Bojonegoro, September 1898
Sepasang tangan berotot dengan urat-urat kebiruan yang menonjol terus bergerak naik turun mengerek air dari sumur. Suara kelontang akibat gesekan timba dengan dinding sumur menggema di lubang yang dalam. Berulang kali air di timba logam itu muncrat dan tumpah karena lengannya gemetar.
Tetes-tetes darah yang meluruh dari bagian kemeja belacunya yang basah menggenang pada permukaan tanah berlapis batu kali datar, menguarkan anyir, lalu mengalir menuju selokan yang tersambung pada parit kecil di belakang rumah. Sebilah celurit berlumuran darah juga tergeletak di tanah tak jauh dari kakinya berpijak.
Sececah mata, tangan kasar sesosok pria dengan cambang bauk lebat yang membelai tubuhnya kembali berbayang. Tangan bertakhtakan cincin emas bermata kecubung itu berubah menjadi jemari lentik seorang mevrow yang tubuhnya menguarkan soga dan melati.
Dia menggosok dan terus menggosok bagian wajah, leher, dada, lengan, dan sekujur tubuh yang masih terbalut pakaian basah dengan sangat kasar dan cepat. Sekeras apa pun usahanya membersihkan diri, tetapi noda dan aroma yang tak kasat mata itu terus saja bersengkelit menimbulkan perasaan jijik.
Prang! Suara timba menghantam tubir sumur yang terbuat dari susunan batu bata. Karena kelelahan dan putus akal, sepasang kaki pemuda itu limbung. Tubuhnya melorot dengan punggung runduk yang tersengguk-sengguk.
Tangannya mengepal dan menghantam tubir sumur berlumut itu beberapa kali dengan perasaan muak dan marah yang menggelegak. Buk! Buk!
Buku-buku jarinya berdenyut dan membengkak. Darah segar mengular dari rekahan kulitnya yang koyak. Kini dia meringkuk bersandar pada dinding sumur dengan kedua lutut tertekuk ke dada. Wajahnya yang muram terbenam di antara dekapan lengan.
Rosemeijer Vallois-Crussoe berdiri menentang jendela yang terbuka di kamarnya di lantai dua. Tubuhnya terbalut dalaman rok dan korset yang membentuk lekuk sempurna. Puncak dada perempuan itu naik turun dengan napas pendek-pendek dan cepat. Rose mengangkat dagu lancip di bawah bibir busurnya yang memerah dengan sorot mata tajam menembusi sosok pemuda yang tengah meringkuk di sumur.
Jemari lentik Rosemeijer meraba batang lehernya sendiri yang berdenyut-denyut, membelai rahang, turun kembali ke puncak dadanya yang menegang, semakin ke bawah merasakan perut rata di balik permukaan korset yang berserat, dan berhenti tepat di bawah pusar dengan tangan gemetar. Kedua tangannya saling meremas di permukaan selembar gaun tipis yang menjadi pembatas antara tangan dengan pusat dirinya.
Tatapan lapar Rosemeijer tak bisa lepas dari sosok pemuda yang membuat dunia kecilnya di tanah Hindia menjadi jungkir balik seketika.
Sesosok pria yang bertelanjang dada—hanya mengenakan udeng dan celana gombroh selutut—berlari mobat-mabit mendekati sumur. Diraihnya celurit dari tanah yang tergenangi air bercampur darah.
“Apa yang kau lakukan di sini, Endaru? Cepat pergi!” Pria itu mengguncang-guncang tubuh pemuda yang masih meringkuk di sumur dengan satu tangan. “Mereka akan datang. Kau harus pergi sekarang juga!”
Dari arah depan terdengar ringkikan kuda dan gilasan roda kereta yang memasuki halaman. Sang pria yang bertelanjang dada segera bangkit untuk memastikan pemilik kereta yang baru saja tiba.
“Kereta polisi!” pekiknya.
Pria itu memutar badan dan berlari kembali menghampiri Endaru yang mulai mengangkat wajah.
Mata Endaru menyorotkan kobar dendam dan kebencian, bukan rasa takut dan kekhawatiran. Rahang bawahnya mengeras dengan urat-urat leher yang menegang, mempertegas barut bekas luka yang memanjang di bawah mata kanan. Wajahnya terbentuk dari perpaduan alami antara ketampanan dan kecantikan yang begitu mengesani—baik di mata perempuan maupun laki-laki.
Tengkuk pria yang bertelanjang dada itu sesaat meremang. Dia seakan menghadapi sosok Endaru yang sama sekali berbeda—terasa asing dan tak terjangkau.
“Endaru, pergilah! Polisi-polisi itu sudah turun dari kereta.”
Pemuda itu menanap. Saat tersadar dia mengeritkan geraham. Endaru meraih kemeja dan celana bersih dari jemuran, berlari memelesat meninggalkan sumur, lalu melompati semak tanaman pagar di kebun belakang.
Di kamarnya, tatap jalang Rosemeijer dibuyarkan oleh ketukan tiga kali pada pintu dengan nada yang mendesak. Salah seorang babunya berbicara dalam bahasa Belanda dengan nada yang terbata-bata.
“Mevrow, de politie is gearriveerd!”[1]
Rosemeijer berbalik meninggalkan jendela dan meraih jubah yang tersampir di sandaran kursi. Sekilas dia melirik gaun tidur putihnya yang berubah menjadi merah tampak mencuat dari dalam peti di kolong tempat tidur. Dia memijit-mijit pangkal hidung bangirnya untuk mengeluarkan air mata sebelum membuka pintu kamar.
Endaru berlari dan terus berlari melintasi kebun dan rimbun jati yang masih menjadi bagian dari tanah kekuasaan Kontrolir Crussoe. Tak ada buruh dan pekerja di hari Jumat Legi itu. Semua orang memperoleh hari libur hanya untuk berkumpul di jalan-jalan merayakan kenaikan sang ratu ke kursi kekuasaan.
Saat tiba di sebuah gubuk penjaga ladang, Endaru bergegas bersulih pakaian. Diambilnya topi jerami milik salah seorang penjaga ladang, memelesakkannya ke kepala hingga menutupi sebagian wajah, lalu kembali berjalan dengan masih bertelanjang kaki.
Beberapa kilometer kemudian, Endaru memasuki pasar dengan napas merengap dan dada yang bergemuruh. Dia membaur di tengah-tengah keramaian. Dunia sekelilingnya ingar-bingar dengan bunyi meriam yang berdentum-dentum di kejauhan. Jalan-jalan dihiasi oleh triwarna dan umbul-umbul kertas silang-menyilang yang sangat meriah. Namun, hatinya empas dan merusuh seorang diri. Satu matanya yang normal menyelidik dan mengawasi sosok-sosok polisi yang sedang berjaga di sepanjang jalannya acara.
Di kedua sisi jalan orang-orang berdiri berdesak-desakan—pribumi, totok, indo, Tionghoa—semua membaur menjadi satu. Mereka meninggalkan kegiatan masing-masing hanya untuk menyaksikan arak-arakan dan panembrama. Lamat-lamat mulai terdengar Wilhelmus[2] mengalun di sepanjang jalan utama dari mulut para totok dan indo yang merayakan kenaikan tahta sang ratu Belanda.
“Wilhelmus van Nassouwe ... Ben ik, van Duitsen bloed ... Den vaderland getrouwe ....”[3]
Endaru berlari menerabas sekumpulan manusia, menyelinap, dan menyembunyikan diri di antara mereka. Telinganya memerangkap suara geretak bingkai besi roda karper—menggilas jalanan batu kekuningan—yang mengangkut sang bupati semakin mendekat. Langkah Endaru tertahan. Bersama-sama dengan para pribumi yang lain, dia diharuskan berlutut—memberikan tabik dan sembah—pada sang raja kecil penguasa tanah Bojonegoro.
Gigilan seketika merambati tengkuk dan punggung pemuda itu. Sekitar tiga meter di depan berdiri dua orang polisi yang terus saja mengawasi. Dia lesapkan wajah ke balik topi dan berjalan mundur menghindari kerumunan warga yang berdesak-desakan ingin menyaksikan lebih dekat arak-arakan sang bupati.
Di antara deretan manusia yang tengah mendengungkan Wilhelmus, sebuah tangan menariknya dengan kasar menuju ke barisan paling belakang. Tubuh berotot Endaru seakan-akan sehelai kapas yang terseret-seret oleh embusan angin silir. Di sana dia berhadapan dengan seorang pria berkumis baplang dalam pakaian Jawa. Pria itu berdiri dengan membawa parang panjang di pinggang.
[1] “Nyonya, polisi sudah datang!”
[2] Lagu kebangsaan Belanda
[3] “Wilhelmus van Nassouwe ... Apakah aku berdarah Jerman ... Setia pada tanah air ....”
Pria berambut kekuningan yang mengenakan topi pet putih itu berjalan sambil mengentak-entakan sepatunya hingga menimbulkan gema di lantai plester yang kasar dan panas. Dengan setangan katun dia menyeka keringat yang membulir di hidung mancungnya yang sedikit membengkok dan di sekitar pipinya yang dipenuhi dengan bercak totol-totol cokelat—terlihat kontras di permukaan kulit yang pucat. Tubuh jangkung dan berisi itu terlihat mengesani di balik jas, celana, dan sepatu yang serba putih.Langkah opas itu seirama dengan dentangan tongkat di genggaman yang dipukul-pukulkannya pada besi terali. Entakan sepatunya terus mendekat dan semakin menggenapi kegelisahan wajah-wajah gelap tanpa pengharapan di balik jajaran jeruji yang terkunci. Semua saja berkeringat. Mereka meringkuk berjubel-jubel—jongkok, berdiri, rebah, dan bersandaran—pada dinding tebal dan di lantai plester yang kasar tanpa alas. Para tawanan itu terus membisu dan menetaki diri yang dibekap jeruji besi
Kereta membelok ke kediaman bupati, bukan ke landraad yang sekaligus menjadi kediaman Residen Bojonegoro. Endaru dan Suro terperangah saat melihat kerumunan orang-orang di sana.Para pria berudeng itu hampir tak ada yang mengenakan kemeja hanya bercawat sarung yang dibebatkan ke tubuh bagian bawah. Para perempuannya berkemben dan berkain jarik dengan selendang menudungi kepala. Sedangkan anak-anak yang turut serta, lebih banyak yang telanjang daripada yang berpakaian. Mereka semua duduk dan berjongkok di tanah berumput rendah dari jalan depan hingga ke halaman rumah sang bupati.Para perempuan dan laki-laki itu—dari yang tua hingga muda—begitu terkagum-kagum pada sosok Endaru yang mereka kenal sebagai pemuda yang tak bisa dimiliki karena tak sedikit para gadis yang dibuat patah hati. Setiap musim panen tiba Endaru bersama-sama dengan rombongannya akan berkeliling dari dusun ke dusun untuk melakukan pertunjukan reog gebyog. Kepiawaiannya me
Ponorogo, September 1888Cericau burung dan pekik kera menggema dari dalam hutan yang mengepung sepanjang aliran sungai. Kepala bocah laki-laki berambut hitam pekat tiba-tiba menyembul ke permukaan sungai hingga mengejutkan seekor kerbau jantan yang tengah berendam. Dia menarik tanduk sang kerbau lalu naik ke tengkuknya sambil tertawa riang. Telapak kecil bocah itu mengusap-usap kepala kerbau dengan penuh kasih sayang.“Emak berkata bapak meninggalkanmu sebagai ganti dirinya, tidakkah itu lucu?” bisik sang bocah pada kerbaunya.Di atas tebing seorang pria berbeskap dan bersarung batik putih berdiri di atas batu sambil mengawasi ke arah sungai. Satu tangannya berkacak pinggang, sedang yang lain menjepit cerutu.Sececah kepergian pria itu tertangkap oleh sudut mata seorang perempuan berkemban yang tengah menggilas cucian di bibir sungai. Perempuan itu segera meraih ebor, menjejalkan pakaian basah ke dalamnya, dan berlari-lari mener
Gandari menuju ke gubuk bambunya setelah memasukkan kerbau ke kandang. Tangan telanjangnya terulur hendak membuka pintu, tetapi urung saat mendengar raungan dan kegaduhan dari dalam rumah.Dia menghela. Perlahan disorongnya juga pintu bambu itu hingga terbuka. Terlihat Endaru tengah membungkuk mencangkuli lantai tanah rumahnya yang menjadi simbol kesabaran sang ibu dengan sekuat tenaga. Dia luapkan segala bentuk kemarahan, ketakutan, dan kebencian dengan terus merusak lantai tanah yang setiap hari Gandari sapu dan padatkan agar rata.Gandari tak mampu berkata. Dia duduk bersimpuh di ambang pintu dengan nelangsa. Lantai tanah itu kini berlubang-lubang dengan sisa cangkulan yang terserak di setiap jengkal seperti raga dan perasaannya yang tak berdaya.Setelah puas melampiaskan kemarahan, Endaru melempar cangkulnya hingga menghantam dinding gedek dan terpental. Tubuh berpeluhnya limbung ke lantai tanah yang berbenggol-benggol, “Jadi kepada siapa Emak akan ser
Fajar mulai berpendar kemerahan. Endaru tiba di batas Kademangan Jetis setelah berjalan hampir semalaman. Bibirnya membiru dengan rahang yang terus-menerus bergemeletuk. Bebat luka di wajahnya sudah lembap karena darah yang terus saja merembas. Lukanya masih terasa menyayat-nyayat dan semakin perih setiap kali melangkahkan kaki. Dia berjongkok sambil bersedekap di bawah beringin tua untuk mengistirahatkan raga yang larat.Dia harus segera tiba di Pesantren Tegalsari untuk meminta perlindungan kepada siapa saja yang berada di sana. Terlihat dua orang preman memanggul buntelan dari kain sarung berjalan meninggalkan gapura Kademangan Jetis. Endaru segera bangkit dan mengadang salah satu dari mereka.“Kulo nuwun,[1] Pak Lik.” Endaru memberikan tabik.Partikelir itu tersentak melihat bebat kain di wajah Endaru yang memerah. “Kau terluka, Nak?”Pria itu tiba-tiba berlari ke arah semak belukar untuk mencari sesua
Dokter Schneider baru keluar dari kamar Endaru dan segera disambut senyum ramah Nyai Larsih, “Bagaimana keadaannya, Dokter?”Pria berambut dan bermata cokelat di balik kaca monokelnya itu menghela. Dia berbicara dalam bahasa Melayu yang baik, “Penyembuhannya cepat, hanya tiga hari lukanya sudah cukup kering. Akan tetapi, pasti akan meninggalkan bekas dan kemungkinan menjadi buta juga besar.”Perempuan yang membawa Endaru ke rumah Demang Sastro menggunakan dokar tiga hari lalu itu mengangguk dan memandang iba pada Endaru yang masih duduk di ranjang, “Anak setampan itu!”“Izinkan saya undur diri dulu, Nyai.”“Tidak singgah lebih lama, Dokter?” sergah sang nyai, “Siang ini kami mengadakan pertunjukan reog gebyog[1].”“Ada perayaan rupanya?” tanya sang dokter sambil melepas kaca monokelnya.“Hanya perayaan wujud syukur dan penolak
Warok Sastro menyesap kembali pipa tembakaunya dengan pandangan menerawang jauh.“Suatu malam bapakmu datang ke sini dan berkata bahwa dia merasa gagal menjadi seorang bapak. Nak, Gus, maka kubawa kau ke sini untuk kudidik dan kusiapkan sebelum menempuh jalan yang sunyi untuk menjadi warok sejati. Oleh karena itu, belajarlah apa saja yang bisa kau ambil di sini.”Tubuh Endaru semakin bergetar hebat. Dia berusaha mengendalikannya dengan mengepalkan tangan sekuat tenaga dan mengalirkan segala kecamuk rasa itu ke dalam genggaman tangannya.“Nyai, bagaimana persiapan menjamas[1]?”Terdengar suara gesekan kain jarik dan tapak selop Nyai Larsih yang mendekat, “Sudah semua, Kangmas. Mari saya bantu bersalin baju.”Warok Sastro berjalan diiringi Nyai Larsih menuju ke biliknya. Endaru berjalan gontai di belakang mereka menuju ke bangsal para babu. Endaru memperlambat langkah saat terdengar teriakan dan keributan
Iring-iringan reog gebyog untuk merayakan malam satu Suro baru kembali ke kediaman Warok Sastro pada sore hari. Menjelang puncak malam para siswa dan gemblak di Padepokan Bantarangin menggelar pesta dengan menyantap beraneka hidangan di pendopo setelah upacara menjamas yang dipimpin oleh Warok Sastro selesai.Sebuah dokar dengan iring-iringan pria berpenunggang kuda dalam jumlah besar datang memasuki regol Padepokan Bantarangin.“Bandit Merah!”“Warok Wengker!”Teriakan dan pekikan tanda bahaya itu seketika mengubah kemeriahan pesta menjadi ketegangan yang luar biasa. Para warok Bantarangin langsung bersiaga dan mengadang sang pendatang sambil mengacungkan senjata masing-masing—belati, celurit, parang, bahkan tombak.Endaru bersama para gemblak lain yang duduk melingkari aneka hidangan makanan turut bangkit untuk memeriksa keributan yang terjadi. Warok Sastro yang duduk bersila di karpet Turki di anta
Dada telanjang Endaru bersimbah darah Sastro. Hanya dengan memakai sarung batik dia melompati regol, mencuri salah satu kuda dari istal, dan memacunya kembali ke rumah pertanian Cornellis.Saat tiba di depan pagar sebuah peluru melesak menghentikan laju kudanya. Kuda itu meringkik ketakutan hingga membuatnya jatuh terpental ke tanah. “Rose, ini aku!” teriak Endaru ke arah lantai dua rumah itu sambil berusaha bangkit dari tanah.“Endaru?” Rose melempar senapannya ke tempat tidur dan segera berlari ke halaman, “Apa aku melukaimu?”Pemuda itu berjalan limbung menuju rumah. Rose menghambur ke arah Endaru tetapi pemuda itu menolaknya, “Tubuhku kotor!”Kilat dan guruh memecah langit pekat. Rose membeliak saat menyadari tubuh Endaru berlumuran darah. Perempuan itu menutup mulutnya dengan tangan yang gemetar.Pyaar! Suara petir menggelegar di udara yang dingin. Hujan deras berjatuhan dari langit meng
Endaru meraba-raba dalam kegalapan. Dia melepas bebatan pada matanya yang sudah tak lagi mengeluarkan darah tetapi yang terjadi malah penglihatannya menjadi semakin buram.“Dasi? Di mana kau?” bisik Endaru putus asa.“Kau masih menginginkan gadis itu, Enes?” suara serak Sastro terdengar bagaikan gong yang dipukul.Dengan kepala yang masih berdenyut-denyut Endaru berusaha bangkit dan mencoba keluar dari bilik Sastro. Dia seperti terkurung di dalam ruangan yang sempit dan pengap. Endaru merasai gigilan di tubuhnya semakin dahsyat. Baru dia sadari bahwa pakaian tak lagi melekat di raganya.Dalam remang cahaya sintir yang kekuningan Endaru mulai bisa melihat Sastro tengah bersila di tengah ruangan hanya mengenakan kain jarik. Matanya terpejam dengan bibir yang terus merapal mantra.Endaru berusaha bangkit dari dipan dengan tubuh sempoyongan. Kepalanya berdentam-dentam dengan sensasi tusukan-tusukan yang menyakitkan pada mata. Sa
Rombongan bupati tiba di Somoroto ketika bola api sudah tenggelam di langit barat. Di sana sudah ramai oleh para pendekar dan warok dari berbagai penjuru Panaragan. Semenjak Padepokan Wengker dikalahkan oleh padepokan milik Sastro para warok mulai berkiblat dan mempertimbangkan posisi Padepokan Bantarangin sebagai padepokan terkuat. Oleh karena itu sedapat mungkin mereka menjalin hubungan baik dengan Sastro untuk mencegah perselisihan sekaligus untuk memperoleh pos-pos jabatan penting di Panaragan.Upacara penentuan pimpinan Padepokan Bantarngin dihadiri oleh sejumlah perwakilan dari padepokan lain. Upacara penyambutan begitu meriah dengan adanya hiburan reog itu sendiri, atraksi pencak silat, dan jamuan beraneka ragam makanan.Warok Sastro yang kini menjabat sebagai bupati datang dalam iring-iringan yang meriah menuju kediaman lamanya di Somoroto. Sastro dalam pakaian kebesaran seorang warok duduk di pendopo yang sudah dihias sedemikian rupa. Para warok lain yang turu
“Tinggallah di sini bersamaku memimpin Padepokan Bantarangin dan satukan seluruh warok di bumi Panaragan ini di bawah kekuasaanku! Lima tahun aku bertarung dengan para warok lain untuk bisa menduduki takhta Bupati Panaragan. Jadi sudah sepatutnya jika aku menuntut pengakuan dari mereka, bukan?” Sastro menyulut kembali tembakau di dalam pipanya.Tanpa diduga Endaru bangkit dan berdiri tegak. Dengan perasaan berat dia mengucapan kalimat yang mungkin akan disesali seumur hidupnya, “Kau pikir aku akan menerima tawaranmu hanya karena menawan ibuku? Dia bahkan sudah memutuskan hubungan denganku!”Endaru mulai berjalan meninggalkan Sastro tetapi sekali lagi para opas itu menahan langkahnya. Salah satu dari mereka menunjukkan topeng bujang ganong yang semalam dikenakan Endaru saat menyelinap ke kediaman Sastro di Somoroto. “Anda tidak bisa pergi, Raden Mas. Anda harus ditahan sampai persidangan digelar karena kami menemukan bukti bahwa Anda terlib
Endaru sudah menguak pintu selebar mungkin dengan senyum semringah saat Rose mencegahnya. Pemuda itu berharap Dasi berdiri di sana dengan kebaya dan sanggul gantung seperti dalam imajinya selama tujuh tahun terakhir. Akan tetapi, pemuda itu membeliak saat mendapati orang yang berbeda berdiri di balik pintu. Terdengar pekik tertahan dari Rose yang baru sampai di tengah-tengah anak tangga.“Berlutut!” teriak orang yang berdiri di depan pintu.“Polisi?” Endaru berbisik lemah dengan kedua lutut melemas.Tiga orang opas dalam seragam serba hitam mengadang Endaru dengan dua moncong senapan tertuju ke arahnya. Seorang opas lagi yang bersenjatakan tongkat memukul bahu Endaru agar segera berjongkok. Dengan cepat mereka membelenggu kedua tangan dan kaki pemuda itu menggunakan gelang besi yang terhubung dengan rantai.Rose menerjang dan memasang badan untuk mencegah ketiga opas itu membawa Endaru pergi. Sesaat setelah Endaru berlari ke lantai
Dasi memutar ebor berisi pakaian basah ke depan untuk melindungi perut yang terbuka. “Kau bodoh karena kembali ke sini, Enes!”Endaru menerjang dasi dan merengkuhnya dalam dekapan. Ebor di tangan perempuan itu terlepas. Pakaian berhamburan ke tanah. Endaru mendekapnya lebih dalam seakan ingin menyatukan raga mereka dan melebur menjadi satu.Ragu-ragu tangan dasi terangkat dan dengan keras mendrorong Endaru hingga terlepas. Perempuan itu membungkuk berusaha memunguti pakaian yang terjatuh.Endaru tak menyerah. Dia tarik lengan Dasi dan kembali meraihnya dalam dekapan. Ingin dia ulangi kejadian tujuh tahun lalu—bibirnya melumat bibir Dasi yang merah tanpa gincu. Akan tetapi Endaru mundur dan melepas gadis itu. Mereka terengah dengan napas memburu—kecewa karena gelegak rindu yang urung tersalur.Dasi mendorong Endaru lebih kuat. Plak! Satu tamparan mendarat di pipi Endaru, “Kau tak suka pada perempuan
Seorang pria bersarung batik dan berbeskap putih duduk di sebuah kursi goyang sambil memangku seorang anak laki-laki berusia empat tahun yang sedang terlelap. Kumis baplang putihnya berayun-ayun saat bibir melantunkan kidung pengantar tidur.Sret ... sret ... terdengar suara gesekan celana gombroh dari sosok bertopeng merah yang berjalan mendekat ke arah kursi goyang. Kidung terputus. Sembah terangkat dari sosok bertopeng itu, “Sudah saya selesaikan seperti perintah Ndoro!”“Dia menjadi serakah dengan mencoba merebut dan menyakiti apa yang menjadi kebangaannku. Orang seperti itu memang pantas untuk disingkirkan, bukan?” Kursi kembali berayun, “Aku dengar ada kegaduhan di sana. Apa mereka tahu kau pelakunya? Bukankah kubilang untuk melakukannya dengan tenang?”“Ampun, Ndoro ...,” suara di balik topeng itu bergetar dengan sepasang tangan terangkat memberi sembah sekali lagi, “Ada seseorang yang juga me
Gadis itu menghilang saat Endaru berhasil mencapai rumah dalem tempat tinggal para nyai. Sejenak dia ragu karena tak ingin bertemu dengan Nyai Larsih atau siapa pun yang mungkin masih mengenalinya. Dipanjatnya dinding pemisah antara dua gadok—sisi kanan menuju bilik Sastro dan sisi kiri menuju pemondokan Dasi. Endaru memutuskan untuk turun ke sisi kanan.“Dasi, tunggulah sebentar lagi!” gumamnya pada diri sendiri.Dia mencabut belati dari punggung dan mengendap-endap memasuki bilik Sastro. Rapalan mantra dan pemusatan pikiran penyerahan diri pada Sang Kuasa lamat-lamat dia lantunkan. Kilasan-kilasan bayangan masa lalu kembali berkelebat hingga dengan satu entakan keyakinan dia dorong pintu bilik Sastro.Bilik itu kosong.“Sial!”Suara tapak-tapak kaki terdengar bergema semakin mendekat. Bisikan dan tawa bocah-bocah laki-laki terdengar saling bersahutan.“Para gemblak,” Endaru menutup bilik d
Ringkik kuda bersahutan dengan dekut para kuak. Halimun menggantung membatasi penglihatan. Cahaya sintir meliuk-liuk dengan sinar yang berpendar.Kraak ... suara pintu lumbung yang dikuak membuat para pengerat lari ketakutan. Aroma pengap dan masam menguar berhamburan dari bukaan pintu. Udara dingin puncak malam menggantikan lembap di dalam lumbung.Endaru membungkuk meraih bangku yang bergelimpang di lantai berdebu. Dia letakkan sintir di atas kursi dan berputar memandangi atap yang dihuni para pemintal. Jalinan sarang laba-laba yang menghitam menambah suram ruangan. Dia berjalan ke pusat gas dan memompanya hingga seluruh rumah kembali disinari cahaya.Bekas kediaman Cornellis kini menjadi rumah terkutuk yang ditakuti oleh warga. Tak ada yang berani menjamah bahkan sekadar lewat pun mereka enggan. Rumah pertanian itu kini dikepung gelagah, semak belukar, dan tumbuhan pancang. Sulur-sulur tanaman rambat menutupi hampir seluruh gerbangnya menyembunyikan