“Tidak!” Nadya menggeleng cepat, seolah mencoba mengusir tuduhan yang baru saja dilontarkan Kalen. Dadanya bergemuruh, sementara tatapannya berusaha menembus dinding kebencian yang lelaki itu bangun di antara mereka.
Kalen menyipitkan matanya, sorotnya tajam, menusuk hingga ke dasar hatinya. “Kalau begitu, kenapa kau bersikeras ingin menjelaskan hal yang tak ingin aku dengar?” suaranya terdengar seperti dentingan baja, dingin dan tak tergoyahkan.
Nadya menelan ludah, mencoba menenangkan gejolak dalam dirinya. “Agar kau berhenti membenciku,” suaranya lirih, hampir lenyap ditelan udara di antara mereka.
Kalen tertawa kecil, tapi tawa itu lebih menyerupai sengatan sarkasme yang mematikan. “Aku tidak akan melupakan semuanya,” bisiknya, suaranya mengandung api yang telah lama membara dalam dadanya. “Aku ingin kau tahu betapa hancurnya hidupku saat itu, Nadya!”
Dengan satu gerakan, ia bangkit dari duduknya, tubuhnya menjulang dalam ketegasan yang tak tergoyahkan. Matanya, sedingin musim dingin yang tak berkesudahan, menatap wajah Nadya tanpa belas kasihan.
“Silakan pergi setelah Melvin berhenti menyusui.” Setiap kata yang terucap seperti belati yang menghunjam tanpa ampun. “Aku tidak ingin melihatmu lebih lama, karena hanya akan membuat amarahku semakin menyala.”
Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik, melangkah pergi menuju kamarnya, meninggalkan jejak kebencian di udara yang masih bergemuruh.
Nadya terdiam, bibirnya bergetar saat matanya menatap punggung Kalen yang perlahan menghilang ke balik pintu. T-shirt hijau yang membalut tubuhnya berkibar sedikit saat ia bergerak, dan entah mengapa, Nadya merasa warna itu seolah semakin menjauh dari hidupnya, tenggelam dalam kegelapan yang tak bisa ia jangkau lagi.
Nadya menarik napas panjang, memaksa dirinya untuk tetap berdiri meski hatinya seakan runtuh berkeping-keping. Dengan langkah gontai, ia kembali ke kamar. Di sana, di dalam keheningan yang menyakitkan, matanya tertumbuk pada sosok kecil yang terbaring di ranjang.
Melvin.
Sang bayi tiba-tiba terbangun, tangisnya pecah di udara, menusuk lebih dalam ke dalam relung hati Nadya yang telah porak-poranda.
Ia segera mengangkat Melvin, mendekapnya erat, lalu menyusuinya dengan tangan yang gemetar. Air mata jatuh, membasahi pipinya yang pucat.
“Kenapa ayahmu begitu jahat padaku?” bisiknya, suara yang hampir tenggelam oleh kepedihan yang menyelimutinya. “Padahal dia juga membutuhkanku, kan?”
Ia menarik napas panjang, berusaha menahan isakan yang hendak pecah dari dadanya.
“Bahkan dia tidak ingin mendengarkan penjelasanku…” Ia menatap kosong ke arah jendela, menyaksikan bayangan dirinya sendiri yang terpantul di kaca. Wajahnya tampak asing—seseorang yang telah kehilangan segalanya.
“Setidaknya aku tidak harus melihat wajah dinginnya setiap saat.”
Senyum pahit terukir samar di bibirnya, getir, penuh kepasrahan.
“Ternyata, keputusanku menerima tawaranmu adalah keputusan yang sangat salah.”
Dengan tangan yang masih gemetar, ia menghapus air matanya, tapi tak ada yang bisa menghapus luka di hatinya.
**
Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi. Cahaya matahari merayap perlahan di balik tirai langit, mengusir sisa-sisa embun yang masih melekat di dedaunan.
Udara pagi begitu lembut, mengusap wajah Nadya yang dengan hati-hati membawa Melvin keluar rumah.
Bayi itu terbungkus dalam selimut hangat, kulit mungilnya membutuhkan sinar mentari untuk menyapa dan menguatkannya.
