Kereta membelok ke kediaman bupati, bukan ke landraad yang sekaligus menjadi kediaman Residen Bojonegoro. Endaru dan Suro terperangah saat melihat kerumunan orang-orang di sana.
Para pria berudeng itu hampir tak ada yang mengenakan kemeja hanya bercawat sarung yang dibebatkan ke tubuh bagian bawah. Para perempuannya berkemben dan berkain jarik dengan selendang menudungi kepala. Sedangkan anak-anak yang turut serta, lebih banyak yang telanjang daripada yang berpakaian. Mereka semua duduk dan berjongkok di tanah berumput rendah dari jalan depan hingga ke halaman rumah sang bupati.
Para perempuan dan laki-laki itu—dari yang tua hingga muda—begitu terkagum-kagum pada sosok Endaru yang mereka kenal sebagai pemuda yang tak bisa dimiliki karena tak sedikit para gadis yang dibuat patah hati. Setiap musim panen tiba Endaru bersama-sama dengan rombongannya akan berkeliling dari dusun ke dusun untuk melakukan pertunjukan reog gebyog. Kepiawaiannya memainkan dadak merak dengan segera menyedot perhatian warga. Tak sedikit juga yang meyakini pemuda itu memiliki kesaktian dan kebal. Oleh karena itu, mereka sengaja datang ke persidangan untuk menyaksikan dan membuktikan rumor tersebut.
Endaru sendiri tak pernah menduga, jika kabar berita pembunuhan sang kontrolir segera menyebar hingga ke penjuru Karesidenan Bojonegoro yang meliputi sejumlah wilayah kabupaten seperti Tuban, Lamongan, Blora, dan Bojonegoro sendiri.
“Kita akan dikenang sampai ke anak cucu mereka sebagai pemberontak yang membunuh totok,” kata Suro sambil tertawa berderak-derak seakan menggenapi pedalaman benak Endaru yang tak terkatakan.
“Ya, seorang picak[1] dan pria tua bangka yang kebal senjata!” Endaru mencebik dan benar-benar merasa jika ini adalah hari terakhirnya menghirup dan menghela udara di dunia.
“Kau mengolok-olokku, Anak Muda?”
Endaru hanya mengendik, “Setidaknya olokan itu diyakini oleh banyak mata yang hadir di sini. Kau akan membuat bangga Rukmini.”
Tatapan Suro meredup. Endaru merasa bersalah karena telah menyebut-nyebut nama Rukmini—putri semata wayang Suro—yang mungkin akan menjadi yatim.
Kereta berhenti diringi suara ringkikan kuda akibat tali kekang yang menegang. Salah satu opas yang mengiringi mereka segera membuka pintu kerangkeng. Endaru dan Suro enggan turun dengan iringan puluhan pasang mata yang memenuhi halaman rumah bupati.
Opas yang pada pinggangnya terselit parang itu naik ke atas kereta dan menarik paksa kemeja Endaru yang tak berkancing. Otot-otot perut pemuda itu menegang. Kemarahannya menggelegak. Dia melesakkan siku ke ulu hati sang opas.
“Aku iso mudun dewe, Jongos Londo!”[2] Dia benci jika tubunya disentuh oleh orang lain.
Tak! Ujung tongkat opas yang lain seketika mendarat di punggung Endaru, membuatnya melenting dan terhuyung.
Kerumunan warga yang menunggu kedatangan Endaru seketika bangkit dan mendekati kereta ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Para opas menghalau mereka dengan ancaman bedil dan parang. Endaru turun dan dipaksa berjongkok di tanah oleh salah satu opas menggunakan ujung tongkatnya.
Di dalam kereta sang opas yang disikut oleh Endaru meringkuk di pojok sambil menahan ulu hati yang berdenyut-denyut. Suro berbisik pada opas kesakitan itu sebelum dipaksa turun dari kereta, “Jangan pernah jamahkan tangan kotormu pada pemuda itu!”
Mereka berdua ditarik dan didorong di bawah ancaman tongkat sepanjang setengah meter hingga berhenti di depan undakan pendopo. Seluruh tatapan yang hadir di sana tertuju pada mereka—pada tatapan dingin Endaru dan pada dada telanjang Suro yang dipenuhi dengan bekas luka akibat sabetan senjata tajam. Rambut sebahu Endaru terikat ke belakang dengan anak-anak rambut yang saling berjatuhan, sedangkan rambut ikal Suro terlihat awut-awutan sehingga menambah kesan liar di wajah mereka.
