"Ini kamarmu. Kau akan tinggal di rumahku sampai Melvin berhenti menyusui."
Suara Kalen bergema di antara dinding-dinding ruangan yang luas, namun tetap terasa dingin—sedingin es yang mengiris udara malam.
Langkah-langkah mereka terdengar samar di lantai marmer, berbaur dengan denyut waktu yang terasa begitu lambat.
Begitu tiba di dalam kamar, Kalen menunjuk ke arah ranjang yang telah disiapkan. Nadya masih duduk di kursi roda, menggendong Melvin erat-erat, seolah anak itu adalah satu-satunya pegangan di dunia yang terasa semakin asing baginya.
"Kau akan tidur dengan Melvin. Setiap dua jam sekali, kau harus menyusuinya." Suara Kalen datar, nyaris tanpa emosi, tetapi sorot matanya menusuk, seakan memastikan bahwa perintahnya tak bisa diganggu gugat.
Nadya menoleh pelan, matanya mencari sesuatu di wajah pria itu—sesuatu yang dulu pernah ia kenali, tetapi kini telah berubah menjadi bayangan yang asing.
Ada pertanyaan yang berputar di benaknya, sebuah rasa ingin tahu yang begitu kuat hingga ia tak bisa menahannya lebih lama.
"Aku boleh bertanya tentang istrimu?" suara Nadya lirih, nyaris seperti bisikan angin yang takut mengusik ketenangan malam. "Kenapa dia meninggal?"
Kalen tidak langsung menjawab. Ia menelan ludahnya, tenggorokannya terasa kering seakan menelan kepedihan yang tak kunjung hilang.
Lalu, tanpa menatap Nadya, ia melangkah ke sofa dan duduk di sana. Sorot matanya kosong saat menatap Melvin—anak yang kini menjadi satu-satunya alasan ia masih bernapas.
"Kecelakaan," jawabnya akhirnya, suaranya serak seperti ranting yang patah di tengah badai. "Ada orang yang menyabotase mobilku. Mereka salah target. Sehingga Rania-lah yang harus meninggal dalam kecelakaan itu."
Nadya menutup mulutnya, napasnya tercekat oleh keterkejutan. Udara di ruangan itu seakan berubah menjadi lebih berat, menghimpitnya dengan kepedihan yang bukan miliknya, tetapi kini terasa begitu dekat.
"Aku... turut berdukacita atas kepergian istrimu," ucapnya pelan, hampir berbisik.
Kalen menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan berat. Tatapannya berubah tajam saat ia menoleh ke arah Nadya.
"Jangan pernah menanyakan tentang istriku lagi, Nadya," katanya, suaranya mengandung ketegasan yang tak bisa dibantah. "Tugasmu di sini hanya merawat dan menyusui Melvin. Tidak lebih dari itu."
Nadya mengangkat kepalanya, menatap Kalen dengan mata yang mencari kebenaran di balik ucapannya.
Namun, yang ia temukan hanyalah dinding kokoh yang tak bisa ditembus. Kata-kata Kalen seperti palu godam yang menghancurkan harapan yang bahkan belum sempat ia bentuk.
Dari caranya berbicara, dari keteguhan yang tergambar jelas di wajahnya, Nadya tahu satu hal—Kalen memang tidak akan menggantikan Rania dengan siapa pun. Sampai kapan pun.
"Memangnya kau pikir aku akan melakukan apa? Akan menculik anakmu?" ucap Nadya dengan nada sedikit kesal, mencoba menyembunyikan perasaan tak nyaman yang mulai menyelinap ke hatinya.
Kalen tidak menjawab, tetapi Nadya bisa merasakan ketegangan di udara, seperti badai yang mengintai di balik langit mendung.
"Aku… baru saja kehilangan seorang anak yang bahkan belum sempat aku gendong," lanjutnya, suaranya merendah, penuh luka yang tak kasatmata. "Mana mungkin aku tega memisahkanmu dengan anakmu."
Sorot matanya jatuh pada wajah kecil Melvin yang tertidur begitu lelap di pelukannya. Bayi itu terlihat begitu damai, tak tahu betapa dunia di sekelilingnya penuh dengan kehancuran dan kehilangan.
Tangan Kalen mengepal erat. Rahangnya mengeras, matanya berkabut.
Kata-kata Nadya, sehalus apa pun itu, telah menghantamnya tepat di bagian terdalam jiwanya—tempat di mana semua luka dan rasa bersalahnya mengendap, tak pernah benar-benar sembuh.
"Jangan memasang wajah memelas seperti itu di hadapanku, Nadya. Aku tahu kau baru saja kehilangan bayimu, bahkan diceraikan oleh suamimu. Tapi, jika kau terus-menerus terpuruk dalam kesedihan, itu hanya akan menghambat ASI-mu."
Nada suara Kalen dingin, tajam seperti angin musim dingin yang menusuk kulit. Setiap katanya terucap tanpa belas kasih, seolah ia tak peduli bahwa luka di hati Nadya masih basah, masih menganga, masih perih dengan setiap tarikan napas yang ia hembuskan.
Nadya sontak mengangkat kepalanya, sorot matanya bertemu dengan milik Kalen—tatapan yang dulu pernah ia kenali sebagai tempatnya pulang, tetapi kini hanya seonggok kebekuan tanpa cahaya.
Ada bara kecil yang menyala di dadanya, antara marah dan sedih yang bercampur menjadi satu.
"Kau benar-benar berubah, Kalen. Seolah tidak mengenalku," suaranya lirih, penuh dengan kepedihan yang tertahan. "Kenapa kau seolah membentang jarak dan bersikap arogan padaku?"
Ia bukan meminta simpati, bukan juga meminta tempat di hatinya. Yang ia inginkan hanyalah sedikit kehangatan, sedikit rasa kemanusiaan di antara kepahitan yang telah mereka jalani.
Kalen menghela napas, rahangnya mengeras, tetapi matanya tetap terjaga dalam ketenangan yang menyebalkan.
"Aku tahu kau hanya membutuhkan ASI milikku. Tapi, caramu memperlakukanku tidak lebih dari seorang pengasuh untuk anakmu," lanjut Nadya, suaranya mengandung nada getir yang tak bisa ia sembunyikan.
Matanya yang berkabut memandang pria di hadapannya, berharap menemukan sesuatu di sana—sesuatu yang bisa membuktikan bahwa Kalen bukan hanya pria tak berperasaan seperti yang terlihat di permukaan.
"Kau takut aku akan menggantikan posisi Rania di hatimu?"
Nadya tersenyum lirih, senyum yang bukan berasal dari kebahagiaan, melainkan dari kepedihan yang mengalir begitu dalam.
Ia terkekeh kecil, tetapi suaranya terdengar seperti pecahan kaca yang mengiris udara.
"Hanya karena kita pernah saling mencintai, lima tahun yang lalu."
Ucapannya menggantung di udara, meninggalkan bayangan masa lalu yang kini hanya tinggal abu.
Nadya menghela napas panjang, membiarkan keheningan menyusup di antara mereka. Angin malam yang masuk melalui celah jendela berbisik pelan di telinganya, membawa kenangan yang selama ini ia simpan di sudut hatinya.
Kalen mengalihkan pandangan, ekspresinya tetap dingin. Ia menatap Nadya tanpa sedikit pun getaran di matanya, seolah kata-kata wanita itu tak lebih dari angin lalu yang tak berarti apa-apa baginya.
"Aku bahkan tidak pernah berpikir seperti itu." Suaranya tajam, seperti pisau yang menggores luka lama, membuatnya kembali berdarah.
"Asal kau tahu, Nadya. Kesalahan yang kau buat padaku lima tahun yang lalu berhasil disembuhkan oleh Rania. Tidak akan pernah aku ulangi lagi.”
Nadya terdiam. Dadanya terasa sesak, seperti ada batu besar yang menghimpit paru-parunya.
Kalen mengatakannya dengan begitu mudah, tanpa beban, seolah lima tahun yang lalu hanyalah mimpi buruk yang ingin segera ia lupakan.
“Kau hanya salah paham, Kalen. Aku bisa menjelaskan semuanya—”
“Tidak perlu!” potong Kalen seolah tak ingin mendengarkan apa pun dari mulut Nadya.
Sorot matanya yang tajam siap menghantam dada Nadya lagi. "Jika bukan karena anakku alergi susu formula, mana mau aku menjadikanmu ibu susu untuk anakku!”
