringkik kuda bersahutan dengan dekut para kuak. Halimun menggantung membatasi penglihatan. Cahaya sintir meliuk-liuk dengan sinar yang berpendar.Kraak ... suara pintu lumbung yang dikuak membuat para pengerat lari ketakutan. Aroma pengap dan masam menguar berhamburan dari bukaan pintu. Udara dingin puncak malam menggantikan lembap di dalam lumbung.Endaru membungkuk meraih bangku yang bergelimpang di lantai berdebu. Dia letakkan sintir di atas kursi dan berputar memandangi atap yang dihuni para pemintal. Jalinan sarang laba-laba yang menghitam menambah suram ruangan. Dia berjalan ke pusat gas dan memompanya hingga seluruh rumah kembali disinari cahaya.Bekas kediaman Cornellis kini menjadi rumah terkutuk yang ditakuti oleh warga. Tak ada yang berani menjamah bahkan sekadar lewat pun mereka enggan. Rumah pertanian itu kini dikepung gelagah, semak belukar, dan tumbuhan pancang. Sulur-sulur tanaman rambat menutupi hampir seluruh gerbangnya menyembunyikan

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status