Bisik-bisik menggelombang.
“Pria sakti dari Ponorogo!”
“Warok yang kebal senjata!”
“Ora iso mati!”[3]
Salah satu opas mendorong bahu Endaru agar segera berlutut dan berjalan sambil jongkok menuju ke hadapan sang Bupati dan Residen Bojonegoro. Suro mengikuti selangkah di belakang Endaru. Kedua tangan mereka terbelenggu besi dan masih harus mengapurancang. Tatapan mereka harus tertunduk ke lantai.
Sejumlah polisi dengan parang dan bedil turut berjajar rapi di depan pendopo menghalau kerumunan warga yang penuh dengan rasa ingin tahu. Di tengah-tengah pendopo para pejabat tinggi Karesidenan Bojonegoro duduk melingkari meja. Di bagian tengah ada Residen Bojonegoro—Bram van der Stok—yang bertindak sebagai hakim karena peristiwa ini terjadi di wilayah administrasinya. Kepala kepolisian sekaligus Jaksa adalah seorang indo dengan wajah hampir sepenuhnya pribumi—kecuali hidung dan warna matanya yang kelabu—mengambil tempat duduk di samping Residen. Pada sisi meja sebelah kiri duduk seorang Qadi dengan sorban putih besar dari kain mori yang dililitkan di kepala menyerupai mahkota Sultan Turki. Di sampingnya duduk seorang totok yang bertugas sebagai penerjemah. Pada sisi meja sebelah kanan ada Bupati Bojonegoro didampingi seorang Demang yang juga turut hadir menyaksikan jalannya persidangan.
Jaksa mulai membacakan tuduhan kepada Endaru dan Suro dalam bahasa Belanda tanpa cela. "Jij martelde Meneer Barend Crusoe op vrijdag 7 september 1898, een controleur bij het Bojonegoro kertogdom, tot de dood."
Residen bertanya pada Endaru dan Suro dalam bahasa Melayu, “Apa kowe tahu dan jelas itu semua tuduhan?”
Suro dengan lantang tanpa berpikir panjang menjawab dalam bahasa Belanda, “Niet duidelijk, Meneer!”[4]
Palu diketuk oleh Residen. “Pribumi dilarang gunakan bahasa Belanda! Gunakan bahasa kowe sendiri!”
Residen memberikan perintah pada penerjemah yang masih duduk tenang di samping Qadi untuk melaksanakan tugasnya.
“Kowe pada hari Jumat Legi tanggal 07 September 1898 melakukan penganiayaan pada Meneer Barend Crussoe, seorang kontrolir di kadipaten Bojonegoro yang sekaligus menjadi tuan tanah dan majikan kalian hingga meninggal dunia,” ucap sang penerjemah dalam bahasa Melayu dengan suara sengau hampir berdahak di pangkal tenggorokan.
Residen kembali membacakan tuduhan yang langsung diterjemahkan oleh pria berambut cokelat kemerahan itu dari tempatnya duduk. “Hasil pemeriksaan oleh dokter menyatakan, Meneer Barend Crussoe meninggal karena luka sayatan pada lehernya.”
“Ya, saya yang telah membunuh pria biadab itu!” pekik Endaru yang diikuti oleh sorak sorai di sepanjang halaman untuk memberikan dukungan.
Residen mengetuk palu agar mereka kembali tenang. Sejumlah opas yang bertugas segera mengacungkan parang untuk meredakan kegaduhan warga.
Suro begitu geram dengan kelancangan Endaru. “Bukan dia, Tuan Besar! Saya yang menggorok Londo itu sampai mati menggunakan celurit! Tuan opas sendiri yang menangkap saya bersama dengan celurit berdarah itu di rumah Crussoe.”
Sorak sorai kembali membahana dengan lebih semarak. Mereka begitu terkejut dan tidak menyangka, jika dua orang tersangka pelaku pembunuhan itu saling berebut mengakui kejahatannya. Bisik-bisik pun menggelombang.
“Kena gantung mereka!”
“Hukuman rodi seumur hidup itu pasti ....”
Di antara kerumunan orang-orang dusun dan warga yang sengaja datang dari luar kadipaten terdapat sepasang mata yang tak pernah lepas dari punggung tegak Endaru.
“Tenang semua!” Residen yang menjadi hakim berulang kali harus mengetukkan palu. Dia periksa kembali catatan yang dibuat oleh petugas kepolisian dengan teliti. “Endaru, berdasarkan catatan ini kowe bukan anak dari Suromenggolo. Kowe adalah pendatang gelap di rumah Crussoe!”
Bisik-bisik kembali membuncah.
“Bagaimana kowe bisa sampai berada di rumah keluarga Crussoe dan membunuhnya? Katakan yang sebenar-benarnya jika kowe menginginkan keadilan dan kesempatan untuk membela diri!”
“Tuan Besar,” Suro menyembah sambil merangkak lebih maju. “Anak ini tidak bersalah, dia hanya kebetulan berada di sana. Sahaya ... Sahaya yang telah membunuh Meneer Crussoe. Tuan Besar bisa menghadirkan Mevrow Crussoe sebagai saksi.”
“Suromenggolo, kowe diam dulu!” Dagu sang Residen menunjuk pada pemuda berusia 22 tahun yang masih menatapi lantai itu. “Endaru alias Enes, katakan pembelaanmu sekarang juga!”
Mendengar nama kecilnya disebut, tubuh Endaru menggigil seketika. Tatapannya terangkat dari lantai. Dia pandangi para petinggi di hadapannya dengan tatapan mengabur. Barut luka di bawah mata kanannya tiba-tiba berdenyut serasa baru saja ditorehkan di sana.
“Katakan dari mana kowe berasal dan apa tujuan kowe menyelinap ke rumah Crussoe?” bentak sang Residen.
Semua orang seketika senyap. Telinga kanan Endaru bergerak samar hampir-hampir tak ada yang melihat, kecuali Suro yang mulai gelisah melihat tanda-tanda itu.
Mereka telah membangunkan macan tidur.
[1] Buta
[2] “Aku bisa turun sendiri, Budak Belanda!”
[3] “Tidak bisa mati!”
[4] “Tidak jelas, Tuan Besar!”
Ponorogo, September 1888Cericau burung dan pekik kera menggema dari dalam hutan yang mengepung sepanjang aliran sungai. Kepala bocah laki-laki berambut hitam pekat tiba-tiba menyembul ke permukaan sungai hingga mengejutkan seekor kerbau jantan yang tengah berendam. Dia menarik tanduk sang kerbau lalu naik ke tengkuknya sambil tertawa riang. Telapak kecil bocah itu mengusap-usap kepala kerbau dengan penuh kasih sayang.“Emak berkata bapak meninggalkanmu sebagai ganti dirinya, tidakkah itu lucu?” bisik sang bocah pada kerbaunya.Di atas tebing seorang pria berbeskap dan bersarung batik putih berdiri di atas batu sambil mengawasi ke arah sungai. Satu tangannya berkacak pinggang, sedang yang lain menjepit cerutu.Sececah kepergian pria itu tertangkap oleh sudut mata seorang perempuan berkemban yang tengah menggilas cucian di bibir sungai. Perempuan itu segera meraih ebor, menjejalkan pakaian basah ke dalamnya, dan berlari-lari mener
Gandari menuju ke gubuk bambunya setelah memasukkan kerbau ke kandang. Tangan telanjangnya terulur hendak membuka pintu, tetapi urung saat mendengar raungan dan kegaduhan dari dalam rumah.Dia menghela. Perlahan disorongnya juga pintu bambu itu hingga terbuka. Terlihat Endaru tengah membungkuk mencangkuli lantai tanah rumahnya yang menjadi simbol kesabaran sang ibu dengan sekuat tenaga. Dia luapkan segala bentuk kemarahan, ketakutan, dan kebencian dengan terus merusak lantai tanah yang setiap hari Gandari sapu dan padatkan agar rata.Gandari tak mampu berkata. Dia duduk bersimpuh di ambang pintu dengan nelangsa. Lantai tanah itu kini berlubang-lubang dengan sisa cangkulan yang terserak di setiap jengkal seperti raga dan perasaannya yang tak berdaya.Setelah puas melampiaskan kemarahan, Endaru melempar cangkulnya hingga menghantam dinding gedek dan terpental. Tubuh berpeluhnya limbung ke lantai tanah yang berbenggol-benggol, “Jadi kepada siapa Emak akan ser
Fajar mulai berpendar kemerahan. Endaru tiba di batas Kademangan Jetis setelah berjalan hampir semalaman. Bibirnya membiru dengan rahang yang terus-menerus bergemeletuk. Bebat luka di wajahnya sudah lembap karena darah yang terus saja merembas. Lukanya masih terasa menyayat-nyayat dan semakin perih setiap kali melangkahkan kaki. Dia berjongkok sambil bersedekap di bawah beringin tua untuk mengistirahatkan raga yang larat.Dia harus segera tiba di Pesantren Tegalsari untuk meminta perlindungan kepada siapa saja yang berada di sana. Terlihat dua orang preman memanggul buntelan dari kain sarung berjalan meninggalkan gapura Kademangan Jetis. Endaru segera bangkit dan mengadang salah satu dari mereka.“Kulo nuwun,[1] Pak Lik.” Endaru memberikan tabik.Partikelir itu tersentak melihat bebat kain di wajah Endaru yang memerah. “Kau terluka, Nak?”Pria itu tiba-tiba berlari ke arah semak belukar untuk mencari sesua
Dokter Schneider baru keluar dari kamar Endaru dan segera disambut senyum ramah Nyai Larsih, “Bagaimana keadaannya, Dokter?”Pria berambut dan bermata cokelat di balik kaca monokelnya itu menghela. Dia berbicara dalam bahasa Melayu yang baik, “Penyembuhannya cepat, hanya tiga hari lukanya sudah cukup kering. Akan tetapi, pasti akan meninggalkan bekas dan kemungkinan menjadi buta juga besar.”Perempuan yang membawa Endaru ke rumah Demang Sastro menggunakan dokar tiga hari lalu itu mengangguk dan memandang iba pada Endaru yang masih duduk di ranjang, “Anak setampan itu!”“Izinkan saya undur diri dulu, Nyai.”“Tidak singgah lebih lama, Dokter?” sergah sang nyai, “Siang ini kami mengadakan pertunjukan reog gebyog[1].”“Ada perayaan rupanya?” tanya sang dokter sambil melepas kaca monokelnya.“Hanya perayaan wujud syukur dan penolak
Warok Sastro menyesap kembali pipa tembakaunya dengan pandangan menerawang jauh.“Suatu malam bapakmu datang ke sini dan berkata bahwa dia merasa gagal menjadi seorang bapak. Nak, Gus, maka kubawa kau ke sini untuk kudidik dan kusiapkan sebelum menempuh jalan yang sunyi untuk menjadi warok sejati. Oleh karena itu, belajarlah apa saja yang bisa kau ambil di sini.”Tubuh Endaru semakin bergetar hebat. Dia berusaha mengendalikannya dengan mengepalkan tangan sekuat tenaga dan mengalirkan segala kecamuk rasa itu ke dalam genggaman tangannya.“Nyai, bagaimana persiapan menjamas[1]?”Terdengar suara gesekan kain jarik dan tapak selop Nyai Larsih yang mendekat, “Sudah semua, Kangmas. Mari saya bantu bersalin baju.”Warok Sastro berjalan diiringi Nyai Larsih menuju ke biliknya. Endaru berjalan gontai di belakang mereka menuju ke bangsal para babu. Endaru memperlambat langkah saat terdengar teriakan dan keributan
Iring-iringan reog gebyog untuk merayakan malam satu Suro baru kembali ke kediaman Warok Sastro pada sore hari. Menjelang puncak malam para siswa dan gemblak di Padepokan Bantarangin menggelar pesta dengan menyantap beraneka hidangan di pendopo setelah upacara menjamas yang dipimpin oleh Warok Sastro selesai.Sebuah dokar dengan iring-iringan pria berpenunggang kuda dalam jumlah besar datang memasuki regol Padepokan Bantarangin.“Bandit Merah!”“Warok Wengker!”Teriakan dan pekikan tanda bahaya itu seketika mengubah kemeriahan pesta menjadi ketegangan yang luar biasa. Para warok Bantarangin langsung bersiaga dan mengadang sang pendatang sambil mengacungkan senjata masing-masing—belati, celurit, parang, bahkan tombak.Endaru bersama para gemblak lain yang duduk melingkari aneka hidangan makanan turut bangkit untuk memeriksa keributan yang terjadi. Warok Sastro yang duduk bersila di karpet Turki di anta
Bojonegoro, September 1898Endaru menghentikan ceritanya sampai saat jongos Cornellis mengirimnya kembali ke rumah Warok Sastro. Bisik-bisik mulai merebak disusul tatapan jijik, cemoohan, bahkan tududuhan dari mulut-mulut manusia berkulit cokelat, kuning, dan putih yang hadir dalam persidangan tersebut. Mereka tiba-tiba berperan menjadi hakim bagi masa lalu Endaru yang belum juga tahu di mana kebenarannya.Semula mereka menduga-duga bagaimana seorang budak pekerja bisa menjadi pahlawan bagi sesama kaumnya yang papah dengan melawan tuan tanah yang memiliki kelainan seksual—penyuka sesama jenis. Orang-orang yang mulanya bersimpati dan memberikan dukungan pada Endaru, kini berbalik memusuhi dan mencibirnya. Mereka menganggap bahwa pemuda berparas cantik itu sengaja datang ke rumah Crussoe untuk menjadi budak nafsu sang kontrolir. Menjual diri dari satu tangan tuan besar ke tangan tuan besar yang lainnya.Seorang perempuan yang menjual diri&mdash
Di tengah kekacauan itu tubuh Endaru mulai bergetar hebat. Dia peluk lutut yang menempel kuat ke dadanya dengan wajah terbenam di sana. Suara-suara teriakan dan cacian yang berusaha dihalau oleh para opas itu terus berjejalan memasuki liang telinganya. Lamat-lamat terdengar seperti bisikan lirih Warok Sastro di telinga Endaru saat malam pertama dia memasuki kamarnya.Hanya di bumi Panaragan kau akan mendapat sanjungan dan dielu-elukan setara dengan putra para sultan. Hanya di tanah Paragan semua orang—dari berbagai kalangan—akan memuja dan mengagumi status gemblakmu. Tak akan ada mulut-mulut yang melukaimu, tak akan ada tatapan yang merendahkanmu, karena mereka begitu mengagumi paras rupawan para gemblak pilihan. Mereka juga yang akan terus memuliakan kesaktian dan kebijaksanaan para warok yang mampu menjaga dan melindungi para pengikutnya.Endaru mulai meraung dan berteriak-teriak kehilangan kendali diri. Dibekapnya telinga sambil meringkuk di lan
Dada telanjang Endaru bersimbah darah Sastro. Hanya dengan memakai sarung batik dia melompati regol, mencuri salah satu kuda dari istal, dan memacunya kembali ke rumah pertanian Cornellis.Saat tiba di depan pagar sebuah peluru melesak menghentikan laju kudanya. Kuda itu meringkik ketakutan hingga membuatnya jatuh terpental ke tanah. “Rose, ini aku!” teriak Endaru ke arah lantai dua rumah itu sambil berusaha bangkit dari tanah.“Endaru?” Rose melempar senapannya ke tempat tidur dan segera berlari ke halaman, “Apa aku melukaimu?”Pemuda itu berjalan limbung menuju rumah. Rose menghambur ke arah Endaru tetapi pemuda itu menolaknya, “Tubuhku kotor!”Kilat dan guruh memecah langit pekat. Rose membeliak saat menyadari tubuh Endaru berlumuran darah. Perempuan itu menutup mulutnya dengan tangan yang gemetar.Pyaar! Suara petir menggelegar di udara yang dingin. Hujan deras berjatuhan dari langit meng
Endaru meraba-raba dalam kegalapan. Dia melepas bebatan pada matanya yang sudah tak lagi mengeluarkan darah tetapi yang terjadi malah penglihatannya menjadi semakin buram.“Dasi? Di mana kau?” bisik Endaru putus asa.“Kau masih menginginkan gadis itu, Enes?” suara serak Sastro terdengar bagaikan gong yang dipukul.Dengan kepala yang masih berdenyut-denyut Endaru berusaha bangkit dan mencoba keluar dari bilik Sastro. Dia seperti terkurung di dalam ruangan yang sempit dan pengap. Endaru merasai gigilan di tubuhnya semakin dahsyat. Baru dia sadari bahwa pakaian tak lagi melekat di raganya.Dalam remang cahaya sintir yang kekuningan Endaru mulai bisa melihat Sastro tengah bersila di tengah ruangan hanya mengenakan kain jarik. Matanya terpejam dengan bibir yang terus merapal mantra.Endaru berusaha bangkit dari dipan dengan tubuh sempoyongan. Kepalanya berdentam-dentam dengan sensasi tusukan-tusukan yang menyakitkan pada mata. Sa
Rombongan bupati tiba di Somoroto ketika bola api sudah tenggelam di langit barat. Di sana sudah ramai oleh para pendekar dan warok dari berbagai penjuru Panaragan. Semenjak Padepokan Wengker dikalahkan oleh padepokan milik Sastro para warok mulai berkiblat dan mempertimbangkan posisi Padepokan Bantarangin sebagai padepokan terkuat. Oleh karena itu sedapat mungkin mereka menjalin hubungan baik dengan Sastro untuk mencegah perselisihan sekaligus untuk memperoleh pos-pos jabatan penting di Panaragan.Upacara penentuan pimpinan Padepokan Bantarngin dihadiri oleh sejumlah perwakilan dari padepokan lain. Upacara penyambutan begitu meriah dengan adanya hiburan reog itu sendiri, atraksi pencak silat, dan jamuan beraneka ragam makanan.Warok Sastro yang kini menjabat sebagai bupati datang dalam iring-iringan yang meriah menuju kediaman lamanya di Somoroto. Sastro dalam pakaian kebesaran seorang warok duduk di pendopo yang sudah dihias sedemikian rupa. Para warok lain yang turu
“Tinggallah di sini bersamaku memimpin Padepokan Bantarangin dan satukan seluruh warok di bumi Panaragan ini di bawah kekuasaanku! Lima tahun aku bertarung dengan para warok lain untuk bisa menduduki takhta Bupati Panaragan. Jadi sudah sepatutnya jika aku menuntut pengakuan dari mereka, bukan?” Sastro menyulut kembali tembakau di dalam pipanya.Tanpa diduga Endaru bangkit dan berdiri tegak. Dengan perasaan berat dia mengucapan kalimat yang mungkin akan disesali seumur hidupnya, “Kau pikir aku akan menerima tawaranmu hanya karena menawan ibuku? Dia bahkan sudah memutuskan hubungan denganku!”Endaru mulai berjalan meninggalkan Sastro tetapi sekali lagi para opas itu menahan langkahnya. Salah satu dari mereka menunjukkan topeng bujang ganong yang semalam dikenakan Endaru saat menyelinap ke kediaman Sastro di Somoroto. “Anda tidak bisa pergi, Raden Mas. Anda harus ditahan sampai persidangan digelar karena kami menemukan bukti bahwa Anda terlib
Endaru sudah menguak pintu selebar mungkin dengan senyum semringah saat Rose mencegahnya. Pemuda itu berharap Dasi berdiri di sana dengan kebaya dan sanggul gantung seperti dalam imajinya selama tujuh tahun terakhir. Akan tetapi, pemuda itu membeliak saat mendapati orang yang berbeda berdiri di balik pintu. Terdengar pekik tertahan dari Rose yang baru sampai di tengah-tengah anak tangga.“Berlutut!” teriak orang yang berdiri di depan pintu.“Polisi?” Endaru berbisik lemah dengan kedua lutut melemas.Tiga orang opas dalam seragam serba hitam mengadang Endaru dengan dua moncong senapan tertuju ke arahnya. Seorang opas lagi yang bersenjatakan tongkat memukul bahu Endaru agar segera berjongkok. Dengan cepat mereka membelenggu kedua tangan dan kaki pemuda itu menggunakan gelang besi yang terhubung dengan rantai.Rose menerjang dan memasang badan untuk mencegah ketiga opas itu membawa Endaru pergi. Sesaat setelah Endaru berlari ke lantai
Dasi memutar ebor berisi pakaian basah ke depan untuk melindungi perut yang terbuka. “Kau bodoh karena kembali ke sini, Enes!”Endaru menerjang dasi dan merengkuhnya dalam dekapan. Ebor di tangan perempuan itu terlepas. Pakaian berhamburan ke tanah. Endaru mendekapnya lebih dalam seakan ingin menyatukan raga mereka dan melebur menjadi satu.Ragu-ragu tangan dasi terangkat dan dengan keras mendrorong Endaru hingga terlepas. Perempuan itu membungkuk berusaha memunguti pakaian yang terjatuh.Endaru tak menyerah. Dia tarik lengan Dasi dan kembali meraihnya dalam dekapan. Ingin dia ulangi kejadian tujuh tahun lalu—bibirnya melumat bibir Dasi yang merah tanpa gincu. Akan tetapi Endaru mundur dan melepas gadis itu. Mereka terengah dengan napas memburu—kecewa karena gelegak rindu yang urung tersalur.Dasi mendorong Endaru lebih kuat. Plak! Satu tamparan mendarat di pipi Endaru, “Kau tak suka pada perempuan
Seorang pria bersarung batik dan berbeskap putih duduk di sebuah kursi goyang sambil memangku seorang anak laki-laki berusia empat tahun yang sedang terlelap. Kumis baplang putihnya berayun-ayun saat bibir melantunkan kidung pengantar tidur.Sret ... sret ... terdengar suara gesekan celana gombroh dari sosok bertopeng merah yang berjalan mendekat ke arah kursi goyang. Kidung terputus. Sembah terangkat dari sosok bertopeng itu, “Sudah saya selesaikan seperti perintah Ndoro!”“Dia menjadi serakah dengan mencoba merebut dan menyakiti apa yang menjadi kebangaannku. Orang seperti itu memang pantas untuk disingkirkan, bukan?” Kursi kembali berayun, “Aku dengar ada kegaduhan di sana. Apa mereka tahu kau pelakunya? Bukankah kubilang untuk melakukannya dengan tenang?”“Ampun, Ndoro ...,” suara di balik topeng itu bergetar dengan sepasang tangan terangkat memberi sembah sekali lagi, “Ada seseorang yang juga me
Gadis itu menghilang saat Endaru berhasil mencapai rumah dalem tempat tinggal para nyai. Sejenak dia ragu karena tak ingin bertemu dengan Nyai Larsih atau siapa pun yang mungkin masih mengenalinya. Dipanjatnya dinding pemisah antara dua gadok—sisi kanan menuju bilik Sastro dan sisi kiri menuju pemondokan Dasi. Endaru memutuskan untuk turun ke sisi kanan.“Dasi, tunggulah sebentar lagi!” gumamnya pada diri sendiri.Dia mencabut belati dari punggung dan mengendap-endap memasuki bilik Sastro. Rapalan mantra dan pemusatan pikiran penyerahan diri pada Sang Kuasa lamat-lamat dia lantunkan. Kilasan-kilasan bayangan masa lalu kembali berkelebat hingga dengan satu entakan keyakinan dia dorong pintu bilik Sastro.Bilik itu kosong.“Sial!”Suara tapak-tapak kaki terdengar bergema semakin mendekat. Bisikan dan tawa bocah-bocah laki-laki terdengar saling bersahutan.“Para gemblak,” Endaru menutup bilik d
Ringkik kuda bersahutan dengan dekut para kuak. Halimun menggantung membatasi penglihatan. Cahaya sintir meliuk-liuk dengan sinar yang berpendar.Kraak ... suara pintu lumbung yang dikuak membuat para pengerat lari ketakutan. Aroma pengap dan masam menguar berhamburan dari bukaan pintu. Udara dingin puncak malam menggantikan lembap di dalam lumbung.Endaru membungkuk meraih bangku yang bergelimpang di lantai berdebu. Dia letakkan sintir di atas kursi dan berputar memandangi atap yang dihuni para pemintal. Jalinan sarang laba-laba yang menghitam menambah suram ruangan. Dia berjalan ke pusat gas dan memompanya hingga seluruh rumah kembali disinari cahaya.Bekas kediaman Cornellis kini menjadi rumah terkutuk yang ditakuti oleh warga. Tak ada yang berani menjamah bahkan sekadar lewat pun mereka enggan. Rumah pertanian itu kini dikepung gelagah, semak belukar, dan tumbuhan pancang. Sulur-sulur tanaman rambat menutupi hampir seluruh gerbangnya menyembunyikan