“Nona, maaf ya. Selama di sini tidak tahu di mana letak klub. Jadi kita ke sini saja.”Asher sudah menepikan mobil. Isyana menoleh ke arah depan. Memang bukan toko yang menjadi tujuan Asher. Melainkan kafe kekinian yang terlihat baru buka.“Kau bawa aku ke sini?” tanya Isyana yang tidak percaya dengan kelakuan Asher. Mengatakan ke klub tadi, Isyana hanya bergurau. Tidak menyangka jika Asher begitu serius dengan membawa mobil mencari lokasi yang dimaksud.“Benar Nona. Saya rasa tidak masalah untuk menenggak kafein satu gelas. Akan membuat mood baik,” ujar Asher.“Benar juga.”Asher sudah turun lebih dulu. Dengan kata lain, Isyana juga harus ikut turun. Dengan langkah pelan, dia mengikuti Asher yang sudah lebih dulu berjalan. Masuk ke dalam kafe, suasana begitu tenang. Isyana merasa sedikit lega. Pagi yang cerah, dan belum banyak orang yang datang berkunjung. Tentu menjadi hal baik yang patut disyukuri.“Aku pesan capuccino saja Ash.”Asher mengangguk. Dia juga yang membayar pesanan I
Tidak perlu ditanyai lagi untuk rasa malu. Saat ini, Isyana ingin sekali menghilang dari muka bumi ini.Kepergok akan berciuman dengan Asher, membuat napasnya serasa tinggal setengah hidup. Sudah mirip Nenek Asma, jika sedang kambuh.Sementara dia menenangkan hati dan pikiran, Asher sudah lebih dulu untuk turun. Dia yang bersikap seperti gentleman sesungguhnya dengan menerima kedatangan Ibu Indun, pemilik ruko yang memergoki mereka.“Malu ... malu. Itu Ibu Indun lihat apa ya? Pikirannya lurus apa justru gesrek ya?” gumam Isyana yang kalang kabut sendiri.Kakinya gemetar setiap kali akan keluar dari mobil. Tapi berdiam di sini saja, rasanya sangat sesak dan sumpek. Berkali-kali mengintip ke arah toko, hanya terlihat Asher yang sangat santai saja berbicara dengan si pemilik ruko. Bahkan sesekali wajah bule itu tersenyum saat pembicaraan terjadi.“Itu Asher, ketawain apa sih? Kok gue jadi over thinking sendiri. Jangan-jangan, Asher cerita soal kita yang ....”Isyana buru-buru menggeleng
Dalam satu pandangan yang sama, Isyana tidak mengatakan apa pun. Dia juga langsung masuk begitu tersadar apa yang dilakukannya.Berbeda dengan Asher yang sedikit gugup. Membuang rasa tidak enak, dia memilih untuk keluar dari area toko. Mengejar Ibu Indun juga tidak mungkin. Perempuan itu pasti sudah jauh pergi. Dalam rasa yang kurang nyaman karena kepergok Isyana, ponsel Asher bergetar. Dia memang tidak mengeluarkan bunyi agar tidak menggangu orang lain. Ini keterusan sampai sekarang.“Hello.”[“Asher, hurry up and read your email. Granddad sent something important there.”]“Okay.”Telepon dari Kakeknya yang menunjukkan ada pekerjaan yang harus Asher lakukan. Setelah berkata setuju akan masuk dalam perusahaan keluarga, Jhonny Miller lebih banyak menghubungi Asher terkait pekerjaan. Asher membuka ponselnya. Dia lupa tidak memiliki laptop untuk mengerjakan projek yang Kakeknya kirimkan. Hal ini berkaitan dengan pengembangan usaha sang Kakek yang ingin membuka bisnis di Indonesia. Le
Bernegosiasi dengan Indun ternyata mudah. Yang sulit itu menyembunyikan dari Isyana. Padahal dia hanya pergi sebentar saja. Tapi wajah Isyana sudah masam dengan curiga yang menggunung.“Jadi lo dari mana?” tanya Isyana dengan wajah tidak santai.“Dari kedai kopi seberang jalan Nona.”“Tadi pagi kan sudah minum kopi. Lo lupa, kalau Mommy itu kena magh akut.”“Lah kan yang kena memang Mommy. Saya tidak.”“Ish.”Isyana justru menghentak-hentakkan kakinya. Kesal dengan Asher yang begitu polos. Tapi mengingat tadi yang dia katakan dengan Indun, seketika Isyana membuang julukan polos. “Apa yang Lo sembunyikan dari gue sih Ash! Ngomong aja,” ucap Isyana yang mencecar Asher lagi.“Apa Nona? Saya memang tidak punya magh. Jadi aman kalau hanya minum kopi dua gelas per hari.”“Ish, bukan tentang kopinya. Itu mah terserah Lo aja mau minum berapa gelas juga. Gue gak peduli,” ujar Isyana lagi.“Benar tidak peduli Nona. Namun, tadi tampak begitu khawatir.”Isyana membuang wajahnya ke sembarang arah
“Isyana.”Nenek Asma, yang akhir-akhir ini jadi sering sesak napas, karena itu pula dia memanggil cucunya dengan lirih. Dia tentu tidak ingin sesak napas lagi. Terlebih di depan si tengil Cakra dan si tampan Basel.“Ya Nek.”Demi memenuhi panggilan Neneknya, Isyana memilih meninggalkan dua pria absurt ini. Dari pada kena kutuk sang nenek yang tampaknya sedang tidak baik-baik saja.“Ada apa Nek? Mau bagi warisan?” tanya Isyana iseng.“Hus, kau doakan Nenek cepat modar, gitu?” Isyana hanya nyengir saja. Toh berkata seperti itu hanya untuk mengurangi ketegangan di hatinya. Apa lagi panggilan neneknya serasa mendesak untuk segera dilakukan.“Tadi maksudnya Asher apaan? Kau mau kawin sama dia?” tanya Nenek Asma yang berbisik di telinga sang cucu.“Em, gak tahu sih. Mungkin Asher cuma minta ditemani. Gak ada janji sebelumnya kok.”Isyana berkata jujur. Tapi sang Nenek juga ada menangkap raut sedih di sana.“Oh, tapi kok kayaknya Asher serius banget sih. Jangan mainin hatinya dong Isyana.”
Basel membawa Isyana ke lantai paling atas. Di sana memang ada restoran yang mengolah makanan laut. Pemandangan yang disajikan, berucap hamparan pegunungan yang sangat memanjakan mata. Hijaunya daun bergoyang-goyang membuka tutup puncak gunung Slamet yang siang itu terlihat cerah.“Basel, untuk apa kita ke sini?” tanya Isyana yang heran dengan tingkah laku Basel.“Ya tentu saja untuk makan siang. Kita kan belum makan,” ucap Basel santai.Menepis keraguan, Basel menggandeng tangan Isyana untuk bisa mengikutinya. Dia bahkan terkesan menyeret Isyana. Lantaran gadis itu masih saja terpaku di tempatnya.“Kau memaksa,” keluh Isyana yang tidak suka dengan bahasa tubuh Basel saat ini.“Maaf Syan, aku hanya menarik karena kau diam. Tapi terlalu keras ya. Apa sakit?”Basel langsung memeriksa tangan Isyana. Tidak ada tanda merah di sana. Seharusnya aman saja. Pikirnya, Isyana hanya syok mendapat perlakuan seperti itu.“Ya tidak masalah.”Berada di sisi Basel, itu artinya Isyana harus lebih form
“Jadi Anda ke hotel hanya untuk makan siang?”“Ya benar.”Sejak mengaku berada di hotel, Isyana langsung mengatakan apa yang dia lakukan bersama Basel. Seharusnya tidak ada yang aneh, tapi dari jawaban Asher justru pria itu seperti curiga padanya.“Mengapa Anda jadi formal?” tanya Asher yang cukup aneh dengan jawaban Isyana. “Ya karena Anda juga formal pada saya.”Keduanya lantas terbahak. Hal yang sempat tegang di antara mereka lantas mencair. Isyana sempat takut Asher akan bertanya yang macam-macam lagi. Tapi syukurlah pria itu tidak melanjutkan pertanyaan. Sibuk untuk mengemudi mobilnya.“Gue tuh sebenernya tadi takut tahu Ash.”“Takut mengapa?” tanya Asher yang menoleh ke arah Isyana.“Ya Lo tahu kan, kalau hotel biasanya ya ngamar. Untung aja beneran cuma ke restoran.”Kening Asher berkerut. “Memangnya siapa yang pernah mengajak Nona ke hotel dan masuk kamar?” tanyanya lagi.“Heh, kok lo bisa nebak begitu?” Isyana cukup terkejut dengan pemikiran Asher yang cukup jauh. Biasanya
“Ash.”“Hem.”“Ke warung soto yuk.”“Katanya tadi Nona sudah makan.”“Kok panggil Nona lagi sih. Panggil nama aja kek tadi kenapa.”Isyana langsung cemberut dibuat Asher. Tadi dia begitu senang saat dipanggil nama saja dengan intonasi yang begitu tegas dan mengagumkan. Tapi belum ada lima menit sudah kembali lagi. Gadis itu serasa belum puas untuk mendengar Asher memperlakukannya spesial.“Maaf Nona, kita kan sedang bekerja jadi—”“Ya terserah aja. Cepetan bawa mobilnya, gue udah pengin rebahan.”Isyana sudah memalingkan wajah ke arah jendela. Mode ngambek. Dengan begitu dia juga berharap akan dibujuk oleh Asher. Hanya saja kenyataan memang menyakitkan. Bukannya merayu Isyana lagi untuk tidak merajuk, pria itu justru mempercepat laju kendaraan. Sesuai dengan keinginan Isyana sebelumnya.“Heh Ash, Lo mau kita mati barengan, heh!”Isyana langsung menegang. Tangannya sibuk mencari perlindungan agar tidak terlempar keluar. Tampaknya Asher memang sedang tidak bercanda kali ini.“Katanya