Pria berambut kekuningan yang mengenakan topi pet putih itu berjalan sambil mengentak-entakan sepatunya hingga menimbulkan gema di lantai plester yang kasar dan panas. Dengan setangan katun dia menyeka keringat yang membulir di hidung mancungnya yang sedikit membengkok dan di sekitar pipinya yang dipenuhi dengan bercak totol-totol cokelat—terlihat kontras di permukaan kulit yang pucat. Tubuh jangkung dan berisi itu terlihat mengesani di balik jas, celana, dan sepatu yang serba putih.
Langkah opas itu seirama dengan dentangan tongkat di genggaman yang dipukul-pukulkannya pada besi terali. Entakan sepatunya terus mendekat dan semakin menggenapi kegelisahan wajah-wajah gelap tanpa pengharapan di balik jajaran jeruji yang terkunci. Semua saja berkeringat. Mereka meringkuk berjubel-jubel—jongkok, berdiri, rebah, dan bersandaran—pada dinding tebal dan di lantai plester yang kasar tanpa alas. Para tawanan itu terus membisu dan menetaki diri yang dibekap jeruji besi seiring menggelombangnya bahang di terik siang.
Tongkat sepanjang setengah meter kembali dipukul-pukulkan oleh sang opas pada pintu sel untuk membangunkan para penghuninya. Gerincing nyaring anak-anak kunci turut menyusul saat dia berusaha membuka jeruji-jeruji itu dengan kasar.
“Iedereen ga weg! Line up vooruit!”[1]
Para pria yang bertelanjang dada itu hanya mengenakan cawat dari kain sarung dan udeng di kepala. Mereka bangkit bersama, berjalan merunduk-runduk di hadapan sang opas, dan berjongkok rapi di luar pintu sel masing-masing. Tubuh mereka kurus dan ringkih seakan hanya tulang berbalut kulit. Tatapan mata mereka nyalang seakan hendak lepas dari rongganya yang cekung. Wajah-wajah itu pasrah tanpa gairah kehidupan.
Sang opas menyengih jijik sambil berjalan menghampiri jeruji besi berikutnya. Dia ulangi hal yang sama sampai tiba di depan jeruji paling ujung yang hanya diisi oleh dua orang pria. Opas itu berkacak pinggang melihat dua pria di balik sel terujung itu bergeming, tak menunjukkan rasa takut, apalagi hormat seperti tahanan lainnya yang sudah menahun di sana.
Dibiarkannya jeruji itu terkunci.
“Selamet, kemari kowe[2]!” Opas itu berteriak lantang memanggil seorang pria yang baru datang membawa talam.
“Sahaya, Meneer[3] ....”
Pria berusia dua puluhan itu datang sambil merunduk-runduk dan berjongkok di depan sang opas. Tatapan Selamet terus turun ke lantai—ke ujung sepatu putih sang opas yang tak bercela. Kemeja belacu pria itu terlihat tak berkancing dengan ujung kain batik pudar menyapu lantai dan udeng di kepala yang sedikit miring. Kedua tangan Selamet menahan talam berisi nasi jagung kasar dan dua potong tempe untuk diserahkan pada penghuni sel paling ujung.
“Kasih makan dua pemberontak berbahaya ini! Mungkin besok mereka akan mati,” ucap sang opas dalam bahasa Melayu kasar.
“Binnekort wordt u opgehangen. Iedereen zou moeten weten wie hier de leiding heeft.”[4] Bibir tipis sang opas mencebik dengan suara kasar mirip orang sedang berdahak yang ditujukan pada kedua tahanan tersebut.
Tang! Dia pukulkan sekali lagi tongkat dalam genggaman sebelum berlalu meninggalkan sel tahanan terakhir yang tetap akan terkunci setidaknya sampai sidang digelar di landraad.[5]
Selamet masih berjongkok dan menunduk hingga sang opas pergi meninggalkan mereka. Tanpa banyak bicara dia sorongkan pincukan daun pisang berisi nasi jagung dan dua gelas kaleng berisi air putih melalui sela-sela jeruji.
