Hidup Nadya hancur berkeping-keping setelah kehilangan bayi yang baru saja ia lahirkan. Luka di hatinya masih menganga, hingga takdir mempertemukannya dengan Kalen, pria dari masa lalunya yang kelam. Kalen muncul membawa bayi mungil berusia dua minggu—yang baru saja ditinggal pergi ibunya. Bayi itu alergi susu formula, dan Kalen menawarkan uang berapa pun yang Nadya inginkan, dengan satu syarat: Nadya harus menyusui anak itu. Dari permintaan yang tak terbayangkan ini, lahir hubungan yang rumit. Rasa benci, penyesalan, dan cinta bercampur menjadi satu, menggiring mereka pada perjalanan penuh konflik yang tak pernah diduga. Apakah Nadya mampu menghadapi luka masa lalunya?
Lihat lebih banyak“Apa hanya aku, yang diharapkan oleh ibunya untuk mati? Anak sendiri, yang terlahir dari rahimnya sendiri?” gumam Kalen lirih, seolah bertanya pada semesta, pada takdir yang begitu kejam padanya.Suaranya nyaris tak terdengar, tapi penuh luka yang tak bisa ditambal siapa pun.Ia duduk di dalam mobilnya, menatap kosong ke depan. “Selama ini aku selalu berusaha sabar dan mengerti karakter negatifnya,” lanjutnya, suara itu kini disertai getaran halus dari dada yang penuh sesak.Kalen menghela napas panjang, menarik udara dalam-dalam seolah berharap kesakitannya ikut terhembus keluar bersama napas itu. Tapi tak berhasil.Dadanya tetap terasa berat. Seberat beban pengkhianatan yang ditimpakan oleh wanita yang ia panggil ‘Mama’.“Ibu mana yang tega membiarkan anaknya mati di tangannya sendiri?” Suaranya terdengar patah, seperti pecahan kaca yang diinjak perlahan.“Sepertinya hanya aku... anak yang tidak beruntung di dunia ini. Ibuku menginginkanku mati. Ayahku meninggalkanku, dan aku harus
“Siapa orang itu? Katakan padaku siapa orang itu?” desak Kalen, suaranya dingin dan tajam, seperti pisau yang siap menebas.Sorot matanya menusuk, seolah mencoba menggali kebenaran yang disembunyikan ibunya selama ini.Nala merespon dengan tawa ringan yang menggema di ruang interogasi itu, seakan mengejek keputusasaan anak kandungnya sendiri.Ia menyilangkan tangan di dada, penuh percaya diri, seperti seorang ratu yang tak sudi digulingkan.“Apa kau akan memberikan saham itu jika aku memberitahumu?” tanyanya santai, meski tatapannya kini seperti bara api yang siap membakar apa pun.Tangan Kalen mengepal begitu kuat hingga buku jarinya memutih. Dadanya naik turun menahan amarah yang menggelegak.Ia menatap ibunya dengan mata yang penuh luka dan kemarahan. “Sekalipun aku tahu siapa orang itu, aku tidak akan pernah memberikan sepeser pun saham yang kumiliki!” ucapnya tegas, suaranya bergetar bukan karena takut—tetapi karena kecewa yang begitu dalam.Mata Nala semakin menyala, penuh amara
“Siapa yang akan mengira bahwa ibu sendiri yang akan membunuh istri dari anaknya?” ucap Kalen dengan suara bergetar, jemarinya mengepal erat hingga buku-bukunya memutih.Matanya merah menahan gejolak emosi yang nyaris meledak dari dalam dadanya. Napasnya berat, seolah setiap kata yang keluar membawa beban berton-ton di dadanya.Di hadapannya, Nala hanya menyunggingkan senyum sinis, lalu membuang muka seperti tidak peduli. Sorot matanya kosong, nyaris dingin, seperti wanita yang telah kehilangan sisi kemanusiaannya.“Apa yang kau inginkan sampai membunuh Rania dan menjebak Nadya, Ma?” Kalen kembali bicara, kali ini suaranya lebih keras, lebih putus asa.“Kau ingin aku menjalani hidup seorang diri, tanpa ada pendamping di hidupku? Itu, yang kau mau? Bahkan kau ingin membunuh anakku juga!”Suasana ruang interogasi itu menegang. Sejenak, hanya suara detik jam dinding yang terdengar di antara mereka.Nala akhirnya menoleh. Matanya menusuk ke arah anak lelakinya, dingin dan penuh kebencian
