“Kau sudah menemukan orang yang mau mendonorkan ASI-nya untuk Melvin?”
Suara Nala, ibu Kalen, terdengar tegas saat langkah anggunnya memasuki ruang tamu yang luas.
Sorot matanya tajam, penuh wibawa, seperti seorang ratu yang baru saja kembali untuk menginspeksi kerajaan yang ditinggalkannya.
Kalen yang duduk di sofa meletakkan cangkir kopinya dengan pelan, seolah sedang mempertimbangkan kata-kata yang tepat sebelum menjawab.
“Sudah. Bayinya meninggal dunia, dan dia masih memproduksi ASI dalam jumlah yang cukup banyak,” ucapnya, suaranya lebih pelan dari biasanya.
Nala mengangguk pelan, tetapi tatapan matanya masih menyelidik. “Kalau begitu, Mama ingin bertemu dengannya.”
Kalen mendesah pelan, tubuhnya menegang. “Jangan hari ini, Ma. Dia masih—”
“Kenapa tidak?” Nala memotong tanpa ragu, suaranya naik sedikit, mencerminkan ketidaksabarannya. “Kau tidak asal pilih ibu susu untuk anakmu, kan?”
Sorot matanya kini penuh curiga, menusuk Kalen seolah berusaha mengungkap rahasia yang tersembunyi di balik mata gelap putranya.
Kalen menelan salivanya, berusaha tetap tenang. “Tidak, Ma. ASI yang diproduksi olehnya sangat baik. John sudah mengonfirmasinya, dan semua ASI pasti memiliki kualitas yang baik.”
Nala mengangkat alisnya, sinar tajam matanya semakin dalam. “Mama tidak bertanya tentang kualitas ASI-nya, Kalen. Tapi, orangnya. Bagaimana jika ternyata orang itu seorang kriminal? Seseorang dengan masa lalu yang kelam? Kau yakin sudah cukup mengenalnya?”
Ketegangan menggantung di udara, mengisi ruang di antara mereka dengan keheningan yang menekan.
“Kau menyembunyikan sesuatu dariku, Kalen?” Nada suaranya lebih rendah, tetapi justru terdengar semakin berbahaya.
Kalen menghela napas panjang, seolah sedang menimbang keputusan yang tidak bisa dihindarinya. Akhirnya, setelah jeda yang terasa seperti seabad, ia beranjak dari duduknya. “Aku akan membawanya padamu.”
Langkahnya berat saat ia berjalan menuju kamar Melvin. Dalam kepalanya, ia sudah bisa membayangkan reaksi ibunya saat mengetahui siapa sebenarnya wanita yang kini tinggal di rumah ini.
Ia membuka pintu dengan perlahan. Nadya yang sedang duduk di tepi tempat tidur mendongak, ekspresinya berubah ketika melihat wajah Kalen yang tampak tegang.
“Mama ingin bertemu denganmu.”
Nadya terdiam sejenak. Perlahan, ia menghela napas dan bangkit dari duduknya. Tanpa berkata-kata, ia melangkah keluar kamar, meninggalkan Melvin yang tertidur pulas di dalam buaian.
Dan di luar sana, seorang wanita dengan sorot mata tajam telah menunggunya.
“Nadya?!”
Mata Nala membelalak, suaranya menggema memenuhi ruangan yang sebelumnya sunyi.
Ada keterkejutan yang begitu kentara di wajahnya, tetapi lebih dari itu—ada kemarahan yang membara, menyala seperti api yang siap melalap habis siapa pun di hadapannya.
“Apa kau gila, Kalen? Kenapa kau memilih wanita ini menjadi ibu susu cucuku?” pekiknya, nada suaranya meninggi, menusuk udara dengan tajam.
“Ma, aku sudah tidak punya pilihan lain selain Nadya. Aku sudah mencari ke setiap rumah sakit, tapi tidak ada yang mau menjadi ibu susu untuk Melvin. Hanya Nadya yang mau menerimanya.”
