Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Cahaya matahari yang hangat menelusup melalui celah tirai jendela, menciptakan corak lembut di dinding kamar yang masih remang.Kalen membuka matanya perlahan. Sebuah denyutan tajam berpusar di kepalanya, membuatnya mengerang pelan.Pengar itu terasa begitu nyata, seolah semalam dirinya tenggelam terlalu dalam dalam gelas-gelas pahit yang membakar tenggorokannya.Bayang-bayang samar menari di benaknya. Ia melihat dirinya, wajah merah padam dan suara yang meninggi, berdiri di hadapan Nadya.Sepotong ingatan itu menyesakkan dadanya. Rasa bersalah mengendap, membuat napasnya terasa berat.“Apa yang telah kulakukan semalam?” gumamnya, suara seraknya nyaris tak terdengar.Ia melirik ke arah pintu, menelaah apakah ada tanda-tanda seseorang masuk ke kamarnya. Kosong. Hanya keheningan yang menyapanya.Dengan frustasi, Kalen menjambak rambutnya sendiri, lalu menghela napas panjang. “Sepertinya tidak. Aku tidak mengatakan apa pun pada Nadya.”Ia menggeleng
“Kenapa kau mengusir Julian seperti itu? Dia kan, sahabatmu,” protes Nadya ketika melihat kekecewaan Julian saat diusir oleh Kalen.“Aku lelah. Dan aku tahu maksud Julian kemari untuk apa,” jawabnya dingin tanpa menatap Nadya. Suaranya rendah, namun nadanya penuh ketegasan yang menyiratkan kemarahan yang terpendam.“Apa? Dia ingin mengajakmu minum-minum lagi? Sepertinya tidak. Ini masih pagi dan—”“Cukup, Nadya!”Pekikan Kalen membuat Nadya tersentak. Nada suaranya yang tajam dan penuh emosi membuat ruangan seolah bergetar oleh ketegangan yang tiba-tiba tercipta.“Kenapa kau membela Julian? Jangan menggoda sahabatku. Kau ingin menambah korban pengkhianatanmu itu, huh?”Tangan Nadya mengepal, rahangnya mengeras menahan emosi yang membuncah. “Aku tidak menggoda Julian. Aku dan dia hanya berbincang, dan aku juga tidak berniat melakukan itu,” protes Nadya tak terima disebut sedang menggoda Julian.Kalen menyunggingkan senyum sinis, tatapannya dingin menusuk. “Kau pikir aku bodoh? Tatapanm
Yanna sedang sibuk menata piring dan makanan di meja makan ketika suara langkah kaki yang mantap mendekatinya. Ia menoleh dan melihat Kalen berjalan dengan ekspresi tak sabar.“Yanna. Apa Nadya belum keluar dari kamarnya?” tanya Kalen dengan nada datar, tapi matanya menunjukkan ketidaksabaran yang semakin menjadi.Yanna menggeleng pelan. “Belum, Tuan.”Kalen berdecak dan melirik jam dinding. Jarum panjang sudah melewati angka tujuh malam. Sejak pagi, wanita itu tak menampakkan diri sama sekali.“Memangnya dia tidak lapar? Dia sedang ingin menghukumku karena kejadian pagi tadi? Sialan!” umpat Kalen, rahangnya mengeras karena rasa frustrasi yang mulai menguasai dirinya.Dengan tatapan penuh perintah, ia berkata, “Panggil dia kemari dan suruh dia makan denganku!”“Baik, Tuan,” jawab Yanna sigap sebelum berlari kecil menuju kamar Nadya. Ia mengetuk pintu beberapa kali, menunggu jawaban, tetapi yang ia dapatkan hanyalah keheningan.“Nadya?” panggil Yanna lagi. Tetap tak ada jawaban. Ia men
