Share

-5-

Penulis: Tias Yuliana
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-05 19:54:08

Gandari menuju ke gubuk bambunya setelah memasukkan kerbau ke kandang. Tangan telanjangnya terulur hendak membuka pintu, tetapi urung saat mendengar raungan dan kegaduhan dari dalam rumah.

Dia menghela. Perlahan disorongnya juga pintu bambu itu hingga terbuka. Terlihat Endaru tengah membungkuk mencangkuli lantai tanah rumahnya yang menjadi simbol kesabaran sang ibu dengan sekuat tenaga. Dia luapkan segala bentuk kemarahan, ketakutan, dan kebencian dengan terus merusak lantai tanah yang setiap hari Gandari sapu dan padatkan agar rata.

Gandari tak mampu berkata. Dia duduk bersimpuh di ambang pintu dengan nelangsa. Lantai tanah itu kini berlubang-lubang dengan sisa cangkulan yang terserak di setiap jengkal seperti raga dan perasaannya yang tak berdaya.

Setelah puas melampiaskan kemarahan, Endaru melempar cangkulnya hingga menghantam dinding gedek dan terpental. Tubuh berpeluhnya limbung ke lantai tanah yang berbenggol-benggol, “Jadi kepada siapa Emak akan serahkan tubuh ini?”

Gandari menggeleng lemah tak mampu menentang tatapan sang putra.

“Berapa imbalan yang akan emak terima untuk harga tubuhku?” Endaru memberontak dengan sangat kasarnya.

Hunjaman lidah sang putra membunuh jiwa Gandari sebagai seorang wanita dengan gelar ibunda. Dia bangkit dari ambang pintu dan mengambil belati yang terselip di samping pembaringan. Tangan kirinya menarik paksa Endaru keluar rumah hingga kedua kaki bocah itu terseret-seret, sedangkan tangan kanannya menggenggam erat belati yang bilahnya berkilat-kilat.

Endaru tak melawan. Dia serahkan tubuhnya untuk sang ibu. Dia rela bila harus meregang nyawa di tangan orang yang telah melahirkannya daripada harus menjadi budak warok mana pun di dunia ini.

Gandari menidurkan Endaru ke permukaan batu kali yang datar di samping rumah—tempat dia menggiling beras menjadi tepung. Pipi bocah itu menempel sempurna di permukaan batu yang halus dan hangat. Air bening meleleh dari sudut-sudut matanya meski terkatup dengan sangat rapat.

“Kau menangis? Kau tak menangis saat pertama kali aku lahirkan ke dunia ini! Kau tak menangis saat bapakmu pergi tanpa bicara dan menoleh kepada kita! Kau juga tak menangis saat para warok itu mencoba merebutmu dariku. Namun, kini kau menangis di hadapan belati ini?”

Endaru terisak untuk pertama kali. “Aku menangis karena Emak harus menderita seorang diri setelah aku mati.”

Belati terlepas dari genggaman Gandari. Dia mundur sambil membekap mulut. Bahunya melorot dengan punggung naik turun menahan gigil ketakutan.

Endaru mengambil belati itu dari tanah, “Jika Emak tidak bisa maka aku sendiri yang akan melakukannya!”

Bocah itu membalikkan mata belati menghadap ke lehernya. Tangan kecil Endaru gemetar sesaat sebelum mulai mengayunkan belati untuk menembusi batang lehernya sendiri.

Plash! Mata belati terayun. Darah segar menetes-netes dari ujung bilahnya. Tangan Gandari terlambat menahan ayunan tangan sang putra yang berusaha mengakhiri hidup.

“Tidak! Putraku, Endaru?” Gopah-gopoh sepasang telapak pucat Gandari merengkuh wajah sang putra yang bersimbah darah. Anyir menguar dan memelesak memenuhi penciuman.

Anak itu membeku tak bersuara. Kedua tangannya menekan wajah yang berdarah-darah. Belati meleset dari tenggorokan mengenai mata sebelah kanan.

Kraak! Gandari merobek ujung jariknya untuk membebat wajah Endaru.

Mereka saling mendekap. Gandari memangku dan menimang-nimang putranya seakan bocah itu masih bayi merah dalam buaian tangan. “Anak bodoh!”

Dagu Gandari menekan kuat puncak kepala Endaru. Tubuh mereka berayun-ayun maju mundur sambil duduk berpelukan di tanah. Dada mereka menganga karena luka jiwa. Pandangan mereka tersapu senja yang menyemburatkan warna merah, biru, dan ungu yang menjadi saksi bisu.

“Wajahku tak akan elok lagi, Mak. Mereka pasti tak akan menginginkanku!” bisik Endaru lemah di dalam dekapan sang ibu.

“Sungguh kau adalah putraku, bukan putra pria yang meninggalkanmu itu—yang menggadaikan dirinya untuk kesaktian para warok! Gusti Pangeran Sing Kuasa, dia ini adalah putra yang lahir dari peranakanku. Jadikanlah dia tetap putraku ....”

Tubuh Endaru menegang. Dia menolak diayun-ayun ke depan dan belakang lebih lama oleh sang ibu. Rasa sakit berdenyut-denyut di sekitar mata kanannya yang terluka. Risiko kebutaan seakan tak berarti daripada kenyataan tak tertanggungkan tentang riwayat kepergian sang bapak.

“Siapa bapak sebenarnya, Mak? Bagaimana para warok itu bisa mengenalnya?”

Gandari mulai menembangkan Gambuh. Wajahnya tenggelam dalam bayang kelimut malam.

“Ilang kasopanipun. Ora bayu weyane ngalumpuk. Sakciptane wardaya kang bebayani. Ubayane ora payu. Amung ketaman pakewuh ....”[1]

“Siapa bapakku, Mak?” Endaru menghentikan tembang sang ibu.

“Bapakmu adalah putra dari Warok Sentikno—pimpinan Padepokan Wengker di alas Jenangan. Suatu hari dia pergi ke Padepokan Bantarangin di Somoroto untuk ngelmu pada Warok Sastro. Di sana kami bertemu. Aku adalah putri dari babu keluarga Warok Sastro. Aku tidak tahu-menahu tentang kehidupan dan lelaku para warok karena para perempuan seperti kami dipisahkan dan dibatasi aktivitasnya hanya sampai di sumur dan dapur.” Mata Gandari menewarang.

“Suatu ketika bapakmu mendatangi dan mengajakku minggat. Dia bilang ingin hidup berdua denganku di dalam hutan yang jauh dari ingar-bingar kehidupan para warok. Aku pun jatuh cinta padanya sehingga setuju untuk mengikuti rencananya. Semua baik-baik saja sampai kau lahir ....”

“Apa aku menjadi beban dan kesulitan dalam kehidupan kalian?” Endaru meraba pipi ibunya.

Perempuan itu menatap Endaru dan menggeleng, “Bapakmu ketakutan dan menolak menyentuhmu saat tahu kau lahir sebagai bayi laki-laki. Bahkan setiap malam dia mulai dihantui mimpi-mimpi buruk. Hal itu membuatku sedih dan nelangsa. Beberapa kali bapakmu pergi untuk waktu yang cukup lama dan setiap kembali keadaannya seperti orang gila.”

“Apa bapak membenciku, Mak?”

Gandari menggeleng. “Dia berkata sangat mencintaimu, tetapi juga begitu takut jika menjadi penyebab kerusakan padamu. Aku tak paham apa yang dia ucapkan dan khawatirkan sampai kakekmu—Sentikno—dan Demang Sastro datang berebut ingin membawamu!”

“Apa yang mereka inginkan?”

“Aku tidak tahu! Semua menjadi serakah ingin merebutmu dariku. Tidak! Ibu mana yang rela menyerahkan anaknya kepada para warok itu?”

Endaru menunduk.

“Karena putus asa akhirnya bapakmu kembali ke rumah Demang Sastro tanpa berbicara dan menoleh lagi pada kita. Kerbau itu dia tinggalkan sebagai ganti bapakmu. Selamanya gemblak akan menjadi milik waroknya!”

Endaru lepas dari dekapan ibunya. Dia pandangi perempuan yang matanya melubangi awang-awang dengan raut tak terkatakan itu.

“Gemblak?” tanya Endaru lirih.

Gandari mengangguk lemah, “Baru kutahu selama tinggal di Padepokan Bantarangin bapakmu menjadi gemblak dari Demang Sastro!”

Perempuan itu mengguncang kedua bahu Endaru seakan baru ditampar kembali ke alam sadar. “Malam Suro tinggal beberapa hari lagi, mungkin besok Demang Sastro akan datang ke sini. Pergilah kau, Nak, malam ini juga ke Tegalsari. Mintalah perlindungan dari orang-orang saleh di sana. Semoga kau selamat, Nak.”

Dari kejauhan terdengar derap tapak kaki kuda, satu ... dua ... lebih banyak lagi yang tiba. Mereka mendekat dan semakin dekat. Gandari bangkit dengan pandangan berputar-putar. Dia raba-raba tanah mencari belati yang tadi terlepas.

“Pergilah, Nak! Pergilah! Carilah keselamatan dan ngelmu[2] pada orang-orang saleh di sana! Jauhi para warok itu ... Selamanya jauhi!”

Perempuan itu masuk ke rumah setelah melepas jabat tangan dan mendorong Endaru pergi seorang diri dengan wajah masih merembaskan darah. Gandari memasang palang dan mengunci diri di dalam gubuknya.

[1] “Hilang kesopanannya. Tidak mempunyai kekuatan serta lemah. Hal yang dilakukan selalu berbahaya. Sumpah serta janji yang hanya di mulut. Ujungnya hanya akan bertemu sesuatu yang tidak membuat hati senang ....”

[2] Mencari ilmu

Bab terkait

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -6-

    Fajar mulai berpendar kemerahan. Endaru tiba di batas Kademangan Jetis setelah berjalan hampir semalaman. Bibirnya membiru dengan rahang yang terus-menerus bergemeletuk. Bebat luka di wajahnya sudah lembap karena darah yang terus saja merembas. Lukanya masih terasa menyayat-nyayat dan semakin perih setiap kali melangkahkan kaki. Dia berjongkok sambil bersedekap di bawah beringin tua untuk mengistirahatkan raga yang larat.Dia harus segera tiba di Pesantren Tegalsari untuk meminta perlindungan kepada siapa saja yang berada di sana. Terlihat dua orang preman memanggul buntelan dari kain sarung berjalan meninggalkan gapura Kademangan Jetis. Endaru segera bangkit dan mengadang salah satu dari mereka.“Kulo nuwun,[1] Pak Lik.” Endaru memberikan tabik.Partikelir itu tersentak melihat bebat kain di wajah Endaru yang memerah. “Kau terluka, Nak?”Pria itu tiba-tiba berlari ke arah semak belukar untuk mencari sesua

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-05
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -7-

    Dokter Schneider baru keluar dari kamar Endaru dan segera disambut senyum ramah Nyai Larsih, “Bagaimana keadaannya, Dokter?”Pria berambut dan bermata cokelat di balik kaca monokelnya itu menghela. Dia berbicara dalam bahasa Melayu yang baik, “Penyembuhannya cepat, hanya tiga hari lukanya sudah cukup kering. Akan tetapi, pasti akan meninggalkan bekas dan kemungkinan menjadi buta juga besar.”Perempuan yang membawa Endaru ke rumah Demang Sastro menggunakan dokar tiga hari lalu itu mengangguk dan memandang iba pada Endaru yang masih duduk di ranjang, “Anak setampan itu!”“Izinkan saya undur diri dulu, Nyai.”“Tidak singgah lebih lama, Dokter?” sergah sang nyai, “Siang ini kami mengadakan pertunjukan reog gebyog[1].”“Ada perayaan rupanya?” tanya sang dokter sambil melepas kaca monokelnya.“Hanya perayaan wujud syukur dan penolak

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-05
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -8-