“Kau tahu, Kalen?” Nadya membuka suara, pelan dan hati-hati, setelah beberapa menit hanya keheningan yang menyelimuti mereka.Nafas mereka masih berat, tubuh mereka masih saling menyatu dalam pelukan pasca sesi bercinta yang intens.Kalen menoleh perlahan, menatap wajah istrinya yang terbaring di sampingnya.Rambut Nadya tergerai berantakan di atas bantal, dan matanya tampak sayu, seolah ada beban yang hendak ia lepaskan. “Ada apa, hm?”Nadya menarik napas panjang. Jemarinya meremas ujung selimut, seakan mencari pegangan untuk menahan gejolak emosi yang merambat naik ke dadanya.“Aku bertemu dengan Tuan Robert setelah mengantar dokumen kerjamu di kafe dekat kantormu.”“Oh, ya? Apa yang sedang dia lakukan di sini? Ada kerjaan?” tanya Kalen, suaranya tenang namun penuh rasa ingin tahu.Nadya mengangguk pelan. “Ya. Dan... kau tidak memberitahuku bahwa kau pergi ke London untuk menemuinya.”Kalen tersenyum tipis, namun senyuman itu tidak mampu menyembunyikan rasa bersalah yang perlahan me
Nadya membuka pintu ruang kerja Kalen dengan hati-hati. Lampu ruangan masih menyala terang meski waktu sudah menunjuk pukul dua belas malam.Langkahnya pelan, seolah tak ingin mengganggu, namun juga tak kuasa membiarkan suaminya terbenam terlalu dalam dalam dunia pekerjaannya.“Kau masih bekerja?” tanyanya lembut, suaranya seperti pelukan hangat di tengah malam yang sunyi.Kalen menoleh, dan begitu melihat wajah Nadya, ia menyunggingkan senyum tipis. Senyum yang tidak sepenuhnya bahagia, lebih menyerupai upaya untuk menutupi rasa lelah dan luka yang tak sempat sembuh.“Ya. Banyak kerjaan yang harus aku selesaikan untuk meeting besok, Sayang. Kau belum tidur?” jawabnya, suaranya serak, seperti tercekik oleh beban yang terlalu lama dipendam.Nadya menggeleng pelan. Rambutnya yang tergerai jatuh menutupi sebagian wajahnya, namun tatapannya tetap penuh perhatian.“Aku memikirkan keadaanmu setelah mengetahui semuanya. Ditambah kau selalu menyibukkan diri seperti ini dan lupa waktu.”Perkat
Plak!Tamparan keras Eliza mendarat telak di pipi Nala, menimbulkan suara tajam yang memantul di seluruh ruangan. Udara seketika menjadi dingin dan tegang.Nala hanya bisa menunduk dalam diam, jemarinya mengepal, tapi tak berani membalas atau menatap wanita yang kini berdiri di hadapannya—Eliza, ibu dari anak yang telah ia rampas nyawanya.Tatapan Eliza tajam, menusuk seperti belati yang panas. Matanya memerah, dadanya naik turun menahan gejolak yang nyaris meledak dari dalam.“Apa yang kau dapatkan setelah membunuh anakku, sialan?!” suaranya bergetar, bukan karena takut—tapi karena amarah yang tertahan terlalu lama akhirnya menemukan jalan keluar.Nala tetap diam. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Ia tahu, tidak ada pembelaan yang bisa menebus darah yang telah ditumpahkan.“Apa kau puas, hah? Sudah membunuh anakku?!” teriak Eliza lagi, kali ini lebih nyaring, suaranya menggema, mengguncang dinding hati siapa pun yang mendengarnya.“Kau pikir aku merestui hubungan mereka? Ten