"Kau benar-benar tidak mau mengakui kesalahanmu, ya?" John menghela napas panjang, lalu menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan Kalen. Ia tak habis pikir dengan pria itu.Di sisi lain, Nadya masih terbaring lemah, belum juga sadarkan diri. Wajahnya tampak pucat, napasnya tersengal-sengal, seolah tubuhnya telah kehilangan tenaga untuk bertahan."Tentu saja! Aku tidak merasa telah melakukan kesalahan padanya." Kalen tetap membela dirinya meski John sudah dengan terang-terangan menyalahkan dirinya. “Bukan salahku jika Nadya sakit seperti ini. Memangnya ada luka lebam yang diakibatkan olehku?” ucap Kalen dengan nada penuh pembelaan.Rahangnya mengeras, dan tatapannya tajam seolah menantang John untuk terus menyalahkannya.John mengepalkan tangannya, menahan diri agar tidak melayangkan pukulan ke wajah pria itu. Mata John membara, penuh amarah yang tertahan.“Kau tidak pernah berubah, Kalen. Kau boleh membencinya, tapi jangan juga kau memperlakukan dia dengan kasar! Kau pikir kondis
"Dengan senang hati!" ucap Kalen dengan wajah datarnya. Namun, sorot matanya jelas menyiratkan ketegangan yang mendidih di dalam dadanya."Kau pikir aku akan memohon padamu agar membiarkanku berada di sini menemanimu? Kau salah besar, Nadya!"Nada suaranya terdengar getir, penuh dengan kemarahan yang tertahan. Tatapan Kalen menusuk seperti belati, seolah ingin menembus pertahanan terakhir yang dimiliki Nadya.Nadya membuang muka, enggan melihat ekspresi Kalen yang menyimpan ribuan kebencian padanya.Ia hanya bisa meremas ujung selimut yang menutupi tubuhnya, jari-jarinya yang pucat bergetar halus saat ia menarik napas panjang.Di dalam dadanya, ada gejolak yang tak bisa ia kendalikan. Ia ingin membela diri, ingin menjelaskan, tetapi lidahnya terasa kelu.Tanpa sepatah kata tambahan, Kalen berbalik dan melangkah menuju pintu. Gerakannya kasar, seakan ingin menunjukkan betapa tidak pentingnya keberadaan Nadya di hidupnya kini.Bahkan untuk sekadar berpamitan pun tidak, ia langsung pergi
"Apa maksudmu, Nadya?" tanya John dengan kening berkerut. Tatapannya tajam, penuh keingintahuan.Nadya menghela napas panjang sebelum mengangkat wajahnya untuk menatap John.Ada kelelahan yang tergambar jelas di sorot matanya, kelelahan karena bertahun-tahun menanggung kesalahpahaman yang tak pernah terjelaskan."Itu semua hanya kesalahpahaman saja, John," ujarnya dengan suara pelan, tetapi tegas."Aku tidak pernah berniat mengkhianati Kalen ataupun menduakannya. Aku mencintainya dengan tulus."Nadya berhenti sejenak, seolah mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan kisah yang selama ini terpendam di hatinya.Jari-jarinya saling meremas di atas pangkuan, dan matanya sedikit berkabut ketika ia kembali berbicara."Tapi kemudian entah kenapa aku terjebak dalam masalah dengan pengusaha itu. Kami berdua dijebak, John. Aku sama sekali tidak tahu kenapa semua itu bisa terjadi.“Yang aku tahu, tiba-tiba saja aku terperangkap dalam situasi yang membuatku tampak bersalah di mata Kalen."Napas N
"Biar aku saja."Suara Kalen terdengar datar namun tegas saat ia mengulurkan tangan, mengambil dot susu dari genggaman Yanna sebelum perempuan itu sempat memberikannya pada Melvin.Yanna menatapnya sejenak, ragu, tetapi akhirnya mengangguk dan menyerahkan tanggung jawab itu pada Kalen."Baiklah. Saya akan menyiapkan beberapa keperluan lain," ujarnya sebelum meninggalkan ruangan.Kalen melangkah masuk ke dalam kamar putranya. Suasana di dalam ruangan itu begitu tenang, hanya terdengar suara napas lembut Melvin yang terbaring di ranjang bayi.Lampu tidur memancarkan cahaya redup yang hangat, menciptakan suasana nyaman yang menenangkan.Ia duduk di kursi kecil di samping ranjang, lalu dengan hati-hati menyodorkan dot berisi ASI yang telah disiapkan oleh Yanna. Bibir mungil Melvin langsung meraih dot itu, menyedot isinya dengan lahap.Kalen terdiam. Matanya tak lepas dari wajah kecil itu—wajah yang begitu mirip dengan Rania.Namun, di balik kemiripan itu, ia juga melihat sesuatu yang lain
