“Ash.”“Hem.”“Ke warung soto yuk.”“Katanya tadi Nona sudah makan.”“Kok panggil Nona lagi sih. Panggil nama aja kek tadi kenapa.”Isyana langsung cemberut dibuat Asher. Tadi dia begitu senang saat dipanggil nama saja dengan intonasi yang begitu tegas dan mengagumkan. Tapi belum ada lima menit sudah kembali lagi. Gadis itu serasa belum puas untuk mendengar Asher memperlakukannya spesial.“Maaf Nona, kita kan sedang bekerja jadi—”“Ya terserah aja. Cepetan bawa mobilnya, gue udah pengin rebahan.”Isyana sudah memalingkan wajah ke arah jendela. Mode ngambek. Dengan begitu dia juga berharap akan dibujuk oleh Asher. Hanya saja kenyataan memang menyakitkan. Bukannya merayu Isyana lagi untuk tidak merajuk, pria itu justru mempercepat laju kendaraan. Sesuai dengan keinginan Isyana sebelumnya.“Heh Ash, Lo mau kita mati barengan, heh!”Isyana langsung menegang. Tangannya sibuk mencari perlindungan agar tidak terlempar keluar. Tampaknya Asher memang sedang tidak bercanda kali ini.“Katanya
"Isyana, kau lagi ngapain di jendela gitu?""Ish, si Nenek ganggu aja sih. Orang lagi lihat-lihat kok," ujar Isyana yang mengelak dari neneknya."Lihat apaan? Jangan kira Nenek gak tahu ya Isyana."Bola mata Isyana seakan mau keluar dari peraduan. Pandangannya langsung beralih ke arah jendela dan sedikit mengintip ke bawah. Sudah tidak ada lagi Asher di sana. Syukurlah pria itu sudah pergi."Eh malah bengong lagi kau. Bantu Nenek sini. Udah nggak ada kerjaan kan?"Isyana hanya bisa mengangguk. Dia mengikuti neneknya keluar dari kamar. Sesekali matanya menoleh ke arah jendela. Takut jika tiba-tiba Asher beranjak naik."Isyana! Ini anak gadis lelet banget sih," gerutu Nenek Asma."Sabar kenapa Nek."Selama membantu Nenek Asma Isyana tidak bisa berhenti memikirkan Asher. Pikirannya selalu tentang bagaimana pria itu berkata tadi. Apa yang sebenarnya disembunyikan oleh Asher selama ini."Isyana, cucu nenek yang paling cantik sedunia, bisa nggak kalau bantu Nenek itu yang tulus ikhlas lahir
Sepanjang beberapa waktu, Basel benar-benar hanya menjadi penonton. Tidak diajak untuk makan ataupun diajak berbicara. Isyana terlalu sibuk untuk melayani para pekerja yang akan makan sore. Hal ini membuat Basel menjadi geram. Setelah terlihat Isyana diam, langsung saja tangannya menarik Isyana. "Ada apa Basel?" tanya Isyana yang heran dengan kelakuan Basel."Ada yang ingin aku katakan.""Harus sekarang?" "Iya harus sekarang. Tidak dapat lagi ditunda."Isyana mendesah malas. Apa yang sebenarnya ingin Basel katakan. Hal ini sangat menyebalkan mengingat dia memang tengah menghindari pria ini."Sebentar ya, aku ganti baju dulu. Kau duduk dulu sambil ikut minum teh."Isyana masuk ke dalam rumah, bertepatan dengan Nenek Asma keluar. Perempuan tua itu, cukup terkejut dengan kehadiran Basel. Matanya mendelik cukup tajam. Seperti ingin menghabisi pria di depannya."Mau apa kau ke sini?" ucap Nenek Asma dengan sinis."Menjemput Isyana, Nek. Ada yang ingin saya sampaikan."Basel tersenyum ra
"Jadi bagaimana Isyana? Apa aku diterima?" Tidak tahan untuk menunggu selesainya Isyana dan Nenek Asma berdebat, Basel mengalihkan perhatian. Dia ingin kejelasan pasti. Tidak mau terus menunggu seperti ini."Eh, aku harus berpikir dulu. Maaf sekali lagi," ujar Isyana yang kali ini bertampang tidak enak."Benar semua harus dipikirkan dulu Nak Basel. Mungkin Isyana begitu syok dengan hal ini. Jadi Kakek mohon berikan waktu dulu untuk cucu Kakek."Kakek Jalu meminta pengertian untuk Basel. Dia juga tidak yakin dengan keduanya. Yang mana belum mengenal Basel dengan baik."Namun, untuk Isyana juga harus lebih dipikirkan lagi. Jika dilamar seseorang yang baik akhlaknya, baik parasnya, serta aman hartanya, diyakini untuk tidak menolak," lanjut Kakek Jalu yang memberikan nasihat pada Isyana. Sebab Kakek Jalu tidak ingin Isyana salah langkah. Sudah cukup kegagalan anaknya Sukma, yang membuat dia menyesal di seumur hidup. Anaknya tidak bahagia, tidak mungkin dia akan membiarkan cucu satu-satu