“Huft. Aku tidak menyangka jika Bibi Nala yang telah melakukan semuanya. Apa yang dia inginkan dari Kalen? Apakah dia ingin memiliki Kalen seutuhnya, tanpa ada yang memilikinya?” ucap Shopia sambil memeluk gelas kopi hangat di tangannya.Tatapannya menerawang ke luar jendela kafe, mencoba memahami kebusukan di balik wajah elegan seorang Nala.Kepalanya pelan-pelan menggeleng, menunjukkan rasa kecewa yang begitu dalam setelah mendengar semua cerita dari Nadya.Kafe yang mereka singgahi cukup tenang. Letaknya tak jauh dari kantor Kalen, tempat mereka baru saja mengantarkan berkas. Namun, suasana hatinya sama sekali tidak serupa dengan suasana kafe yang nyaman itu.“Jangan melamun, Nadya.” Shopia menyikut lengan sahabatnya dengan lembut.Nadya tersentak kecil dari lamunannya. Ia menoleh, lalu mengulas senyum yang begitu tipis—senyum yang menyimpan banyak kepedihan.“Aku memikirkan perasaan Kalen sekarang, Shopia…” ucapnya pelan, seperti suara hati yang dibiarkan meluncur keluar dari bibi
“Aku tidak menyangka jika orang yang telah mencelakai Rania adalah ibuku sendiri,” lirih Kalen dengan suara serak setelah menonton beberapa rekaman rahasia yang Rania tinggalkan.Setiap potongan gambar, setiap kata dalam percakapan antara Rania dan Nala—ibunya—menusuk hati Kalen seperti belati. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya nyaris tak bisa menopang kenyataan yang baru saja ia telan.“Mama hanya pura-pura baik di depanku, dan Rania menutupi itu semua…” lanjutnya pelan. “Dan mungkin inilah alasan dia mencarimu, Nadya.”Suara Kalen pecah. Ia menunduk, kedua tangannya mengusap wajahnya, berusaha menyembunyikan isak yang tak lagi bisa ia tahan.Napasnya tersengal di sela-sela tangisan lirih yang mulai tak terbendung.Selama ini ia berpikir bahwa ibunya, meski keras dan sering membuatnya kesal, tetaplah seorang ibu yang mencintainya.Tapi kenyataan yang terkuak justru jauh dari harapan—sosok yang ia panggil "Mama" ternyata adalah sosok yang mengoyak hidupnya dari balik bayangan.Ia telah m
‘Nadya. Jika buku ini sudah ada di tanganmu, itu artinya aku telah berhasil membuatmu kembali pada Kalen. Aku sangat senang meski mungkin tak bisa melihatmu kembali pada Kalen.’Nadya menahan napasnya, jari-jarinya semakin erat menggenggam buku diary itu. Ada sesuatu yang begitu menyesakkan saat membaca tulisan Rania.Seolah… seolah Rania tahu bahwa usianya tidak akan panjang.Keningnya berkerut, pikirannya dipenuhi pertanyaan yang semakin menyesak di dada. “Apa maksudmu menulis seperti ini, Rania? Apa yang kau ketahui sebenarnya?” gumamnya, suaranya lirih, hampir tak terdengar.Tangan Nadya bergerak dengan ragu, tetapi dorongan untuk mencari tahu lebih jauh membuatnya membuka lembaran berikutnya.‘Tolong sampaikan permintaan maafku pada Kalen karena tidak pernah bisa mencintainya sepenuh hatiku. Sebab di hatiku hanya ada nama yang telah pergi lebih dulu dariku. Aku hanya melanjutkan hidup dengan Kalen.’Hatinya terasa seperti diremas. Ia bisa merasakan kejujuran Rania yang terukir da
“Kami turut berduka cita atas kepergian putra Anda.”Ucapan itu melayang di udara seperti belati tak kasat mata, menembus langsung ke hati Nadya.Dunia mendadak sunyi—seluruh hidupnya seperti terhenti dalam jeda waktu yang kejam.Setelah empat jam bergulat dengan rasa sakit, bertarung melawan tubuhnya sendiri demi membawa kehidupan baru ke dunia ini, dunia malah merebutnya kembali.Bayi itu—sosok kecil yang sudah ia cintai bahkan sebelum matanya terbuka untuk melihat dunia—menyerah.Hanya lima menit, cukup bagi kehidupan untuk membisikkan harapan, sebelum akhirnya memutuskan bahwa dunia ini terlalu berat untuk ditanggung oleh makhluk sekecil itu.“Anakku…” Nadya merintih, suara parau itu lebih seperti bisikan kepada dirinya sendiri daripada keluhan kepada dunia.Air mata mengalir tanpa ampun, membasahi wajah yang sudah kehilangan warna. Bayinya—yang bahkan belum sempat ia dekap dalam pelukannya, belum sempat mengecap manisnya susu yang telah ia persiapkan dengan penuh cinta—pergi begi...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen