Ketika ramalan bintang meramalkan kelahiran seorang anak laki-laki yang akan menggulingkan kekuasaannya, Raja Xuan memerintahkan pembantaian semua bayi laki-laki dalam radius seribu mil dari ibu kota. Xu Ming, yang lahir tepat di hari ramalan itu, diselamatkan oleh ayahnya yang menghanyutkannya ke sungai sebelum ditangkap oleh pasukan kerajaan. Dibesarkan di Desa Batu oleh seorang wanita tua, Xu Ming tumbuh menjadi pemuda berbakat dengan Tulang Suci Naga Abadi, sebuah anugerah langka dalam seni beladiri Benua Dao. Ketika ia mengetahui bahwa orang tuanya masih hidup dan ditawan di penjara bawah tanah kekaisaran, ia bersumpah untuk menjadi pendekar pedang terkuat dan menumbangkan Raja Xuan, membalas kekejian yang telah merenggut segalanya darinya.
View More"Yang Mulia! Ini… ini tidak mungkin…"
Suara itu melengking, menggema di seluruh aula megah Istana Langit Emas, ruang suci tempat para peramal bintang, penasihat agung, dan ahli sihir kekaisaran berkumpul. Lantai dari batu giok putih berkilau memantulkan cahaya obor yang bergoyang, namun ketenangan aula itu hancur ketika suara penasihat tertua, Mo Tian, mengguncang udara.
Mo Tian, lelaki tua berjubah ungu berhiaskan simbol bintang dan naga langit, menjatuhkan gulungan sutra ke lantai. Kedua tangannya gemetar, dan napasnya terengah seolah baru melihat bayangan maut sendiri.
Raja Xuan, duduk di singgasana naga dengan tatapan tajam bagaikan elang, menyipitkan mata.
“Bicaralah, Mo Tian. Jangan mengulur waktu dengan keluhan tua.”
Mo Tian berlutut. “Ampun, Yang Mulia. Ramalan telah turun dari langit… Tiga malam berturut-turut, konstelasi Qian Long dan Bintang Surga Ketujuh bertabrakan dalam garis merah darah. Langit mengirimkan pertanda…”
Ia menarik napas dalam, mencoba menyusun kata. “Dalam waktu satu purnama... seorang bayi laki-laki akan lahir, diberkahi oleh Langit dan Surga. Dia akan menggulingkan tahta Yang Mulia dan membawa akhir bagi Dinasti Xuan.”
“Gulungan Langit Tertutup” yang memuat ramalan ini hanya bisa dibuka oleh darah peramal agung dan hanya terbuka ketika Qian Long melintasi langit timur dalam formasi kematian. Kitab itu telah tersegel selama 900 tahun terakhir. Kini, ia terbuka dengan sendirinya, dan memperlihatkan tulisan bercahaya yang bahkan tinta emas pun tak sanggup menandingi.
Suasana di aula mendadak membeku. Hening, mencekam, seolah udara enggan bergetar. Hanya api obor yang masih menari, tak menyadari ketegangan yang meledak.
“Bayi... apa?” Raja Xuan berdiri. Gaun kerajaannya berdesir, mengeluarkan suara halus namun tajam, seperti bisikan pedang yang ditarik dari sarungnya. “Anak ingusan yang belum meminum susu ibunya, hendak menjatuhkan kekaisaran yang telah kubangun selama tiga dekade?”
Mo Tian tidak menjawab. Ia tahu. Raja Xuan bukan pria yang hanya memerintah dengan kebijaksanaan, ia memerintah dengan darah. Dan itu terbukti ketika, dengan isyarat satu tangan, ia memanggil Jenderal Pang An, pemimpin Pasukan Hitam Kekaisaran.
“Dengarkan dekritku.” Pang An membungkuk, satu lutut di lantai, sementara para penulis istana mulai mencatat kata demi kata.
“Dalam satu purnama ini, semua bayi laki-laki yang telah lahir dan akan lahir dalam radius seribu mil dari ibu kota, harus dieksekusi.”
Suara paku genta menggema. “Orangtua yang mencoba menyembunyikan, melindungi, atau memberontak akan dianggap pengkhianat tahta. Mereka akan dibunuh di tempat. Bila tidak, kirim mereka ke penjara bawah tanah kekaisaran dan siksa seumur hidupnya.”