Selamet bangkit dan hendak berlalu, tetapi dia perlukan untuk menengok kembali. “Jika saja semua sahaya memiliki keberanian seperti kalian—melawan para tuan-tuan totok itu—tentu mereka yang akan takut pada kita! Makanlah, semoga Tuhan melindungi kalian.”
Pria bernama Selamet itu—jongos yang dipekerjakan di penjara—berlalu dengan napas engap-engap meninggalkan sel paling ujung yang tetap terkunci.
Endaru tidur meringkuk di lantai memunggungi jeruji yang memisahkannya dari kehidupan bebas. Kedua matanya terkatup dengan tangan terselip di antara paha mencoba menahan gigil karena marah.
“Aku menyuruhmu pergi, bukan? Kau malah mendatangi pusat keramaian. Cah gemblung![6]” sindir Suro tanpa melihat ke arah Endaru.
“Aku tidak bisa pergi! Sudah berapa lama dan jauh kita pergi selama ini, Paman? Namun, dia terus bermunculan di dalam mimpi-mimpiku. Bahkan, dua tahun ini dia berwujud seorang pria totok. Aku tahu dia masih memantraiku. Dia terus berusaha memanggil-manggil agar aku kembali ke sana!”
Suro bangkit untuk mengambil salah satu pincukan nasi, duduk bersandar pada dinding sel yang terasa hangat di punggung, dan menyuapkan isinya ke mulut dengan tiga kali kunyahan. Dia sendiri masih bertelanjang dada, udengnya hilang saat penangkapan, dan hanya mengenakan celana gombroh hitam yang terlihat kumal.
“Tidak seharusnya kau di sini, Endaru? Kau dengarkan aku!?”
Kesal karena merasa diabaikan, Suro menyorong kaki Endaru dengan ujung kakinya sendiri. Karena masih tak ada tanggapan, akhirnya Suro berbicara sendiri sambil mulutnya terus menguyah. Kumis baplangnya bergerak-gerak di bawah hidung yang lebar. Dia yakin pemuda itu diam-diam mendengarkan.
“Sesaat setelah kau pergi, aku duduk di sumur sambil menggenggam celurit berdarah itu.” Suro kembali menyengih saat mengingat kejadian di rumah sang kontrolir.
“Aku bisa mendengar teriakan dan jeritan Mevrow Rosemeijer dari dalam rumah. Tahulah aku pada saat itu, bahwa semua palsu belaka. Dua petugas polisi yang berpakaian serba hitam itu berlari mencariku sambil menodongkan bedil. Mereka berteriak dan memerintah agar aku meletakkan celurit ke tanah.” Cerita Suro terhenti untuk sekali lagi melihat Endaru yang masih juga meringkuk.
Merasa tenggorokannya serat karena nasi jagung yang kasar, dia tenggak air dalam gelas hingga tandas dan membantingnya ke lantai hingga menimbulkan bunyi kelontang.
“Mereka mengikat tanganku dengan tambang dan menaikkanku ke dalam kereta—yah, kereta polisi dengan kerangkeng itu. Sepanjang jalan orang-orang berhenti dari aktivitasnya sekadar menengok dan melihat kereta yang membawaku lewat. Setelah kereta berlalu mereka datang berbondong-bondong memenuhi batur depan rumah laknat itu. Mereka ingin melihat apa yang terjadi—menghakimi mungkin juga menyumpahi. Tak ada yang lebih menyakitkan dalam hidupku selain pada saat itu. Aku menembusi tatapan Rukmini di antara kumpulan orang-orang yang datang.”
Suro mengusap lelehan ingus dan air matanya dengan punggung tangan. Suara srot-srot itu membuat Endaru tersadar, bahwa pria kekar itu tengah menangis. Enam tahun hidup bersama pria yang sudah dia anggap seperti bapak itu, tak sekali pun Endaru melihatnya menangis. Bahkan, ketika satu-satunya tanah warisan dari sang bapak direbut secara licik oleh sang kontrolir, Suro tak menangis. Tubuh Endaru semakin menggigil. Marah itu bertambah-tambah saja gelegaknya di dalam dada.
“Aku terkejut sore itu harus bertemu lagi denganmu di sini—di Commissariaat van Politie Bojonegoro[7]!” pekik Suro sarat kecewa. Dia menghela napas dan turut berbaring telentang berkalang lengan.