Langkah Nadya pelan, penuh kelembutan seorang ibu yang tak ingin mengganggu lelap buah hatinya.
Ia duduk di bangku kayu di sudut taman, membiarkan sinar matahari menari-nari di atas kulit Melvin yang masih begitu rapuh.
Namun, ketenangan pagi itu terusik oleh suara yang menghentak udara.
“Apa yang kau lakukan di sini, Nadya?”
Suara itu, dalam dan dingin, menggema seperti gelombang yang menghantam karang. Nadya menoleh, mendapati Kalen berdiri tak jauh darinya, ekspresinya tajam dan penuh selidik.
“Kami sedang berjemur. Sinar matahari pagi sangat baik untuk kekebalan tubuh,” jawabnya, nada suaranya tetap tenang meskipun ada kebingungan yang menyelinap di baliknya.
“Memangnya Rania tidak pernah melakukannya saat dia masih hidup?”
Nadya menatapnya penuh tanya, merasa heran mengapa Kalen seakan hendak memarahinya hanya karena membawa Melvin keluar rumah.
Kalen terdiam. Ada sesuatu di matanya—sesuatu yang samar, sulit dibaca, seakan-akan kenangan lama baru saja bangkit dari tidur panjangnya.
Pandangannya jatuh pada Melvin yang masih tertidur nyenyak di pangkuan Nadya, napas kecil bayi itu teratur, damai, seolah dunia di sekitarnya tidak ada.
“Ya. Dia juga melakukan ini setiap pagi,” akhirnya Kalen menjawab, suaranya sedikit lebih pelan.
“Aku hanya khawatir kau membawanya keluar dari rumah ini. Banyak musuh di luaran sana yang masih mengincarku.”
Nadya menghela napas, memahami kekhawatiran itu. Ia tahu, Kalen bukan sekadar pria biasa—dia seorang pengusaha besar, pria yang kesuksesannya bukan hanya membawa kemakmuran, tapi juga bahaya.
Dan di luar sana, banyak mata yang mengintai, menunggu celah untuk menyerangnya.
“Aku tidak akan membawanya keluar rumah. Untuk apa?” Nadya menggeleng pelan.
“Halaman rumahmu saja sudah lebih luas dari yang kubutuhkan. Aku hanya ingin mengajak Melvin jalan-jalan di sekitar rumah, jangan khawatir.”
Dengan lembut, ia mulai mendorong stroller, melangkah kembali ke dalam rumah setelah lima belas menit berlalu.
Kalen mengikutinya dari belakang, bayangannya membayang di lantai marmer yang berkilau. Begitu sampai di kamar, Nadya berhenti dan menoleh, matanya menatap Kalen dengan sorot tak terbaca.
“Kau mau apa?” tanyanya, suaranya tetap lembut tapi sarat dengan ketegasan.
“Aku harus menyusui Melvin dan memandikannya. Bukankah tugasku di sini bukan hanya sekadar ibu susu? Melainkan seorang pengasuh juga?”
Nada dalam suaranya membuat Kalen menegang.
“Kau menyindirku?” tanyanya, nadanya sedikit lebih keras, tidak menyukai arah pembicaraan ini.
Nadya tersenyum kecil, senyum yang sama sekali tidak menghadirkan kehangatan. Senyum itu lebih seperti tirai yang menutupi luka lama yang masih menganga.
“Tidak,” jawabnya akhirnya, tanpa sedikit pun menatap Kalen. “Aku hanya mengingatkan diriku sendiri siapa aku di rumah ini.”
Hening merayap di antara mereka. Ada sesuatu yang berat di udara, sesuatu yang tak terucap namun begitu jelas terasa.
Lalu, dengan suara yang lebih dalam, hampir seperti bisikan yang menyusup ke dalam rongga hati, Nadya berkata, “Kalau begitu, kau harus membayarku setiap bulan.”
Nadya menarik napas panjang, mencoba menenangkan debar jantungnya yang tak beraturan.Ia menatap Kalen dengan tatapan tak tergoyahkan, lalu berkata dengan nada yang jernih namun sarat makna,“Aku ingin dibayar setiap bulan,” ulang Nadya kembali.Alis Kalen sedikit terangkat, matanya yang tajam menyipit. “Untuk apa?”Nadya tersenyum tipis, sebuah senyum yang lebih mirip tamparan halus daripada ekspresi kebahagiaan.“Agar aku bisa membeli rumah. Aku tidak akan selamanya di sini. Dua tahun lagi, aku harus pergi, dan aku butuh tempat untuk melanjutkan hidupku.”Sejenak, hanya keheningan yang menjawab.Kalen tetap diam, matanya mengunci pada wajah Nadya seolah mencari celah di balik kata-kata yang baru saja keluar dari bibirnya.Hatinya menggeram pelan, tapi ia tak mengerti mengapa ada sesuatu yang menusuk dadanya ketika mendengar wanita itu berbicara tentang kepergian.Nadya menatapnya dengan sorot penuh tantangan. “Kenapa diam?” suaranya lirih, namun menggema bagai gemuruh di kepala Kale
"Buatkan aku kopi."Suara berat itu menggema di ruangan, membuat Nadya spontan menoleh. Matanya membelalak tipis, memastikan apakah ia tidak salah dengar."Buatkan kopi?" ulangnya, nyaris tak percaya.Kalen menatapnya dengan dingin, tangan terselip di saku celana, posturnya tegak tanpa cela. "Ya," jawabnya santai, seolah itu adalah permintaan paling wajar di dunia."Selain merawat Melvin, kau juga harus merawatku, memberikan apa pun yang aku butuhkan."Dada Nadya bergemuruh hebat, amarah dan keterpaksaan bercampur menjadi satu.Tangan mungilnya mengepal erat, kukunya hampir menancap ke telapak tangannya sendiri. Betapa lancangnya pria itu, menuntutnya seolah ia adalah pelayan pribadi!Seakan belum cukup merendahkannya, Kalen menambahkan dengan nada penuh sindiran, "Kau ingin dibayar setiap bulan, kan? Maka dari itu, lakukan pekerjaan lain di rumah ini."Nadya merasakan sesuatu yang pahit menjalari tenggorokannya. Ia ingin menolak, ingin membalas kata-kata Kalen dengan sesuatu yang leb
"Kau jahat sekali, Kalen."Suara Nadya bergetar, lirih namun sarat dengan luka yang menganga. Matanya berkilat, menahan air mata yang hampir luruh, tapi Kalen hanya menyunggingkan senyum sinis—senyum yang begitu tajam, menusuk tanpa belas kasihan."Ucapanmu benar-benar tidak bisa difilter sama sekali," lanjutnya, suaranya hampir tercekat.Namun, bukannya merasa bersalah, Kalen justru menyandarkan punggungnya dengan santai, seakan menikmati bagaimana kata-katanya menghancurkan hati Nadya perlahan-lahan."Terima nasib saja, Nadya," ucapnya dingin. "Memang itu takdir yang harus kau lalui."Nadya mencengkeram roknya erat, kuku-kukunya hampir menembus kain."Kau pikir karma itu tidak ada?" lanjut Kalen, tatapannya begitu menusuk. "Tentu saja ada. Dan bukti bahwa karma itu nyata adalah kau diceraikan oleh suamimu dan anakmu meninggalkanmu."Dunia seakan berhenti berputar.Dadanya seperti dihantam batu raksasa, menghancurkan sisa-sisa pertahanan yang ia miliki. Kata-kata Kalen bergema di kep
“Kau sudah dengar, kan? Kalen sudah tidak mencintaimu!”Suara Nala meluncur tajam, memenuhi ruang tamu dengan hawa kebencian yang menggumpal di udara.Pagi itu, ia datang ke rumah dengan langkah mantap, memastikan Nadya benar-benar memahami tempatnya.Nadya hanya diam, menatap wajah wanita yang sejak dulu tak pernah benar-benar menerimanya.Ada bara dendam yang bersemayam di mata Nala, sebuah bara yang tak akan padam meskipun waktu terus bergulir.Namun, alih-alih terpancing, Nadya mencoba tersenyum. Senyum yang rapuh, tapi tetap teguh. Ia mengangguk pelan, lalu berbisik dengan suara yang nyaris tak terdengar, “Aku juga tidak mengharapkan Kalen untuk mencintaiku.”Matanya berkabut, namun ia menolak untuk menitikkan air mata di hadapan Nala. “Aku sudah tidak mencintainya.”Kalimat itu keluar begitu saja, meski hatinya tak benar-benar yakin apakah itu sebuah kebenaran atau hanya sekadar pelarian. “Aku ada di sini hanya untuk bekerja, untuk menyusui Melvin. Tidak lebih.”Mendengar itu, b
“Untuk apa mendekati pengkhianat seperti Nadya?”Suara Kalen terdengar tajam, sarat dengan kebencian yang telah mengakar bertahun-tahun.Matanya menyala penuh bara saat menatap Julian, seolah pria itu baru saja mengucapkan sesuatu yang benar-benar tak masuk akal.“Kuingatkan sekali lagi, Julian. Nadya bukan wanita yang pantas untuk dicintai!”Julian menghela napas kasar, kedua tangannya terangkat sebelum kembali dijatuhkan di sisi tubuhnya. “Astaga, Kalen. Sampai kapan kau akan menyimpan kebencian ini?” suaranya sarat dengan kelelahan.Namun, Kalen hanya menatapnya dengan rahang yang mengeras, kepalan tangannya membuktikan betapa ia tak ingin mendengar satu pun pembelaan terhadap wanita yang telah menghancurkannya.Julian mendekat, menatap langsung ke dalam mata sahabatnya itu. “Melvin membutuhkan Nadya, Kalen. Kau sadar itu, bukan?”Kalen mengerjapkan matanya, ekspresinya sedikit berubah, namun tetap tak menjawab.“Bayi itu hidup karena Nadya. Nafasnya bergantung pada wanita yang kau
Pagi telah tiba.Nadya, yang sudah bersiap dengan pakaian sederhana, menatap bayangan dirinya di cermin sesaat sebelum melangkah keluar. Ia ingin pergi. Harus pergi.Di ruang tengah, Yanna—salah satu pelayan rumah itu—baru saja selesai membereskan meja sarapan ketika Nadya menghampirinya.“Yanna, aku titip Melvin sebentar. Aku harus pergi ke makam anakku,” ujar Nadya dengan suara pelan namun tegas.Yanna menatapnya dengan cemas. “Apakah Tuan sudah tahu kalau kau akan pergi?” tanyanya hati-hati. Ia tahu betul betapa Kalen bisa menjadi pria yang sulit ditebak.Nadya mengangguk. “Aku sudah bicara dengan Kalen semalam. Dia sudah mengizinkanku, tapi hanya sebentar. Aku juga sudah menyediakan stok ASI di lemari es di kamar Melvin.”Yanna menghela napas lega, tetapi masih terlihat ragu. “Baiklah kalau begitu. Tapi jangan terlalu lama, Nadya. Aku takut Melvin menangis dan tidak mau digendong oleh siapa pun selain olehmu.”“Ya. Aku akan segera pulang begitu selesai.”Dengan itu, Nadya mengambi
"A—aku … aku hanya mampir sebentar," suara Nadya terdengar lirih, hampir tenggelam dalam angin senja yang membelai pucuk-pucuk bunga kamboja di pemakaman itu.Matanya yang bening menyimpan sembilu kepedihan, sementara jemarinya menggigil, meremas ujung jaket tipis yang membungkus tubuhnya."Kau mengenalnya?" Suara wanita itu terdengar datar, namun ada selarik keingintahuan yang bersembunyi di balik intonasinya.Nadya menelan salivanya dengan pelan, merasakan kepahitan menggumpal di tenggorokannya.Ia menggeleng pelan, seolah ragu dengan jawabannya sendiri. "Tidak terlalu mengenalnya. Aku kemari karena anakku dimakamkan di sini."Suaranya nyaris teredam desir angin yang melintas di antara nisan.Jemarinya gemetar saat menunjuk sebuah makam kecil yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri, batu nisannya masih tampak baru, seakan kesedihan yang melingkupinya belum sempat mengering."Siapa namamu?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja, membelah kesunyian yang menggantung di antara merek