“Kondisimu sudah membaik. Mungkin besok siang sudah bisa pulang,” ucap John ketika selesai memeriksa kondisi Nadya. Suaranya lembut, namun tetap terdengar tegas, mencerminkan kepedulian yang tulus.Nadya, yang bersandar pada bantal rumah sakit, menatap John dengan mata yang masih menyiratkan kecemasan.Jemarinya bermain-main dengan ujung selimut putih yang menutupi kakinya. “Bagaimana dengan produksi ASI-ku? Tidak berpengaruh, kan?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar, mencerminkan kegugupan seorang ibu yang hanya memikirkan bayinya.John tersenyum menenangkan. Ia menggeleng ringan. “Tidak. Produksi ASI-mu masih bagus seperti biasanya. Kau hanya kelelahan dan stres saja, bukan tersendat dalam memproduksi ASI.” Nada suaranya penuh keyakinan, seolah ingin menghapus segala keraguan di hati Nadya.Nadya menghela napas lega, senyumnya muncul perlahan, tipis namun sarat makna. Matanya tampak berbinar meski sedikit lelah.“Aku tidak ingin Melvin kekurangan ASI dariku, John. Dan aku sangat le
“Apa yang kau lakukan di sini? Jangan bunuh diri. Apa kau gila?” suara tegas itu terdengar diiringi genggaman kuat pada pergelangan tangannya.Wanita itu tersentak, lalu menoleh dengan wajah basah air mata. Seorang pria muda dengan jas dokter dan wajah cemas menatapnya tajam.Davian langsung menaruh kacamatanya di saku jas, lalu menarik wanita itu turun dari pagar dengan cermat dan cepat.Napasnya memburu. Ia menatap wanita yang kini terduduk di trotoar, menangis sesenggukan tanpa bisa menyembunyikan rasa hancurnya.“Di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang,” tanya Davian lembut, menekuk lutut di hadapan wanita itu.Namun, wanita itu menggeleng pelan. Ia menarik tangannya dari genggaman Davian dan menunduk.“Tidak perlu mengurusku. Bahkan orang tuaku saja ingin menjualku pada mucikari. Apa gunanya aku hidup di dunia ini jika orang tuaku saja membuangku begitu hinanya?”Kalimat itu menggema di telinga Davian, menusuk hatinya. Ia terdiam sejenak, tak menemukan kata.Matanya menatap
Ruang rapat utama di lantai tertinggi gedung KL’s Group hari itu penuh dengan petinggi perusahaan dan kepala divisi yang mengenakan setelan terbaik mereka.Mata-mata tertuju pada satu sosok muda yang berdiri di samping Kalen, CEO yang sudah memimpin selama lebih dari dua dekade. Kini, estafet itu akan diberikan kepada darah dagingnya sendiri.“Perkenalkan, Melvin,” ujar Kalen lantang, suaranya memenuhi ruang rapat dengan wibawa yang masih kuat meskipun usianya tak lagi muda.“Putra pertamaku yang akan menjabat sebagai CEO di kantor ini mulai hari ini. Aku akan tetap memantaunya selama beberapa bulan ke depan untuk melihat potensinya dengan baik.”Beberapa orang bertepuk tangan pelan, sementara sebagian lainnya saling pandang, mencoba menebak bagaimana kepemimpinan Melvin akan berjalan.Sebagian besar dari mereka tahu reputasi Melvin—brilian, tapi keras kepala. Pintar, tapi sering kali terlalu tajam dalam bicara. Sifat yang mewarisi Kalen, namun dengan ketidaksabaran khas anak muda.Ha
Dua puluh dua tahun kemudian…Suasana ruang keluarga itu masih sama seperti bertahun-tahun lalu—hangat, luas, dan penuh kenangan.Namun kini, aroma kopi dan dokumen kantor menggantikan bau susu bayi dan tawa anak-anak. Waktu telah berjalan jauh, dan generasi baru telah tumbuh dewasa.“Melvin. Mulai besok kau masuk kantor dan bekerja seperti saat kau magang enam bulan yang lalu. Tidak ada penolakan apa pun kecuali kau mengalami diare,” kata Kalen tegas, tanpa basa-basi.Ia berdiri di depan rak buku dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku, memperlihatkan gurat-gurat usia dan ketegasan yang kian menguat.Melvin, yang kini berusia dua puluh lima tahun dengan tubuh tinggi tegap dan wajah tampan mirip ayahnya, hanya memutar bola matanya.Dengan malas ia mengempaskan tubuhnya ke sofa empuk berwarna krem dan menatap ayahnya dengan tatapan datar dan penuh protes.“Apa tidak bisa lusa saja? Besok aku masih harus bertemu dengan teman-temanku, Pa,” ucapnya beralasan, nada suaranya
Kalen perlahan membuka matanya. Ia sempat kebingungan beberapa detik sebelum kesadarannya pulih sepenuhnya.Begitu melihat Nadya yang tengah menyusui, ia segera bangkit dan menghampiri dengan langkah pelan, khawatir mengganggu.Ia duduk di kursi dekat ranjang dan tersenyum melihat pemandangan indah di depannya. "Pemandangan paling indah di dunia," gumamnya.Nadya tersenyum kecil menatap suaminya. "Sudah kenyang tidurnya?"Kalen terkekeh pelan sambil mengusap wajahnya. "Sepertinya begitu. Tapi sepertinya aku melewatkan sesuatu?""Ya, sepertinya kau tidur terlalu pulas. Tadi Mama dan Papa datang menjenguk," jawab Nadya sambil memandangi bayi mereka.Kalen membelalakkan mata, lalu menatap Nadya dengan raut bersalah. "Apa? Serius? Aku bahkan tidak mendengar apa-apa… Maaf ya, Sayang. Aku benar-benar kelelahan."Nadya menggeleng pelan, wajahnya tetap lembut. "Tak apa, Kalen. Mama mengerti. Dia tahu kau begadang semalaman menemaniku."Kalen menghela napas lega dan mengangguk. Ia memandangi b
"Nadya..." pintu ruangan terbuka pelan. Eliza dan Ferdy melangkah masuk dengan langkah hati-hati. Mata Eliza langsung berkaca-kaca begitu melihat putrinya terbaring di ranjang rumah sakit.Eliza menghampiri dan memeluk anaknya dengan lembut. Ia mencium kening Nadya dengan penuh kasih. "Apa kau baik-baik saja, Sayang? Kata Kalen, kau terus menangis sepanjang persalinan."Nadya tersenyum lemah dan menoleh ke arah sofa, melihat Kalen yang tertidur dengan kepala bersandar ke sisi tangan sofa. "Apa Kalen yang menghubungi Mama dan Papa?" tanyanya pelan.Eliza mengangguk, wajahnya masih diliputi rasa khawatir. "Ya. Dia menangis saat menelepon kami... suaranya gemetar saat bilang kau terus menangis. Dia sangat mengkhawatirkanmu, Nadya. Ada apa sebenarnya?"Nadya terdiam sejenak, menatap kosong ke arah jendela. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, seolah mencoba meredakan gejolak di dadanya."Aku hanya... teringat kejadian tiga tahun lalu," ucapnya akhirnya, suaranya berge
Suara detak mesin monitor rumah sakit berdentang pelan di ruangan bersalin yang terasa dingin, meski udara di dalamnya cukup hangat.Malam itu langit mendung, hujan rintik-rintik turun membasahi jendela besar di sisi ruangan. Di atas ranjang bersalin, Nadya menggenggam erat seprai putih di bawah tubuhnya.Napasnya berat, bibirnya kering, dan wajahnya tampak pucat karena menahan rasa sakit luar biasa dari kontraksi yang terus datang bergelombang.Sembilan bulan sudah ia mengandung, dan kini saat itu telah tiba—waktu untuk melahirkan anak kedua.Rasa sakit itu begitu nyata, begitu kuat, mengingatkannya pada tiga tahun silam. Saat ia berjuang melahirkan bayinya yang telah tiada… seorang diri.Tak ada seorang pun dari keluarga mantan suaminya, Jonathan, yang menemani atau peduli. Ia merasa seperti bertarung sendirian antara hidup dan mati.Namun, kali ini berbeda. Di sisinya ada Kalen—pria yang kini menjadi suaminya, yang mencintainya dengan tulus, dan yang tak pernah lelah menemaninya se