    Warok Sastro menyesap kembali pipa tembakaunya dengan pandangan menerawang jauh.“Suatu malam bapakmu datang ke sini dan berkata bahwa dia merasa gagal menjadi seorang bapak. Nak, Gus, maka kubawa kau ke sini untuk kudidik dan kusiapkan sebelum menempuh jalan yang sunyi untuk menjadi warok sejati. Oleh karena itu, belajarlah apa saja yang bisa kau ambil di sini.”Tubuh Endaru semakin bergetar hebat. Dia berusaha mengendalikannya dengan mengepalkan tangan sekuat tenaga dan mengalirkan segala kecamuk rasa itu ke dalam genggaman tangannya.“Nyai, bagaimana persiapan menjamas[1]?”Terdengar suara gesekan kain jarik dan tapak selop Nyai Larsih yang mendekat, “Sudah semua, Kangmas. Mari saya bantu bersalin baju.”Warok Sastro berjalan diiringi Nyai Larsih menuju ke biliknya. Endaru berjalan gontai di belakang mereka menuju ke bangsal para babu. Endaru memperlambat langkah saat terdengar teriakan dan keributan

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-05
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -9-

    Iring-iringan reog gebyog untuk merayakan malam satu Suro baru kembali ke kediaman Warok Sastro pada sore hari. Menjelang puncak malam para siswa dan gemblak di Padepokan Bantarangin menggelar pesta dengan menyantap beraneka hidangan di pendopo setelah upacara menjamas yang dipimpin oleh Warok Sastro selesai.Sebuah dokar dengan iring-iringan pria berpenunggang kuda dalam jumlah besar datang memasuki regol Padepokan Bantarangin.“Bandit Merah!”“Warok Wengker!”Teriakan dan pekikan tanda bahaya itu seketika mengubah kemeriahan pesta menjadi ketegangan yang luar biasa. Para warok Bantarangin langsung bersiaga dan mengadang sang pendatang sambil mengacungkan senjata masing-masing—belati, celurit, parang, bahkan tombak.Endaru bersama para gemblak lain yang duduk melingkari aneka hidangan makanan turut bangkit untuk memeriksa keributan yang terjadi. Warok Sastro yang duduk bersila di karpet Turki di anta

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-05
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -10-

    Bojonegoro, September 1898Endaru menghentikan ceritanya sampai saat jongos Cornellis mengirimnya kembali ke rumah Warok Sastro. Bisik-bisik mulai merebak disusul tatapan jijik, cemoohan, bahkan tududuhan dari mulut-mulut manusia berkulit cokelat, kuning, dan putih yang hadir dalam persidangan tersebut. Mereka tiba-tiba berperan menjadi hakim bagi masa lalu Endaru yang belum juga tahu di mana kebenarannya.Semula mereka menduga-duga bagaimana seorang budak pekerja bisa menjadi pahlawan bagi sesama kaumnya yang papah dengan melawan tuan tanah yang memiliki kelainan seksual—penyuka sesama jenis. Orang-orang yang mulanya bersimpati dan memberikan dukungan pada Endaru, kini berbalik memusuhi dan mencibirnya. Mereka menganggap bahwa pemuda berparas cantik itu sengaja datang ke rumah Crussoe untuk menjadi budak nafsu sang kontrolir. Menjual diri dari satu tangan tuan besar ke tangan tuan besar yang lainnya.Seorang perempuan yang menjual diri&mdash

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-05
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -11-

    Di tengah kekacauan itu tubuh Endaru mulai bergetar hebat. Dia peluk lutut yang menempel kuat ke dadanya dengan wajah terbenam di sana. Suara-suara teriakan dan cacian yang berusaha dihalau oleh para opas itu terus berjejalan memasuki liang telinganya. Lamat-lamat terdengar seperti bisikan lirih Warok Sastro di telinga Endaru saat malam pertama dia memasuki kamarnya.Hanya di bumi Panaragan kau akan mendapat sanjungan dan dielu-elukan setara dengan putra para sultan. Hanya di tanah Paragan semua orang—dari berbagai kalangan—akan memuja dan mengagumi status gemblakmu. Tak akan ada mulut-mulut yang melukaimu, tak akan ada tatapan yang merendahkanmu, karena mereka begitu mengagumi paras rupawan para gemblak pilihan. Mereka juga yang akan terus memuliakan kesaktian dan kebijaksanaan para warok yang mampu menjaga dan melindungi para pengikutnya.Endaru mulai meraung dan berteriak-teriak kehilangan kendali diri. Dibekapnya telinga sambil meringkuk di lan

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-06
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -12-