Kata-kata itu meluncur dari bibirnya dengan nada tegas, tetapi tak cukup untuk meredam amarah ibunya. Justru, pernyataan itu seperti bensin yang menyulut api yang lebih besar di dalam dada Nala.
“Kau memang bodoh, Kalen!” Suaranya bergetar penuh emosi, jemarinya mengepal erat di sisi tubuhnya.
“Nadya mau jadi ibu susu Melvin agar bisa mendekatimu lagi! Atau mungkin… mungkin kau, Nadya, yang telah menyabotase mobil Kalen dan menyebabkan Rania meninggal?!”
Ruangan seketika membeku.
Nadya menoleh cepat, wajahnya memucat seketika. Tuduhan itu, begitu kejam, begitu menusuk.
Napasnya tercekat, jantungnya berdegup kencang, hampir tak percaya pada apa yang baru saja ia dengar.
“Aku tidak seburuk yang Nyonya pikirkan,” lirihnya, suaranya hampir tenggelam dalam badai kemarahan yang sedang berkecamuk di ruangan itu. “Yang terjadi di masa lalu pun itu hanya salah paham.”
“Bullshit!” bentak Nala, matanya menyala penuh kebencian. “Aku tidak ingin kau menjadi ibu susu Melvin. Sebaiknya angkat kaki dari rumah ini sebelum aku menyeretmu keluar sendiri!”
Darah Nadya seakan berhenti mengalir. Sakit itu kembali menghantam dadanya, lebih menyakitkan dari penghinaan mana pun yang pernah ia terima sebelumnya.
Kalen mengepalkan kedua tangannya, rahangnya mengeras.
Ia tahu ibunya tidak akan semudah itu menerima keputusannya, tetapi melihat Nadya yang berdiri di sana, dengan mata berkaca-kaca namun tetap menegakkan kepalanya, membuat sesuatu di dalam dirinya bergetar.
“Ma. Aku mohon,” ucapnya, suaranya lebih lembut tetapi tetap tegas. “Aku tidak ingin kehilangan Melvin. Aku tidak ingin kehilangan orang yang kusayangi untuk yang kedua kalinya.
“Jika Nadya batal menjadi ibu susu Melvin, akan sulit lagi mencari pengganti yang bisa menyusui Melvin.”
“Bagaimana jika terjadi sesuatu pada anakmu karena ulah wanita ini, Kalen?” Nala menatapnya, matanya mengancam, penuh kekhawatiran yang terselubung dalam amarahnya.
Ketegangan semakin memuncak.
Kalen mengepalkan tangannya lebih erat. Ia benci harus membela Nadya, benci harus melawan ibunya sendiri.
Ia tahu, jika ia bersikap terlalu lunak, Nadya mungkin akan berpikir bahwa ia masih memiliki tempat di hatinya. Dan itu adalah sesuatu yang tak boleh terjadi.
Namun, jika ia menuruti keinginan Nala… bagaimana dengan anaknya?
Ia menarik napas panjang, sebelum akhirnya berkata dengan nada yang tajam dan penuh kepastian.
“Aku sendiri yang akan menjebloskan Nadya ke penjara jika terjadi sesuatu pada Melvin.”
