Home / Pendekar / TULANG SUCI NAGA ABADI / BAB 3 : PUTRI MALU SEMBILAN PERUBAHAN

Share

BAB 3 : PUTRI MALU SEMBILAN PERUBAHAN

Author: Faisalicious
last update Last Updated: 2025-04-23 16:22:13

Di pinggiran Lembah Huoyan, sekitar seratus mil dari Desa Kayu, tim pemburu sedang menjalankan misi.

“Ada getaran Dao kuat dari arah lembah barat!” seru Han Su, pemimpin Tim Pemburu Desa Kayu. Ia adalah pria paruh baya dengan tubuh kekar berbalut rompi kulit binatang buas. Wajahnya tegas, dagunya ditumbuhi jenggot kasar, dan matanya tajam seperti elang. Di punggungnya tergantung pedang lebar bersarung hitam, senjata khas pendekar yang telah mencapai Taraf 4 - Dao Vein Awakening.

Empat orang pemburu lainnya segera mengelilinginya. Liang Fei, pemburu termuda namun paling gesit, memiliki rambut kuda panjang dan senjata sabit ganda yang tergantung di pinggang. Qi Bao, bertubuh tambun tapi bermata tajam, adalah ahli jebakan dan pengintai. Lalu ada Lei Shan dan Duan Wu, saudara seperguruan dengan tombak panjang dan teknik gerakan cepat. Semuanya berada di puncak Taraf 3 - Dao Core Formation, dan tengah menanti waktu untuk menerobos ke taraf selanjutnya.

“Gemuruh itu... bukan tanah longsor,” kata Liang Fei, suaranya parau. “Itu seperti... suara dua raksasa bertarung.”

Langit mencelat merah keemasan. Awan membelah. Angin mendesing liar, dan dari arah lembah, dua sosok kolosal muncul.

Yang satu menyerupai singa perunggu bersisik, bertanduk dua dengan tubuh membara, menggetarkan tanah tiap kali ia menginjakkan kaki. Yang satu lagi adalah burung raksasa bersayap petir, matanya menyala biru, tubuhnya panjang dan ramping seperti naga.

“Demi langit...” bisik Liang Fei. “Itu... Kirin Api Tanah dan Garuda Petir Angin!”

Han Su menyipitkan mata, menahan napas. “Makhluk surgawi taraf lima... Mereka tidak seharusnya ada di sini.”

“Kenapa di Lembah Huoyan?” tanya Duan Wu dengan suara tegang.

Han Su menunjuk ke tengah pertarungan. “Lihat tanaman itu... Kelopaknya merah muda keemasan. Itu Putri Malu Sembilan Perubahan. Dan di tengahnya... Benih Api.”

Qi Bao menelan ludah. “Benih Api? Yang bisa memperkuat jiwa?”

“Benih itu menyimpan energi Dao langit dan bumi dalam bentuk paling murni,” jawab Han Su. “Jika ditelan, ia dapat menyempurnakan hati Dao... cukup untuk menembus taraf keenam.”

Langit bergemuruh. Garuda menyelam dan melepaskan Petir Seribu Tombak, menghantam tanah, menciptakan kawah hitam berasap. Kirin meraung dan membalas dengan Ledakan Inti Lava, menumpahkan magma merah ke tanah, membakar pepohonan dan batuan.

“Bukankah benih itu bisa dimanfaatkan... oleh manusia?” tanya Qi Bao.

Han Su mengangguk. “Jika jatuh ke tangan penyuling pil... bisa dibuat menjadi pil taraf enam. Bahkan pil pencerah kehendak, atau pil penyatu jiwa Dao.”

Ledakan maha dahsyat mengguncang langit. Benih Api mekar, melepaskan cahaya tujuh warna. Garuda menukik cepat. Kirin melompat dengan raungan membara.

BOOOOM!!!

Api dan petir bertabrakan. Gelombang spiritual menghantam seluruh sisi lembah, mengguncang batu dan pepohonan. Tim pemburu terhempas ke tanah.

Saat debu dan kabut mulai surut, Benih Api tampak masih melayang. Kelopaknya separuh terbakar, tapi cahayanya tetap utuh.

“Dia belum memiliki tuannya,” ujar Han Su pelan.

Liang Fei bergumam, “Kalau kita yang dapat benih itu...”

Han Su tidak menjawab. Pandangannya kosong, menatap langit yang memerah.

“Kapten,” ucap Qi Bao tiba-tiba, “ini... mungkin terdengar gila, tapi bukankah ini... peluang?”

Han Su menoleh. “Apa maksudmu?”

“Ingatkah kalian perintah Pak Tua Mozi?” kata Qi Bao cepat. “Kita dikirim untuk mencari esensi darah monster taraf tiga demi upacara pendewasaan anak-anak desa.”

Liang Fei tersentak. “Benar! Esensi itu dibutuhkan agar kolam yin-yang dapat digunakan oleh anak anak menyerap Dao dan membentuk meridian.”

“Tapi lihatlah sekarang,” Qi Bao menunjuk medan pertempuran. “Salah satu dari mereka akan mati. Yang satu lagi terluka parah. Ini bukan hanya sisa... ini kesempatan untuk meraih segalanya. Darah esensi, bangkai monster, bulu, taring, sisik semua bisa digunakan. Pedang, armor, atau pil obat... semua alkemis akan membayar harga tinggi untuk barang-barang seperti itu.”

Lei Shan menimpali, matanya menyala, “Bahkan... Benih Api itu sendiri. Jika kita mendapatkannya, mungkin salah satu anak desa akan menjadi alkemis besar di masa depan.”

Han Su menatap mereka semua. Wajahnya keras, tapi sorot matanya berubah.

“Kita akan bertaruh segalanya,” katanya akhirnya. “Saat salah satu dari mereka tumbang, dan yang lainnya tak bisa berdiri... kita serbu. Kita rebut apa yang bisa direbut.”

Ia mengangkat pedangnya dan menunjuk ke arah lembah. “Bukan karena tamak. Tapi karena masa depan Desa Kayu... bisa ditentukan hari ini.”

Detik demi detik berlalu. Darah menggenang di lembah, menguap perlahan dalam panas yang menyengat. Garuda Petir Angin akhirnya roboh, tubuh megahnya menghantam tanah seperti gunung runtuh. Sayapnya tercabik, bulu-bulu petir tercerai-berai, dan dari mulutnya keluar semburan energi terakhir yang merontokkan puncak-puncak pohon di kejauhan. Ia tergeletak diam, dan dunia menjadi sunyi sejenak.

Di sisi lain, Kirin Api Tanah berdiri goyah. Tubuh raksasanya dipenuhi luka, darah magmanya menetes dari pori-pori retak seperti batu vulkanik pecah. Nafasnya kasar, matanya merah padam, namun tetap berdiri dengan sisa kehendak terakhirnya.

Han Su menatap medan, lalu mengangkat tangan tinggi dengan sorotan mata tajam seperti pedang.

“SEKARANG! SERANG!”

Tim pemburu langsung melesat bagai anak panah dilepaskan dari busur kekuatan. Liang Fei melompat lebih dahulu, sabit kembarnya berkilau di udara. Qi Bao menggenggam jimat segel dan mengaktifkan formasi pembungkus energi. Lei Shan dan Duan Wu berputar dari sisi kanan dan kiri, menyusun formasi pengepung segitiga.

Langkah kaki mereka mengguncang tanah. Aura mereka meledak satu per satu. Mereka bukan lagi sekadar pemburu, mereka adalah penjaga masa depan Desa Kayu.

Namun sebelum serangan mereka tiba, suara berat dan penuh dendam menggema dari dada Kirin yang masih menyala.

“Kalian... manusia menjijikkan...” suara itu seperti gemuruh dari dasar jurang api, dalam dan menyakitkan.

Kirin mengangkat kepalanya perlahan. Cahaya merah darah memancar dari matanya yang menyala seperti bara abadi.

“Bahkan saat aku tak berdaya... kalian masih datang... seperti lalat mengerubungi bangkai...”

Ia terbatuk keras, menyemburkan darah magma yang langsung membakar tanah tempat jatuhnya.

“Tapi ingat ini, manusia...” katanya lagi, suaranya kini berubah menjadi geraman rendah yang penuh kebencian.

“Meskipun aku mati... aku akan membawa kalian... semua... KE NERAKA BERSAMAKU!”

Tubuhnya mulai bergetar hebat. Retakan-retakan bercahaya membelah tanah di sekitarnya, seolah dunia sendiri menolak kehendaknya untuk mati begitu saja. Dari tubuhnya, aura kebencian membumbung, bercampur kehendak Dao yang telah terbakar, menggulung ke langit dalam bentuk pusaran api besar.

Langit memerah. Awan terbelah. Tanah terangkat di sekitar kaki Kirin, membentuk medan api yang menggila. Darahnya berubah menjadi lava liar, dan setiap tetesnya menyebar seperti tombak panas ke segala arah.

Han Su memekik, suaranya menggelegar mengalahkan raungan angin.

“SEMUA ORANG! AKTIFKAN SEGEL PENJARA! SEKARANG!”

Bersambung…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 4 : UPACARA PENDEWASAAN

    Langit masih diliputi semburat ungu ketika Xu Ming berdiri di tanah basah, napasnya menggantung dalam udara pagi yang dingin. Kedua tangannya mengepal, lalu perlahan membentuk segel dasar pelatihan napas."Tiga... dua... satu..." bisiknya.Pukulan lurus dilontarkan ke batang kayu tua yang tergantung dengan tali rotan. BUK! Tubuh mungilnya terpental setengah langkah ke belakang. Telapak tangannya berdarah lagi.Dari kejauhan, Nenek Hua muncul dengan langkah tertatih, membawa kantung obat. Rambutnya yang abu tersapu angin pagi saat ia menghela napas."Setiap pagi seperti ini… selalu saja tanganmu berdarah," gumamnya sambil membuka gulungan kain kasa.Di sampingnya, Kakek Mozi bersandar pada tongkat bambu, matanya tetap tertuju pada Xu Ming."Anak itu keras kepala, ya?" komentar Hua sambil duduk di atas batu."Bukan hanya keras kepala," jawab Mozi, tersenyum kecil. "Tulangnya masih muda, tapi semangatnya… seperti baja tua yang telah ditempa ratusan kali.""Kau juga yang menanamkan itu pa

    Last Updated : 2025-04-23
  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 5 : LEDAKAN ENERGI DAO

    “Kau yakin anak-anak itu siap?”Suara Nenek Hua terdengar pelan, tapi tajam, saat ia menyusun gulungan daun pahit ke dalam mangkuk tembaga. Asap tipis mengepul, membawa aroma yang menusuk hingga ke paru-paru.Kakek Mozi, berdiri di bawah pohon plum tua, tak langsung menjawab. Ia hanya menatap bocah yang duduk bersila di ujung pelataran altar batu. Xu Ming, diam, mata terpejam, napas lambat tapi berat, seperti menahan sesuatu di dalam tubuhnya.“Tidak ada yang pernah benar-benar siap, Hua,” kata Mozi akhirnya. “Tapi jika bahkan tulang-tulang muda Desa Batu kita tak mampu menanggung kerikil pertama di kaki mereka ini, kita yang tua ini hanya bisa berdoa…”Nenek Hua mendengus pelan. “Kau bicara seperti dewa, Pak Tua. Aku hanya ingin semua anak-anak ini menerobos dengan lancar. Termasuk Xu Ming... Aku sudah menganggapnya seperti cucuku sendiri. Aku hanya ingin dia menggenggam erat keinginannya, apa pun yang terjadi nanti.”Keduanya mengangguk sepakat, lalu berjalan pelan menuju altar batu

    Last Updated : 2025-04-23
  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 6 : MENGUNGKAP SIAPA?

