“Untuk apa mendekati pengkhianat seperti Nadya?”Suara Kalen terdengar tajam, sarat dengan kebencian yang telah mengakar bertahun-tahun.Matanya menyala penuh bara saat menatap Julian, seolah pria itu baru saja mengucapkan sesuatu yang benar-benar tak masuk akal.“Kuingatkan sekali lagi, Julian. Nadya bukan wanita yang pantas untuk dicintai!”Julian menghela napas kasar, kedua tangannya terangkat sebelum kembali dijatuhkan di sisi tubuhnya. “Astaga, Kalen. Sampai kapan kau akan menyimpan kebencian ini?” suaranya sarat dengan kelelahan.Namun, Kalen hanya menatapnya dengan rahang yang mengeras, kepalan tangannya membuktikan betapa ia tak ingin mendengar satu pun pembelaan terhadap wanita yang telah menghancurkannya.Julian mendekat, menatap langsung ke dalam mata sahabatnya itu. “Melvin membutuhkan Nadya, Kalen. Kau sadar itu, bukan?”Kalen mengerjapkan matanya, ekspresinya sedikit berubah, namun tetap tak menjawab.“Bayi itu hidup karena Nadya. Nafasnya bergantung pada wanita yang kau
Pagi telah tiba.Nadya, yang sudah bersiap dengan pakaian sederhana, menatap bayangan dirinya di cermin sesaat sebelum melangkah keluar. Ia ingin pergi. Harus pergi.Di ruang tengah, Yanna—salah satu pelayan rumah itu—baru saja selesai membereskan meja sarapan ketika Nadya menghampirinya.“Yanna, aku titip Melvin sebentar. Aku harus pergi ke makam anakku,” ujar Nadya dengan suara pelan namun tegas.Yanna menatapnya dengan cemas. “Apakah Tuan sudah tahu kalau kau akan pergi?” tanyanya hati-hati. Ia tahu betul betapa Kalen bisa menjadi pria yang sulit ditebak.Nadya mengangguk. “Aku sudah bicara dengan Kalen semalam. Dia sudah mengizinkanku, tapi hanya sebentar. Aku juga sudah menyediakan stok ASI di lemari es di kamar Melvin.”Yanna menghela napas lega, tetapi masih terlihat ragu. “Baiklah kalau begitu. Tapi jangan terlalu lama, Nadya. Aku takut Melvin menangis dan tidak mau digendong oleh siapa pun selain olehmu.”“Ya. Aku akan segera pulang begitu selesai.”Dengan itu, Nadya mengambi
"A—aku … aku hanya mampir sebentar," suara Nadya terdengar lirih, hampir tenggelam dalam angin senja yang membelai pucuk-pucuk bunga kamboja di pemakaman itu.Matanya yang bening menyimpan sembilu kepedihan, sementara jemarinya menggigil, meremas ujung jaket tipis yang membungkus tubuhnya."Kau mengenalnya?" Suara wanita itu terdengar datar, namun ada selarik keingintahuan yang bersembunyi di balik intonasinya.Nadya menelan salivanya dengan pelan, merasakan kepahitan menggumpal di tenggorokannya.Ia menggeleng pelan, seolah ragu dengan jawabannya sendiri. "Tidak terlalu mengenalnya. Aku kemari karena anakku dimakamkan di sini."Suaranya nyaris teredam desir angin yang melintas di antara nisan.Jemarinya gemetar saat menunjuk sebuah makam kecil yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri, batu nisannya masih tampak baru, seakan kesedihan yang melingkupinya belum sempat mengering."Siapa namamu?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja, membelah kesunyian yang menggantung di antara merek
"Nala juga yang memberitahuku. Dia melarangmu menjadi ibu susu Melvin karena kau adalah mantan kekasih Kalen. Kau dan Kalen berpisah karena kau selingkuh darinya. Apa itu benar?"Suara Eliza terdengar lembut, tetapi ada ketegasan yang menggantung di udara.Nadya merasakan dadanya mengencang, seakan ada tangan tak terlihat yang meremas hatinya tanpa ampun.Napasnya tercekat, dan untuk sesaat, ia hanya bisa menelan ludahnya dengan susah payah.Kesunyian menyelubungi ruangan, begitu pekat hingga detak jam di dinding terdengar seperti gemuruh yang menggema di telinganya.Matanya sedikit mengerjap, menatap wanita paruh baya di hadapannya dengan perasaan campur aduk.Perlahan, Nadya menggeleng. Gerakan kepalanya nyaris tak terlihat, seakan setiap sentakan kecil membawa beban yang terlalu berat untuk ditanggung."Sebenarnya itu hanya kesalahpahaman yang tidak bisa menemukan ujungnya," ucapnya dengan suara lirih, nyaris seperti bisikan yang hampir terbang bersama angin malam."Tapi, semuanya
“Mama? Ada apa, Ma?”Kalen sedikit terkejut melihat kedatangan Eliza ke kantornya tanpa pemberitahuan.Wanita paruh baya itu berdiri tegap di ambang pintu, mengenakan setelan berwarna krem yang elegan, wajahnya datar tanpa ekspresi.Meski penampilannya tampak tenang, ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Kalen merasa waspada.“Halo, Tante. Apa kabar?” ucap Julian, rekan kerja sekaligus sahabat Kalen, yang ikut berada di ruangan itu. Ia tersenyum ramah ke arah Eliza, berusaha mencairkan suasana yang sedikit tegang.“Kabarku baik. Bagaimana denganmu, Julian?” jawab Eliza, membalas dengan nada formal namun tetap hangat.“Kabarku baik, Tante.”“Syukurlah. Bisa tinggalkan kami sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan dengan Kalen.”Julian menatap Kalen sejenak, seakan meminta konfirmasi, sebelum akhirnya mengangguk sopan dan beranjak dari kursinya.“Baik, kalau begitu aku keluar dulu.” Setelah berpamitan, Julian melangkah keluar, menutup pintu di belakangnya, meninggalkan Kalen dan El
Brak!Pintu rumah terbanting keras, memecah keheningan malam yang seharusnya damai. Nadya tersentak, jantungnya berdegup kencang mendengar suara itu.Dengan langkah cepat, ia menghampiri sumber kegaduhan dan menemukan Kalen berdiri di ambang pintu. Pria itu terhuyung, matanya sayu, dan wajahnya merah padam.“Kalen? Apa yang kau lakukan?” suaranya bergetar antara terkejut dan khawatir.Nadya menahan napas saat aroma tajam alkohol menyeruak dari tubuh Kalen. Bau itu begitu kuat, bercampur dengan hawa malam yang dingin.“Kau mabuk?” tanyanya pelan, meski ia sudah tahu jawabannya.Kalen tidak menjawab, hanya mendesah berat sebelum melangkah masuk dengan langkah gontai.Nadya melirik jam di pergelangan tangan pria itu—pukul dua belas malam. Matanya mengerjap, menatap pria yang kini nyaris kehilangan keseimbangan.“Tolong bawa dia ke kamarnya, Gery,” pinta Nadya kepada pria lain yang berdiri di belakang Kalen.Gery—asisten pribadi Kalen—tanpa banyak bertanya langsung memapah majikannya menu
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Cahaya matahari yang hangat menelusup melalui celah tirai jendela, menciptakan corak lembut di dinding kamar yang masih remang.Kalen membuka matanya perlahan. Sebuah denyutan tajam berpusar di kepalanya, membuatnya mengerang pelan.Pengar itu terasa begitu nyata, seolah semalam dirinya tenggelam terlalu dalam dalam gelas-gelas pahit yang membakar tenggorokannya.Bayang-bayang samar menari di benaknya. Ia melihat dirinya, wajah merah padam dan suara yang meninggi, berdiri di hadapan Nadya.Sepotong ingatan itu menyesakkan dadanya. Rasa bersalah mengendap, membuat napasnya terasa berat.“Apa yang telah kulakukan semalam?” gumamnya, suara seraknya nyaris tak terdengar.Ia melirik ke arah pintu, menelaah apakah ada tanda-tanda seseorang masuk ke kamarnya. Kosong. Hanya keheningan yang menyapanya.Dengan frustasi, Kalen menjambak rambutnya sendiri, lalu menghela napas panjang. “Sepertinya tidak. Aku tidak mengatakan apa pun pada Nadya.”Ia menggeleng
“Kenapa kau mengusir Julian seperti itu? Dia kan, sahabatmu,” protes Nadya ketika melihat kekecewaan Julian saat diusir oleh Kalen.“Aku lelah. Dan aku tahu maksud Julian kemari untuk apa,” jawabnya dingin tanpa menatap Nadya. Suaranya rendah, namun nadanya penuh ketegasan yang menyiratkan kemarahan yang terpendam.“Apa? Dia ingin mengajakmu minum-minum lagi? Sepertinya tidak. Ini masih pagi dan—”“Cukup, Nadya!”Pekikan Kalen membuat Nadya tersentak. Nada suaranya yang tajam dan penuh emosi membuat ruangan seolah bergetar oleh ketegangan yang tiba-tiba tercipta.“Kenapa kau membela Julian? Jangan menggoda sahabatku. Kau ingin menambah korban pengkhianatanmu itu, huh?”Tangan Nadya mengepal, rahangnya mengeras menahan emosi yang membuncah. “Aku tidak menggoda Julian. Aku dan dia hanya berbincang, dan aku juga tidak berniat melakukan itu,” protes Nadya tak terima disebut sedang menggoda Julian.Kalen menyunggingkan senyum sinis, tatapannya dingin menusuk. “Kau pikir aku bodoh? Tatapanm
"Apa?" Mata Kalen membola, keterkejutan tergambar jelas di wajahnya. "Apa maksudmu, John? Kenapa… Rania tahu semuanya?" tanyanya dengan suara bergetar, kebingungan terpancar di raut wajahnya.John menatapnya lekat, kedua tangannya bertaut di atas meja, ekspresinya tenang tapi penuh makna. "Rania bukan perempuan polos, Kalen. Dia tahu bahwa kau masih mencintai Nadya."Pernyataan itu menghantam Kalen seperti pukulan telak. Ia menelan saliva dengan susah payah, dadanya terasa sesak.Matanya kosong, pikirannya mendadak buntu, dan tangannya yang mengepal mulai gemetar.John melanjutkan dengan nada serius, "Selama ini, Rania diam-diam mencari tahu tentang pernikahan Nadya, bahkan membuntuti Jonathan. Dia ingin memastikan dugaannya benar—dan ternyata memang benar. Rumah tangga Nadya dan Jonathan tidak baik."Kalen mendongakkan kepalanya, menatap John dengan tatapan yang meminta penjelasan lebih lanjut."Rania berhasil membongkar perselingkuhan Jonathan dengan mantan kekasihnya. Jonathan tida
“Aku memiliki tugas untukmu.”Robin menaikkan satu alisnya, lalu menyesap kopinya dengan tenang sebelum menjawab, “Tugas apa? Tumben sekali kau membutuhkanku. Biasanya kau lebih suka bergerak sendiri.”Kalen tidak langsung menjawab. Ia menghembuskan napas perlahan, berusaha merangkai kata yang tepat agar Robin memahami urgensi dari tugas ini.“Aku sedang sibuk. Tapi ini juga cukup penting untuk menjebloskan seseorang ke penjara.” Tatapannya menusuk, penuh determinasi. “Maka dari itu, aku membutuhkan bantuanmu untuk membobol sistem CCTV di rumah ini.”Robin kembali menaikkan alisnya, kali ini dengan ketertarikan yang lebih besar. “CCTV? Milik siapa? Musuh lamamu?” tanyanya dengan nada ringan, tetapi ada sorot kewaspadaan dalam matanya.Kalen menghela napas panjang, lalu menatap pria di hadapannya. Ia tahu, untuk menyelesaikan tugas ini dengan sempurna, Robin perlu memahami situasi dengan lebih jelas.“Milik mantan suami mantan kekasihku. Namanya Jonathan.”Robin menatap Kalen sejenak s
Nadya menganggukkan kepalanya perlahan, tatapannya dipenuhi ketulusan saat ia menatap Kalen. Senyum tipis tersungging di bibirnya, meskipun hatinya masih diliputi kecemasan yang samar.“Terima kasih, sudah menerimaku di rumah ini. Aku berjanji, Kalen. Aku tidak akan mengecewakanmu, apalagi Melvin.”Kalen hanya membalasnya dengan senyum kecil, namun sorot matanya menyorotkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa terima kasih.Tangannya masih bertengger di sisi wajah Nadya, ibu jarinya mengusap lembut kulitnya, seolah ingin meyakinkan wanita itu bahwa ia aman, bahwa ia diterima.Tanpa banyak berpikir, Kalen memiringkan kepalanya, lalu menurunkan wajahnya perlahan.Dalam keheningan yang hanya diisi oleh tarikan napas mereka, bibirnya akhirnya menyentuh bibir Nadya.Nadya menegang seketika. Matanya membesar karena keterkejutan yang tak ia duga sama sekali. Ia bisa merasakan kehangatan bibir Kalen yang bergerak perlahan, seolah m
“Apa yang terjadi padamu, Kalen?”Mata Nadya membulat melihat pria itu duduk di sofa dengan wajah babak belur. Luka di sudut bibirnya tampak mengering, namun lebam di pipinya masih terlihat jelas.Napasnya terdengar berat, sementara jari-jarinya terus memijat pelipisnya yang terasa nyeri.Namun, Kalen tetap diam. Hanya suara napasnya yang terdengar di antara keheningan.Nadya mengalihkan pandangannya pada Gery, yang berdiri dengan wajah penuh keraguan.“Gery, ada apa? Bukankah kalian sedang mengadakan pertemuan? Kalen buru-buru berangkat karena harus meeting,” tanyanya dengan nada bingung.Gery mengangguk, lalu mengusap tengkuknya seolah ragu untuk menjawab. “Ya. Kami memang baru saja mengadakan meeting. Tapi, di sana ada Tuan Jonathan. Dia adalah investor baru dalam proyek yang akan kami jalani.”Nadya merasakan firasat buruk. “Lalu?”Gery menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Kemudian mereka berkelahi.”“Apa?!”Dada Nadya terasa sesak mendengar jawaban itu. Ia spontan menoleh
Nadya menghela napas panjang sambil menuangkan sup ke dalam mangkuk. Ini sudah kesekian kalinya ia harus membuatkan sup pereda pengar untuk Kalen.Bau alkohol yang masih samar-samar tercium di udara semakin menguatkan fakta bahwa pria itu pulang dalam keadaan mabuk berat.Pukul dua dini hari tadi, John dan Julian mengantarkan Kalen pulang. Nadya tidak kaget lagi—ia sudah terbiasa dengan kebiasaan buruk Kalen yang melarikan diri ke dalam botol vodka setiap kali pikirannya kacau.Tapi tetap saja, melihat pria itu terkapar tak berdaya di atas ranjangnya, membuat Nadya kembali menghela napas panjang.Ia berjalan mendekat, menatap Kalen yang masih meringkuk di bawah selimut dengan ekspresi malas. Dengan suara sedikit lebih keras, ia mencoba membangunkannya.“Kalen, bangunlah. Sudah pukul delapan. Apa kau tidak pergi ke kantor?”Tidak ada respons. Pria itu hanya menggeliat sedikit, bergeming, lalu kembali diam.Nadya menghela napas kesal. “Astaga…” gumamnya pelan, sebelum akhirnya ia mendek
Bar kecil itu dipenuhi suara dentingan gelas dan obrolan samar dari para pelanggan. Lampu redup temaram menciptakan suasana yang hangat, tetapi tidak cukup untuk mengusir hawa dingin yang menguar dari sosok pria yang baru saja masuk.“Oh, Kalen. Apa yang membuatmu datang kemari?” Julian, yang tengah bersandar di balik meja bar, menatap pria itu dengan alis yang sedikit berkerut. Ia tak menyangka Kalen akan muncul di tempat ini, seorang diri, tanpa diundang.Kalen menghela napas kasar sebelum menjawab, “Aku butuh vodka sekarang.” Suaranya terdengar datar, tanpa emosi, seolah-olah ia kelelahan, atau mungkin putus asa.Julian melirik John yang duduk di ujung bar, seakan meminta penjelasan, tetapi pria itu hanya mengangkat bahu ringan. Tak ada yang tahu pasti apa yang tengah terjadi dengan Kalen.“Baiklah.” Julian menghela napas dan mengambil sebotol vodka dari rak. “Satu botol vodka untuk Kalen yang datang tanpa diundang.”Tanpa banyak basa-basi, Kalen meraih botol itu dan langsung meneg