“Lagi pula, Nadya hanya seorang perawat Melvin. Tidak lebih dari itu,” ucap Kalen, suaranya dingin bak angin malam yang menggigit tulang, menegaskan bahwa Nadya bukanlah bagian dari kepentingannya, bukanlah seseorang yang layak diperhitungkan dalam hidupnya.Nadya menoleh perlahan, seperti boneka porselen yang retak, matanya memburam oleh luka yang mendadak mengiris relung hatinya.Dadanya bergemuruh hebat, bukan karena amarah semata, melainkan oleh kepedihan yang menggulung-gulung, menyesakkan, membelitnya dalam ketidakberdayaan.Kata-kata Kalen menamparnya tanpa ampun, menjadikannya sekadar bayangan samar di dunia yang tak lagi memerlukannya.“Jadi, Mama tidak perlu khawatir terjadi sesuatu pada Melvin. Aku akan terus memantaunya setiap hari. Dan jika bukan karena tidak ada pilihan lain, aku pun tidak ingin memilih Nadya sebagai ibu susu Melvin.”Nada suara itu, tajam seperti ujung pisau yang dihunuskan tepat ke jantungnya. Di mata Kalen, ia bukanlah siapa-siapa.Tidak lebih dari se
“Tidak!” Nadya menggeleng cepat, seolah mencoba mengusir tuduhan yang baru saja dilontarkan Kalen. Dadanya bergemuruh, sementara tatapannya berusaha menembus dinding kebencian yang lelaki itu bangun di antara mereka.Kalen menyipitkan matanya, sorotnya tajam, menusuk hingga ke dasar hatinya. “Kalau begitu, kenapa kau bersikeras ingin menjelaskan hal yang tak ingin aku dengar?” suaranya terdengar seperti dentingan baja, dingin dan tak tergoyahkan.Nadya menelan ludah, mencoba menenangkan gejolak dalam dirinya. “Agar kau berhenti membenciku,” suaranya lirih, hampir lenyap ditelan udara di antara mereka.Kalen tertawa kecil, tapi tawa itu lebih menyerupai sengatan sarkasme yang mematikan. “Aku tidak akan melupakan semuanya,” bisiknya, suaranya mengandung api yang telah lama membara dalam dadanya. “Aku ingin kau tahu betapa hancurnya hidupku saat itu, Nadya!”Dengan satu gerakan, ia bangkit dari duduknya, tubuhnya menjulang dalam ketegasan yang tak tergoyahkan. Matanya, sedingin musim din
Nadya menarik napas panjang, mencoba menenangkan debar jantungnya yang tak beraturan.Ia menatap Kalen dengan tatapan tak tergoyahkan, lalu berkata dengan nada yang jernih namun sarat makna,“Aku ingin dibayar setiap bulan,” ulang Nadya kembali.Alis Kalen sedikit terangkat, matanya yang tajam menyipit. “Untuk apa?”Nadya tersenyum tipis, sebuah senyum yang lebih mirip tamparan halus daripada ekspresi kebahagiaan.“Agar aku bisa membeli rumah. Aku tidak akan selamanya di sini. Dua tahun lagi, aku harus pergi, dan aku butuh tempat untuk melanjutkan hidupku.”Sejenak, hanya keheningan yang menjawab.Kalen tetap diam, matanya mengunci pada wajah Nadya seolah mencari celah di balik kata-kata yang baru saja keluar dari bibirnya.Hatinya menggeram pelan, tapi ia tak mengerti mengapa ada sesuatu yang menusuk dadanya ketika mendengar wanita itu berbicara tentang kepergian.Nadya menatapnya dengan sorot penuh tantangan. “Kenapa diam?” suaranya lirih, namun menggema bagai gemuruh di kepala Kale