    Salah satu keistimewaan dalam jalan kultivasi adalah kemampuannya menembus batas tubuh, jiwa, dan waktu itu sendiri. Bagi manusia fana, hidup tak lebih dari serpihan musim. Seratus tahun dianggap panjang, namun bahkan usia itu pun kerap terputus di tengah jalan. Lain halnya dengan seorang kultivator. Meski tak berbakat, selama berhasil menembus Taraf Pertama: Penempaan Tubuh Dao, ia dapat memperpanjang hidup hingga dua atau bahkan tiga abad lamanya.Karena itu, langkah pertama dalam kultivasi bukan sekadar awal pelatihan, melainkan kelahiran kembali. Sebuah pemisahan dari kefanaan, menuju usia panjang yang hanya dimiliki oleh mereka yang terpilih. Malam itu, di Desa Batu, tampak sebuah perayaan sederhana. Anak-anak yang baru saja menyelesaikan upacara pendewasaan menari mengelilingi api unggun, tertawa dan saling bercanda. Namun bagi mereka yang memahami dunia Dao, ini bukan sekadar pesta. Ini adalah keajaiban. Simbol bahwa generasi baru telah lahir, anak-anak yang kini tak lagi terik

    Last Updated : 2025-04-25
  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 7 : DAO QI NAGA ES

    "Tenangkan hatimu. Biarkan napasmu menyatu dengan bumi, dan biarkan Dao menunjukkan bentuk aslimu."Suara Kakek Mozi menggema lembut di aula latihan batu di sisi barat Desa Kayu. Pagi masih basah oleh embun. Aroma kayu, rumput liar, dan tanah yang lembab memenuhi udara, menghadirkan suasana sakral yang hening dan penuh harap.Sepuluh pemuda duduk bersila dalam lingkaran, mata terpejam, tubuh mereka tegak dalam keheningan. Mereka adalah generasi baru ksatria Taraf Satu, yang kini bersiap melangkah ke fase sejati dalam dunia kultivasi: membentuk pondasi Dao yang stabil.Kakek Mozi berdiri di tengah lingkaran, menggenggam tongkat bambunya."Setiap orang memiliki karakter Dao yang unik," ujarnya, suaranya tenang namun sarat makna. "Api, angin, batu, cahaya, racun, bahkan kehampaan... semua bisa menjadi dasar teknik Dao kalian. Namun karakter Dao itu tidak datang dari luar. Ia lahir dari dalam. Dari tulangmu. Dari napasmu. Dari jiwamu yang mulai bangkit."Ia mengangkat tangan kanannya. Sek

    Last Updated : 2025-04-25
  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 8 : ROH API PRIMODIAL

    "Sepertinya Nenek belum pulang. Lebih baik aku bermeditasi kembali."Xu Ming duduk di tikar usang dalam pondok kayu, menggenggam liontin es yang sejak kecil menggantung di lehernya. Tak ada kata istirahat untuknya. Anak-anak lain seusianya masih tertawa-tawa, mengejar ikan atau mencari katak monster di sungai belakang lembah. Mere`ka sudah mencapai Taraf 1 dan merasa itu cukup. Tapi bagi Ming'er, ini tak cukup!Ia menutup mata, berusaha menstabilkan aliran Qi. Tapi tepat saat energi Dao mulai mengalir dari Dantian ke meridian, sebuah suara dingin muncul, menggema dari dalam liontin.“Teteskan darahmu. Alirkan Dao Qi ke liontin. Sekarang!”Xu Ming terlonjak, membuka mata lebar-lebar. “Siapa itu?!”“Jangan banyak tanya. Kau ingin menjadi kuat bukan? Lakukan!” titah suara misterius ituSuara itu dingin. Tegas. Tak memberi ruang penolakan. Darahnya berdesir. Dan entah kenapa, ia patuh. Tanpa ragu, ia menggigit jari, meneteskan darah ke liontin biru es di dadanya. Dalam sekejap, seluruh ru

    Last Updated : 2025-04-26
  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 9 : API PRIMODIAL PERINGKAT 23

    Langkah kaki tua yang tertatih memasuki rumah kecil yang porak-poranda. Pintu yang tergantung miring berderit saat Nenek Hua mendorongnya perlahan, dan pandangannya langsung tertumbuk pada kekacauan yang tidak biasa.“Ming’er…?” suara seraknya pelan, tapi cukup menusuk ke dalam kesunyian sore itu.Dari balik pintu, sosok pemuda kurus tampak duduk bersila, tubuhnya bergetar lemah. Wajahnya pucat pasi, dan setitik darah segar menetes dari sudut bibirnya.Nenek Hua terdiam sejenak, lalu tersenyum sangat tipis. “Jadi kau… berhasil membentuk Dao Qi-mu sendiri…”Xu Ming hanya mengangguk lemah. Dengan satu gerakan cekatan, Nenek Hua mengeluarkan kuali tembaga dari cincin penyimpannya, dan dalam sekejap, nyala api berwarna ungu-merah muda menari dari telapak tangannya.“Lihat baik-baik, Nak. Ini bukan api biasa. Ini Api Kalajengking Sutra,” katanya, suaranya kini berubah tenang namun penuh kekuatan. “Dulu, ayahku hampir tewas karena racunnya, tapi dari sanalah api ini ditaklukkan dan diwarisk

    Last Updated : 2025-04-26
  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 10 : PENOLAKAN ENERGI SPIRITUAL

    Xu Ming akhirnya menggenggam Benih Api di tangannya. Aroma hangat bercampur manis dari cahaya merah gelap itu menelusup ke paru-parunya, menenangkan namun juga memberi tekanan tak kasat mata ke setiap pori-porinya. Ia mengangguk pelan ke arah Nenek Hua.“Aku akan melakukannya… Nenek.”Wajah tua itu mengendurkan ketegangan, meski matanya tetap waspada. “Baiklah, tapi dengarkan baik-baik. Meski kau telah menerobos Taraf Kedua dan lautan jiwamu telah terbentuk, menjadi seorang Dan Shi bukan sekadar memiliki api. Kau harus menstabilkan semuanya dari awal.”Ia menepuk bahu Xu Ming, lalu mulai mengatur formasi pelindung di sekeliling mereka. “Pertama, lautan jiwamu. Kau telah membentuknya, tapi belum menstabilkannya. Arus spiritualmu masih liar. Tanpa kestabilan itu, kau bisa mati terbakar hanya dengan niat menyentuh Benih Api.”Xu Ming menarik napas. Ia duduk bersila, perlahan mulai memusatkan kesadarannya ke dalam. T

    Last Updated : 2025-04-27
  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 11 : PIL PERTAMA BUATAN MING'ER

    "Sudah tiga hari, anak nakal itu tak datang ke tempat latihan!" Gerutu Kakek Mo menggema di antara jalur setapak berbatu Desa Kayu. "Apa dia sedang mengalami kebuntuan? Atau jatuh sakit? Hatiku gelisah sekali rasanya..."Langkahnya mantap tapi disertai ketidaksabaran yang tak biasa. Tongkat kayu tua menghantam bebatuan kecil di sepanjang jalan sempit yang jaraknya hanya lima menit dari pondoknya. Kabut pagi masih menggantung rendah di atas pucuk bambu, dan aroma tanah basah membumbung samar setelah hujan malam sebelumnya. Tapi bukan udara yang mengganggu batinnya, melainkan rasa cemas yang menancap di dada seorang tetua yang terlalu menyayangi cucu didiknya."Hua! Huaaa!" teriaknya lantang saat mendekati pekarangan pondok. “Apa ada masa—”Ucapannya terputus begitu kaki tuanya menyentuh lantai pekarangan yang berembun. Matanya membelalak. Mulutnya sedikit menganga.“Ming’er...? Dia... sedang mencoba memurnikan pil?”

    Last Updated : 2025-04-27

Latest chapter

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 11 : PIL PERTAMA BUATAN MING'ER

    "Sudah tiga hari, anak nakal itu tak datang ke tempat latihan!" Gerutu Kakek Mo menggema di antara jalur setapak berbatu Desa Kayu. "Apa dia sedang mengalami kebuntuan? Atau jatuh sakit? Hatiku gelisah sekali rasanya..."Langkahnya mantap tapi disertai ketidaksabaran yang tak biasa. Tongkat kayu tua menghantam bebatuan kecil di sepanjang jalan sempit yang jaraknya hanya lima menit dari pondoknya. Kabut pagi masih menggantung rendah di atas pucuk bambu, dan aroma tanah basah membumbung samar setelah hujan malam sebelumnya. Tapi bukan udara yang mengganggu batinnya, melainkan rasa cemas yang menancap di dada seorang tetua yang terlalu menyayangi cucu didiknya."Hua! Huaaa!" teriaknya lantang saat mendekati pekarangan pondok. “Apa ada masa—”Ucapannya terputus begitu kaki tuanya menyentuh lantai pekarangan yang berembun. Matanya membelalak. Mulutnya sedikit menganga.“Ming’er...? Dia... sedang mencoba memurnikan pil?”

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 10 : PENOLAKAN ENERGI SPIRITUAL

    Xu Ming akhirnya menggenggam Benih Api di tangannya. Aroma hangat bercampur manis dari cahaya merah gelap itu menelusup ke paru-parunya, menenangkan namun juga memberi tekanan tak kasat mata ke setiap pori-porinya. Ia mengangguk pelan ke arah Nenek Hua.“Aku akan melakukannya… Nenek.”Wajah tua itu mengendurkan ketegangan, meski matanya tetap waspada. “Baiklah, tapi dengarkan baik-baik. Meski kau telah menerobos Taraf Kedua dan lautan jiwamu telah terbentuk, menjadi seorang Dan Shi bukan sekadar memiliki api. Kau harus menstabilkan semuanya dari awal.”Ia menepuk bahu Xu Ming, lalu mulai mengatur formasi pelindung di sekeliling mereka. “Pertama, lautan jiwamu. Kau telah membentuknya, tapi belum menstabilkannya. Arus spiritualmu masih liar. Tanpa kestabilan itu, kau bisa mati terbakar hanya dengan niat menyentuh Benih Api.”Xu Ming menarik napas. Ia duduk bersila, perlahan mulai memusatkan kesadarannya ke dalam. T

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 9 : API PRIMODIAL PERINGKAT 23

    Langkah kaki tua yang tertatih memasuki rumah kecil yang porak-poranda. Pintu yang tergantung miring berderit saat Nenek Hua mendorongnya perlahan, dan pandangannya langsung tertumbuk pada kekacauan yang tidak biasa.“Ming’er…?” suara seraknya pelan, tapi cukup menusuk ke dalam kesunyian sore itu.Dari balik pintu, sosok pemuda kurus tampak duduk bersila, tubuhnya bergetar lemah. Wajahnya pucat pasi, dan setitik darah segar menetes dari sudut bibirnya.Nenek Hua terdiam sejenak, lalu tersenyum sangat tipis. “Jadi kau… berhasil membentuk Dao Qi-mu sendiri…”Xu Ming hanya mengangguk lemah. Dengan satu gerakan cekatan, Nenek Hua mengeluarkan kuali tembaga dari cincin penyimpannya, dan dalam sekejap, nyala api berwarna ungu-merah muda menari dari telapak tangannya.“Lihat baik-baik, Nak. Ini bukan api biasa. Ini Api Kalajengking Sutra,” katanya, suaranya kini berubah tenang namun penuh kekuatan. “Dulu, ayahku hampir tewas karena racunnya, tapi dari sanalah api ini ditaklukkan dan diwarisk

