"Jadi cocok beli rumah ini Mas Asher?"Saat ini Indun memang menemai Asher melihat rumah. Terlalu malam memang. Tapi sebagai orang yang butuh uang cepat, Indun iyakan saja. Dari pada pria bule di sampingnya ini berubah pikiran."Iya, tolong nomor rekening dan urus kepemilikan ya. Atas nama Ibu saya Ranty Miller."Indun mengangguk. Sebagai pria asing, memang Asher akan sulit untuk membeli properti. Wajar saja memakai nama sang ibu yang masih memiliki kewarganegaraan Indonesia."Tenang Mas, akan Ibu bantu sampai tuntas. Ibu makasih banget, udah mau beli dengan harga yang wajar."Asher mengangguk paham. Tanah yang dia beli cukup luas untuk dibuat hunian mewah. Meski belum tahu akan melakukan itu atau tidak."Ada lagi yang perlu ibu bantu Mas?" tanya Indun yang sejak ketangkap basah berduaan dengan Suci, jadi lebih kalem. Tidak sengejek biasanya kepada Asher."Tidak ini saja sudah cukup. Saya antar ibu pulang."Asher memang ke sini menggunakan taksi. Dia tidak memiliki kendaraan, dan di d
"Isyana, aku tidak salah dengar? Kau menolakku? Apa alasannya?" Bagi Basel, penolakan adalah penghinaan. Mana ingin dia mendengar kalimat tersebut. Terlebih ini berasal dari mulut Isyana. Perempuan pilihannya yang sudah berhasil membuat dia menentang aturan keluarga."Ya karena aku merasa tidak cocok untuk kita menikah," ucap Isyana."Alasan macam apa? Kau belum merasakannya," sahut Basel tidak terima. "Kita selalu cocok dan satu visi misi. Ini pasti salah," lanjutanya yang masih saja ngotot ada yang salah."Apa aku harus menerimamu dulu, kalau tidak cocok di kemudian hari, kita bisa bercerai? Bukankah itu sama saja dengan mempermainkan pernikahan."Isyana menjawab dengan tenang. Tidak ingin terpancing dengan segala emosi yang dia tahan. Meski sangat ingin memakai Basel. "Untuk satu visi misi, aku rasa itu hanya masalah pekerjaan. Untuk pribadi kita sangat berbeda," terang Isyana lagi."Omong kosong. Kau pasti sedang jual mahal sekarang. Tenang saja–""Setidaknya berkata yang sopan
Untungnya setelah mengatakan 'Marry Me' Asher sudah menghentikan mobil. Jadilah Isyana langsung keluar tanpa menjawab dua kata yang Asher lontarkan."Siap untuk ditolak," ucap Asher yang hanya bisa memandang punggung Isyana menjauh.Menetralkan detak jantungnya, Asher begitu gugup untuk satu ini. Dia merasa terlalu cepat. Hanya saja, dengan kedatangan dua pria tadi, timbul niat iri. Ingin sekali meresmikan perasaannya. Yang sialnya, juga pasti ikut tertolak."Biarkan saja ditolak. Yang penting, sudah katakan. Terserah dia saja."Asher hanya bisa pasrah. Dia keluar dari mobil dan memilih menunggu di dekat Isyana saja.Memang Isyana dan kliennya tidak memesan ruangan private. Lebih memilih untuk berbincang bisnis di tempat terbuka."Saya suka sekali dengan proposal yang Anda ajukan. Jadi kedatangan ke sini, hanya ingin berkata itu dan melakukan tanda tangan secara manual. Tidak menggangu kan?" kata perempuan muda yang ditaksir usianya hanya beberapa tahun di atas Isyana."Tentu saja tid
Isyana seperti orang yang linglung. Di sana-sini, sepertinya hanya dia yang tidak tahu apa-apa. Terlihat Asher dan juga Neneknya sedang membicarakan rahasia yang tidak dia ketahui. Entah apa yang salah. Isyana ada di sana juga, tapi tidak diajak berdiskusi."Hallo Everyone! Saya masih di sini, loh!" ucap Isyana yang memilih menegur Asher mau pun Neneknya."Yang bilang kau ada di kandang kambing siapa, Isyana?" sahut Nenek Asma tanpa menoleh sedikitpun ke arah cucunya. Visual Asher lebih baik. Sudah blasteran, tampan, dan gagah. Berbeda dengan Isyana yang kusut. Seperti tembok abstrak tidak berwarna. Menghilangkan gairah."Ish Nenek!"Dengan hitungan ke tiga kali dua, Isyana menahan napas dan menyemburkan kesal dari pompa dadanya. Memang hidup sejak kecil dengan neneknya, tidak membuat dia terbiasa diabaikan seperti ini."Kau yang bicara atau Nenek aja, Ash?""Saya saja Nenek."Nenek Asma mengangguk. Paham dengan bentuk privasi yang menyerang keduanya. Untung saja dia banyak belajar