"Buatkan aku kopi."Suara berat itu menggema di ruangan, membuat Nadya spontan menoleh. Matanya membelalak tipis, memastikan apakah ia tidak salah dengar."Buatkan kopi?" ulangnya, nyaris tak percaya.Kalen menatapnya dengan dingin, tangan terselip di saku celana, posturnya tegak tanpa cela. "Ya," jawabnya santai, seolah itu adalah permintaan paling wajar di dunia."Selain merawat Melvin, kau juga harus merawatku, memberikan apa pun yang aku butuhkan."Dada Nadya bergemuruh hebat, amarah dan keterpaksaan bercampur menjadi satu.Tangan mungilnya mengepal erat, kukunya hampir menancap ke telapak tangannya sendiri. Betapa lancangnya pria itu, menuntutnya seolah ia adalah pelayan pribadi!Seakan belum cukup merendahkannya, Kalen menambahkan dengan nada penuh sindiran, "Kau ingin dibayar setiap bulan, kan? Maka dari itu, lakukan pekerjaan lain di rumah ini."Nadya merasakan sesuatu yang pahit menjalari tenggorokannya. Ia ingin menolak, ingin membalas kata-kata Kalen dengan sesuatu yang leb
"Kau jahat sekali, Kalen."Suara Nadya bergetar, lirih namun sarat dengan luka yang menganga. Matanya berkilat, menahan air mata yang hampir luruh, tapi Kalen hanya menyunggingkan senyum sinis—senyum yang begitu tajam, menusuk tanpa belas kasihan."Ucapanmu benar-benar tidak bisa difilter sama sekali," lanjutnya, suaranya hampir tercekat.Namun, bukannya merasa bersalah, Kalen justru menyandarkan punggungnya dengan santai, seakan menikmati bagaimana kata-katanya menghancurkan hati Nadya perlahan-lahan."Terima nasib saja, Nadya," ucapnya dingin. "Memang itu takdir yang harus kau lalui."Nadya mencengkeram roknya erat, kuku-kukunya hampir menembus kain."Kau pikir karma itu tidak ada?" lanjut Kalen, tatapannya begitu menusuk. "Tentu saja ada. Dan bukti bahwa karma itu nyata adalah kau diceraikan oleh suamimu dan anakmu meninggalkanmu."Dunia seakan berhenti berputar.Dadanya seperti dihantam batu raksasa, menghancurkan sisa-sisa pertahanan yang ia miliki. Kata-kata Kalen bergema di kep
“Kau sudah dengar, kan? Kalen sudah tidak mencintaimu!”Suara Nala meluncur tajam, memenuhi ruang tamu dengan hawa kebencian yang menggumpal di udara.Pagi itu, ia datang ke rumah dengan langkah mantap, memastikan Nadya benar-benar memahami tempatnya.Nadya hanya diam, menatap wajah wanita yang sejak dulu tak pernah benar-benar menerimanya.Ada bara dendam yang bersemayam di mata Nala, sebuah bara yang tak akan padam meskipun waktu terus bergulir.Namun, alih-alih terpancing, Nadya mencoba tersenyum. Senyum yang rapuh, tapi tetap teguh. Ia mengangguk pelan, lalu berbisik dengan suara yang nyaris tak terdengar, “Aku juga tidak mengharapkan Kalen untuk mencintaiku.”Matanya berkabut, namun ia menolak untuk menitikkan air mata di hadapan Nala. “Aku sudah tidak mencintainya.”Kalimat itu keluar begitu saja, meski hatinya tak benar-benar yakin apakah itu sebuah kebenaran atau hanya sekadar pelarian. “Aku ada di sini hanya untuk bekerja, untuk menyusui Melvin. Tidak lebih.”Mendengar itu, b
“Untuk apa mendekati pengkhianat seperti Nadya?”Suara Kalen terdengar tajam, sarat dengan kebencian yang telah mengakar bertahun-tahun.Matanya menyala penuh bara saat menatap Julian, seolah pria itu baru saja mengucapkan sesuatu yang benar-benar tak masuk akal.“Kuingatkan sekali lagi, Julian. Nadya bukan wanita yang pantas untuk dicintai!”Julian menghela napas kasar, kedua tangannya terangkat sebelum kembali dijatuhkan di sisi tubuhnya. “Astaga, Kalen. Sampai kapan kau akan menyimpan kebencian ini?” suaranya sarat dengan kelelahan.Namun, Kalen hanya menatapnya dengan rahang yang mengeras, kepalan tangannya membuktikan betapa ia tak ingin mendengar satu pun pembelaan terhadap wanita yang telah menghancurkannya.Julian mendekat, menatap langsung ke dalam mata sahabatnya itu. “Melvin membutuhkan Nadya, Kalen. Kau sadar itu, bukan?”Kalen mengerjapkan matanya, ekspresinya sedikit berubah, namun tetap tak menjawab.“Bayi itu hidup karena Nadya. Nafasnya bergantung pada wanita yang kau
Pagi telah tiba.Nadya, yang sudah bersiap dengan pakaian sederhana, menatap bayangan dirinya di cermin sesaat sebelum melangkah keluar. Ia ingin pergi. Harus pergi.Di ruang tengah, Yanna—salah satu pelayan rumah itu—baru saja selesai membereskan meja sarapan ketika Nadya menghampirinya.“Yanna, aku titip Melvin sebentar. Aku harus pergi ke makam anakku,” ujar Nadya dengan suara pelan namun tegas.Yanna menatapnya dengan cemas. “Apakah Tuan sudah tahu kalau kau akan pergi?” tanyanya hati-hati. Ia tahu betul betapa Kalen bisa menjadi pria yang sulit ditebak.Nadya mengangguk. “Aku sudah bicara dengan Kalen semalam. Dia sudah mengizinkanku, tapi hanya sebentar. Aku juga sudah menyediakan stok ASI di lemari es di kamar Melvin.”Yanna menghela napas lega, tetapi masih terlihat ragu. “Baiklah kalau begitu. Tapi jangan terlalu lama, Nadya. Aku takut Melvin menangis dan tidak mau digendong oleh siapa pun selain olehmu.”“Ya. Aku akan segera pulang begitu selesai.”Dengan itu, Nadya mengambi
Langit malam begitu gelap tanpa bintang. Di sebuah sudut kota yang sepi dan nyaris terlupakan, berdiri sebuah gudang tua yang sudah lama tak digunakan.Tapi malam itu, gudang yang tampak tak bernyawa itu justru hidup. Musik keras berdentum dari dalam, disertai gelak tawa dan aroma menyengat yang tak sedap.Di situlah Romeo, seorang bandar narkoba yang cukup terkenal di kalangan hitam, sedang berpesta dengan puluhan anak buahnya.Tiba-tiba, suasana berubah drastis.“BRAK! BRAK!”Suara tembakan peringatan menggema. Sirine meraung menembus udara malam.Lampu sorot dari mobil polisi membanjiri kegelapan gudang, menyilaukan mata semua orang di dalamnya. Kepanikan langsung merebak."POLISI! JANGAN BERGERAK!" teriak seorang anggota tim khusus bersenjata lengkap.Beberapa orang mencoba melarikan diri, tapi tak sempat jauh. Mereka langsung disergap dan diborgol di tempat. Di antara mereka, Romeo berdiri terpaku. Matanya membola, tubuhnya gemetar.“Apa-apaan ini?!” pekiknya. “Lepaskan aku! Kali
“Kau… tidak sedang bercanda, kan?” ucap Kalen dengan suara serak, nyaris tercekat. Sorot matanya penuh dengan keterkejutan yang belum sempat ia sembunyikan.Tatapannya menusuk dalam ke mata Nadya, seolah ingin menemukan secuil kebohongan di sana—namun tak ada. Yang ada hanya ketulusan yang terpancar begitu jelas.Nadya menggeleng pelan, nyaris seperti anak kecil yang merasa takut telah menyakiti seseorang.“Aku tahu, ini berita yang sangat berat dan sulit untuk dipercaya. Tapi kenyataannya memang seperti itu, Kalen…” Nadanya lembut, namun mengandung guncangan emosi yang ia tahan keras-keras agar tidak tumpah.“Dan kau harus menyadari satu hal… Melvin hanya ingin meminum ASI dariku. Karena hatinya tahu… aku adalah bagian dari Rania.”Kalen terdiam. Wajahnya tak bergerak, tapi matanya—matanya berbicara banyak. Penuh kebingungan, penuh guncangan, dan juga rasa tak percaya yang luar biasa.Tubuhnya masih, namun dadanya terasa bergemuruh. Dunia seolah bergeser dari tempatnya.“Kau… tidak b