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 8 : ROH API PRIMODIAL

    "Sepertinya Nenek belum pulang. Lebih baik aku bermeditasi kembali."Xu Ming duduk di tikar usang dalam pondok kayu, menggenggam liontin es yang sejak kecil menggantung di lehernya. Tak ada kata istirahat untuknya. Anak-anak lain seusianya masih tertawa-tawa, mengejar ikan atau mencari katak monster di sungai belakang lembah. Mere`ka sudah mencapai Taraf 1 dan merasa itu cukup. Tapi bagi Ming'er, ini tak cukup!Ia menutup mata, berusaha menstabilkan aliran Qi. Tapi tepat saat energi Dao mulai mengalir dari Dantian ke meridian, sebuah suara dingin muncul, menggema dari dalam liontin.“Teteskan darahmu. Alirkan Dao Qi ke liontin. Sekarang!”Xu Ming terlonjak, membuka mata lebar-lebar. “Siapa itu?!”“Jangan banyak tanya. Kau ingin menjadi kuat bukan? Lakukan!” titah suara misterius ituSuara itu dingin. Tegas. Tak memberi ruang penolakan. Darahnya berdesir. Dan entah kenapa, ia patuh. Tanpa ragu, ia menggigit jari, meneteskan darah ke liontin biru es di dadanya. Dalam sekejap, seluruh ru

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 7 : DAO QI NAGA ES

    "Tenangkan hatimu. Biarkan napasmu menyatu dengan bumi, dan biarkan Dao menunjukkan bentuk aslimu."Suara Kakek Mozi menggema lembut di aula latihan batu di sisi barat Desa Kayu. Pagi masih basah oleh embun. Aroma kayu, rumput liar, dan tanah yang lembab memenuhi udara, menghadirkan suasana sakral yang hening dan penuh harap.Sepuluh pemuda duduk bersila dalam lingkaran, mata terpejam, tubuh mereka tegak dalam keheningan. Mereka adalah generasi baru ksatria Taraf Satu, yang kini bersiap melangkah ke fase sejati dalam dunia kultivasi: membentuk pondasi Dao yang stabil.Kakek Mozi berdiri di tengah lingkaran, menggenggam tongkat bambunya."Setiap orang memiliki karakter Dao yang unik," ujarnya, suaranya tenang namun sarat makna. "Api, angin, batu, cahaya, racun, bahkan kehampaan... semua bisa menjadi dasar teknik Dao kalian. Namun karakter Dao itu tidak datang dari luar. Ia lahir dari dalam. Dari tulangmu. Dari napasmu. Dari jiwamu yang mulai bangkit."Ia mengangkat tangan kanannya. Sek

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 6 : MENGUNGKAP SIAPA?

    Salah satu keistimewaan dalam jalan kultivasi adalah kemampuannya menembus batas tubuh, jiwa, dan waktu itu sendiri. Bagi manusia fana, hidup tak lebih dari serpihan musim. Seratus tahun dianggap panjang, namun bahkan usia itu pun kerap terputus di tengah jalan. Lain halnya dengan seorang kultivator. Meski tak berbakat, selama berhasil menembus Taraf Pertama: Penempaan Tubuh Dao, ia dapat memperpanjang hidup hingga dua atau bahkan tiga abad lamanya.Karena itu, langkah pertama dalam kultivasi bukan sekadar awal pelatihan, melainkan kelahiran kembali. Sebuah pemisahan dari kefanaan, menuju usia panjang yang hanya dimiliki oleh mereka yang terpilih. Malam itu, di Desa Batu, tampak sebuah perayaan sederhana. Anak-anak yang baru saja menyelesaikan upacara pendewasaan menari mengelilingi api unggun, tertawa dan saling bercanda. Namun bagi mereka yang memahami dunia Dao, ini bukan sekadar pesta. Ini adalah keajaiban. Simbol bahwa generasi baru telah lahir, anak-anak yang kini tak lagi terik

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 5 : LEDAKAN ENERGI DAO

    “Kau yakin anak-anak itu siap?”Suara Nenek Hua terdengar pelan, tapi tajam, saat ia menyusun gulungan daun pahit ke dalam mangkuk tembaga. Asap tipis mengepul, membawa aroma yang menusuk hingga ke paru-paru.Kakek Mozi, berdiri di bawah pohon plum tua, tak langsung menjawab. Ia hanya menatap bocah yang duduk bersila di ujung pelataran altar batu. Xu Ming, diam, mata terpejam, napas lambat tapi berat, seperti menahan sesuatu di dalam tubuhnya.“Tidak ada yang pernah benar-benar siap, Hua,” kata Mozi akhirnya. “Tapi jika bahkan tulang-tulang muda Desa Batu kita tak mampu menanggung kerikil pertama di kaki mereka ini, kita yang tua ini hanya bisa berdoa…”Nenek Hua mendengus pelan. “Kau bicara seperti dewa, Pak Tua. Aku hanya ingin semua anak-anak ini menerobos dengan lancar. Termasuk Xu Ming... Aku sudah menganggapnya seperti cucuku sendiri. Aku hanya ingin dia menggenggam erat keinginannya, apa pun yang terjadi nanti.”Keduanya mengangguk sepakat, lalu berjalan pelan menuju altar batu

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 4 : UPACARA PENDEWASAAN

    Langit masih diliputi semburat ungu ketika Xu Ming berdiri di tanah basah, napasnya menggantung dalam udara pagi yang dingin. Kedua tangannya mengepal, lalu perlahan membentuk segel dasar pelatihan napas."Tiga... dua... satu..." bisiknya.Pukulan lurus dilontarkan ke batang kayu tua yang tergantung dengan tali rotan. BUK! Tubuh mungilnya terpental setengah langkah ke belakang. Telapak tangannya berdarah lagi.Dari kejauhan, Nenek Hua muncul dengan langkah tertatih, membawa kantung obat. Rambutnya yang abu tersapu angin pagi saat ia menghela napas."Setiap pagi seperti ini… selalu saja tanganmu berdarah," gumamnya sambil membuka gulungan kain kasa.Di sampingnya, Kakek Mozi bersandar pada tongkat bambu, matanya tetap tertuju pada Xu Ming."Anak itu keras kepala, ya?" komentar Hua sambil duduk di atas batu."Bukan hanya keras kepala," jawab Mozi, tersenyum kecil. "Tulangnya masih muda, tapi semangatnya… seperti baja tua yang telah ditempa ratusan kali.""Kau juga yang menanamkan itu pa

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 3 : PUTRI MALU SEMBILAN PERUBAHAN

    Di pinggiran Lembah Huoyan, sekitar seratus mil dari Desa Kayu, tim pemburu sedang menjalankan misi.“Ada getaran Dao kuat dari arah lembah barat!” seru Han Su, pemimpin Tim Pemburu Desa Kayu. Ia adalah pria paruh baya dengan tubuh kekar berbalut rompi kulit binatang buas. Wajahnya tegas, dagunya ditumbuhi jenggot kasar, dan matanya tajam seperti elang. Di punggungnya tergantung pedang lebar bersarung hitam, senjata khas pendekar yang telah mencapai Taraf 4 - Dao Vein Awakening.Empat orang pemburu lainnya segera mengelilinginya. Liang Fei, pemburu termuda namun paling gesit, memiliki rambut kuda panjang dan senjata sabit ganda yang tergantung di pinggang. Qi Bao, bertubuh tambun tapi bermata tajam, adalah ahli jebakan dan pengintai. Lalu ada Lei Shan dan Duan Wu, saudara seperguruan dengan tombak panjang dan teknik gerakan cepat. Semuanya berada di puncak Taraf 3 - Dao Core Formation, dan tengah menanti waktu untuk menerobos ke taraf selanjutnya.“Gemuruh itu... bukan tanah longsor,”

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status