“Kau sudah menemukan orang yang mau mendonorkan ASI-nya untuk Melvin?”Suara Nala, ibu Kalen, terdengar tegas saat langkah anggunnya memasuki ruang tamu yang luas.Sorot matanya tajam, penuh wibawa, seperti seorang ratu yang baru saja kembali untuk menginspeksi kerajaan yang ditinggalkannya.Kalen yang duduk di sofa meletakkan cangkir kopinya dengan pelan, seolah sedang mempertimbangkan kata-kata yang tepat sebelum menjawab.“Sudah. Bayinya meninggal dunia, dan dia masih memproduksi ASI dalam jumlah yang cukup banyak,” ucapnya, suaranya lebih pelan dari biasanya.Nala mengangguk pelan, tetapi tatapan matanya masih menyelidik. “Kalau begitu, Mama ingin bertemu dengannya.”Kalen mendesah pelan, tubuhnya menegang. “Jangan hari ini, Ma. Dia masih—”“Kenapa tidak?” Nala memotong tanpa ragu, suaranya naik sedikit, mencerminkan ketidaksabarannya. “Kau tidak asal pilih ibu susu untuk anakmu, kan?”Sorot matanya kini penuh curiga, menusuk Kalen seolah berusaha mengungkap rahasia yang tersembun
“Lagi pula, Nadya hanya seorang perawat Melvin. Tidak lebih dari itu,” ucap Kalen, suaranya dingin bak angin malam yang menggigit tulang, menegaskan bahwa Nadya bukanlah bagian dari kepentingannya, bukanlah seseorang yang layak diperhitungkan dalam hidupnya.Nadya menoleh perlahan, seperti boneka porselen yang retak, matanya memburam oleh luka yang mendadak mengiris relung hatinya.Dadanya bergemuruh hebat, bukan karena amarah semata, melainkan oleh kepedihan yang menggulung-gulung, menyesakkan, membelitnya dalam ketidakberdayaan.Kata-kata Kalen menamparnya tanpa ampun, menjadikannya sekadar bayangan samar di dunia yang tak lagi memerlukannya.“Jadi, Mama tidak perlu khawatir terjadi sesuatu pada Melvin. Aku akan terus memantaunya setiap hari. Dan jika bukan karena tidak ada pilihan lain, aku pun tidak ingin memilih Nadya sebagai ibu susu Melvin.”Nada suara itu, tajam seperti ujung pisau yang dihunuskan tepat ke jantungnya. Di mata Kalen, ia bukanlah siapa-siapa.Tidak lebih dari se
“Tidak!” Nadya menggeleng cepat, seolah mencoba mengusir tuduhan yang baru saja dilontarkan Kalen. Dadanya bergemuruh, sementara tatapannya berusaha menembus dinding kebencian yang lelaki itu bangun di antara mereka.Kalen menyipitkan matanya, sorotnya tajam, menusuk hingga ke dasar hatinya. “Kalau begitu, kenapa kau bersikeras ingin menjelaskan hal yang tak ingin aku dengar?” suaranya terdengar seperti dentingan baja, dingin dan tak tergoyahkan.Nadya menelan ludah, mencoba menenangkan gejolak dalam dirinya. “Agar kau berhenti membenciku,” suaranya lirih, hampir lenyap ditelan udara di antara mereka.Kalen tertawa kecil, tapi tawa itu lebih menyerupai sengatan sarkasme yang mematikan. “Aku tidak akan melupakan semuanya,” bisiknya, suaranya mengandung api yang telah lama membara dalam dadanya. “Aku ingin kau tahu betapa hancurnya hidupku saat itu, Nadya!”Dengan satu gerakan, ia bangkit dari duduknya, tubuhnya menjulang dalam ketegasan yang tak tergoyahkan. Matanya, sedingin musim din