"Nala juga yang memberitahuku. Dia melarangmu menjadi ibu susu Melvin karena kau adalah mantan kekasih Kalen. Kau dan Kalen berpisah karena kau selingkuh darinya. Apa itu benar?"Suara Eliza terdengar lembut, tetapi ada ketegasan yang menggantung di udara.Nadya merasakan dadanya mengencang, seakan ada tangan tak terlihat yang meremas hatinya tanpa ampun.Napasnya tercekat, dan untuk sesaat, ia hanya bisa menelan ludahnya dengan susah payah.Kesunyian menyelubungi ruangan, begitu pekat hingga detak jam di dinding terdengar seperti gemuruh yang menggema di telinganya.Matanya sedikit mengerjap, menatap wanita paruh baya di hadapannya dengan perasaan campur aduk.Perlahan, Nadya menggeleng. Gerakan kepalanya nyaris tak terlihat, seakan setiap sentakan kecil membawa beban yang terlalu berat untuk ditanggung."Sebenarnya itu hanya kesalahpahaman yang tidak bisa menemukan ujungnya," ucapnya dengan suara lirih, nyaris seperti bisikan yang hampir terbang bersama angin malam."Tapi, semuanya
"Apa?" Mata Kalen membola, keterkejutan tergambar jelas di wajahnya. "Apa maksudmu, John? Kenapa… Rania tahu semuanya?" tanyanya dengan suara bergetar, kebingungan terpancar di raut wajahnya.John menatapnya lekat, kedua tangannya bertaut di atas meja, ekspresinya tenang tapi penuh makna. "Rania bukan perempuan polos, Kalen. Dia tahu bahwa kau masih mencintai Nadya."Pernyataan itu menghantam Kalen seperti pukulan telak. Ia menelan saliva dengan susah payah, dadanya terasa sesak.Matanya kosong, pikirannya mendadak buntu, dan tangannya yang mengepal mulai gemetar.John melanjutkan dengan nada serius, "Selama ini, Rania diam-diam mencari tahu tentang pernikahan Nadya, bahkan membuntuti Jonathan. Dia ingin memastikan dugaannya benar—dan ternyata memang benar. Rumah tangga Nadya dan Jonathan tidak baik."Kalen mendongakkan kepalanya, menatap John dengan tatapan yang meminta penjelasan lebih lanjut."Rania berhasil membongkar perselingkuhan Jonathan dengan mantan kekasihnya. Jonathan tida
“Aku memiliki tugas untukmu.”Robin menaikkan satu alisnya, lalu menyesap kopinya dengan tenang sebelum menjawab, “Tugas apa? Tumben sekali kau membutuhkanku. Biasanya kau lebih suka bergerak sendiri.”Kalen tidak langsung menjawab. Ia menghembuskan napas perlahan, berusaha merangkai kata yang tepat agar Robin memahami urgensi dari tugas ini.“Aku sedang sibuk. Tapi ini juga cukup penting untuk menjebloskan seseorang ke penjara.” Tatapannya menusuk, penuh determinasi. “Maka dari itu, aku membutuhkan bantuanmu untuk membobol sistem CCTV di rumah ini.”Robin kembali menaikkan alisnya, kali ini dengan ketertarikan yang lebih besar. “CCTV? Milik siapa? Musuh lamamu?” tanyanya dengan nada ringan, tetapi ada sorot kewaspadaan dalam matanya.Kalen menghela napas panjang, lalu menatap pria di hadapannya. Ia tahu, untuk menyelesaikan tugas ini dengan sempurna, Robin perlu memahami situasi dengan lebih jelas.“Milik mantan suami mantan kekasihku. Namanya Jonathan.”Robin menatap Kalen sejenak s