“Bahasa Belandamu semakin bagus,” ejek Endaru dengan mata masih terpejam.
Pemuda itu mengenang kembali kejadian tiga hari lalu ketika harus berlutut dan memberi sembah pada rombongan bupati yang melintas. Tersadarlah dia bahwa kebebasan untuk selamanya tak akan pernah dimiliki oleh para sahaya. Mereka harus terus menghamba dan bersujud—jika bukan pada Belanda, maka pada raja-raja kecil penguasa tanah kering ini.
Sepasang tangan dengan kuat menarik tubuh pemuda itu hingga terseret-seret menjauhi kerumunan. Di sana dia berhadapan dengan serombongan polisi berpakaian Jawa yang pada tali pinggang mereka terselit parang. Nalurinya menuntut untuk melawan, tetapi akalnya berjuang keras untuk bertahan saat moncong senapan mereka todongkan.
Dia kalah.
Di sanalah Endaru berada sekarang—di balik jeruji besi—bersama sang rekan sekaligus guru kehidupan yang baginya tidak pernah melakukan kesalahan. Pria berkumis baplang itu hanya berusaha mempertahankan asas kepemilikannya sendiri.
“Ke mana orang-orang itu dibawa setelah menerima jatah makan?” Endaru berusaha mengalihkan percakapan.
“Kerja paksa! Diperbudak!”
“Itu mungkin lebih baik, bukan? Masih ada kesempatan dan harapan untuk terus menyambung kehidupan,” bisik pemuda berkulit langsat itu dengan gamang.
“Kau pikir begitu? Bagi mereka mungkin sebaliknya, kerja paksa itu mematikan harapan!” jawab Suro dengan suara keras. “Mereka harus memecah batu dan meratakannya untuk mengeraskan jalan. Bagi yang punya keahlian mungkin lebih beruntung, mereka akan dikirim ke bengkel untuk membuat perabotan dari kayu, anyaman, menjahit pakaian, hanya dengan imbalan jatah dua kali makan—di sisa umur mereka sampai berkalang tanah!”
“Apa kita akan digantung seperti kata opas tadi?” tanya Endaru dengan suara menggumam.
“Pribumi selalu salah, harus kalah, tak peduli bagaimana sidang nanti di gelar. Pribumi tak akan pernah menang di tanah sendiri—tidak di sini,” desah Suro sambil memiringkan badan untuk memunggungi Endaru.
“Kalau begitu di mana kita akan menang?”
“Di jalan perlawanan ...!”
“Kau mulai ngelantur, Paman?” desis Endaru.
Suro tergelak. “Setidaknya, makanlah nasi itu agar kau mati dalam keadaan perut terisi!”
“Aku masih menjalani puasa.”
Suro menghela napas. “Tidakkah terlalu lama?”
Endaru mengubah posisi. “Aku harus membuat raga ini lelah, agar bisa sejenak lupa.”
Terdengar kembali tapak sepatu mengentak-entak di lantai plester yang semakin mendekat ke arah sel mereka. Endaru dan Suro membisu sambil berpura-pura terlelap.
“Allebei, sta op!”[8]
Endaru berpura-pura menguap dan menggeliat, sedangkan Suro bangkit dengan berlama-lama saat sang opas membuka pintu terali dengan tergesa-gesa.
“Waar worden we naartoe gebracht?”[9]
Suro sengaja mengajukan pertanyaan dalam bahasa Belanda yang seketika membuat opas itu meradang dengan wajah memerah. Tongkatnya bersiap terayun ke arah Suro, tetapi Endaru bangkit sambil berpura-pura terjatuh hingga mendorong punggung sang opas.
Ruangan sempit itu membuat mereka tak bisa bergerak dengan leluasa. Sang opas terhuyung, menginjak pincukan nasi jagung, menendang gelas kaleng hingga airnya muncrat, dan sontak membuat wajahnya semakin pekat.
“Klootzak!”[10]
Belum sempat opas itu membalas, muncul seorang lagi dalam wujud pribumi dengan langkah panjang dan cepat.
Opas pribumi itu berbicara dalam bahasa Melayu dengan logat Jawa yang kental, “Kereta sudah menunggu! Kita harus bergegas ke landraad.”
Kedua opas itu menggiring Endaru dan Suro melintasi sel-sel yang sudah kosong setelah ditinggalkan penghuninya untuk rodi. Masing-masing tangan dan kaki mereka terbelenggu rantai besi. Mereka terus didorong-dorong dengan kasar agar melaju lebih cepat saat melintasi kolam tempat persediaan air di penjara. Keempat pria itu lalu melintasi sisi gedung kepolisian dengan jendela-jendelanya yang menjulang tinggi, berkayu jati pilihan, dengan atap yang disangga oleh pilar-pilar putih sebesar dua pelukan tangan pria dewasa—tak kurang enam tegakan.
Di halaman kantor polisi telah menunggu kereta berkerangkeng yang ditarik oleh dua ekor kuda. Endaru dan Suro didorong memasuki kerangkeng itu dengan kasar. Mereka berdua duduk di lantai kereta yang terasa bergoyang-goyang saat melaju. Roda-roda kereta itu berkeretak menggilas permukaan jalan yang sudah dipadatkan dengan batu oleh tangan-tangan pribumi yang diperbudak. Endaru mengintip ke balik celah terali di belakang kereta. Terlihat dua opas mengiringi perjalanan mereka menggunakan kuda.
“Apa mereka akan membawa kita ke tiang gantungan?”
“Seharusnya kau makan dulu sebelum mati,” bisik Suro lemah.
[1] “Semuanya keluar! Berbaris di depan!”
[2] Kamu
[3] Tuan
[4] “Kalian akan segera digantung! Setiap orang harus tahu siapa yang bertanggung jawab di sini.”
[5] Pengadilan
[6] Anak gila.
[7] Kantor Kepolisian Bojonegoro
[8] “Kalian berdua, bangun!”
[9] “Ke mana kami akan dibawa?”
[10] “Bajingan!”
Kereta membelok ke kediaman bupati, bukan ke landraad yang sekaligus menjadi kediaman Residen Bojonegoro. Endaru dan Suro terperangah saat melihat kerumunan orang-orang di sana.Para pria berudeng itu hampir tak ada yang mengenakan kemeja hanya bercawat sarung yang dibebatkan ke tubuh bagian bawah. Para perempuannya berkemben dan berkain jarik dengan selendang menudungi kepala. Sedangkan anak-anak yang turut serta, lebih banyak yang telanjang daripada yang berpakaian. Mereka semua duduk dan berjongkok di tanah berumput rendah dari jalan depan hingga ke halaman rumah sang bupati.Para perempuan dan laki-laki itu—dari yang tua hingga muda—begitu terkagum-kagum pada sosok Endaru yang mereka kenal sebagai pemuda yang tak bisa dimiliki karena tak sedikit para gadis yang dibuat patah hati. Setiap musim panen tiba Endaru bersama-sama dengan rombongannya akan berkeliling dari dusun ke dusun untuk melakukan pertunjukan reog gebyog. Kepiawaiannya me
Ponorogo, September 1888Cericau burung dan pekik kera menggema dari dalam hutan yang mengepung sepanjang aliran sungai. Kepala bocah laki-laki berambut hitam pekat tiba-tiba menyembul ke permukaan sungai hingga mengejutkan seekor kerbau jantan yang tengah berendam. Dia menarik tanduk sang kerbau lalu naik ke tengkuknya sambil tertawa riang. Telapak kecil bocah itu mengusap-usap kepala kerbau dengan penuh kasih sayang.“Emak berkata bapak meninggalkanmu sebagai ganti dirinya, tidakkah itu lucu?” bisik sang bocah pada kerbaunya.Di atas tebing seorang pria berbeskap dan bersarung batik putih berdiri di atas batu sambil mengawasi ke arah sungai. Satu tangannya berkacak pinggang, sedang yang lain menjepit cerutu.Sececah kepergian pria itu tertangkap oleh sudut mata seorang perempuan berkemban yang tengah menggilas cucian di bibir sungai. Perempuan itu segera meraih ebor, menjejalkan pakaian basah ke dalamnya, dan berlari-lari mener
Gandari menuju ke gubuk bambunya setelah memasukkan kerbau ke kandang. Tangan telanjangnya terulur hendak membuka pintu, tetapi urung saat mendengar raungan dan kegaduhan dari dalam rumah.Dia menghela. Perlahan disorongnya juga pintu bambu itu hingga terbuka. Terlihat Endaru tengah membungkuk mencangkuli lantai tanah rumahnya yang menjadi simbol kesabaran sang ibu dengan sekuat tenaga. Dia luapkan segala bentuk kemarahan, ketakutan, dan kebencian dengan terus merusak lantai tanah yang setiap hari Gandari sapu dan padatkan agar rata.Gandari tak mampu berkata. Dia duduk bersimpuh di ambang pintu dengan nelangsa. Lantai tanah itu kini berlubang-lubang dengan sisa cangkulan yang terserak di setiap jengkal seperti raga dan perasaannya yang tak berdaya.Setelah puas melampiaskan kemarahan, Endaru melempar cangkulnya hingga menghantam dinding gedek dan terpental. Tubuh berpeluhnya limbung ke lantai tanah yang berbenggol-benggol, “Jadi kepada siapa Emak akan ser
Fajar mulai berpendar kemerahan. Endaru tiba di batas Kademangan Jetis setelah berjalan hampir semalaman. Bibirnya membiru dengan rahang yang terus-menerus bergemeletuk. Bebat luka di wajahnya sudah lembap karena darah yang terus saja merembas. Lukanya masih terasa menyayat-nyayat dan semakin perih setiap kali melangkahkan kaki. Dia berjongkok sambil bersedekap di bawah beringin tua untuk mengistirahatkan raga yang larat.Dia harus segera tiba di Pesantren Tegalsari untuk meminta perlindungan kepada siapa saja yang berada di sana. Terlihat dua orang preman memanggul buntelan dari kain sarung berjalan meninggalkan gapura Kademangan Jetis. Endaru segera bangkit dan mengadang salah satu dari mereka.“Kulo nuwun,[1] Pak Lik.” Endaru memberikan tabik.Partikelir itu tersentak melihat bebat kain di wajah Endaru yang memerah. “Kau terluka, Nak?”Pria itu tiba-tiba berlari ke arah semak belukar untuk mencari sesua
Dokter Schneider baru keluar dari kamar Endaru dan segera disambut senyum ramah Nyai Larsih, “Bagaimana keadaannya, Dokter?”Pria berambut dan bermata cokelat di balik kaca monokelnya itu menghela. Dia berbicara dalam bahasa Melayu yang baik, “Penyembuhannya cepat, hanya tiga hari lukanya sudah cukup kering. Akan tetapi, pasti akan meninggalkan bekas dan kemungkinan menjadi buta juga besar.”Perempuan yang membawa Endaru ke rumah Demang Sastro menggunakan dokar tiga hari lalu itu mengangguk dan memandang iba pada Endaru yang masih duduk di ranjang, “Anak setampan itu!”“Izinkan saya undur diri dulu, Nyai.”“Tidak singgah lebih lama, Dokter?” sergah sang nyai, “Siang ini kami mengadakan pertunjukan reog gebyog[1].”“Ada perayaan rupanya?” tanya sang dokter sambil melepas kaca monokelnya.“Hanya perayaan wujud syukur dan penolak
Warok Sastro menyesap kembali pipa tembakaunya dengan pandangan menerawang jauh.“Suatu malam bapakmu datang ke sini dan berkata bahwa dia merasa gagal menjadi seorang bapak. Nak, Gus, maka kubawa kau ke sini untuk kudidik dan kusiapkan sebelum menempuh jalan yang sunyi untuk menjadi warok sejati. Oleh karena itu, belajarlah apa saja yang bisa kau ambil di sini.”Tubuh Endaru semakin bergetar hebat. Dia berusaha mengendalikannya dengan mengepalkan tangan sekuat tenaga dan mengalirkan segala kecamuk rasa itu ke dalam genggaman tangannya.“Nyai, bagaimana persiapan menjamas[1]?”Terdengar suara gesekan kain jarik dan tapak selop Nyai Larsih yang mendekat, “Sudah semua, Kangmas. Mari saya bantu bersalin baju.”Warok Sastro berjalan diiringi Nyai Larsih menuju ke biliknya. Endaru berjalan gontai di belakang mereka menuju ke bangsal para babu. Endaru memperlambat langkah saat terdengar teriakan dan keributan
Iring-iringan reog gebyog untuk merayakan malam satu Suro baru kembali ke kediaman Warok Sastro pada sore hari. Menjelang puncak malam para siswa dan gemblak di Padepokan Bantarangin menggelar pesta dengan menyantap beraneka hidangan di pendopo setelah upacara menjamas yang dipimpin oleh Warok Sastro selesai.Sebuah dokar dengan iring-iringan pria berpenunggang kuda dalam jumlah besar datang memasuki regol Padepokan Bantarangin.“Bandit Merah!”“Warok Wengker!”Teriakan dan pekikan tanda bahaya itu seketika mengubah kemeriahan pesta menjadi ketegangan yang luar biasa. Para warok Bantarangin langsung bersiaga dan mengadang sang pendatang sambil mengacungkan senjata masing-masing—belati, celurit, parang, bahkan tombak.Endaru bersama para gemblak lain yang duduk melingkari aneka hidangan makanan turut bangkit untuk memeriksa keributan yang terjadi. Warok Sastro yang duduk bersila di karpet Turki di anta
Bojonegoro, September 1898Endaru menghentikan ceritanya sampai saat jongos Cornellis mengirimnya kembali ke rumah Warok Sastro. Bisik-bisik mulai merebak disusul tatapan jijik, cemoohan, bahkan tududuhan dari mulut-mulut manusia berkulit cokelat, kuning, dan putih yang hadir dalam persidangan tersebut. Mereka tiba-tiba berperan menjadi hakim bagi masa lalu Endaru yang belum juga tahu di mana kebenarannya.Semula mereka menduga-duga bagaimana seorang budak pekerja bisa menjadi pahlawan bagi sesama kaumnya yang papah dengan melawan tuan tanah yang memiliki kelainan seksual—penyuka sesama jenis. Orang-orang yang mulanya bersimpati dan memberikan dukungan pada Endaru, kini berbalik memusuhi dan mencibirnya. Mereka menganggap bahwa pemuda berparas cantik itu sengaja datang ke rumah Crussoe untuk menjadi budak nafsu sang kontrolir. Menjual diri dari satu tangan tuan besar ke tangan tuan besar yang lainnya.Seorang perempuan yang menjual diri&mdash
Dada telanjang Endaru bersimbah darah Sastro. Hanya dengan memakai sarung batik dia melompati regol, mencuri salah satu kuda dari istal, dan memacunya kembali ke rumah pertanian Cornellis.Saat tiba di depan pagar sebuah peluru melesak menghentikan laju kudanya. Kuda itu meringkik ketakutan hingga membuatnya jatuh terpental ke tanah. “Rose, ini aku!” teriak Endaru ke arah lantai dua rumah itu sambil berusaha bangkit dari tanah.“Endaru?” Rose melempar senapannya ke tempat tidur dan segera berlari ke halaman, “Apa aku melukaimu?”Pemuda itu berjalan limbung menuju rumah. Rose menghambur ke arah Endaru tetapi pemuda itu menolaknya, “Tubuhku kotor!”Kilat dan guruh memecah langit pekat. Rose membeliak saat menyadari tubuh Endaru berlumuran darah. Perempuan itu menutup mulutnya dengan tangan yang gemetar.Pyaar! Suara petir menggelegar di udara yang dingin. Hujan deras berjatuhan dari langit meng
Endaru meraba-raba dalam kegalapan. Dia melepas bebatan pada matanya yang sudah tak lagi mengeluarkan darah tetapi yang terjadi malah penglihatannya menjadi semakin buram.“Dasi? Di mana kau?” bisik Endaru putus asa.“Kau masih menginginkan gadis itu, Enes?” suara serak Sastro terdengar bagaikan gong yang dipukul.Dengan kepala yang masih berdenyut-denyut Endaru berusaha bangkit dan mencoba keluar dari bilik Sastro. Dia seperti terkurung di dalam ruangan yang sempit dan pengap. Endaru merasai gigilan di tubuhnya semakin dahsyat. Baru dia sadari bahwa pakaian tak lagi melekat di raganya.Dalam remang cahaya sintir yang kekuningan Endaru mulai bisa melihat Sastro tengah bersila di tengah ruangan hanya mengenakan kain jarik. Matanya terpejam dengan bibir yang terus merapal mantra.Endaru berusaha bangkit dari dipan dengan tubuh sempoyongan. Kepalanya berdentam-dentam dengan sensasi tusukan-tusukan yang menyakitkan pada mata. Sa
Rombongan bupati tiba di Somoroto ketika bola api sudah tenggelam di langit barat. Di sana sudah ramai oleh para pendekar dan warok dari berbagai penjuru Panaragan. Semenjak Padepokan Wengker dikalahkan oleh padepokan milik Sastro para warok mulai berkiblat dan mempertimbangkan posisi Padepokan Bantarangin sebagai padepokan terkuat. Oleh karena itu sedapat mungkin mereka menjalin hubungan baik dengan Sastro untuk mencegah perselisihan sekaligus untuk memperoleh pos-pos jabatan penting di Panaragan.Upacara penentuan pimpinan Padepokan Bantarngin dihadiri oleh sejumlah perwakilan dari padepokan lain. Upacara penyambutan begitu meriah dengan adanya hiburan reog itu sendiri, atraksi pencak silat, dan jamuan beraneka ragam makanan.Warok Sastro yang kini menjabat sebagai bupati datang dalam iring-iringan yang meriah menuju kediaman lamanya di Somoroto. Sastro dalam pakaian kebesaran seorang warok duduk di pendopo yang sudah dihias sedemikian rupa. Para warok lain yang turu
“Tinggallah di sini bersamaku memimpin Padepokan Bantarangin dan satukan seluruh warok di bumi Panaragan ini di bawah kekuasaanku! Lima tahun aku bertarung dengan para warok lain untuk bisa menduduki takhta Bupati Panaragan. Jadi sudah sepatutnya jika aku menuntut pengakuan dari mereka, bukan?” Sastro menyulut kembali tembakau di dalam pipanya.Tanpa diduga Endaru bangkit dan berdiri tegak. Dengan perasaan berat dia mengucapan kalimat yang mungkin akan disesali seumur hidupnya, “Kau pikir aku akan menerima tawaranmu hanya karena menawan ibuku? Dia bahkan sudah memutuskan hubungan denganku!”Endaru mulai berjalan meninggalkan Sastro tetapi sekali lagi para opas itu menahan langkahnya. Salah satu dari mereka menunjukkan topeng bujang ganong yang semalam dikenakan Endaru saat menyelinap ke kediaman Sastro di Somoroto. “Anda tidak bisa pergi, Raden Mas. Anda harus ditahan sampai persidangan digelar karena kami menemukan bukti bahwa Anda terlib
Endaru sudah menguak pintu selebar mungkin dengan senyum semringah saat Rose mencegahnya. Pemuda itu berharap Dasi berdiri di sana dengan kebaya dan sanggul gantung seperti dalam imajinya selama tujuh tahun terakhir. Akan tetapi, pemuda itu membeliak saat mendapati orang yang berbeda berdiri di balik pintu. Terdengar pekik tertahan dari Rose yang baru sampai di tengah-tengah anak tangga.“Berlutut!” teriak orang yang berdiri di depan pintu.“Polisi?” Endaru berbisik lemah dengan kedua lutut melemas.Tiga orang opas dalam seragam serba hitam mengadang Endaru dengan dua moncong senapan tertuju ke arahnya. Seorang opas lagi yang bersenjatakan tongkat memukul bahu Endaru agar segera berjongkok. Dengan cepat mereka membelenggu kedua tangan dan kaki pemuda itu menggunakan gelang besi yang terhubung dengan rantai.Rose menerjang dan memasang badan untuk mencegah ketiga opas itu membawa Endaru pergi. Sesaat setelah Endaru berlari ke lantai
Dasi memutar ebor berisi pakaian basah ke depan untuk melindungi perut yang terbuka. “Kau bodoh karena kembali ke sini, Enes!”Endaru menerjang dasi dan merengkuhnya dalam dekapan. Ebor di tangan perempuan itu terlepas. Pakaian berhamburan ke tanah. Endaru mendekapnya lebih dalam seakan ingin menyatukan raga mereka dan melebur menjadi satu.Ragu-ragu tangan dasi terangkat dan dengan keras mendrorong Endaru hingga terlepas. Perempuan itu membungkuk berusaha memunguti pakaian yang terjatuh.Endaru tak menyerah. Dia tarik lengan Dasi dan kembali meraihnya dalam dekapan. Ingin dia ulangi kejadian tujuh tahun lalu—bibirnya melumat bibir Dasi yang merah tanpa gincu. Akan tetapi Endaru mundur dan melepas gadis itu. Mereka terengah dengan napas memburu—kecewa karena gelegak rindu yang urung tersalur.Dasi mendorong Endaru lebih kuat. Plak! Satu tamparan mendarat di pipi Endaru, “Kau tak suka pada perempuan
Seorang pria bersarung batik dan berbeskap putih duduk di sebuah kursi goyang sambil memangku seorang anak laki-laki berusia empat tahun yang sedang terlelap. Kumis baplang putihnya berayun-ayun saat bibir melantunkan kidung pengantar tidur.Sret ... sret ... terdengar suara gesekan celana gombroh dari sosok bertopeng merah yang berjalan mendekat ke arah kursi goyang. Kidung terputus. Sembah terangkat dari sosok bertopeng itu, “Sudah saya selesaikan seperti perintah Ndoro!”“Dia menjadi serakah dengan mencoba merebut dan menyakiti apa yang menjadi kebangaannku. Orang seperti itu memang pantas untuk disingkirkan, bukan?” Kursi kembali berayun, “Aku dengar ada kegaduhan di sana. Apa mereka tahu kau pelakunya? Bukankah kubilang untuk melakukannya dengan tenang?”“Ampun, Ndoro ...,” suara di balik topeng itu bergetar dengan sepasang tangan terangkat memberi sembah sekali lagi, “Ada seseorang yang juga me
Gadis itu menghilang saat Endaru berhasil mencapai rumah dalem tempat tinggal para nyai. Sejenak dia ragu karena tak ingin bertemu dengan Nyai Larsih atau siapa pun yang mungkin masih mengenalinya. Dipanjatnya dinding pemisah antara dua gadok—sisi kanan menuju bilik Sastro dan sisi kiri menuju pemondokan Dasi. Endaru memutuskan untuk turun ke sisi kanan.“Dasi, tunggulah sebentar lagi!” gumamnya pada diri sendiri.Dia mencabut belati dari punggung dan mengendap-endap memasuki bilik Sastro. Rapalan mantra dan pemusatan pikiran penyerahan diri pada Sang Kuasa lamat-lamat dia lantunkan. Kilasan-kilasan bayangan masa lalu kembali berkelebat hingga dengan satu entakan keyakinan dia dorong pintu bilik Sastro.Bilik itu kosong.“Sial!”Suara tapak-tapak kaki terdengar bergema semakin mendekat. Bisikan dan tawa bocah-bocah laki-laki terdengar saling bersahutan.“Para gemblak,” Endaru menutup bilik d
Ringkik kuda bersahutan dengan dekut para kuak. Halimun menggantung membatasi penglihatan. Cahaya sintir meliuk-liuk dengan sinar yang berpendar.Kraak ... suara pintu lumbung yang dikuak membuat para pengerat lari ketakutan. Aroma pengap dan masam menguar berhamburan dari bukaan pintu. Udara dingin puncak malam menggantikan lembap di dalam lumbung.Endaru membungkuk meraih bangku yang bergelimpang di lantai berdebu. Dia letakkan sintir di atas kursi dan berputar memandangi atap yang dihuni para pemintal. Jalinan sarang laba-laba yang menghitam menambah suram ruangan. Dia berjalan ke pusat gas dan memompanya hingga seluruh rumah kembali disinari cahaya.Bekas kediaman Cornellis kini menjadi rumah terkutuk yang ditakuti oleh warga. Tak ada yang berani menjamah bahkan sekadar lewat pun mereka enggan. Rumah pertanian itu kini dikepung gelagah, semak belukar, dan tumbuhan pancang. Sulur-sulur tanaman rambat menutupi hampir seluruh gerbangnya menyembunyikan