Nadya menarik napas panjang, mencoba menenangkan debar jantungnya yang tak beraturan.Ia menatap Kalen dengan tatapan tak tergoyahkan, lalu berkata dengan nada yang jernih namun sarat makna,“Aku ingin dibayar setiap bulan,” ulang Nadya kembali.Alis Kalen sedikit terangkat, matanya yang tajam menyipit. “Untuk apa?”Nadya tersenyum tipis, sebuah senyum yang lebih mirip tamparan halus daripada ekspresi kebahagiaan.“Agar aku bisa membeli rumah. Aku tidak akan selamanya di sini. Dua tahun lagi, aku harus pergi, dan aku butuh tempat untuk melanjutkan hidupku.”Sejenak, hanya keheningan yang menjawab.Kalen tetap diam, matanya mengunci pada wajah Nadya seolah mencari celah di balik kata-kata yang baru saja keluar dari bibirnya.Hatinya menggeram pelan, tapi ia tak mengerti mengapa ada sesuatu yang menusuk dadanya ketika mendengar wanita itu berbicara tentang kepergian.Nadya menatapnya dengan sorot penuh tantangan. “Kenapa diam?” suaranya lirih, namun menggema bagai gemuruh di kepala Kale
"Buatkan aku kopi."Suara berat itu menggema di ruangan, membuat Nadya spontan menoleh. Matanya membelalak tipis, memastikan apakah ia tidak salah dengar."Buatkan kopi?" ulangnya, nyaris tak percaya.Kalen menatapnya dengan dingin, tangan terselip di saku celana, posturnya tegak tanpa cela. "Ya," jawabnya santai, seolah itu adalah permintaan paling wajar di dunia."Selain merawat Melvin, kau juga harus merawatku, memberikan apa pun yang aku butuhkan."Dada Nadya bergemuruh hebat, amarah dan keterpaksaan bercampur menjadi satu.Tangan mungilnya mengepal erat, kukunya hampir menancap ke telapak tangannya sendiri. Betapa lancangnya pria itu, menuntutnya seolah ia adalah pelayan pribadi!Seakan belum cukup merendahkannya, Kalen menambahkan dengan nada penuh sindiran, "Kau ingin dibayar setiap bulan, kan? Maka dari itu, lakukan pekerjaan lain di rumah ini."Nadya merasakan sesuatu yang pahit menjalari tenggorokannya. Ia ingin menolak, ingin membalas kata-kata Kalen dengan sesuatu yang leb
"Kau jahat sekali, Kalen."Suara Nadya bergetar, lirih namun sarat dengan luka yang menganga. Matanya berkilat, menahan air mata yang hampir luruh, tapi Kalen hanya menyunggingkan senyum sinis—senyum yang begitu tajam, menusuk tanpa belas kasihan."Ucapanmu benar-benar tidak bisa difilter sama sekali," lanjutnya, suaranya hampir tercekat.Namun, bukannya merasa bersalah, Kalen justru menyandarkan punggungnya dengan santai, seakan menikmati bagaimana kata-katanya menghancurkan hati Nadya perlahan-lahan."Terima nasib saja, Nadya," ucapnya dingin. "Memang itu takdir yang harus kau lalui."Nadya mencengkeram roknya erat, kuku-kukunya hampir menembus kain."Kau pikir karma itu tidak ada?" lanjut Kalen, tatapannya begitu menusuk. "Tentu saja ada. Dan bukti bahwa karma itu nyata adalah kau diceraikan oleh suamimu dan anakmu meninggalkanmu."Dunia seakan berhenti berputar.Dadanya seperti dihantam batu raksasa, menghancurkan sisa-sisa pertahanan yang ia miliki. Kata-kata Kalen bergema di kep
“Kau sudah dengar, kan? Kalen sudah tidak mencintaimu!”Suara Nala meluncur tajam, memenuhi ruang tamu dengan hawa kebencian yang menggumpal di udara.Pagi itu, ia datang ke rumah dengan langkah mantap, memastikan Nadya benar-benar memahami tempatnya.Nadya hanya diam, menatap wajah wanita yang sejak dulu tak pernah benar-benar menerimanya.Ada bara dendam yang bersemayam di mata Nala, sebuah bara yang tak akan padam meskipun waktu terus bergulir.Namun, alih-alih terpancing, Nadya mencoba tersenyum. Senyum yang rapuh, tapi tetap teguh. Ia mengangguk pelan, lalu berbisik dengan suara yang nyaris tak terdengar, “Aku juga tidak mengharapkan Kalen untuk mencintaiku.”Matanya berkabut, namun ia menolak untuk menitikkan air mata di hadapan Nala. “Aku sudah tidak mencintainya.”Kalimat itu keluar begitu saja, meski hatinya tak benar-benar yakin apakah itu sebuah kebenaran atau hanya sekadar pelarian. “Aku ada di sini hanya untuk bekerja, untuk menyusui Melvin. Tidak lebih.”Mendengar itu, b
