Home / Pendekar / TULANG SUCI NAGA ABADI / BAB 4 : UPACARA PENDEWASAAN

Share

BAB 4 : UPACARA PENDEWASAAN

Author: Faisalicious
last update Last Updated: 2025-04-23 16:22:50

Langit masih diliputi semburat ungu ketika Xu Ming berdiri di tanah basah, napasnya menggantung dalam udara pagi yang dingin. Kedua tangannya mengepal, lalu perlahan membentuk segel dasar pelatihan napas.

"Tiga... dua... satu..." bisiknya.

Pukulan lurus dilontarkan ke batang kayu tua yang tergantung dengan tali rotan. BUK! Tubuh mungilnya terpental setengah langkah ke belakang. Telapak tangannya berdarah lagi.

Dari kejauhan, Nenek Hua muncul dengan langkah tertatih, membawa kantung obat. Rambutnya yang abu tersapu angin pagi saat ia menghela napas.

"Setiap pagi seperti ini… selalu saja tanganmu berdarah," gumamnya sambil membuka gulungan kain kasa.

Di sampingnya, Kakek Mozi bersandar pada tongkat bambu, matanya tetap tertuju pada Xu Ming.

"Anak itu keras kepala, ya?" komentar Hua sambil duduk di atas batu.

"Bukan hanya keras kepala," jawab Mozi, tersenyum kecil. "Tulangnya masih muda, tapi semangatnya… seperti baja tua yang telah ditempa ratusan kali."

"Kau juga yang menanamkan itu padanya, jangan lupa," kata Nenek Hua, meliriknya tajam. "Janji-janji mulukmu dulu itu yang membuat bocah itu menggenggam harapan seperti ini."

Mozi mengangguk, tatapannya menyusuri langit yang perlahan cerah.

"Kadang, janji kecil yang dijaga dengan sungguh-sungguh bisa menumbuhkan akar paling dalam."

Xu Ming, yang masih di tempat latihannya, kembali duduk bersila. Mata terpejam, ia mulai mengatur napas. Tarik dalam, tahan, lalu hembuskan perlahan.

"Qi tak bisa dipaksa. Ia harus dijemput, seperti tamu agung," bisiknya, menirukan suara Kakek Mozi.

Ia mencoba membimbing hawa hangat di perutnya naik ke punggung. Tapi jalurnya terasa buntu. Napasnya memburu. Lagi-lagi gagal.

Mozi mendekat perlahan.

"Jangan tergesa, Ming. Jalur pengantar di sisi belum terbentuk. Biarkan Qi mencari jalannya sendiri."

"Maaf, Kakek... Aku hanya ingin cepat kuat."

"Menjadi kuat bukan soal cepat atau lambat," ujar Mozi sambil menghela napas. "Bahkan air pun bisa menembus batu, selama ia sabar menetes."

Nenek Hua ikut jongkok di sisi Xu Ming, mengusap luka di telapak tangannya.

"Nak," katanya pelan sambil membalut luka, "kau sudah ikut Nenek memetik herbal sejak kecil. Kalau suatu saat kau merasa jalan kesatria terlalu berat… menjadi alkemis pun bukan hal yang hina."

Xu Ming menoleh, keningnya berkerut sedikit.

"Nenek sungguh-sungguh mengatakannya. Dirimu telah menemani Nenek ke bukit hampir setiap sore mengenali daun pahit dari yang manis, membedakan akar tua dari yang busuk. Tanganmu cekatan, matamu tajam. Bahkan murid-murid dari kota belum tentu punya dasar sebaik dirimu."

Mozi terkekeh pelan.

"Jangan rebut cucu murid orang, Hua."

"Bukan merebut. Hanya bersiap jika jalan lain lebih sesuai," balas Hua sambil tersenyum tipis. "Lagipula, api penyulinganku masih menyala. Api Kalajengking Sutra yang ditaklukkan ayahku lima puluh tahun lalu. Ia mungkin bukan api primordial dari daftar bintang, tapi cukup kuat untuk menyuling pil pembuka meridian dan pil penerobos taraf 3."