Di bawah langit biru cerah dan hembusan angin laut yang sejuk, villa mewah di tepi pantai Spiaggia San Vito Lo Capo tampak bagaikan istana dalam dongeng.Laut yang tenang menjadi latar sempurna untuk pernikahan Julian dan Shopia. Hari itu, bukan hanya momen sakral untuk pasangan pengantin, tapi juga momen penuh haru dan sukacita bagi keluarga dan sahabat yang hadir.Musim semi menghiasi Italia dengan bunga-bunga yang bermekaran. Aroma lavender dan melati menyatu dengan garam laut, menciptakan atmosfer yang mendamaikan.Nadya yang tengah hamil lima bulan tampak anggun dengan gaun sifon berwarna pastel yang mengembang lembut di sekeliling tubuhnya.Ia berdiri di samping suaminya, Kalen, memandangi prosesi pemberkatan pernikahan sepupunya, Shopia, dengan mata berkaca-kaca.Usai prosesi, para tamu mulai memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai. Nadya dan Kalen melangkah mendekati Julian dan Shopia, bergabung dengan gelombang orang-orang yang memeluk dan menyalami mereka."Selamat,
Kalen memutar bola matanya dan tertawa pelan. “Hanya dua menit, Sayang. Bukan dua jam.” Balasnya sambil mencondongkan tubuh, ingin menyentuh tangannya.Nadya mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal sebelum senyum lebarnya merekah. “Karena hari ini aku sedang ingin memarahimu, jadi biarkan saja. Sekarang make a wish dulu dan tiup lilinnya.”Kalen tertawa pelan, lalu menatap kue ulang tahun di hadapannya. Cahaya lilin menari lembut di antara angin malam yang tenang. Ia menutup mata, dan dalam diam ia berdoa.Bukan untuk kesuksesan atau kekayaan, tapi untuk kebahagiaan sederhana yang ada di hadapannya malam itu—istri yang setia menantinya, anak yang tumbuh dalam cinta, dan hidup yang tak perlu sempurna, selama mereka saling memiliki.Lilin itu padam seiring doanya berhembus, dan Nadya langsung bertepuk tangan sambil tersenyum sumringah.“Selamat ulang tahun, Kalen. Semoga hanya aku yang bisa membuatmu bahagia dan selalu menjadi tempat ternyamanmu.”Nadya mengucapkan kalimat itu dengan
“Kau masih di mana, Kalen?” Suara Nadya terdengar pelan namun mengandung nada khawatir saat ia menghubungi Kalen.Tangannya sibuk merapikan taplak meja putih yang telah ia pilih dengan penuh pertimbangan pagi tadi.Di atasnya, dua buah piring porselen bermotif elegan telah tersusun rapi, disertai lilin kecil dan bunga mawar yang ia petik sendiri dari taman belakang rumah mereka.Malam itu bukan hari jadi pernikahan mereka, bukan ulang tahun, tapi Nadya ingin memberikan sesuatu yang sederhana namun bermakna—sebuah malam tenang hanya untuk mereka berdua.“Aku masih di kantor, Sayang. Baru saja selesai meeting dan evaluasi beberapa proyek yang hampir selesai,” jawab Kalen dari seberang telepon. Suaranya terdengar lelah namun tetap hangat.Nadya menatap langit yang mulai meredup, rona jingga senja perlahan memudar di antara dedaunan yang bergoyang pelan tertiup angin.“Tapi, kau tidak lupa, kan?” tanyanya pelan, ada sedikit ketakutan yang tak ia ucapkan—takut momen yang ia siapkan dengan