Nadya menganggukkan kepalanya perlahan, tatapannya dipenuhi ketulusan saat ia menatap Kalen. Senyum tipis tersungging di bibirnya, meskipun hatinya masih diliputi kecemasan yang samar.“Terima kasih, sudah menerimaku di rumah ini. Aku berjanji, Kalen. Aku tidak akan mengecewakanmu, apalagi Melvin.”Kalen hanya membalasnya dengan senyum kecil, namun sorot matanya menyorotkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa terima kasih.Tangannya masih bertengger di sisi wajah Nadya, ibu jarinya mengusap lembut kulitnya, seolah ingin meyakinkan wanita itu bahwa ia aman, bahwa ia diterima.Tanpa banyak berpikir, Kalen memiringkan kepalanya, lalu menurunkan wajahnya perlahan.Dalam keheningan yang hanya diisi oleh tarikan napas mereka, bibirnya akhirnya menyentuh bibir Nadya.Nadya menegang seketika. Matanya membesar karena keterkejutan yang tak ia duga sama sekali. Ia bisa merasakan kehangatan bibir Kalen yang bergerak perlahan, seolah m
“Apa yang terjadi padamu, Kalen?”Mata Nadya membulat melihat pria itu duduk di sofa dengan wajah babak belur. Luka di sudut bibirnya tampak mengering, namun lebam di pipinya masih terlihat jelas.Napasnya terdengar berat, sementara jari-jarinya terus memijat pelipisnya yang terasa nyeri.Namun, Kalen tetap diam. Hanya suara napasnya yang terdengar di antara keheningan.Nadya mengalihkan pandangannya pada Gery, yang berdiri dengan wajah penuh keraguan.“Gery, ada apa? Bukankah kalian sedang mengadakan pertemuan? Kalen buru-buru berangkat karena harus meeting,” tanyanya dengan nada bingung.Gery mengangguk, lalu mengusap tengkuknya seolah ragu untuk menjawab. “Ya. Kami memang baru saja mengadakan meeting. Tapi, di sana ada Tuan Jonathan. Dia adalah investor baru dalam proyek yang akan kami jalani.”Nadya merasakan firasat buruk. “Lalu?”Gery menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Kemudian mereka berkelahi.”“Apa?!”Dada Nadya terasa sesak mendengar jawaban itu. Ia spontan menoleh
Nadya menghela napas panjang sambil menuangkan sup ke dalam mangkuk. Ini sudah kesekian kalinya ia harus membuatkan sup pereda pengar untuk Kalen.Bau alkohol yang masih samar-samar tercium di udara semakin menguatkan fakta bahwa pria itu pulang dalam keadaan mabuk berat.Pukul dua dini hari tadi, John dan Julian mengantarkan Kalen pulang. Nadya tidak kaget lagi—ia sudah terbiasa dengan kebiasaan buruk Kalen yang melarikan diri ke dalam botol vodka setiap kali pikirannya kacau.Tapi tetap saja, melihat pria itu terkapar tak berdaya di atas ranjangnya, membuat Nadya kembali menghela napas panjang.Ia berjalan mendekat, menatap Kalen yang masih meringkuk di bawah selimut dengan ekspresi malas. Dengan suara sedikit lebih keras, ia mencoba membangunkannya.“Kalen, bangunlah. Sudah pukul delapan. Apa kau tidak pergi ke kantor?”Tidak ada respons. Pria itu hanya menggeliat sedikit, bergeming, lalu kembali diam.Nadya menghela napas kesal. “Astaga…” gumamnya pelan, sebelum akhirnya ia mendek
Bar kecil itu dipenuhi suara dentingan gelas dan obrolan samar dari para pelanggan. Lampu redup temaram menciptakan suasana yang hangat, tetapi tidak cukup untuk mengusir hawa dingin yang menguar dari sosok pria yang baru saja masuk.“Oh, Kalen. Apa yang membuatmu datang kemari?” Julian, yang tengah bersandar di balik meja bar, menatap pria itu dengan alis yang sedikit berkerut. Ia tak menyangka Kalen akan muncul di tempat ini, seorang diri, tanpa diundang.Kalen menghela napas kasar sebelum menjawab, “Aku butuh vodka sekarang.” Suaranya terdengar datar, tanpa emosi, seolah-olah ia kelelahan, atau mungkin putus asa.Julian melirik John yang duduk di ujung bar, seakan meminta penjelasan, tetapi pria itu hanya mengangkat bahu ringan. Tak ada yang tahu pasti apa yang tengah terjadi dengan Kalen.“Baiklah.” Julian menghela napas dan mengambil sebotol vodka dari rak. “Satu botol vodka untuk Kalen yang datang tanpa diundang.”Tanpa banyak basa-basi, Kalen meraih botol itu dan langsung meneg
Uhuk! Uhuk!Nadya sontak tersedak minuman yang baru saja diteguknya. Matanya melebar seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.“Hah?” suaranya terdengar parau di antara batuknya yang belum mereda.Ia segera menoleh ke arah Kalen yang hanya menatapnya datar, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke Shopia, berharap itu hanya gurauan belaka.Tapi melihat ekspresi tenang Shopia, Nadya sadar bahwa itu adalah kenyataan yang harus diterimanya.“Apa kau… menerimanya?” tanyanya dengan nada penuh kehati-hatian, seolah tak yakin ingin mendengar jawabannya.Kalen, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya menoleh dan menatap lurus ke dalam mata Nadya. “Menurutmu?” tanyanya balik dengan nada yang sulit diartikan.Nadya mengerutkan keningnya. “Aku tidak tahu… karena itu terserah padamu,” jawabnya dengan santai, meskipun hatinya terasa aneh setelah mengucapkannya.Shopia yang menyaksikan interaksi keduanya hanya bisa menepuk dahinya pelan.Sementara Kalen mendengkus kecil lalu membuang m
Amora menoleh cepat ke arah Shopia, lalu tatapannya beralih pada sosok wanita yang berdiri di samping sepupu Kalen itu.Matanya menyipit, meneliti dengan saksama seolah berusaha mengenali wajah yang terasa asing baginya.Namun, satu hal yang pasti—dia tahu siapa Shopia. Maka, wanita lain yang berdiri di sana pastilah seseorang yang selama ini merawat Melvin.“Ini Nadya. Ibu susu Melvin sekaligus pengasuhnya,” Kalen angkat bicara, memperkenalkan Nadya tanpa banyak basa-basi.Suaranya terdengar datar, tapi cukup jelas untuk membuat Amora terdiam sejenak.“Ibu… susu?” Amora mengulang kata-kata itu dengan nada terkejut. Alisnya sedikit berkerut, seakan butuh waktu untuk mencerna apa yang baru saja didengarnya.Nadya yang menyadari keterkejutan itu hanya tersenyum tipis. Ia melangkah maju dan mengulurkan tangan dengan ramah.“Ya. Aku Nadya. Ibu susu Melvin. Senang bertemu denganmu,” ucapnya, suaranya terdengar lembut namun penuh keyakinan.Amora melirik tangan yang terulur itu. Sejenak ia
“Hai, Kalen!”Suara ceria itu membelah keheningan ruang tamu yang dipenuhi aroma kopi.Kalen, yang tengah duduk santai di sofa sembari membaca majalah bisnis edisi terbaru, mengangkat kepalanya.Matanya yang tajam menatap sosok yang baru saja datang dengan senyum ramah di wajahnya.“Hai, Amora. Kau sudah kembali?” ucap Kalen dengan nada datar, namun masih menyiratkan ketertarikan.Amora—gadis muda dengan rambut panjang yang tergerai lembut, mata penuh semangat, dan wajah yang sekilas mengingatkan pada sosok yang pernah sangat dicintai Kalen—menganggukkan kepalanya.“Ya,” jawabnya dengan nada ringan.“Kali ini aku benar-benar tinggal di sini, Kalen. Kuliahku sudah selesai, dan aku akan membuka usaha di sini.” Sebuah senyum tersungging di bibirnya, mencerminkan kegembiraannya yang tulus.Kalen mengangguk-anggukkan kepala, tangannya tetap memegang majalah yang tadi ia baca. “Kau ingin bertemu dengan Melvin?” tanyanya kemudian. “Dia sedang tidur di kamarnya.”Amora menoleh sekilas ke arah