"Lo tuh kalau ke sini, wajib banget makan bakso pekih, Syan."Joseline sudah seperti tour guide untuk Isyana. Bahkan dia sampai mengabaikan tunangannya sendiri. Gadis bermata sipit itu lupa, jika Isyana juga bagian dari kota ini semasa dulu."Ck, Lo pikir gue anak baru. Yang harusnya Lo tatar tuh tunangan Lo sama Asher."Isyana menunjuk kedua pria yang tengah berbincang. Mereka tampak nyambung. Seperti satu frekuensi. Jika begini tampak dua pasang yang sedang kencan. "Ck, Fatih meski dari jauh, dia hatam luar dalam Banyumas. Jangan diremehkan dong, Syan," ujar Joseline."Apanya yang meremehkan."Isyana tidak terima dikatakan meremehkan tunangan Joseline. Wajar juga kalau Joseline membantah, Bapak Fatih konon katanya anggota legislatif. Sementara Fatih sendiri pengusaha.Sebenarnya mereka tidak ada hubungannya juga dengan kota tempat Isyana kecil ini. Tapi Isyana memaklumi saja. Mengingat tunangan sahabatnya ini bukan orang biasa."Syan, kalau gue nikah, Lo bakalan gimana?" tanya Jose
Kembali dari alun-alun, Isyana tampak cukup senang. Wajahnya begitu cerah. Meskipun mereka batal untuk menonton bioskop, lantaran Fatih ada pekerjaan mendadak. "Ash, menurut pendapatmu, hubungan antara Fatih dan Basel, seperti apa?" tanya Isyana seketika."Hah, bagaimana Nona? Mengapa harus bertanya perihal hubungan mereka? Bukankah tidak ada keperluan dengan Nona, kecuali Anda akan menerima pinangan Basel."Asher sengaja berbicara panjang lebar. Dia ingin tahu bagaimana perasaan Isyana sesungguhnya. Menunggu beberapa hari, terasa lama. Jika pun Isyana harus menerima Basel, mungkin dia akan kembali ke Kanada saja."Dasar kepo!" Isyana hanya mengatakan kalimat tersebut. Dilanjutkan gerakan bibirnya yang menjulurkan lidah. Sialnya Asher melihat hal itu. Ingin sekali menyambar dan melahap lidah yang terjulur menggoda."Sabar … sabar," gumamnya."Ya ampun, kek anak baru aja."Mereka sampai di rumah Asher pukul sembilan malam. Bagi keduanya ini waktu sore. Di kota mereka bisa pulang lebi
"Jadi cocok beli rumah ini Mas Asher?"Saat ini Indun memang menemai Asher melihat rumah. Terlalu malam memang. Tapi sebagai orang yang butuh uang cepat, Indun iyakan saja. Dari pada pria bule di sampingnya ini berubah pikiran."Iya, tolong nomor rekening dan urus kepemilikan ya. Atas nama Ibu saya Ranty Miller."Indun mengangguk. Sebagai pria asing, memang Asher akan sulit untuk membeli properti. Wajar saja memakai nama sang ibu yang masih memiliki kewarganegaraan Indonesia."Tenang Mas, akan Ibu bantu sampai tuntas. Ibu makasih banget, udah mau beli dengan harga yang wajar."Asher mengangguk paham. Tanah yang dia beli cukup luas untuk dibuat hunian mewah. Meski belum tahu akan melakukan itu atau tidak."Ada lagi yang perlu ibu bantu Mas?" tanya Indun yang sejak ketangkap basah berduaan dengan Suci, jadi lebih kalem. Tidak sengejek biasanya kepada Asher."Tidak ini saja sudah cukup. Saya antar ibu pulang."Asher memang ke sini menggunakan taksi. Dia tidak memiliki kendaraan, dan di d
"Isyana, aku tidak salah dengar? Kau menolakku? Apa alasannya?" Bagi Basel, penolakan adalah penghinaan. Mana ingin dia mendengar kalimat tersebut. Terlebih ini berasal dari mulut Isyana. Perempuan pilihannya yang sudah berhasil membuat dia menentang aturan keluarga."Ya karena aku merasa tidak cocok untuk kita menikah," ucap Isyana."Alasan macam apa? Kau belum merasakannya," sahut Basel tidak terima. "Kita selalu cocok dan satu visi misi. Ini pasti salah," lanjutanya yang masih saja ngotot ada yang salah."Apa aku harus menerimamu dulu, kalau tidak cocok di kemudian hari, kita bisa bercerai? Bukankah itu sama saja dengan mempermainkan pernikahan."Isyana menjawab dengan tenang. Tidak ingin terpancing dengan segala emosi yang dia tahan. Meski sangat ingin memakai Basel. "Untuk satu visi misi, aku rasa itu hanya masalah pekerjaan. Untuk pribadi kita sangat berbeda," terang Isyana lagi."Omong kosong. Kau pasti sedang jual mahal sekarang. Tenang saja–""Setidaknya berkata yang sopan