"Yang dari Lembah Karang Merah itu?" tanya Mozi, mengangkat alis.

"Itulah. Ukurannya sebesar keranjang beras. Ayahku sempat terkena racunnya, tapi justru racun itulah yang jadi kunci agar api rohnya bisa diwariskan."

Xu Ming menatap mereka dengan mata besar, setengah kagum, setengah bingung.

"Kalau kau tak bisa membuka meridian dengan cara biasa, Nenek sendiri yang akan mengajarimu membuat pil," kata Hua, menepuk bahunya dengan lembut. "Kadang, satu pil bisa menyelamatkan lebih banyak nyawa dibanding seribu tebasan."

Mozi mengangguk. "Tapi untuk sekarang, bersiaplah. Upacara pendewasaan tinggal beberapa hari lagi. Han Su dan para pemburu belum juga kembali."

"Masih di luar desa?" tanya Hua, suaranya merendah.

"Sudah tujuh hari. Mereka pergi ke Lembah Huoyan, mencari darah esensi monster."

"Huoyan... tempat itu tak ramah bukan," gumam Hua. "Apa mereka akan baik-baik saja?"

"Han Su membawa Tuan Fei dan dua kesatria taraf tiga. Seharusnya cukup..." Mozi terdiam sejenak. "...asal tidak ada kejutan."

"Jika darah esensi tak ditemukan, Kolam Yin-Yang tak akan berguna bagi anak-anak untuk membentuk Dao," kata Hua pelan. "Apa upacara akan dibatalkan?"

Mozi tak segera menjawab. Tatapannya jauh, menembus kabut yang menggantung di atas hutan timur. Suasana pagi yang tenang tiba-tiba terasa lebih berat, seolah alam pun menunggu sesuatu.

Tiba-tiba, suara teriakan anak-anak dari arah lereng bawah memecah keheningan pagi.

"Mereka kembali! Tim pemburu pulang!"

Langkah kaki terdengar tergesa-gesa. Beberapa warga desa keluar dari rumah mereka, menuruni jalanan berbatu yang mengarah ke lapangan tengah. Kehebohan mulai terasa, tanda-tanda bahwa sesuatu yang besar telah terjadi.

Mozi dan Hua saling pandang. Wajah Mozi yang biasanya tenang kini sedikit mengernyit, tampak heran.

"Cepat juga mereka kembali..." gumam Mozi, suaranya dipenuhi keheranan. "Apa yang mereka bawa?"

Tak lama, kerumunan di tengah desa mulai membesar. Xu Ming, yang sebelumnya duduk di sisi batu, ikut berdiri. Wajahnya dipenuhi rasa penasaran, matanya mengikuti kerumunan yang bergerak cepat.

Di kejauhan, sosok Han Su terlihat. Jubahnya robek di beberapa bagian, tubuhnya terhuyung, tetapi tatapannya tetap tajam dan penuh tekad. Di belakangnya, empat pemburu lain menarik dua kereta kayu besar yang ditutup kain tebal. Beberapa warga desa mulai berbisik-bisik.

"Apa itu… tubuh monster?"

"Lihat ekornya… itu bukan binatang biasa!"

Han Su akhirnya berhenti di depan kepala desa, melepaskan napas panjang sebelum mengangguk hormat pada Mozi.

"Kami pulang… dan membawa yang kau minta, Kepala Desa," katanya, suaranya serak dan penuh keletihan.

Dengan isyarat tangan, kain penutup ditarik.

"Apa itu…?" seru salah seorang warga dengan terkejut.

Di kereta pertama, tergeletak bangkai Kirin Api Tanah, tubuhnya yang besar masih memancarkan percikan magma panas dari luka-luka yang mengerikan, meninggalkan bekas membara di tanah di bawahnya.

"Tunggu… apa aku tidak salah lihat?" gumam Mozi, matanya melebar. "Bukankah itu Kirin Api Tanah?" Ia melangkah lebih dekat, wajahnya penuh keheranan. "Tapi bagaimana bisa dia sampai di Lembah Huoyan?"