“Apa yang Amora katakan padamu?” tanya Kalen pelan, matanya langsung menatap Nadya ketika wanita itu kembali masuk ke kamar rawatnya.Suaranya terdengar tenang, namun matanya menyiratkan rasa ingin tahu.Nadya menghela napas singkat, lalu duduk di depan Kalen, menatap pria yang kini tengah terbaring dengan selang infus di lengannya.“Aku pikir dia tidak ingin bertemu denganmu. Rupanya dia tidak ingin bertemu dengan John. Dan dia tidak mau memberitahu alasannya.”Kalen menaikkan sebelah alisnya, kebingungan tergambar jelas di wajahnya. “Ada apa dengan mereka?”Nadya mengangkat bahu, lalu memiringkan kepalanya sejenak. “Aku pun tidak tahu. Tapi, aku penasaran.”Kalen terkekeh, tawa kecilnya terdengar renyah meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih. “Kau penasaran karena Amora adalah adikmu, hm? Jangan khawatir. Kalaupun mereka menjalin hubungan, John pria baik-baik. Kau mengenalnya sejak lama.”Nadya mengangguk perlahan, matanya menerawang. “Ya, aku tahu. Tapi tetap saja, aku ingin tahu ap
Dering ponsel Nadya memecah keheningan di ruang rawat itu. Ia melihat layar ponsel, dan nama "Amora" tertera jelas di sana—nama yang entah mengapa membawa campuran rasa asing dan akrab di hati Nadya. Ia segera menjawab.“Halo, Amora?” sapanya, mencoba terdengar tenang.“Kau masih di rumah sakit? Aku ada di kafetaria. Apa kau bisa menemuiku?” tanya Amora dari seberang, suaranya terdengar pelan, nyaris ragu.Nadya terdiam sejenak, bingung dengan permintaan itu. “Kenapa tidak kemari saja, Amora? Aku ada di ruang rawat Kalen dan hanya kami berdua saja.”“Tidak bisa, Nadya. Aku tidak bisa bertemu dengan Kalen. Aku masih canggung jika bertemu dengannya,” ucap Amora, lirih—seperti menyembunyikan lebih banyak luka daripada yang ia izinkan terdengar.Nadya menghela napas pelan. Ada sesuatu dalam nada suara Amora yang membuat dadanya ikut sesak. “Ya sudah. Aku akan ke sana beberapa menit lagi.”Ia menutup panggilan itu, lalu menoleh ke arah Kalen. Ia duduk di kursi dekat ranjang, menatap wajah
“Kalen. Kau sudah membaik?” Robin menghampiri Kalen yang sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Udara di ruangan itu masih terasa sunyi, hanya diisi suara mesin infus dan napas tenang Kalen yang perlahan mulai kembali normal.Kalen mengangguk pelan, tubuhnya masih tampak lemah, tapi sorot matanya sudah kembali hidup. “Ya. Sudah sedikit membaik meski harus dirawat beberapa hari lagi,” jawabnya dengan suara parau.“Ada apa, Robin? Kau menemukan sesuatu?” tanyanya kemudian, sedikit menegakkan tubuhnya meski terasa nyeri.Robin mengangguk dan duduk di kursi dekat ranjang. Ia menyerahkan sebuah map berisi data, ekspresinya serius dan tegang.“Ya. Aku sudah menemukan data tentang anak ibumu. Dia bekerja sebagai bandar narkoba dan menggunakan identitas palsu,” ujar Robin, nada suaranya rendah tapi tegas.“Huh? Anak Nyonya Nala?” ucap Nadya yang sedang menyuapi Melvin di pojok ruangan. Sontak ia menghampiri mereka dengan raut terkejut.“Kau… memiliki saudara, Kalen?” tanyanya lirih, seolah ka
Dua hari kemudian, hasil tes DNA akhirnya keluar—dua hari yang terasa seperti seumur hidup bagi Eliza.Pagi itu, langit sedikit mendung, seolah ikut menahan napas menunggu akhir dari kisah pencarian panjang yang telah membebani hati seorang ibu selama lebih dari dua dekade.Di rumah sakit, suasana di dalam ruang dokter terasa hening. Hanya suara detak jarum jam dan embusan AC yang terdengar samar.Eliza, Ferdy, dan Nadya duduk bersebelahan, tapi hati mereka melayang entah ke mana. Kegelisahan menyelimuti mereka semua.Dokter yang menangani mereka masuk sambil membawa sebuah map putih. Ia tersenyum lembut, mencoba meredakan ketegangan yang terasa di ruangan itu.“Ini hasilnya. Anda bisa melihatnya secara langsung,” ucapnya seraya menyerahkan kertas itu ke Eliza.Tangan Eliza bergetar saat menerimanya. Ia menoleh pada Ferdy, dan suaminya mengangguk pelan—sebuah isyarat yang membawa kekuatan. Ia membuka kertas itu perlahan, seakan takut waktu berhenti begitu hasil itu terbaca.Matanya me
“Kenapa Nyonya Eliza ingin melakukan tes DNA denganmu, Nadya?” tanya Shopia begitu menghampiri, tepat setelah Nadya keluar dari ruang laboratorium bersama Eliza.Udara sore itu terasa lebih berat dari biasanya.Eliza dan suaminya sudah lebih dulu pulang, meninggalkan Nadya dalam ruang sunyi yang seolah masih dipenuhi gema langkah-langkah mereka dan desiran kenangan yang belum selesai.Nadya menghela napas panjang, seolah berusaha meredakan gemuruh di dadanya. “Aku baru tahu... bahwa Rania memiliki saudara kembar,” ucapnya pelan, hampir seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri. “Selama ini, Kalen tidak pernah memberitahuku soal itu.”Mata Shopia sedikit menyipit, alisnya terangkat tinggi mendengar ucapan itu. “Lalu?” tanyanya, masih berusaha mencerna maksudnya.“Apakah Nyonya Eliza menganggap bahwa kau adalah saudara kembar Rania?”Nadya menoleh pelan. Wajahnya tampak campur aduk—ada kebingungan, harapan, dan ketakutan yang bertabrakan dalam sorot matanya.“Ya,” jawabnya pelan. “H
“Apakah Kalen yang memberitahu Mama soal ini?” tanya Nadya akhirnya, suaranya terdengar ragu, seperti takut pada jawaban yang akan ia dengar.Eliza menelan salivanya, sejenak menunduk untuk menenangkan degup jantung yang mulai tak beraturan. Lalu ia menganggukkan kepala dengan pelan.“Ya. Aku ingin tahu di mana orang tuamu. Dan Kalen memberitahuku bahwa kau tinggal di panti asuhan sejak usiamu masih dua tahun. Apa itu benar?”Pertanyaan itu seperti menggoreskan kembali luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Nadya menundukkan kepala, matanya mulai memanas. Dalam diam, ia mengangguk.“Ya,” jawabnya lirih, lalu menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Kami pernah bertemu sejak usia kami lima belas tahun, di sekolah yang sama… dan kembali bertemu ketika kami lulus kuliah.”Suara Nadya perlahan bergetar, seperti mencoba menahan emosi yang sudah menumpuk selama bertahun-tahun. “Dan hanya Kalen yang mau menjadi temanku... di saat yang lain memandangku rendah, hina, dan hanya sebagai seor
Eliza dan Ferdy bergegas pergi ke rumah sakit begitu mendapat kabar dari Nadya bahwa Kalen mengalami kecelakaan.Hati Eliza berdegup kencang sepanjang perjalanan, sementara genggaman tangan Ferdy di setir semakin erat, menahan kecemasan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.Sesampainya di rumah sakit, Eliza langsung melihat sosok Nadya yang terduduk lemas di bangku tunggu. Matanya sembab, wajahnya pucat.“Nadya.” Eliza segera menghampiri dan memeluk wanita itu erat, mencoba memberikan sedikit kehangatan di tengah duka yang menguar di udara. Pelukan itu terasa seperti tempat berteduh, walau hanya sejenak, dari badai yang tiba-tiba datang tanpa permisi.“Mama. Terima kasih sudah datang kemari. Maaf, sudah mengganggu waktumu,” ucap Nadya dengan suara lirih, hampir seperti bisikan yang diseret rasa bersalah.Eliza menggeleng, lalu menangkup wajah Nadya dan mengusap air mata yang membasahi pipinya. “It’s okay. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana kondisinya sekarang?” tanyanya pela