Gulungan tinta darah kekaisaran digoreskan. Takdir ribuan keluarga ditulis dalam satu tarikan pena. Langit mendung saat itu. Di luar istana, awan gelap bergulung seperti naga bangkit dari samudra. Langit tahu apa yang telah diputuskan.
Di seluruh penjuru ibu kota dan desa-desa kecil, kabar itu menyebar seperti racun. Tangisan bayi berhenti mendadak. Jendela ditutup rapat. Para ibu menyusui dalam kegelapan, menahan isak yang tertahan. Beberapa keluarga menggali lubang rahasia di lantai rumah mereka, yang lain memilih melarikan diri ke gunung. Tapi Pasukan Hitam Kekaisaran sudah menyebar seperti awan maut, dingin dan tanpa belas kasih.
Di sebuah desa sunyi, tepat di kaki gunung Qing Shan, sebuah rumah kayu kecil berdiri tersembunyi di antara hutan bambu. Di dalamnya, jerit bayi terdengar bersahut-sahutan, namun bukan jeritan ketakutan melainkan suara pertama seorang anak laki-laki yang baru saja melihat dunia. Xu Ling’er, seorang wanita muda bermata bening, mengusap keringat di dahinya sambil tersenyum lemah. Di sampingnya, suaminya Xu Qian, seorang pembuat pedang yang bijak, menatap bayi itu dengan campuran bahagia dan gentar.
“Dia... dia lahir,” gumam Xu Qian.
Namun sebelum mereka sempat memberi nama, langit mendadak retak. Petir berwarna ungu menyambar tepat di atas rumah. Hujan energi spiritual turun dari langit, membasahi bumi dalam bentuk cahaya emas yang berkedip.
Angin berputar membentuk pusaran. Energi spiritual alam yaitu Dao Qi Murni terhisap masuk ke dalam tubuh mungil bayi itu. Sebuah cahaya naga keemasan muncul dari tulang belakang bayi tersebut. Tulang Suci Naga Abadi, anugerah langka yang hanya muncul sekali dalam seribu tahun, mengukir garis bercahaya di sepanjang tulangnya.
Di atas langit, seekor naga cahaya mengaum dari balik awan. Xu Qian gemetar. Ia tahu apa artinya ini. Ia pernah menjadi kultivator sebelum memilih hidup damai. Ia tahu bahwa tulang suci ini... adalah ramalan yang dimaksud para peramal bintang.
“Ling’er…” bisiknya. “Anak kita adalah pertanda langit.”
Xu Ling’er menatap bayi itu, air matanya menetes, namun bukan karena takut. “Namanya… Xu Ming,” ucapnya pelan.
Namun damai mereka hanya berlangsung sekejap. Di kejauhan, suara derap kaki kuda mengguncang bumi. Api menyala di balik pepohonan.
Xu Qian menggertakkan gigi. “Mereka datang.”
Xu Ling’er memeluk bayinya. “Apa yang harus kita lakukan?”
Xu Qian bangkit, membuka peti tua di bawah lantai, mengeluarkan pedang hitam berukir simbol naga. Bilah itu terbuat dari intisari logam taraf kelima, logam langka yang hanya terbentuk di perut gunung yang menyentuh awan. Ia dulu menamai senjata itu “Hei Long - Balok tembaga kekacauan.”
“Dulu, aku menanggalkan dunia ini untuk hidup tenang. Tapi dunia tak membiarkanku pergi.”
Xu Qian membuka matanya yang telah lama tak melihat medan tempur. Mata seorang pendekar. “Kita akan bertahan… untuk Ming’er.”
Pasukan Kekaisaran berkuda mengenakan zirah hitam, membawa obor dan tombak spiritual, mengepung rumah kayu itu. Komandan Zhao, pemimpin unit, mengangkat tangannya.
“Cari dan hancurkan! Jika ada bayi laki-laki, bunuh. Jika ada yang melawan, eksekusi di tempat!”
Pasukan mulai menyerbu. Xu Qian berdiri di depan pintu dengan tombak naga di tangannya, rambutnya terurai, dan energi Dao mulai bergetar di sekeliling tubuhnya.
“Teknik Dao Taraf Pertama: Tubuh Dao Naga Emas!” Ia telah kembali menyalakan Taraf Pertama : Penempaan Tubuh Dao. Suatu kekuatan keras dan panas menjalari tubuhnya.
Setiap helaan napas membawa energi bumi masuk ke dalam pori-porinya. Dao energi ini memancarkan aura naga berwarna keemasan, disebut Tubuh Dao Naga Emas. Tubuhnya mengeras seperti baja. Otot-ototnya membengkak. Matanya menyala kehijauan.
“Siapa pun yang melangkah ke tanah ini… takkan pernah kembali.” Xu Qian mengangkat kepalanya ke depan menatap ratusan pasukan kekaisaran yang mengepung.
Pertarungan akan segera pecah. Namun waktu mereka terbatas. Xu Qian tahu, ini bukan tentang menang. Ini tentang memberi waktu bagi istrinya dan anaknya.
Xu Ling’er, di dalam rumah, meletakkan Xu Ming ke dalam keranjang kayu yang dilapisi kain hangat juga pedang Hei Long yang dititipkan suaminya dibawah selimut. Ia mengusap pipi bayinya.
“Maafkan kami, Nak…”
Sungai kecil mengalir beberapa puluh meter di belakang rumah. Dengan hati yang hancur, ia melepaskan keranjang itu ke arus air. Xu Ming hanyut bersama aliran takdir, menuju dunia yang akan menantangnya, mencintainya, membencinya, dan suatu hari… mengangkatnya.
Di langit, bintang Qian Long bersinar satu kali lebih terang, seolah mengirim restu terakhir bagi sang naga kecil yang baru dilahirkan.
“Majulah kalian, para anjing kekaisaran!” teriak Xu Qian dengan berani.
“Seranggg!!!” puluhan pasukan itu maju dengan baju zirah dan tameng siap menghadapi Xu Qian yang meledakkan energi Dao Qi emas miliknya.
Bersambung…
Langkah kaki tua yang tertatih memasuki rumah kecil yang porak-poranda. Pintu yang tergantung miring berderit saat Nenek Hua mendorongnya perlahan, dan pandangannya langsung tertumbuk pada kekacauan yang tidak biasa.“Ming’er…?” suara seraknya pelan, tapi cukup menusuk ke dalam kesunyian sore itu.Dari balik pintu, sosok pemuda kurus tampak duduk bersila, tubuhnya bergetar lemah. Wajahnya pucat pasi, dan setitik darah segar menetes dari sudut bibirnya.Nenek Hua terdiam sejenak, lalu tersenyum sangat tipis. “Jadi kau… berhasil membentuk Dao Qi-mu sendiri…”Xu Ming hanya mengangguk lemah. Dengan satu gerakan cekatan, Nenek Hua mengeluarkan kuali tembaga dari cincin penyimpannya, dan dalam sekejap, nyala api berwarna ungu-merah muda menari dari telapak tangannya.“Lihat baik-baik, Nak. Ini bukan api biasa. Ini Api Kalajengking Sutra,” katanya, suaranya kini berubah tenang namun penuh kekuatan. “Dulu, ayahku hampir tewas karena racunnya, tapi dari sanalah api ini ditaklukkan dan diwarisk
"Sepertinya Nenek belum pulang. Lebih baik aku bermeditasi kembali."Xu Ming duduk di tikar usang dalam pondok kayu, menggenggam liontin es yang sejak kecil menggantung di lehernya. Tak ada kata istirahat untuknya. Anak-anak lain seusianya masih tertawa-tawa, mengejar ikan atau mencari katak monster di sungai belakang lembah. Mere`ka sudah mencapai Taraf 1 dan merasa itu cukup. Tapi bagi Ming'er, ini tak cukup!Ia menutup mata, berusaha menstabilkan aliran Qi. Tapi tepat saat energi Dao mulai mengalir dari Dantian ke meridian, sebuah suara dingin muncul, menggema dari dalam liontin.“Teteskan darahmu. Alirkan Dao Qi ke liontin. Sekarang!”Xu Ming terlonjak, membuka mata lebar-lebar. “Siapa itu?!”“Jangan banyak tanya. Kau ingin menjadi kuat bukan? Lakukan!” titah suara misterius ituSuara itu dingin. Tegas. Tak memberi ruang penolakan. Darahnya berdesir. Dan entah kenapa, ia patuh. Tanpa ragu, ia menggigit jari, meneteskan darah ke liontin biru es di dadanya. Dalam sekejap, seluruh ru
"Tenangkan hatimu. Biarkan napasmu menyatu dengan bumi, dan biarkan Dao menunjukkan bentuk aslimu."Suara Kakek Mozi menggema lembut di aula latihan batu di sisi barat Desa Kayu. Pagi masih basah oleh embun. Aroma kayu, rumput liar, dan tanah yang lembab memenuhi udara, menghadirkan suasana sakral yang hening dan penuh harap.Sepuluh pemuda duduk bersila dalam lingkaran, mata terpejam, tubuh mereka tegak dalam keheningan. Mereka adalah generasi baru ksatria Taraf Satu, yang kini bersiap melangkah ke fase sejati dalam dunia kultivasi: membentuk pondasi Dao yang stabil.Kakek Mozi berdiri di tengah lingkaran, menggenggam tongkat bambunya."Setiap orang memiliki karakter Dao yang unik," ujarnya, suaranya tenang namun sarat makna. "Api, angin, batu, cahaya, racun, bahkan kehampaan... semua bisa menjadi dasar teknik Dao kalian. Namun karakter Dao itu tidak datang dari luar. Ia lahir dari dalam. Dari tulangmu. Dari napasmu. Dari jiwamu yang mulai bangkit."Ia mengangkat tangan kanannya. Sek
Salah satu keistimewaan dalam jalan kultivasi adalah kemampuannya menembus batas tubuh, jiwa, dan waktu itu sendiri. Bagi manusia fana, hidup tak lebih dari serpihan musim. Seratus tahun dianggap panjang, namun bahkan usia itu pun kerap terputus di tengah jalan. Lain halnya dengan seorang kultivator. Meski tak berbakat, selama berhasil menembus Taraf Pertama: Penempaan Tubuh Dao, ia dapat memperpanjang hidup hingga dua atau bahkan tiga abad lamanya.Karena itu, langkah pertama dalam kultivasi bukan sekadar awal pelatihan, melainkan kelahiran kembali. Sebuah pemisahan dari kefanaan, menuju usia panjang yang hanya dimiliki oleh mereka yang terpilih. Malam itu, di Desa Batu, tampak sebuah perayaan sederhana. Anak-anak yang baru saja menyelesaikan upacara pendewasaan menari mengelilingi api unggun, tertawa dan saling bercanda. Namun bagi mereka yang memahami dunia Dao, ini bukan sekadar pesta. Ini adalah keajaiban. Simbol bahwa generasi baru telah lahir, anak-anak yang kini tak lagi terik
“Kau yakin anak-anak itu siap?”Suara Nenek Hua terdengar pelan, tapi tajam, saat ia menyusun gulungan daun pahit ke dalam mangkuk tembaga. Asap tipis mengepul, membawa aroma yang menusuk hingga ke paru-paru.Kakek Mozi, berdiri di bawah pohon plum tua, tak langsung menjawab. Ia hanya menatap bocah yang duduk bersila di ujung pelataran altar batu. Xu Ming, diam, mata terpejam, napas lambat tapi berat, seperti menahan sesuatu di dalam tubuhnya.“Tidak ada yang pernah benar-benar siap, Hua,” kata Mozi akhirnya. “Tapi jika bahkan tulang-tulang muda Desa Batu kita tak mampu menanggung kerikil pertama di kaki mereka ini, kita yang tua ini hanya bisa berdoa…”Nenek Hua mendengus pelan. “Kau bicara seperti dewa, Pak Tua. Aku hanya ingin semua anak-anak ini menerobos dengan lancar. Termasuk Xu Ming... Aku sudah menganggapnya seperti cucuku sendiri. Aku hanya ingin dia menggenggam erat keinginannya, apa pun yang terjadi nanti.”Keduanya mengangguk sepakat, lalu berjalan pelan menuju altar batu
Langit masih diliputi semburat ungu ketika Xu Ming berdiri di tanah basah, napasnya menggantung dalam udara pagi yang dingin. Kedua tangannya mengepal, lalu perlahan membentuk segel dasar pelatihan napas."Tiga... dua... satu..." bisiknya.Pukulan lurus dilontarkan ke batang kayu tua yang tergantung dengan tali rotan. BUK! Tubuh mungilnya terpental setengah langkah ke belakang. Telapak tangannya berdarah lagi.Dari kejauhan, Nenek Hua muncul dengan langkah tertatih, membawa kantung obat. Rambutnya yang abu tersapu angin pagi saat ia menghela napas."Setiap pagi seperti ini… selalu saja tanganmu berdarah," gumamnya sambil membuka gulungan kain kasa.Di sampingnya, Kakek Mozi bersandar pada tongkat bambu, matanya tetap tertuju pada Xu Ming."Anak itu keras kepala, ya?" komentar Hua sambil duduk di atas batu."Bukan hanya keras kepala," jawab Mozi, tersenyum kecil. "Tulangnya masih muda, tapi semangatnya… seperti baja tua yang telah ditempa ratusan kali.""Kau juga yang menanamkan itu pa
Di pinggiran Lembah Huoyan, sekitar seratus mil dari Desa Kayu, tim pemburu sedang menjalankan misi.“Ada getaran Dao kuat dari arah lembah barat!” seru Han Su, pemimpin Tim Pemburu Desa Kayu. Ia adalah pria paruh baya dengan tubuh kekar berbalut rompi kulit binatang buas. Wajahnya tegas, dagunya ditumbuhi jenggot kasar, dan matanya tajam seperti elang. Di punggungnya tergantung pedang lebar bersarung hitam, senjata khas pendekar yang telah mencapai Taraf 4 - Dao Vein Awakening.Empat orang pemburu lainnya segera mengelilinginya. Liang Fei, pemburu termuda namun paling gesit, memiliki rambut kuda panjang dan senjata sabit ganda yang tergantung di pinggang. Qi Bao, bertubuh tambun tapi bermata tajam, adalah ahli jebakan dan pengintai. Lalu ada Lei Shan dan Duan Wu, saudara seperguruan dengan tombak panjang dan teknik gerakan cepat. Semuanya berada di puncak Taraf 3 - Dao Core Formation, dan tengah menanti waktu untuk menerobos ke taraf selanjutnya.“Gemuruh itu... bukan tanah longsor,”
Hujan deras mengguyur dataran Luoyuan. Aroma tanah basah bercampur darah membekas di udara, menggantung seperti kabut pekat. Hembusan angin membawa suara denting logam dan teriakan prajurit yang bercampur nyaring dengan gelegar petir dari langit kelam. Di tengah-tengah medan yang porak-poranda oleh jejak kaki kuda dan tubuh bergelimpangan, seorang pria berdiri dengan tombak naga panjang berbalut energi dao, menghadap ratusan pasukan kekaisaran.Komandan Zhao mengangkat tangan, menghentikan pasukannya saat melihat sosok berjubah kelabu berdiri sendirian di ujung tebing kecil.“Pendekar,” katanya, suaranya menggema di udara lembap. “Sebutkan namamu. Aku tidak membunuh seseorang tanpa tahu siapa yang kuhabisi.”Sosok berjubah itu tidak bergerak. Rintik hujan jatuh di pundaknya, tapi ia berdiri tegak, seperti bayangan batu yang menyatu dengan alam. Beberapa saat sunyi, lalu pria itu mengangkat kepalanya perlahan. Wajahnya masih muda, tapi sorot matanya... seperti danau yang menyimpan ribu
"Yang Mulia! Ini… ini tidak mungkin…"Suara itu melengking, menggema di seluruh aula megah Istana Langit Emas, ruang suci tempat para peramal bintang, penasihat agung, dan ahli sihir kekaisaran berkumpul. Lantai dari batu giok putih berkilau memantulkan cahaya obor yang bergoyang, namun ketenangan aula itu hancur ketika suara penasihat tertua, Mo Tian, mengguncang udara.Mo Tian, lelaki tua berjubah ungu berhiaskan simbol bintang dan naga langit, menjatuhkan gulungan sutra ke lantai. Kedua tangannya gemetar, dan napasnya terengah seolah baru melihat bayangan maut sendiri.Raja Xuan, duduk di singgasana naga dengan tatapan tajam bagaikan elang, menyipitkan mata.“Bicaralah, Mo Tian. Jangan mengulur waktu dengan keluhan tua.”Mo Tian berlutut. “Ampun, Yang Mulia. Ramalan telah turun dari langit… Tiga malam berturut-turut, konstelasi Qian Long dan Bintang Surga Ketujuh bertabrakan dalam garis merah darah. Langit mengirimkan pertanda…”Ia menarik napas dalam, mencoba menyusun kata. “Dalam
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments