Isyana pikir Nenek Asma akan sungkan berada di rumah Asher. Ternyata dia sangat menikmati berada di sini. Bahkan tidak sungkan untuk memasak menggunakan dapur milik Ranty.Melihat ini, Isyana sampai heran dibuatnya. Karena biasanya, Nenek Asma akan canggung jika bukan daerah kekuasaannya.“Nek, santai banget masak di sini. Kenapa gak ke sebelah aja?” tegur Isyana yang justru tidak enak akan merepotkan pemilik rumah.“Kenapa gak enak. Ash sama Ranty aja biarin kok. Lagian ya Isyana Akleema, mending kau buruan mandi. Kata Ash mau ke toko.”Isyana mengangguk. Seketika baru sadar kalau dia memang belum sempat ke kamar mandi. Keburu mencium wangi masakan yang sangat nikmat.Nenek Asma memasak telor dan terong balado. Dari segi warna dan bau, sudah pasti nikmat.“Udah sana buruan. Malu kali sama Ash, dia aja udah selesai cuci mobil, udah mandi.”Isyana hanya bisa cemberut. Memang sejak salat subuh, dia kembali tidur. Bukan karena malas, tapi memang dia tidak tidur tadi malam. Ucapan Asher
“Nona, maaf ya. Selama di sini tidak tahu di mana letak klub. Jadi kita ke sini saja.”Asher sudah menepikan mobil. Isyana menoleh ke arah depan. Memang bukan toko yang menjadi tujuan Asher. Melainkan kafe kekinian yang terlihat baru buka.“Kau bawa aku ke sini?” tanya Isyana yang tidak percaya dengan kelakuan Asher. Mengatakan ke klub tadi, Isyana hanya bergurau. Tidak menyangka jika Asher begitu serius dengan membawa mobil mencari lokasi yang dimaksud.“Benar Nona. Saya rasa tidak masalah untuk menenggak kafein satu gelas. Akan membuat mood baik,” ujar Asher.“Benar juga.”Asher sudah turun lebih dulu. Dengan kata lain, Isyana juga harus ikut turun. Dengan langkah pelan, dia mengikuti Asher yang sudah lebih dulu berjalan. Masuk ke dalam kafe, suasana begitu tenang. Isyana merasa sedikit lega. Pagi yang cerah, dan belum banyak orang yang datang berkunjung. Tentu menjadi hal baik yang patut disyukuri.“Aku pesan capuccino saja Ash.”Asher mengangguk. Dia juga yang membayar pesanan I
Tidak perlu ditanyai lagi untuk rasa malu. Saat ini, Isyana ingin sekali menghilang dari muka bumi ini.Kepergok akan berciuman dengan Asher, membuat napasnya serasa tinggal setengah hidup. Sudah mirip Nenek Asma, jika sedang kambuh.Sementara dia menenangkan hati dan pikiran, Asher sudah lebih dulu untuk turun. Dia yang bersikap seperti gentleman sesungguhnya dengan menerima kedatangan Ibu Indun, pemilik ruko yang memergoki mereka.“Malu ... malu. Itu Ibu Indun lihat apa ya? Pikirannya lurus apa justru gesrek ya?” gumam Isyana yang kalang kabut sendiri.Kakinya gemetar setiap kali akan keluar dari mobil. Tapi berdiam di sini saja, rasanya sangat sesak dan sumpek. Berkali-kali mengintip ke arah toko, hanya terlihat Asher yang sangat santai saja berbicara dengan si pemilik ruko. Bahkan sesekali wajah bule itu tersenyum saat pembicaraan terjadi.“Itu Asher, ketawain apa sih? Kok gue jadi over thinking sendiri. Jangan-jangan, Asher cerita soal kita yang ....”Isyana buru-buru menggeleng
Dalam satu pandangan yang sama, Isyana tidak mengatakan apa pun. Dia juga langsung masuk begitu tersadar apa yang dilakukannya.Berbeda dengan Asher yang sedikit gugup. Membuang rasa tidak enak, dia memilih untuk keluar dari area toko. Mengejar Ibu Indun juga tidak mungkin. Perempuan itu pasti sudah jauh pergi. Dalam rasa yang kurang nyaman karena kepergok Isyana, ponsel Asher bergetar. Dia memang tidak mengeluarkan bunyi agar tidak menggangu orang lain. Ini keterusan sampai sekarang.“Hello.”[“Asher, hurry up and read your email. Granddad sent something important there.”]“Okay.”Telepon dari Kakeknya yang menunjukkan ada pekerjaan yang harus Asher lakukan. Setelah berkata setuju akan masuk dalam perusahaan keluarga, Jhonny Miller lebih banyak menghubungi Asher terkait pekerjaan. Asher membuka ponselnya. Dia lupa tidak memiliki laptop untuk mengerjakan projek yang Kakeknya kirimkan. Hal ini berkaitan dengan pengembangan usaha sang Kakek yang ingin membuka bisnis di Indonesia. Le
Bernegosiasi dengan Indun ternyata mudah. Yang sulit itu menyembunyikan dari Isyana. Padahal dia hanya pergi sebentar saja. Tapi wajah Isyana sudah masam dengan curiga yang menggunung.“Jadi lo dari mana?” tanya Isyana dengan wajah tidak santai.“Dari kedai kopi seberang jalan Nona.”“Tadi pagi kan sudah minum kopi. Lo lupa, kalau Mommy itu kena magh akut.”“Lah kan yang kena memang Mommy. Saya tidak.”“Ish.”Isyana justru menghentak-hentakkan kakinya. Kesal dengan Asher yang begitu polos. Tapi mengingat tadi yang dia katakan dengan Indun, seketika Isyana membuang julukan polos. “Apa yang Lo sembunyikan dari gue sih Ash! Ngomong aja,” ucap Isyana yang mencecar Asher lagi.“Apa Nona? Saya memang tidak punya magh. Jadi aman kalau hanya minum kopi dua gelas per hari.”“Ish, bukan tentang kopinya. Itu mah terserah Lo aja mau minum berapa gelas juga. Gue gak peduli,” ujar Isyana lagi.“Benar tidak peduli Nona. Namun, tadi tampak begitu khawatir.”Isyana membuang wajahnya ke sembarang arah
“Isyana.”Nenek Asma, yang akhir-akhir ini jadi sering sesak napas, karena itu pula dia memanggil cucunya dengan lirih. Dia tentu tidak ingin sesak napas lagi. Terlebih di depan si tengil Cakra dan si tampan Basel.“Ya Nek.”Demi memenuhi panggilan Neneknya, Isyana memilih meninggalkan dua pria absurt ini. Dari pada kena kutuk sang nenek yang tampaknya sedang tidak baik-baik saja.“Ada apa Nek? Mau bagi warisan?” tanya Isyana iseng.“Hus, kau doakan Nenek cepat modar, gitu?” Isyana hanya nyengir saja. Toh berkata seperti itu hanya untuk mengurangi ketegangan di hatinya. Apa lagi panggilan neneknya serasa mendesak untuk segera dilakukan.“Tadi maksudnya Asher apaan? Kau mau kawin sama dia?” tanya Nenek Asma yang berbisik di telinga sang cucu.“Em, gak tahu sih. Mungkin Asher cuma minta ditemani. Gak ada janji sebelumnya kok.”Isyana berkata jujur. Tapi sang Nenek juga ada menangkap raut sedih di sana.“Oh, tapi kok kayaknya Asher serius banget sih. Jangan mainin hatinya dong Isyana.”
Basel membawa Isyana ke lantai paling atas. Di sana memang ada restoran yang mengolah makanan laut. Pemandangan yang disajikan, berucap hamparan pegunungan yang sangat memanjakan mata. Hijaunya daun bergoyang-goyang membuka tutup puncak gunung Slamet yang siang itu terlihat cerah.“Basel, untuk apa kita ke sini?” tanya Isyana yang heran dengan tingkah laku Basel.“Ya tentu saja untuk makan siang. Kita kan belum makan,” ucap Basel santai.Menepis keraguan, Basel menggandeng tangan Isyana untuk bisa mengikutinya. Dia bahkan terkesan menyeret Isyana. Lantaran gadis itu masih saja terpaku di tempatnya.“Kau memaksa,” keluh Isyana yang tidak suka dengan bahasa tubuh Basel saat ini.“Maaf Syan, aku hanya menarik karena kau diam. Tapi terlalu keras ya. Apa sakit?”Basel langsung memeriksa tangan Isyana. Tidak ada tanda merah di sana. Seharusnya aman saja. Pikirnya, Isyana hanya syok mendapat perlakuan seperti itu.“Ya tidak masalah.”Berada di sisi Basel, itu artinya Isyana harus lebih form
“Jadi Anda ke hotel hanya untuk makan siang?”“Ya benar.”Sejak mengaku berada di hotel, Isyana langsung mengatakan apa yang dia lakukan bersama Basel. Seharusnya tidak ada yang aneh, tapi dari jawaban Asher justru pria itu seperti curiga padanya.“Mengapa Anda jadi formal?” tanya Asher yang cukup aneh dengan jawaban Isyana. “Ya karena Anda juga formal pada saya.”Keduanya lantas terbahak. Hal yang sempat tegang di antara mereka lantas mencair. Isyana sempat takut Asher akan bertanya yang macam-macam lagi. Tapi syukurlah pria itu tidak melanjutkan pertanyaan. Sibuk untuk mengemudi mobilnya.“Gue tuh sebenernya tadi takut tahu Ash.”“Takut mengapa?” tanya Asher yang menoleh ke arah Isyana.“Ya Lo tahu kan, kalau hotel biasanya ya ngamar. Untung aja beneran cuma ke restoran.”Kening Asher berkerut. “Memangnya siapa yang pernah mengajak Nona ke hotel dan masuk kamar?” tanyanya lagi.“Heh, kok lo bisa nebak begitu?” Isyana cukup terkejut dengan pemikiran Asher yang cukup jauh. Biasanya
Suara gemericik air seperti soundtrack alami dalam hubungan asmara kedua insan yang baru saja bergejolak. Tetesan demi tetesan yang memercik, menambah rasa hangat dalam setiap keadaan. Permulaan yang tidak bagus, namun berakhir dengan baik. Di sini Asher yang menjadi pemimpin. Tidak hanya mampu membuat Isyana bergetar hebat. Dia sanggup membuat gadis itu seperti kehilangan kesadaran. Puncaknya saat keduanya menyatu dalam gairah yang sama. Asher buru-buru memboyong Isyana untuk berpindah ke kamar mereka. "Eh kenapa?" Isyana sedikit terkejut dengan gerakan Asher yang membopongnya tiba-tiba. Ada rasa kecewa, berpikir Asher tidak menginginkan lebih lanjut. "Jangan di kamar mandi. Banyak yang mengintip." Asher mengatakan singkat. Tanpa sungkan membanting tubuh Isyana di atas ranjang. Kemudian disusul olehnya yang naik dengan tergesa-gesa. "Ck, santai saja. Tergesa-gesa juga tidak bagus. Itu kelakuan setan." Wajah Asher yang sudah sampai dada Isyana terpaksa menunduk. Senyumnya ter
"Kompensasi apa yang kau maksud?"Tadinya Asher tidak ingin menceritakan pada Isyana. Biar bagaimanapun, ini juga diluar dari peranannya sebagai menantu. Tapi wajah memelas istrinya, membuat Asher tidak ingin membuatnya kecewa."Mama Sukma, memberikan setengah saham yang dimiliki untuk Bapak.""Apa!"Sudah diduga, Isyana akan syok mendengar hal seperti ini. Ada rasa kecewa yang sangat dalam. Dia tidak tahu menahu perkara ini. Jika dirunut, ini semua juga ada salahnya."Mama Sukma menyelamatkan Nona. Seorang ibu akan melakukan apa pun demi buah hatinya. Tadinya aku juga tidak tahu. Tapi Grandmom membocorkannya tadi.""Grandmom?""Grandmom mewakili Granddad membeli saham hotel ini. Jadi total keseluruhan, saham yang keluarga Miller miliki sebanyak sepuluh persen."Isyana mendadak linglung. Menatap ke arah Asher yang begitu tenang, tiba-tiba hatinya merasa miris. Ternyata Isyana sama sekali tidak paham apa-apa dengan suaminya. Apa lagi keluarganya. Asher datang sebagai sopir, tidak tahu
"Jadi kalian yang udah nyuruh pria itu buat nikah sama gue?"Siapa yang tidak kesal jika dalang dari penghancur kehidupan ada di depan mata. Kalau saja dia tidak melihat CCTV di area depan, ingin sekali menerjunkan Helen dan juga Cakra ke kolam renang paling dalam."Eh gak gitu ya. Kita aja baru tahu tadi pas rapat. Pak Manto kesal banget karena gak bisa nikah sama Lo."Helen membela diri. Dia saja baru tahu kalau investor papinya mendadak menarik diri dari rencana ini. Siapa juga yang ingin kehilangan uang banyak. Alasan mereka menemui Isyana, untuk meminta penjelasan. Menjadi anggota dewan membutuhkan uang yang banyak untuk proses kampanye. Orang tua Cakra dan juga Helen, memilih membuka usaha juga, andai di periode berikutnya tidak terpilih, keuangan mereka masih aman."Lah terus Lo tahu dari mana, gua gagal dinikahi sama pria tua itu.""Jadi kan kita rapat. Terus Pak Manto tanya kita foto Lo."Helen memilih menjawab jujur. "Lagian Syan, ngapa Lo nolak sih. Duit si Pak Manto itu g
Isyana tidak bisa ikut masuk. Hanya Asher yang diijinkan, lantaran dia termasuk pembeli saham. Menyikapi ini, hal yang bisa dilakukan Isyana agar tidak bosan, adalah berjalan di sekitar hotel. Area pertemuan, satu lantai dengan kolam renang pertama di hotel ini. Memang dari segi bintang, hotel ini masih di bawah yang ada di ibu kota atau kota besar lain. Tapi di kota ini, hotel milik keluarga Basel yang paling terbesar dengan segala fasilitas yang ada.Baru menginjakkan kaki di area kolam, pemandangan di dalam begitu membuat kesal. Terlihat orang seusianya yang paling dihindari selama hidupnya."Wah ada Nona dari Jakarta nih."Tampang Helen begitu mengejek. Dia menurunkan kacamata sampai di pangkal hidung. Memperlihatkan matanya yang sedang mengamati Isyana."Syan, kok kau di sini? Lagi sama siapa?"Cakra sudah menerobos tubuh Helen, bahkan sampai menyenggol bahunya. Hal ini membuat gadis itu tidak nyaman. "Eh Cakra."Cakra tidak peduli. Menurutnya melihat Isyana sudah cukup membuat
"Abdul."Asher menyalami pria berhidung mancung di depannya. Di sampingnya masih ada Isyana yang setia dia seret. Tidak pergi atau pun banyak protes."Langsung saja. Oh ya, selamat atas pernikahan kalian. Ditunggu undangannya."Abdul melirik ke arah Isyana. Tersenyum kecil sebagai bentuk kesopanan. Isyana juga melakukan hal yang sama. Tidak menyangka akan bertemu kenalan Asher di sini."Ya tentu. Setelah ini beres, kita akan urus pesta. Kami pergi dulu, sebelumnya kenalkan ini Isyana, istriku.""Ah salam kenal."Abdul mengangguk. Dengan sopan menyatukan tangan di depan dada. Berkenalan tanpa ingin bersentuhan. Seketika Isyana tampak sungkan. Untung saja dia tidak sembarang menyodorkan tangan seperti biasanya."Katakan apa yang kalian inginkan sebagai hadiah." "Ck, terserah kau saja. Kami permisi dulu."Abdul mengangguk, tidak menghalangi langkah kaki mereka. Masalah hadiah, dia juga akan memikirkan nanti. Setelahnya, dia berbalik badan menjauh."Kau kenal dengan pengusaha Indonesia.
Meja makan sudah penuh dengan anggota keluarga Isyana dan juga Asher. Ini juga termasuk Danu yang saat ini lahap memakan masakan ala rumahan tersebut. Dia tidak pernah sungkan dalam melahap setiap masakan yang disendok ke dalam mulutnya. Orang ini memang berjiwa bebal tanpa kenal rasa malu.Pandangan Isyana langsung menyapu ke sekitar. Perlu bertanya langsung kepada ibunya, mengapa peristiwa semalam dan juga pagi ini terjadi. Bapaknya bukan pria yang mudah untuk dibujuk. Terlebih pagi ini dia begitu lahap tidak memudulikan apapun lagi."Isyana, kata Asher dia sudah membeli rumah untuk kalian tinggal. Apa itu berarti kau akan tinggal di kota ini?"Isyana menoleh ke arah suaminya. Mereka belum sempat membicarakan hal ini. Semalam dilalui dengan sangat canggung, masing-masing terlelap tanpa membahas lebih jauh mengenai apa rencana ke depan.Jadi untuk pertanyaan Sukma kali ini, belum memiliki jawaban."Belum tahu, Ma. Kalau sudah suami istri kan memang harus ikut suami. Jadi tergantung
Menghadapi malam pertama dengan suami sendiri, tentu saja ada rasa tidak nyaman di hati Isyana. Bukan karena dia tidak ingin, hanya saja masih belum percaya dengan kenyataan ini.Sementara itu Asher terlihat mendekat. Memang lebih dulu Isyana yang masuk kamar. Pria itu telah menekan kunci sebanyak dua kali. Membuat Isyana gugup saja."Kok dikunci?" tanya Isyana gugup. Ludahnya bahkan dicerna dengan cepat. Seperti tahu tidak ada waktu lagi untuk mencerna segala yang terjadi."Kita sama-sama lelah, butuh waktu untuk istirahat."Tentu saja sangat lelah. Isyana saja mengakui hal ini. Niatnya hanya kabur dari Bapaknya tanpa menikah dulu. Tapi justru dia dinikahkan saat itu juga."Kau mau apa?"Isyana gugup saat Asher sudah satu langkah di depannya. Tangannya terulur menyentuh kepala Isyana. Dengan suara lirih yang masih bisa didengar, Asher kembali melantunkan doa."Ya Allah, kepada-Mu aku memohon kebaikan istriku dan kebaikan sifat yang Engkau ciptakan untuknya. Aku berlindung kepada-Mu d
"Nah ini dia calonnya sudah datang."Hanya tiga orang yang tahu, apa yang terjadi di dalam rumah. Semua pergi selain Kakek Jalu yang menjadi penengah. Setelah kembali, justru kondisi telah ramai.Bapak tua memakai sorban dengan baju koko putih dan sarung seperti hendak beribadah. Datang ke rumah Asher dengan membawa tas dokumen."Jadi yang akan dinikahkan, Gadis ini yang bernama Isyana dengan kekasihnya. Berbuat mesum ya?" ucap pria tua itu dengan senyum mengejek."Eh enak aja. Bukan dengan bule kampung ini. Melainkan keponakanku dengan calon suaminya. Pak Manto."Sari berkata dengan lantang. Mana mungkin dia menyerahkan keponakannya dengan pria bule yang tidak matang ini. Habis sudah dulu dia ditipu dengan Isyana yang berpura-pura berkekasih Asher. Padahal setelah di selidiki Asher hanyalah sopirnya."Loh calonnya sudah …."Pria tua yang ternyata penghulu itu tidak melanjutkan ejekannya. Padahal sudah jelas sekali kalau Isyana tidak cocok dengan pria tua yang berperut buncit itu"Su
Pondok kecil di belakang rumah Nenek Asma, menjadi tempat yang pas untuk melarikan Isyana yang terluka hatinya.Sengaja dibangun karena ide dari Asher. Dia seringkali memergoki Isyana yang memegangi kepala karena pekerjaannya yang berat. Tidak heran membuat sebuah pondokan, menjadi tempat yang baik untuk gadis itu melepas stres.Ternyata berguna juga untuk hari ini. Ditemani lampu kuning yang memancar menggantikan sinar rembulan yang hari ini tidak ada. "Apa aku tampak menyedihkan?" tanya Isyana yang menunduk dalam. Menunjukkan wajahnya di hadapan Asher saja dia tidak mampu."Tidak. Kau justru sangat hebat."Asher tidak berbohong hanya untuk menyenangkan hati perempuan ini. Selama mengenal Isyana Gadis itu selalu memukau. Memberikan Dia potongan-potongan indah dalam hidup. Sifatnya yang tegas, bisa juga lembut. Menjadikan dia tidak bosan untuk berinteraksi dengan Isyana."Hebat dari mana. Aku bahkan mendoakan bapakku sendiri mati."Ucapan Isyana begitu merana. Seorang anak yang harus