Mengenal Asher beberapa bulan, Isyana seperti mendapat kejutan yang bertubi-tubi. Dia sama sekali tidak mengetahui tentang Asher. Katakan di masa kecil mereka pernah dekat, hanya saja otaknya dipenuhi dengan kemalangan yang menimpa keluarganya. Sehingga untuk kebahagiaan bersama Asher, dia benar-benar lupa.Asher menjadi sopir dan juga bodyguard yang baik untuknya. Tidak acuh pada ucapan sekitar yang mengolok-oloknya. Hingga akhirnya, Asher memilih menyerah dan memantaskan diri untuk Isyana. Padahal Isyana merasa Asher sudah sangat pantas untuknya. Dia bertanggung jawab. Terlebih bagi Isyana yang lahir oleh pria kurang ajar seperti Danu.Jadilah dia dan Asher menjalani hubungan jarak jauh. Asher yang berpikir akan selesai satu Minggu saja di Kanada, justru harus menambah masa di sana. Keperluannya tidak kunjung usai."Jadi kapan kau pulang?" tanya Isyana untuk kesekian kali.Asher mengenakan kaos polo hitam dengan kancing terbuka. Tampak seksi menurut kacamata Isyana["Paling sebent
Sebelum kaburnya Isyana."Mana Isyana!"BlakPintu rumah Asher dibuka keras. Tadinya dia ingin pergi ke rumah sebelah. Hanya saja melihat Nenek Asma sedang duduk di dipan rumah Asher, dia memilih untuk pergi ke sana."Danu, ngapain kau cari cucuku?" tanya Nenek Asma yang masih bersikap santun.."Yang kau bilang cucu itu adalah anak kandungku. Jadi terserah aku mau cari dia atau tidak," jawab ketus Danu. "Ya tapi sekarang dia ada pada tanggung jawabku. Jadi sebaiknya kau pergi saja. Untuk apa ke sini?" ucap Nenek Asma yang masih santai."Karena—""Danu, cepat dong. Mana Isyana, apa mau di sini aja acaranya?" tanya seseorang yang ditahu Nenek Asma saudara Danu."Acara apa?" Nenek Asma bertanya dengan heran. Padahal dia tidak mengadakan acara apa pun."Aku akan menikahkan Isyana dengan temanku. Kudengar kalian menolak dua orang pria yang melamar Isyana. Itu membuatku marah. Tidak seharusnya kalian menolaknya," ujar Danu dengan mata memerah meluap-luap."Benar itu, seharusnya kau bertany
"Son?"Jhonny menatap cucunya yang berjalan begitu lesu. Sejak kehilangan sang anak, dia lebih suka memanggil cucunya dengan anak laki-laki. Berpikir Asher sangat cocok untuk menggantikan mendiang anaknya."Granddad, saya harus segera pergi ke Indonesia," ucap Asher dengan mata yang menahan tangisnya. Dia mencoba kuat, meski sangat sakit mengingat bagaimana nasib pujaan hatinya yang tersiksa di sana seorang diri."Mengapa kau tiba-tiba ingin pergi? Kita belum selesai," ucap Jhonny yang tampak sangat kecewa. Sekaligus syok dengan putusan mendadak Asher."Saya tidak bisa banyak bercerita. Sekarang yang jelas, saya telah memesan penerbangan paling cepat untuk sampai ke Indonesia.""Tunggu dulu Asher, apa terjadi sesuatu dengan Ranty?"Wajah Jhonny ikut panik. Jika terjadi sesuatu kepada menantunya, dia tidak bisa tinggal diam. "Bukan mommy. Melainkan calon istriku, Isyana."Wajah Jhonny yang semula panik sedikit mengendur. Berganti dengan rasa penasaran dengan apa yang terjadi pada calo
"Jadi Asher akan ke sini kapan?" tanya Joseline yang sejak tadi bingung akan mengeluarkan topik apa."Mungkin malam ini sampai. Tadi pesawat baru mendarat di bandara," sahut Isyana yang masih setia memandangi kuku-kukunya. Ketika sedang gugup, tidak jarang dia mengigitinya."Syan, bukannya apa. Mending Lo langsung nikah sama Asher deh. Gue lihat dia pemuda yang tak macam-macam. Soleh juga kan. Gak bakal kayak bokap Lo deh."Joseline langsung menutup mulutnya begitu kata yang keluar sangat menyinggung Isyana. Terlebih wajah gadis itu memang berubah murung. "Syan, gue gak ada maksud sumpah."Tidak enak rasanya membicarakan keburukan seseorang pria di depan anaknya sendiri. Meski pun, diakui olehnya. Harus ada penghalang agar mulutnya tidak berubah buas dan semakin menyakiti perasaan Isyana."Gak apa-apa kok. Emang bokap gue reseh," sahut Isyana sambil tersenyum.Kebersamaan hangat yang tadi tercipta hampir saja hilang. Untung saja Isyana tidak terlalu menanggapi perkataan Joseline yang