Uhuk! Uhuk!Nadya sontak tersedak minuman yang baru saja diteguknya. Matanya melebar seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.“Hah?” suaranya terdengar parau di antara batuknya yang belum mereda.Ia segera menoleh ke arah Kalen yang hanya menatapnya datar, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke Shopia, berharap itu hanya gurauan belaka.Tapi melihat ekspresi tenang Shopia, Nadya sadar bahwa itu adalah kenyataan yang harus diterimanya.“Apa kau… menerimanya?” tanyanya dengan nada penuh kehati-hatian, seolah tak yakin ingin mendengar jawabannya.Kalen, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya menoleh dan menatap lurus ke dalam mata Nadya. “Menurutmu?” tanyanya balik dengan nada yang sulit diartikan.Nadya mengerutkan keningnya. “Aku tidak tahu… karena itu terserah padamu,” jawabnya dengan santai, meskipun hatinya terasa aneh setelah mengucapkannya.Shopia yang menyaksikan interaksi keduanya hanya bisa menepuk dahinya pelan.Sementara Kalen mendengkus kecil lalu membuang m
Amora menoleh cepat ke arah Shopia, lalu tatapannya beralih pada sosok wanita yang berdiri di samping sepupu Kalen itu.Matanya menyipit, meneliti dengan saksama seolah berusaha mengenali wajah yang terasa asing baginya.Namun, satu hal yang pasti—dia tahu siapa Shopia. Maka, wanita lain yang berdiri di sana pastilah seseorang yang selama ini merawat Melvin.“Ini Nadya. Ibu susu Melvin sekaligus pengasuhnya,” Kalen angkat bicara, memperkenalkan Nadya tanpa banyak basa-basi.Suaranya terdengar datar, tapi cukup jelas untuk membuat Amora terdiam sejenak.“Ibu… susu?” Amora mengulang kata-kata itu dengan nada terkejut. Alisnya sedikit berkerut, seakan butuh waktu untuk mencerna apa yang baru saja didengarnya.Nadya yang menyadari keterkejutan itu hanya tersenyum tipis. Ia melangkah maju dan mengulurkan tangan dengan ramah.“Ya. Aku Nadya. Ibu susu Melvin. Senang bertemu denganmu,” ucapnya, suaranya terdengar lembut namun penuh keyakinan.Amora melirik tangan yang terulur itu. Sejenak ia
“Hai, Kalen!”Suara ceria itu membelah keheningan ruang tamu yang dipenuhi aroma kopi.Kalen, yang tengah duduk santai di sofa sembari membaca majalah bisnis edisi terbaru, mengangkat kepalanya.Matanya yang tajam menatap sosok yang baru saja datang dengan senyum ramah di wajahnya.“Hai, Amora. Kau sudah kembali?” ucap Kalen dengan nada datar, namun masih menyiratkan ketertarikan.Amora—gadis muda dengan rambut panjang yang tergerai lembut, mata penuh semangat, dan wajah yang sekilas mengingatkan pada sosok yang pernah sangat dicintai Kalen—menganggukkan kepalanya.“Ya,” jawabnya dengan nada ringan.“Kali ini aku benar-benar tinggal di sini, Kalen. Kuliahku sudah selesai, dan aku akan membuka usaha di sini.” Sebuah senyum tersungging di bibirnya, mencerminkan kegembiraannya yang tulus.Kalen mengangguk-anggukkan kepala, tangannya tetap memegang majalah yang tadi ia baca. “Kau ingin bertemu dengan Melvin?” tanyanya kemudian. “Dia sedang tidur di kamarnya.”Amora menoleh sekilas ke arah