Dalam satu pandangan yang sama, Isyana tidak mengatakan apa pun. Dia juga langsung masuk begitu tersadar apa yang dilakukannya.Berbeda dengan Asher yang sedikit gugup. Membuang rasa tidak enak, dia memilih untuk keluar dari area toko. Mengejar Ibu Indun juga tidak mungkin. Perempuan itu pasti sudah jauh pergi. Dalam rasa yang kurang nyaman karena kepergok Isyana, ponsel Asher bergetar. Dia memang tidak mengeluarkan bunyi agar tidak menggangu orang lain. Ini keterusan sampai sekarang.“Hello.”[“Asher, hurry up and read your email. Granddad sent something important there.”]“Okay.”Telepon dari Kakeknya yang menunjukkan ada pekerjaan yang harus Asher lakukan. Setelah berkata setuju akan masuk dalam perusahaan keluarga, Jhonny Miller lebih banyak menghubungi Asher terkait pekerjaan. Asher membuka ponselnya. Dia lupa tidak memiliki laptop untuk mengerjakan projek yang Kakeknya kirimkan. Hal ini berkaitan dengan pengembangan usaha sang Kakek yang ingin membuka bisnis di Indonesia. Le
Bernegosiasi dengan Indun ternyata mudah. Yang sulit itu menyembunyikan dari Isyana. Padahal dia hanya pergi sebentar saja. Tapi wajah Isyana sudah masam dengan curiga yang menggunung.“Jadi lo dari mana?” tanya Isyana dengan wajah tidak santai.“Dari kedai kopi seberang jalan Nona.”“Tadi pagi kan sudah minum kopi. Lo lupa, kalau Mommy itu kena magh akut.”“Lah kan yang kena memang Mommy. Saya tidak.”“Ish.”Isyana justru menghentak-hentakkan kakinya. Kesal dengan Asher yang begitu polos. Tapi mengingat tadi yang dia katakan dengan Indun, seketika Isyana membuang julukan polos. “Apa yang Lo sembunyikan dari gue sih Ash! Ngomong aja,” ucap Isyana yang mencecar Asher lagi.“Apa Nona? Saya memang tidak punya magh. Jadi aman kalau hanya minum kopi dua gelas per hari.”“Ish, bukan tentang kopinya. Itu mah terserah Lo aja mau minum berapa gelas juga. Gue gak peduli,” ujar Isyana lagi.“Benar tidak peduli Nona. Namun, tadi tampak begitu khawatir.”Isyana membuang wajahnya ke sembarang arah
“Isyana.”Nenek Asma, yang akhir-akhir ini jadi sering sesak napas, karena itu pula dia memanggil cucunya dengan lirih. Dia tentu tidak ingin sesak napas lagi. Terlebih di depan si tengil Cakra dan si tampan Basel.“Ya Nek.”Demi memenuhi panggilan Neneknya, Isyana memilih meninggalkan dua pria absurt ini. Dari pada kena kutuk sang nenek yang tampaknya sedang tidak baik-baik saja.“Ada apa Nek? Mau bagi warisan?” tanya Isyana iseng.“Hus, kau doakan Nenek cepat modar, gitu?” Isyana hanya nyengir saja. Toh berkata seperti itu hanya untuk mengurangi ketegangan di hatinya. Apa lagi panggilan neneknya serasa mendesak untuk segera dilakukan.“Tadi maksudnya Asher apaan? Kau mau kawin sama dia?” tanya Nenek Asma yang berbisik di telinga sang cucu.“Em, gak tahu sih. Mungkin Asher cuma minta ditemani. Gak ada janji sebelumnya kok.”Isyana berkata jujur. Tapi sang Nenek juga ada menangkap raut sedih di sana.“Oh, tapi kok kayaknya Asher serius banget sih. Jangan mainin hatinya dong Isyana.”
Basel membawa Isyana ke lantai paling atas. Di sana memang ada restoran yang mengolah makanan laut. Pemandangan yang disajikan, berucap hamparan pegunungan yang sangat memanjakan mata. Hijaunya daun bergoyang-goyang membuka tutup puncak gunung Slamet yang siang itu terlihat cerah.“Basel, untuk apa kita ke sini?” tanya Isyana yang heran dengan tingkah laku Basel.“Ya tentu saja untuk makan siang. Kita kan belum makan,” ucap Basel santai.Menepis keraguan, Basel menggandeng tangan Isyana untuk bisa mengikutinya. Dia bahkan terkesan menyeret Isyana. Lantaran gadis itu masih saja terpaku di tempatnya.“Kau memaksa,” keluh Isyana yang tidak suka dengan bahasa tubuh Basel saat ini.“Maaf Syan, aku hanya menarik karena kau diam. Tapi terlalu keras ya. Apa sakit?”Basel langsung memeriksa tangan Isyana. Tidak ada tanda merah di sana. Seharusnya aman saja. Pikirnya, Isyana hanya syok mendapat perlakuan seperti itu.“Ya tidak masalah.”Berada di sisi Basel, itu artinya Isyana harus lebih form
“Jadi Anda ke hotel hanya untuk makan siang?”“Ya benar.”Sejak mengaku berada di hotel, Isyana langsung mengatakan apa yang dia lakukan bersama Basel. Seharusnya tidak ada yang aneh, tapi dari jawaban Asher justru pria itu seperti curiga padanya.“Mengapa Anda jadi formal?” tanya Asher yang cukup aneh dengan jawaban Isyana. “Ya karena Anda juga formal pada saya.”Keduanya lantas terbahak. Hal yang sempat tegang di antara mereka lantas mencair. Isyana sempat takut Asher akan bertanya yang macam-macam lagi. Tapi syukurlah pria itu tidak melanjutkan pertanyaan. Sibuk untuk mengemudi mobilnya.“Gue tuh sebenernya tadi takut tahu Ash.”“Takut mengapa?” tanya Asher yang menoleh ke arah Isyana.“Ya Lo tahu kan, kalau hotel biasanya ya ngamar. Untung aja beneran cuma ke restoran.”Kening Asher berkerut. “Memangnya siapa yang pernah mengajak Nona ke hotel dan masuk kamar?” tanyanya lagi.“Heh, kok lo bisa nebak begitu?” Isyana cukup terkejut dengan pemikiran Asher yang cukup jauh. Biasanya
“Ash.”“Hem.”“Ke warung soto yuk.”“Katanya tadi Nona sudah makan.”“Kok panggil Nona lagi sih. Panggil nama aja kek tadi kenapa.”Isyana langsung cemberut dibuat Asher. Tadi dia begitu senang saat dipanggil nama saja dengan intonasi yang begitu tegas dan mengagumkan. Tapi belum ada lima menit sudah kembali lagi. Gadis itu serasa belum puas untuk mendengar Asher memperlakukannya spesial.“Maaf Nona, kita kan sedang bekerja jadi—”“Ya terserah aja. Cepetan bawa mobilnya, gue udah pengin rebahan.”Isyana sudah memalingkan wajah ke arah jendela. Mode ngambek. Dengan begitu dia juga berharap akan dibujuk oleh Asher. Hanya saja kenyataan memang menyakitkan. Bukannya merayu Isyana lagi untuk tidak merajuk, pria itu justru mempercepat laju kendaraan. Sesuai dengan keinginan Isyana sebelumnya.“Heh Ash, Lo mau kita mati barengan, heh!”Isyana langsung menegang. Tangannya sibuk mencari perlindungan agar tidak terlempar keluar. Tampaknya Asher memang sedang tidak bercanda kali ini.“Katanya
"Isyana, kau lagi ngapain di jendela gitu?""Ish, si Nenek ganggu aja sih. Orang lagi lihat-lihat kok," ujar Isyana yang mengelak dari neneknya."Lihat apaan? Jangan kira Nenek gak tahu ya Isyana."Bola mata Isyana seakan mau keluar dari peraduan. Pandangannya langsung beralih ke arah jendela dan sedikit mengintip ke bawah. Sudah tidak ada lagi Asher di sana. Syukurlah pria itu sudah pergi."Eh malah bengong lagi kau. Bantu Nenek sini. Udah nggak ada kerjaan kan?"Isyana hanya bisa mengangguk. Dia mengikuti neneknya keluar dari kamar. Sesekali matanya menoleh ke arah jendela. Takut jika tiba-tiba Asher beranjak naik."Isyana! Ini anak gadis lelet banget sih," gerutu Nenek Asma."Sabar kenapa Nek."Selama membantu Nenek Asma Isyana tidak bisa berhenti memikirkan Asher. Pikirannya selalu tentang bagaimana pria itu berkata tadi. Apa yang sebenarnya disembunyikan oleh Asher selama ini."Isyana, cucu nenek yang paling cantik sedunia, bisa nggak kalau bantu Nenek itu yang tulus ikhlas lahir
Sepanjang beberapa waktu, Basel benar-benar hanya menjadi penonton. Tidak diajak untuk makan ataupun diajak berbicara. Isyana terlalu sibuk untuk melayani para pekerja yang akan makan sore. Hal ini membuat Basel menjadi geram. Setelah terlihat Isyana diam, langsung saja tangannya menarik Isyana. "Ada apa Basel?" tanya Isyana yang heran dengan kelakuan Basel."Ada yang ingin aku katakan.""Harus sekarang?" "Iya harus sekarang. Tidak dapat lagi ditunda."Isyana mendesah malas. Apa yang sebenarnya ingin Basel katakan. Hal ini sangat menyebalkan mengingat dia memang tengah menghindari pria ini."Sebentar ya, aku ganti baju dulu. Kau duduk dulu sambil ikut minum teh."Isyana masuk ke dalam rumah, bertepatan dengan Nenek Asma keluar. Perempuan tua itu, cukup terkejut dengan kehadiran Basel. Matanya mendelik cukup tajam. Seperti ingin menghabisi pria di depannya."Mau apa kau ke sini?" ucap Nenek Asma dengan sinis."Menjemput Isyana, Nek. Ada yang ingin saya sampaikan."Basel tersenyum ra