    “Jadi karena cambuk kuda itu akhirnya kau memutuskan menjadi warok dan menjauhi para perempuan?” selidik Suro.“Tidak! Justru karena cambuk kuda itu aku semakin jatuh cinta pada Dasi tetapi ragaku seakan cenderung pada Warok Sastro yang membuat jiwa dan akalku semakin kacau. Kepala ini ingin sekali menolak setiap perintah dan permintaan Sastro untuk memasuki bilik dan mendampinginya setiap kali berpelesir, tetapi ragaku selalu mengkhianatiku. Seakan ada kekuatan besar tak kasat mata yang selalu membuatku manut dan nurut. Aku selalu merasa tak berdaya setiap kali tatapan Warok Sastro turun ke mataku. Di sisi lain aku terus membiakkan cinta kepada Dasi.”Kenangan Endaru melambung ke Ponorogo pada suatu siang di tahun 1891. Endaru memanjat pohon sampai tiba di salah satu dahan tertinggi. Dia ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentang kekebalan dan kehebatan ilmu kanuragan para warok saat sedang duel.Ujung kemeja hitam tak berkanci

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-06
  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -13-

    Perut Dasi menegang. Endaru melingkarkan lengannya begitu kuat di sana.Gadis itu berbisik, “Kau tahu kenapa Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan? Bukan semua laki-laki atau semua perempuan?”“Beri tahu aku Dasi ... berikan jawaban untuk segala kegelisahan ini,” balas Endaru parau di belakang telinga Dasi yang bersubang intan.“Karena mereka ada untuk saling melengkapi. Kau ada karena bapak dan emakmu bertemu. Jika saja kedua orang tuamu sesama laki-laki atau sesama perempuan, maka mungkin kau terlahir dari batu lumpang!” Dasi melepaskan lilitan tangan Endaru. Dia berjalan cepat meninggalkan pemuda kencur yang kebingungan akan jati dirinya itu.Tak! Satu sabetan besar dari celurit Warok Sastro mendarat di punggung pemuda yang menjadi lawannya. Perasaan kecewa menggelombang dalam dada Endaru. Pemuda yang wajahnya terlihat kemerahan karena pantulan sintir di kamar Nyai Centini malam itu mulai menemui kekalah

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-15

Bab terbaru

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -43- End

    Dada telanjang Endaru bersimbah darah Sastro. Hanya dengan memakai sarung batik dia melompati regol, mencuri salah satu kuda dari istal, dan memacunya kembali ke rumah pertanian Cornellis.Saat tiba di depan pagar sebuah peluru melesak menghentikan laju kudanya. Kuda itu meringkik ketakutan hingga membuatnya jatuh terpental ke tanah. “Rose, ini aku!” teriak Endaru ke arah lantai dua rumah itu sambil berusaha bangkit dari tanah.“Endaru?” Rose melempar senapannya ke tempat tidur dan segera berlari ke halaman, “Apa aku melukaimu?”Pemuda itu berjalan limbung menuju rumah. Rose menghambur ke arah Endaru tetapi pemuda itu menolaknya, “Tubuhku kotor!”Kilat dan guruh memecah langit pekat. Rose membeliak saat menyadari tubuh Endaru berlumuran darah. Perempuan itu menutup mulutnya dengan tangan yang gemetar.Pyaar! Suara petir menggelegar di udara yang dingin. Hujan deras berjatuhan dari langit meng

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -42-

    Endaru meraba-raba dalam kegalapan. Dia melepas bebatan pada matanya yang sudah tak lagi mengeluarkan darah tetapi yang terjadi malah penglihatannya menjadi semakin buram.“Dasi? Di mana kau?” bisik Endaru putus asa.“Kau masih menginginkan gadis itu, Enes?” suara serak Sastro terdengar bagaikan gong yang dipukul.Dengan kepala yang masih berdenyut-denyut Endaru berusaha bangkit dan mencoba keluar dari bilik Sastro. Dia seperti terkurung di dalam ruangan yang sempit dan pengap. Endaru merasai gigilan di tubuhnya semakin dahsyat. Baru dia sadari bahwa pakaian tak lagi melekat di raganya.Dalam remang cahaya sintir yang kekuningan Endaru mulai bisa melihat Sastro tengah bersila di tengah ruangan hanya mengenakan kain jarik. Matanya terpejam dengan bibir yang terus merapal mantra.Endaru berusaha bangkit dari dipan dengan tubuh sempoyongan. Kepalanya berdentam-dentam dengan sensasi tusukan-tusukan yang menyakitkan pada mata. Sa

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -41-

    Rombongan bupati tiba di Somoroto ketika bola api sudah tenggelam di langit barat. Di sana sudah ramai oleh para pendekar dan warok dari berbagai penjuru Panaragan. Semenjak Padepokan Wengker dikalahkan oleh padepokan milik Sastro para warok mulai berkiblat dan mempertimbangkan posisi Padepokan Bantarangin sebagai padepokan terkuat. Oleh karena itu sedapat mungkin mereka menjalin hubungan baik dengan Sastro untuk mencegah perselisihan sekaligus untuk memperoleh pos-pos jabatan penting di Panaragan.Upacara penentuan pimpinan Padepokan Bantarngin dihadiri oleh sejumlah perwakilan dari padepokan lain. Upacara penyambutan begitu meriah dengan adanya hiburan reog itu sendiri, atraksi pencak silat, dan jamuan beraneka ragam makanan.Warok Sastro yang kini menjabat sebagai bupati datang dalam iring-iringan yang meriah menuju kediaman lamanya di Somoroto. Sastro dalam pakaian kebesaran seorang warok duduk di pendopo yang sudah dihias sedemikian rupa. Para warok lain yang turu

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -40-

    “Tinggallah di sini bersamaku memimpin Padepokan Bantarangin dan satukan seluruh warok di bumi Panaragan ini di bawah kekuasaanku! Lima tahun aku bertarung dengan para warok lain untuk bisa menduduki takhta Bupati Panaragan. Jadi sudah sepatutnya jika aku menuntut pengakuan dari mereka, bukan?” Sastro menyulut kembali tembakau di dalam pipanya.Tanpa diduga Endaru bangkit dan berdiri tegak. Dengan perasaan berat dia mengucapan kalimat yang mungkin akan disesali seumur hidupnya, “Kau pikir aku akan menerima tawaranmu hanya karena menawan ibuku? Dia bahkan sudah memutuskan hubungan denganku!”Endaru mulai berjalan meninggalkan Sastro tetapi sekali lagi para opas itu menahan langkahnya. Salah satu dari mereka menunjukkan topeng bujang ganong yang semalam dikenakan Endaru saat menyelinap ke kediaman Sastro di Somoroto. “Anda tidak bisa pergi, Raden Mas. Anda harus ditahan sampai persidangan digelar karena kami menemukan bukti bahwa Anda terlib

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -39-

    Endaru sudah menguak pintu selebar mungkin dengan senyum semringah saat Rose mencegahnya. Pemuda itu berharap Dasi berdiri di sana dengan kebaya dan sanggul gantung seperti dalam imajinya selama tujuh tahun terakhir. Akan tetapi, pemuda itu membeliak saat mendapati orang yang berbeda berdiri di balik pintu. Terdengar pekik tertahan dari Rose yang baru sampai di tengah-tengah anak tangga.“Berlutut!” teriak orang yang berdiri di depan pintu.“Polisi?” Endaru berbisik lemah dengan kedua lutut melemas.Tiga orang opas dalam seragam serba hitam mengadang Endaru dengan dua moncong senapan tertuju ke arahnya. Seorang opas lagi yang bersenjatakan tongkat memukul bahu Endaru agar segera berjongkok. Dengan cepat mereka membelenggu kedua tangan dan kaki pemuda itu menggunakan gelang besi yang terhubung dengan rantai.Rose menerjang dan memasang badan untuk mencegah ketiga opas itu membawa Endaru pergi. Sesaat setelah Endaru berlari ke lantai

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -38-

    Dasi memutar ebor berisi pakaian basah ke depan untuk melindungi perut yang terbuka. “Kau bodoh karena kembali ke sini, Enes!”Endaru menerjang dasi dan merengkuhnya dalam dekapan. Ebor di tangan perempuan itu terlepas. Pakaian berhamburan ke tanah. Endaru mendekapnya lebih dalam seakan ingin menyatukan raga mereka dan melebur menjadi satu.Ragu-ragu tangan dasi terangkat dan dengan keras mendrorong Endaru hingga terlepas. Perempuan itu membungkuk berusaha memunguti pakaian yang terjatuh.Endaru tak menyerah. Dia tarik lengan Dasi dan kembali meraihnya dalam dekapan. Ingin dia ulangi kejadian tujuh tahun lalu—bibirnya melumat bibir Dasi yang merah tanpa gincu. Akan tetapi Endaru mundur dan melepas gadis itu. Mereka terengah dengan napas memburu—kecewa karena gelegak rindu yang urung tersalur.Dasi mendorong Endaru lebih kuat. Plak! Satu tamparan mendarat di pipi Endaru, “Kau tak suka pada perempuan

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -37-

    Seorang pria bersarung batik dan berbeskap putih duduk di sebuah kursi goyang sambil memangku seorang anak laki-laki berusia empat tahun yang sedang terlelap. Kumis baplang putihnya berayun-ayun saat bibir melantunkan kidung pengantar tidur.Sret ... sret ... terdengar suara gesekan celana gombroh dari sosok bertopeng merah yang berjalan mendekat ke arah kursi goyang. Kidung terputus. Sembah terangkat dari sosok bertopeng itu, “Sudah saya selesaikan seperti perintah Ndoro!”“Dia menjadi serakah dengan mencoba merebut dan menyakiti apa yang menjadi kebangaannku. Orang seperti itu memang pantas untuk disingkirkan, bukan?” Kursi kembali berayun, “Aku dengar ada kegaduhan di sana. Apa mereka tahu kau pelakunya? Bukankah kubilang untuk melakukannya dengan tenang?”“Ampun, Ndoro ...,” suara di balik topeng itu bergetar dengan sepasang tangan terangkat memberi sembah sekali lagi, “Ada seseorang yang juga me

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -36-

    Gadis itu menghilang saat Endaru berhasil mencapai rumah dalem tempat tinggal para nyai. Sejenak dia ragu karena tak ingin bertemu dengan Nyai Larsih atau siapa pun yang mungkin masih mengenalinya. Dipanjatnya dinding pemisah antara dua gadok—sisi kanan menuju bilik Sastro dan sisi kiri menuju pemondokan Dasi. Endaru memutuskan untuk turun ke sisi kanan.“Dasi, tunggulah sebentar lagi!” gumamnya pada diri sendiri.Dia mencabut belati dari punggung dan mengendap-endap memasuki bilik Sastro. Rapalan mantra dan pemusatan pikiran penyerahan diri pada Sang Kuasa lamat-lamat dia lantunkan. Kilasan-kilasan bayangan masa lalu kembali berkelebat hingga dengan satu entakan keyakinan dia dorong pintu bilik Sastro.Bilik itu kosong.“Sial!”Suara tapak-tapak kaki terdengar bergema semakin mendekat. Bisikan dan tawa bocah-bocah laki-laki terdengar saling bersahutan.“Para gemblak,” Endaru menutup bilik d

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -35-

    Ringkik kuda bersahutan dengan dekut para kuak. Halimun menggantung membatasi penglihatan. Cahaya sintir meliuk-liuk dengan sinar yang berpendar.Kraak ... suara pintu lumbung yang dikuak membuat para pengerat lari ketakutan. Aroma pengap dan masam menguar berhamburan dari bukaan pintu. Udara dingin puncak malam menggantikan lembap di dalam lumbung.Endaru membungkuk meraih bangku yang bergelimpang di lantai berdebu. Dia letakkan sintir di atas kursi dan berputar memandangi atap yang dihuni para pemintal. Jalinan sarang laba-laba yang menghitam menambah suram ruangan. Dia berjalan ke pusat gas dan memompanya hingga seluruh rumah kembali disinari cahaya.Bekas kediaman Cornellis kini menjadi rumah terkutuk yang ditakuti oleh warga. Tak ada yang berani menjamah bahkan sekadar lewat pun mereka enggan. Rumah pertanian itu kini dikepung gelagah, semak belukar, dan tumbuhan pancang. Sulur-sulur tanaman rambat menutupi hampir seluruh gerbangnya menyembunyikan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status