Di kereta kedua, bangkai Garuda Petir Angin tergeletak, tubuhnya penuh luka dan bulu-bulu petirnya tercabik-cabik. Meskipun mati, sedikit sisa energi petir masih terasa mengalir di udara di sekitar bangkai itu.

"Satu lagi, itu monster surgawi Garuda Petir Angin bukan!" Hua berkata dengan mata terbelalak. "Tapi… bukankah itu monster taraf lima?"

Mozi menatap kedua bangkai monster itu lama, seolah mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

"Dua sekaligus... Bagaimana bisa?" tanya Mozi, masih tak percaya. "Han Su... ceritakan padaku."

Han Su mengusap dahinya yang penuh debu dan darah kering, nafasnya berat.

"Tim pemburu saat itu tersesat di jurang terdalam Lembah Huoyan saat itu karena seminggu ini kami tak menjumpai monster taraf tiga atau diatasnya untuk upacara pendewasaan. Saat kami sampai tanpa sengaja, dua monster ini sedang bertarung memperebutkan sesuatu. Kami menunggu… lalu masuk saat mereka sama-sama sekarat."

Han Su mengusap dahinya yang penuh debu dan darah kering. Nafasnya berat, namun matanya berbinar seperti pria yang baru kembali dari dunia para dewa. “Kami hanya beruntung… atau mungkin, langit sedang membuka satu lembar takdir baru bagi desa kita.”

Ia mengangkat tangannya. Di atas telapaknya, berdenyut cahaya merah darah sebutir Benih Api, hidup dan bernafas. Udara di sekitarnya bergetar, dan aroma logam serta bunga liar memenuhi udara. Dalam benih itu, seolah langit dan bumi saling bertukar rahasia.

Hua menatap benih api itu lama. “Pak tua, dengan benih api ini. Bahkan alkemis terkenal sekte besar sekalipun pasti akan segera membunuhmu untuk merebutnya… Asal usulnya harus dirahasiakan, Pak Tua!” terangnya.

“Entah apa yang membuat dewa terbangun, dan membuatnya memberikan berkah sebesar ini pada Desa Kayu kita…” Pak tua Mozi mengangguk pelan lalu menoleh menatap Xu Ming.

Bersambung…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 5 : LEDAKAN ENERGI DAO

    “Kau yakin anak-anak itu siap?”Suara Nenek Hua terdengar pelan, tapi tajam, saat ia menyusun gulungan daun pahit ke dalam mangkuk tembaga. Asap tipis mengepul, membawa aroma yang menusuk hingga ke paru-paru.Kakek Mozi, berdiri di bawah pohon plum tua, tak langsung menjawab. Ia hanya menatap bocah yang duduk bersila di ujung pelataran altar batu. Xu Ming, diam, mata terpejam, napas lambat tapi berat, seperti menahan sesuatu di dalam tubuhnya.“Tidak ada yang pernah benar-benar siap, Hua,” kata Mozi akhirnya. “Tapi jika bahkan tulang-tulang muda Desa Batu kita tak mampu menanggung kerikil pertama di kaki mereka ini, kita yang tua ini hanya bisa berdoa…”Nenek Hua mendengus pelan. “Kau bicara seperti dewa, Pak Tua. Aku hanya ingin semua anak-anak ini menerobos dengan lancar. Termasuk Xu Ming... Aku sudah menganggapnya seperti cucuku sendiri. Aku hanya ingin dia menggenggam erat keinginannya, apa pun yang terjadi nanti.”Keduanya mengangguk sepakat, lalu berjalan pelan menuju altar batu

    Last Updated : 2025-04-23
  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 6 : MENGUNGKAP SIAPA?

    Salah satu keistimewaan dalam jalan kultivasi adalah kemampuannya menembus batas tubuh, jiwa, dan waktu itu sendiri. Bagi manusia fana, hidup tak lebih dari serpihan musim. Seratus tahun dianggap panjang, namun bahkan usia itu pun kerap terputus di tengah jalan. Lain halnya dengan seorang kultivator. Meski tak berbakat, selama berhasil menembus Taraf Pertama: Penempaan Tubuh Dao, ia dapat memperpanjang hidup hingga dua atau bahkan tiga abad lamanya.Karena itu, langkah pertama dalam kultivasi bukan sekadar awal pelatihan, melainkan kelahiran kembali. Sebuah pemisahan dari kefanaan, menuju usia panjang yang hanya dimiliki oleh mereka yang terpilih. Malam itu, di Desa Batu, tampak sebuah perayaan sederhana. Anak-anak yang baru saja menyelesaikan upacara pendewasaan menari mengelilingi api unggun, tertawa dan saling bercanda. Namun bagi mereka yang memahami dunia Dao, ini bukan sekadar pesta. Ini adalah keajaiban. Simbol bahwa generasi baru telah lahir, anak-anak yang kini tak lagi terik

    Last Updated : 2025-04-25
  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 7 : DAO QI NAGA ES

    "Tenangkan hatimu. Biarkan napasmu menyatu dengan bumi, dan biarkan Dao menunjukkan bentuk aslimu."Suara Kakek Mozi menggema lembut di aula latihan batu di sisi barat Desa Kayu. Pagi masih basah oleh embun. Aroma kayu, rumput liar, dan tanah yang lembab memenuhi udara, menghadirkan suasana sakral yang hening dan penuh harap.Sepuluh pemuda duduk bersila dalam lingkaran, mata terpejam, tubuh mereka tegak dalam keheningan. Mereka adalah generasi baru ksatria Taraf Satu, yang kini bersiap melangkah ke fase sejati dalam dunia kultivasi: membentuk pondasi Dao yang stabil.Kakek Mozi berdiri di tengah lingkaran, menggenggam tongkat bambunya."Setiap orang memiliki karakter Dao yang unik," ujarnya, suaranya tenang namun sarat makna. "Api, angin, batu, cahaya, racun, bahkan kehampaan... semua bisa menjadi dasar teknik Dao kalian. Namun karakter Dao itu tidak datang dari luar. Ia lahir dari dalam. Dari tulangmu. Dari napasmu. Dari jiwamu yang mulai bangkit."Ia mengangkat tangan kanannya. Sek

    Last Updated : 2025-04-25
  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 8 : ROH API PRIMODIAL

    "Sepertinya Nenek belum pulang. Lebih baik aku bermeditasi kembali."Xu Ming duduk di tikar usang dalam pondok kayu, menggenggam liontin es yang sejak kecil menggantung di lehernya. Tak ada kata istirahat untuknya. Anak-anak lain seusianya masih tertawa-tawa, mengejar ikan atau mencari katak monster di sungai belakang lembah. Mere`ka sudah mencapai Taraf 1 dan merasa itu cukup. Tapi bagi Ming'er, ini tak cukup!Ia menutup mata, berusaha menstabilkan aliran Qi. Tapi tepat saat energi Dao mulai mengalir dari Dantian ke meridian, sebuah suara dingin muncul, menggema dari dalam liontin.“Teteskan darahmu. Alirkan Dao Qi ke liontin. Sekarang!”Xu Ming terlonjak, membuka mata lebar-lebar. “Siapa itu?!”“Jangan banyak tanya. Kau ingin menjadi kuat bukan? Lakukan!” titah suara misterius ituSuara itu dingin. Tegas. Tak memberi ruang penolakan. Darahnya berdesir. Dan entah kenapa, ia patuh. Tanpa ragu, ia menggigit jari, meneteskan darah ke liontin biru es di dadanya. Dalam sekejap, seluruh ru

    Last Updated : 2025-04-26
  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 9 : API PRIMODIAL PERINGKAT 23

    Langkah kaki tua yang tertatih memasuki rumah kecil yang porak-poranda. Pintu yang tergantung miring berderit saat Nenek Hua mendorongnya perlahan, dan pandangannya langsung tertumbuk pada kekacauan yang tidak biasa.“Ming’er…?” suara seraknya pelan, tapi cukup menusuk ke dalam kesunyian sore itu.Dari balik pintu, sosok pemuda kurus tampak duduk bersila, tubuhnya bergetar lemah. Wajahnya pucat pasi, dan setitik darah segar menetes dari sudut bibirnya.Nenek Hua terdiam sejenak, lalu tersenyum sangat tipis. “Jadi kau… berhasil membentuk Dao Qi-mu sendiri…”Xu Ming hanya mengangguk lemah. Dengan satu gerakan cekatan, Nenek Hua mengeluarkan kuali tembaga dari cincin penyimpannya, dan dalam sekejap, nyala api berwarna ungu-merah muda menari dari telapak tangannya.“Lihat baik-baik, Nak. Ini bukan api biasa. Ini Api Kalajengking Sutra,” katanya, suaranya kini berubah tenang namun penuh kekuatan. “Dulu, ayahku hampir tewas karena racunnya, tapi dari sanalah api ini ditaklukkan dan diwarisk

    Last Updated : 2025-04-26
  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 10 : PENOLAKAN ENERGI SPIRITUAL

    Xu Ming akhirnya menggenggam Benih Api di tangannya. Aroma hangat bercampur manis dari cahaya merah gelap itu menelusup ke paru-parunya, menenangkan namun juga memberi tekanan tak kasat mata ke setiap pori-porinya. Ia mengangguk pelan ke arah Nenek Hua.“Aku akan melakukannya… Nenek.”Wajah tua itu mengendurkan ketegangan, meski matanya tetap waspada. “Baiklah, tapi dengarkan baik-baik. Meski kau telah menerobos Taraf Kedua dan lautan jiwamu telah terbentuk, menjadi seorang Dan Shi bukan sekadar memiliki api. Kau harus menstabilkan semuanya dari awal.”Ia menepuk bahu Xu Ming, lalu mulai mengatur formasi pelindung di sekeliling mereka. “Pertama, lautan jiwamu. Kau telah membentuknya, tapi belum menstabilkannya. Arus spiritualmu masih liar. Tanpa kestabilan itu, kau bisa mati terbakar hanya dengan niat menyentuh Benih Api.”Xu Ming menarik napas. Ia duduk bersila, perlahan mulai memusatkan kesadarannya ke dalam. T

    Last Updated : 2025-04-27
  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 11 : PIL PERTAMA BUATAN MING'ER

    "Sudah tiga hari, anak nakal itu tak datang ke tempat latihan!" Gerutu Kakek Mo menggema di antara jalur setapak berbatu Desa Kayu. "Apa dia sedang mengalami kebuntuan? Atau jatuh sakit? Hatiku gelisah sekali rasanya..."Langkahnya mantap tapi disertai ketidaksabaran yang tak biasa. Tongkat kayu tua menghantam bebatuan kecil di sepanjang jalan sempit yang jaraknya hanya lima menit dari pondoknya. Kabut pagi masih menggantung rendah di atas pucuk bambu, dan aroma tanah basah membumbung samar setelah hujan malam sebelumnya. Tapi bukan udara yang mengganggu batinnya, melainkan rasa cemas yang menancap di dada seorang tetua yang terlalu menyayangi cucu didiknya."Hua! Huaaa!" teriaknya lantang saat mendekati pekarangan pondok. “Apa ada masa—”Ucapannya terputus begitu kaki tuanya menyentuh lantai pekarangan yang berembun. Matanya membelalak. Mulutnya sedikit menganga.“Ming’er...? Dia... sedang mencoba memurnikan pil?”

    Last Updated : 2025-04-27
  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 1 : RAMALAN LANGIT

    "Yang Mulia! Ini… ini tidak mungkin…"Suara itu melengking, menggema di seluruh aula megah Istana Langit Emas, ruang suci tempat para peramal bintang, penasihat agung, dan ahli sihir kekaisaran berkumpul. Lantai dari batu giok putih berkilau memantulkan cahaya obor yang bergoyang, namun ketenangan aula itu hancur ketika suara penasihat tertua, Mo Tian, mengguncang udara.Mo Tian, lelaki tua berjubah ungu berhiaskan simbol bintang dan naga langit, menjatuhkan gulungan sutra ke lantai. Kedua tangannya gemetar, dan napasnya terengah seolah baru melihat bayangan maut sendiri.Raja Xuan, duduk di singgasana naga dengan tatapan tajam bagaikan elang, menyipitkan mata.“Bicaralah, Mo Tian. Jangan mengulur waktu dengan keluhan tua.”Mo Tian berlutut. “Ampun, Yang Mulia. Ramalan telah turun dari langit… Tiga malam berturut-turut, konstelasi Qian Long dan Bintang Surga Ketujuh bertabrakan dalam garis merah darah. Langit mengirimkan pertanda…”Ia menarik napas dalam, mencoba menyusun kata. “Dalam

    Last Updated : 2025-04-23

Latest chapter

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 11 : PIL PERTAMA BUATAN MING'ER

    "Sudah tiga hari, anak nakal itu tak datang ke tempat latihan!" Gerutu Kakek Mo menggema di antara jalur setapak berbatu Desa Kayu. "Apa dia sedang mengalami kebuntuan? Atau jatuh sakit? Hatiku gelisah sekali rasanya..."Langkahnya mantap tapi disertai ketidaksabaran yang tak biasa. Tongkat kayu tua menghantam bebatuan kecil di sepanjang jalan sempit yang jaraknya hanya lima menit dari pondoknya. Kabut pagi masih menggantung rendah di atas pucuk bambu, dan aroma tanah basah membumbung samar setelah hujan malam sebelumnya. Tapi bukan udara yang mengganggu batinnya, melainkan rasa cemas yang menancap di dada seorang tetua yang terlalu menyayangi cucu didiknya."Hua! Huaaa!" teriaknya lantang saat mendekati pekarangan pondok. “Apa ada masa—”Ucapannya terputus begitu kaki tuanya menyentuh lantai pekarangan yang berembun. Matanya membelalak. Mulutnya sedikit menganga.“Ming’er...? Dia... sedang mencoba memurnikan pil?”

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 10 : PENOLAKAN ENERGI SPIRITUAL

    Xu Ming akhirnya menggenggam Benih Api di tangannya. Aroma hangat bercampur manis dari cahaya merah gelap itu menelusup ke paru-parunya, menenangkan namun juga memberi tekanan tak kasat mata ke setiap pori-porinya. Ia mengangguk pelan ke arah Nenek Hua.“Aku akan melakukannya… Nenek.”Wajah tua itu mengendurkan ketegangan, meski matanya tetap waspada. “Baiklah, tapi dengarkan baik-baik. Meski kau telah menerobos Taraf Kedua dan lautan jiwamu telah terbentuk, menjadi seorang Dan Shi bukan sekadar memiliki api. Kau harus menstabilkan semuanya dari awal.”Ia menepuk bahu Xu Ming, lalu mulai mengatur formasi pelindung di sekeliling mereka. “Pertama, lautan jiwamu. Kau telah membentuknya, tapi belum menstabilkannya. Arus spiritualmu masih liar. Tanpa kestabilan itu, kau bisa mati terbakar hanya dengan niat menyentuh Benih Api.”Xu Ming menarik napas. Ia duduk bersila, perlahan mulai memusatkan kesadarannya ke dalam. T

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 9 : API PRIMODIAL PERINGKAT 23

    Langkah kaki tua yang tertatih memasuki rumah kecil yang porak-poranda. Pintu yang tergantung miring berderit saat Nenek Hua mendorongnya perlahan, dan pandangannya langsung tertumbuk pada kekacauan yang tidak biasa.“Ming’er…?” suara seraknya pelan, tapi cukup menusuk ke dalam kesunyian sore itu.Dari balik pintu, sosok pemuda kurus tampak duduk bersila, tubuhnya bergetar lemah. Wajahnya pucat pasi, dan setitik darah segar menetes dari sudut bibirnya.Nenek Hua terdiam sejenak, lalu tersenyum sangat tipis. “Jadi kau… berhasil membentuk Dao Qi-mu sendiri…”Xu Ming hanya mengangguk lemah. Dengan satu gerakan cekatan, Nenek Hua mengeluarkan kuali tembaga dari cincin penyimpannya, dan dalam sekejap, nyala api berwarna ungu-merah muda menari dari telapak tangannya.“Lihat baik-baik, Nak. Ini bukan api biasa. Ini Api Kalajengking Sutra,” katanya, suaranya kini berubah tenang namun penuh kekuatan. “Dulu, ayahku hampir tewas karena racunnya, tapi dari sanalah api ini ditaklukkan dan diwarisk

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 8 : ROH API PRIMODIAL

    "Sepertinya Nenek belum pulang. Lebih baik aku bermeditasi kembali."Xu Ming duduk di tikar usang dalam pondok kayu, menggenggam liontin es yang sejak kecil menggantung di lehernya. Tak ada kata istirahat untuknya. Anak-anak lain seusianya masih tertawa-tawa, mengejar ikan atau mencari katak monster di sungai belakang lembah. Mere`ka sudah mencapai Taraf 1 dan merasa itu cukup. Tapi bagi Ming'er, ini tak cukup!Ia menutup mata, berusaha menstabilkan aliran Qi. Tapi tepat saat energi Dao mulai mengalir dari Dantian ke meridian, sebuah suara dingin muncul, menggema dari dalam liontin.“Teteskan darahmu. Alirkan Dao Qi ke liontin. Sekarang!”Xu Ming terlonjak, membuka mata lebar-lebar. “Siapa itu?!”“Jangan banyak tanya. Kau ingin menjadi kuat bukan? Lakukan!” titah suara misterius ituSuara itu dingin. Tegas. Tak memberi ruang penolakan. Darahnya berdesir. Dan entah kenapa, ia patuh. Tanpa ragu, ia menggigit jari, meneteskan darah ke liontin biru es di dadanya. Dalam sekejap, seluruh ru

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 7 : DAO QI NAGA ES

    "Tenangkan hatimu. Biarkan napasmu menyatu dengan bumi, dan biarkan Dao menunjukkan bentuk aslimu."Suara Kakek Mozi menggema lembut di aula latihan batu di sisi barat Desa Kayu. Pagi masih basah oleh embun. Aroma kayu, rumput liar, dan tanah yang lembab memenuhi udara, menghadirkan suasana sakral yang hening dan penuh harap.Sepuluh pemuda duduk bersila dalam lingkaran, mata terpejam, tubuh mereka tegak dalam keheningan. Mereka adalah generasi baru ksatria Taraf Satu, yang kini bersiap melangkah ke fase sejati dalam dunia kultivasi: membentuk pondasi Dao yang stabil.Kakek Mozi berdiri di tengah lingkaran, menggenggam tongkat bambunya."Setiap orang memiliki karakter Dao yang unik," ujarnya, suaranya tenang namun sarat makna. "Api, angin, batu, cahaya, racun, bahkan kehampaan... semua bisa menjadi dasar teknik Dao kalian. Namun karakter Dao itu tidak datang dari luar. Ia lahir dari dalam. Dari tulangmu. Dari napasmu. Dari jiwamu yang mulai bangkit."Ia mengangkat tangan kanannya. Sek

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 6 : MENGUNGKAP SIAPA?

    Salah satu keistimewaan dalam jalan kultivasi adalah kemampuannya menembus batas tubuh, jiwa, dan waktu itu sendiri. Bagi manusia fana, hidup tak lebih dari serpihan musim. Seratus tahun dianggap panjang, namun bahkan usia itu pun kerap terputus di tengah jalan. Lain halnya dengan seorang kultivator. Meski tak berbakat, selama berhasil menembus Taraf Pertama: Penempaan Tubuh Dao, ia dapat memperpanjang hidup hingga dua atau bahkan tiga abad lamanya.Karena itu, langkah pertama dalam kultivasi bukan sekadar awal pelatihan, melainkan kelahiran kembali. Sebuah pemisahan dari kefanaan, menuju usia panjang yang hanya dimiliki oleh mereka yang terpilih. Malam itu, di Desa Batu, tampak sebuah perayaan sederhana. Anak-anak yang baru saja menyelesaikan upacara pendewasaan menari mengelilingi api unggun, tertawa dan saling bercanda. Namun bagi mereka yang memahami dunia Dao, ini bukan sekadar pesta. Ini adalah keajaiban. Simbol bahwa generasi baru telah lahir, anak-anak yang kini tak lagi terik

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 5 : LEDAKAN ENERGI DAO

    “Kau yakin anak-anak itu siap?”Suara Nenek Hua terdengar pelan, tapi tajam, saat ia menyusun gulungan daun pahit ke dalam mangkuk tembaga. Asap tipis mengepul, membawa aroma yang menusuk hingga ke paru-paru.Kakek Mozi, berdiri di bawah pohon plum tua, tak langsung menjawab. Ia hanya menatap bocah yang duduk bersila di ujung pelataran altar batu. Xu Ming, diam, mata terpejam, napas lambat tapi berat, seperti menahan sesuatu di dalam tubuhnya.“Tidak ada yang pernah benar-benar siap, Hua,” kata Mozi akhirnya. “Tapi jika bahkan tulang-tulang muda Desa Batu kita tak mampu menanggung kerikil pertama di kaki mereka ini, kita yang tua ini hanya bisa berdoa…”Nenek Hua mendengus pelan. “Kau bicara seperti dewa, Pak Tua. Aku hanya ingin semua anak-anak ini menerobos dengan lancar. Termasuk Xu Ming... Aku sudah menganggapnya seperti cucuku sendiri. Aku hanya ingin dia menggenggam erat keinginannya, apa pun yang terjadi nanti.”Keduanya mengangguk sepakat, lalu berjalan pelan menuju altar batu

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 4 : UPACARA PENDEWASAAN

    Langit masih diliputi semburat ungu ketika Xu Ming berdiri di tanah basah, napasnya menggantung dalam udara pagi yang dingin. Kedua tangannya mengepal, lalu perlahan membentuk segel dasar pelatihan napas."Tiga... dua... satu..." bisiknya.Pukulan lurus dilontarkan ke batang kayu tua yang tergantung dengan tali rotan. BUK! Tubuh mungilnya terpental setengah langkah ke belakang. Telapak tangannya berdarah lagi.Dari kejauhan, Nenek Hua muncul dengan langkah tertatih, membawa kantung obat. Rambutnya yang abu tersapu angin pagi saat ia menghela napas."Setiap pagi seperti ini… selalu saja tanganmu berdarah," gumamnya sambil membuka gulungan kain kasa.Di sampingnya, Kakek Mozi bersandar pada tongkat bambu, matanya tetap tertuju pada Xu Ming."Anak itu keras kepala, ya?" komentar Hua sambil duduk di atas batu."Bukan hanya keras kepala," jawab Mozi, tersenyum kecil. "Tulangnya masih muda, tapi semangatnya… seperti baja tua yang telah ditempa ratusan kali.""Kau juga yang menanamkan itu pa

  • TULANG SUCI NAGA ABADI   BAB 3 : PUTRI MALU SEMBILAN PERUBAHAN

    Di pinggiran Lembah Huoyan, sekitar seratus mil dari Desa Kayu, tim pemburu sedang menjalankan misi.“Ada getaran Dao kuat dari arah lembah barat!” seru Han Su, pemimpin Tim Pemburu Desa Kayu. Ia adalah pria paruh baya dengan tubuh kekar berbalut rompi kulit binatang buas. Wajahnya tegas, dagunya ditumbuhi jenggot kasar, dan matanya tajam seperti elang. Di punggungnya tergantung pedang lebar bersarung hitam, senjata khas pendekar yang telah mencapai Taraf 4 - Dao Vein Awakening.Empat orang pemburu lainnya segera mengelilinginya. Liang Fei, pemburu termuda namun paling gesit, memiliki rambut kuda panjang dan senjata sabit ganda yang tergantung di pinggang. Qi Bao, bertubuh tambun tapi bermata tajam, adalah ahli jebakan dan pengintai. Lalu ada Lei Shan dan Duan Wu, saudara seperguruan dengan tombak panjang dan teknik gerakan cepat. Semuanya berada di puncak Taraf 3 - Dao Core Formation, dan tengah menanti waktu untuk menerobos ke taraf selanjutnya.“Gemuruh itu... bukan tanah longsor,”

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status