“Untuk apa mendekati pengkhianat seperti Nadya?”Suara Kalen terdengar tajam, sarat dengan kebencian yang telah mengakar bertahun-tahun.Matanya menyala penuh bara saat menatap Julian, seolah pria itu baru saja mengucapkan sesuatu yang benar-benar tak masuk akal.“Kuingatkan sekali lagi, Julian. Nadya bukan wanita yang pantas untuk dicintai!”Julian menghela napas kasar, kedua tangannya terangkat sebelum kembali dijatuhkan di sisi tubuhnya. “Astaga, Kalen. Sampai kapan kau akan menyimpan kebencian ini?” suaranya sarat dengan kelelahan.Namun, Kalen hanya menatapnya dengan rahang yang mengeras, kepalan tangannya membuktikan betapa ia tak ingin mendengar satu pun pembelaan terhadap wanita yang telah menghancurkannya.Julian mendekat, menatap langsung ke dalam mata sahabatnya itu. “Melvin membutuhkan Nadya, Kalen. Kau sadar itu, bukan?”Kalen mengerjapkan matanya, ekspresinya sedikit berubah, namun tetap tak menjawab.“Bayi itu hidup karena Nadya. Nafasnya bergantung pada wanita yang kau
Langit malam begitu gelap tanpa bintang. Di sebuah sudut kota yang sepi dan nyaris terlupakan, berdiri sebuah gudang tua yang sudah lama tak digunakan.Tapi malam itu, gudang yang tampak tak bernyawa itu justru hidup. Musik keras berdentum dari dalam, disertai gelak tawa dan aroma menyengat yang tak sedap.Di situlah Romeo, seorang bandar narkoba yang cukup terkenal di kalangan hitam, sedang berpesta dengan puluhan anak buahnya.Tiba-tiba, suasana berubah drastis.“BRAK! BRAK!”Suara tembakan peringatan menggema. Sirine meraung menembus udara malam.Lampu sorot dari mobil polisi membanjiri kegelapan gudang, menyilaukan mata semua orang di dalamnya. Kepanikan langsung merebak."POLISI! JANGAN BERGERAK!" teriak seorang anggota tim khusus bersenjata lengkap.Beberapa orang mencoba melarikan diri, tapi tak sempat jauh. Mereka langsung disergap dan diborgol di tempat. Di antara mereka, Romeo berdiri terpaku. Matanya membola, tubuhnya gemetar.“Apa-apaan ini?!” pekiknya. “Lepaskan aku! Kali
“Kau… tidak sedang bercanda, kan?” ucap Kalen dengan suara serak, nyaris tercekat. Sorot matanya penuh dengan keterkejutan yang belum sempat ia sembunyikan.Tatapannya menusuk dalam ke mata Nadya, seolah ingin menemukan secuil kebohongan di sana—namun tak ada. Yang ada hanya ketulusan yang terpancar begitu jelas.Nadya menggeleng pelan, nyaris seperti anak kecil yang merasa takut telah menyakiti seseorang.“Aku tahu, ini berita yang sangat berat dan sulit untuk dipercaya. Tapi kenyataannya memang seperti itu, Kalen…” Nadanya lembut, namun mengandung guncangan emosi yang ia tahan keras-keras agar tidak tumpah.“Dan kau harus menyadari satu hal… Melvin hanya ingin meminum ASI dariku. Karena hatinya tahu… aku adalah bagian dari Rania.”Kalen terdiam. Wajahnya tak bergerak, tapi matanya—matanya berbicara banyak. Penuh kebingungan, penuh guncangan, dan juga rasa tak percaya yang luar biasa.Tubuhnya masih, namun dadanya terasa bergemuruh. Dunia seolah bergeser dari tempatnya.“Kau… tidak b
“Apa yang Amora katakan padamu?” tanya Kalen pelan, matanya langsung menatap Nadya ketika wanita itu kembali masuk ke kamar rawatnya.Suaranya terdengar tenang, namun matanya menyiratkan rasa ingin tahu.Nadya menghela napas singkat, lalu duduk di depan Kalen, menatap pria yang kini tengah terbaring dengan selang infus di lengannya.“Aku pikir dia tidak ingin bertemu denganmu. Rupanya dia tidak ingin bertemu dengan John. Dan dia tidak mau memberitahu alasannya.”Kalen menaikkan sebelah alisnya, kebingungan tergambar jelas di wajahnya. “Ada apa dengan mereka?”Nadya mengangkat bahu, lalu memiringkan kepalanya sejenak. “Aku pun tidak tahu. Tapi, aku penasaran.”Kalen terkekeh, tawa kecilnya terdengar renyah meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih. “Kau penasaran karena Amora adalah adikmu, hm? Jangan khawatir. Kalaupun mereka menjalin hubungan, John pria baik-baik. Kau mengenalnya sejak lama.”Nadya mengangguk perlahan, matanya menerawang. “Ya, aku tahu. Tapi tetap saja, aku ingin tahu ap
Dering ponsel Nadya memecah keheningan di ruang rawat itu. Ia melihat layar ponsel, dan nama "Amora" tertera jelas di sana—nama yang entah mengapa membawa campuran rasa asing dan akrab di hati Nadya. Ia segera menjawab.“Halo, Amora?” sapanya, mencoba terdengar tenang.“Kau masih di rumah sakit? Aku ada di kafetaria. Apa kau bisa menemuiku?” tanya Amora dari seberang, suaranya terdengar pelan, nyaris ragu.Nadya terdiam sejenak, bingung dengan permintaan itu. “Kenapa tidak kemari saja, Amora? Aku ada di ruang rawat Kalen dan hanya kami berdua saja.”“Tidak bisa, Nadya. Aku tidak bisa bertemu dengan Kalen. Aku masih canggung jika bertemu dengannya,” ucap Amora, lirih—seperti menyembunyikan lebih banyak luka daripada yang ia izinkan terdengar.Nadya menghela napas pelan. Ada sesuatu dalam nada suara Amora yang membuat dadanya ikut sesak. “Ya sudah. Aku akan ke sana beberapa menit lagi.”Ia menutup panggilan itu, lalu menoleh ke arah Kalen. Ia duduk di kursi dekat ranjang, menatap wajah
“Kalen. Kau sudah membaik?” Robin menghampiri Kalen yang sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Udara di ruangan itu masih terasa sunyi, hanya diisi suara mesin infus dan napas tenang Kalen yang perlahan mulai kembali normal.Kalen mengangguk pelan, tubuhnya masih tampak lemah, tapi sorot matanya sudah kembali hidup. “Ya. Sudah sedikit membaik meski harus dirawat beberapa hari lagi,” jawabnya dengan suara parau.“Ada apa, Robin? Kau menemukan sesuatu?” tanyanya kemudian, sedikit menegakkan tubuhnya meski terasa nyeri.Robin mengangguk dan duduk di kursi dekat ranjang. Ia menyerahkan sebuah map berisi data, ekspresinya serius dan tegang.“Ya. Aku sudah menemukan data tentang anak ibumu. Dia bekerja sebagai bandar narkoba dan menggunakan identitas palsu,” ujar Robin, nada suaranya rendah tapi tegas.“Huh? Anak Nyonya Nala?” ucap Nadya yang sedang menyuapi Melvin di pojok ruangan. Sontak ia menghampiri mereka dengan raut terkejut.“Kau… memiliki saudara, Kalen?” tanyanya lirih, seolah ka
Dua hari kemudian, hasil tes DNA akhirnya keluar—dua hari yang terasa seperti seumur hidup bagi Eliza.Pagi itu, langit sedikit mendung, seolah ikut menahan napas menunggu akhir dari kisah pencarian panjang yang telah membebani hati seorang ibu selama lebih dari dua dekade.Di rumah sakit, suasana di dalam ruang dokter terasa hening. Hanya suara detak jarum jam dan embusan AC yang terdengar samar.Eliza, Ferdy, dan Nadya duduk bersebelahan, tapi hati mereka melayang entah ke mana. Kegelisahan menyelimuti mereka semua.Dokter yang menangani mereka masuk sambil membawa sebuah map putih. Ia tersenyum lembut, mencoba meredakan ketegangan yang terasa di ruangan itu.“Ini hasilnya. Anda bisa melihatnya secara langsung,” ucapnya seraya menyerahkan kertas itu ke Eliza.Tangan Eliza bergetar saat menerimanya. Ia menoleh pada Ferdy, dan suaminya mengangguk pelan—sebuah isyarat yang membawa kekuatan. Ia membuka kertas itu perlahan, seakan takut waktu berhenti begitu hasil itu terbaca.Matanya me
“Kenapa Nyonya Eliza ingin melakukan tes DNA denganmu, Nadya?” tanya Shopia begitu menghampiri, tepat setelah Nadya keluar dari ruang laboratorium bersama Eliza.Udara sore itu terasa lebih berat dari biasanya.Eliza dan suaminya sudah lebih dulu pulang, meninggalkan Nadya dalam ruang sunyi yang seolah masih dipenuhi gema langkah-langkah mereka dan desiran kenangan yang belum selesai.Nadya menghela napas panjang, seolah berusaha meredakan gemuruh di dadanya. “Aku baru tahu... bahwa Rania memiliki saudara kembar,” ucapnya pelan, hampir seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri. “Selama ini, Kalen tidak pernah memberitahuku soal itu.”Mata Shopia sedikit menyipit, alisnya terangkat tinggi mendengar ucapan itu. “Lalu?” tanyanya, masih berusaha mencerna maksudnya.“Apakah Nyonya Eliza menganggap bahwa kau adalah saudara kembar Rania?”Nadya menoleh pelan. Wajahnya tampak campur aduk—ada kebingungan, harapan, dan ketakutan yang bertabrakan dalam sorot matanya.“Ya,” jawabnya pelan. “H
“Apakah Kalen yang memberitahu Mama soal ini?” tanya Nadya akhirnya, suaranya terdengar ragu, seperti takut pada jawaban yang akan ia dengar.Eliza menelan salivanya, sejenak menunduk untuk menenangkan degup jantung yang mulai tak beraturan. Lalu ia menganggukkan kepala dengan pelan.“Ya. Aku ingin tahu di mana orang tuamu. Dan Kalen memberitahuku bahwa kau tinggal di panti asuhan sejak usiamu masih dua tahun. Apa itu benar?”Pertanyaan itu seperti menggoreskan kembali luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Nadya menundukkan kepala, matanya mulai memanas. Dalam diam, ia mengangguk.“Ya,” jawabnya lirih, lalu menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Kami pernah bertemu sejak usia kami lima belas tahun, di sekolah yang sama… dan kembali bertemu ketika kami lulus kuliah.”Suara Nadya perlahan bergetar, seperti mencoba menahan emosi yang sudah menumpuk selama bertahun-tahun. “Dan hanya Kalen yang mau menjadi temanku... di saat yang lain memandangku rendah, hina, dan hanya sebagai seor
Eliza dan Ferdy bergegas pergi ke rumah sakit begitu mendapat kabar dari Nadya bahwa Kalen mengalami kecelakaan.Hati Eliza berdegup kencang sepanjang perjalanan, sementara genggaman tangan Ferdy di setir semakin erat, menahan kecemasan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.Sesampainya di rumah sakit, Eliza langsung melihat sosok Nadya yang terduduk lemas di bangku tunggu. Matanya sembab, wajahnya pucat.“Nadya.” Eliza segera menghampiri dan memeluk wanita itu erat, mencoba memberikan sedikit kehangatan di tengah duka yang menguar di udara. Pelukan itu terasa seperti tempat berteduh, walau hanya sejenak, dari badai yang tiba-tiba datang tanpa permisi.“Mama. Terima kasih sudah datang kemari. Maaf, sudah mengganggu waktumu,” ucap Nadya dengan suara lirih, hampir seperti bisikan yang diseret rasa bersalah.Eliza menggeleng, lalu menangkup wajah Nadya dan mengusap air mata yang membasahi pipinya. “It’s okay. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana kondisinya sekarang?” tanyanya pela