Pov TaraAku paksa kaki melangkah menuju ruang Bu Amalia. Dalam hati muncul sebuah ketakutan, apa benar ia akan memecatku hanya karena aku membolos dua hari saja? Bukankah harus diberi peringatan terlebih dahulu? Pintu kuketuk pelan. Suara Bu Amalia terdengar dari balik pintu. Mendadak nyaliku menciut, dia memang wanita namun dia pemilik perusahaan ini. Orang yang dengan mudah mendepak diriku dari kantor. "Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanyaku ragu. Wanita itu diam, menelisik penampilanku dari atas ke bawah. Kepalanya menggeleng hingga satu helaan napas keluar dari mulutnya. Apa lagi yang salah dengan penampilan ini? "Kenapa kamu bolos dua hari, Tara! Laporan berantakan, ini lagi jam segini baru datang! Kamu niat kerja apa enggak? Mau saya pecat?""Jangan, Bu. Saya ke Jakarta menjemput putri saya. Tolong maafkan kesalahan saya.""Itu bukan urusanku!" Bu Amalia menatapku tajam. Kilat kemarahan tergambar jelas di netranya. Aku terdiam, menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati
Pov Alin"Mobilnya agak cepet, Yang. Perasaanku kok semakin gak enak.""Aluna pasti baik-baik saja, Sayang. Kamu yang tenang, banyak doa."Satriya segera melajukan kendaraan dengan cepat. Semakin dekat rumah Mas Tara, rasa takut semakin menyeruak masuk. Menciptakan rasa yang tak mampu kujelaskan. Mobil Mas Tara masih ada di halaman saat kami sampai. Segera kami keluar, bejalan beriringan menuju pintu. Sebuah ketukan dan ucapan salam menandakan keberadaan kami di rumah ini. "Assalamu'alaikum!" teriak kami seraya mengetuk pintu rumah. Sepi, rumah ini seolah tak berpenghuni. Ke mana perginya Mas Tara dan Aluna? Mendadak perasaanku semakin tak enak. "Bel rumah mati, ya, Yang?" tanya Satriya seraya memencet tombol warna putih itu beberapa kali. Aku menggeleng, tak tahu. Semenjak pindah ke rumah ibu dan resmi bercerai, aku tak tahu menahu tentang Mas Tara, apa lagi rumah ini. Kini memang berubah 180 derajat, entah kenapa, aku pun tak mau tahu. "Aluna! Lun... Ini mama, Nak!" Aku berter
Aku sudah seperti orang gila. Berteriak memanggil nama Aluna berulang kali. Tangis tak lagi bisa terhenti, meski banyak pasang mata menatap penuh tanda tanya. Jalan raya hingga gang kecil sudah kami jelajahi. Namun jejak Aluna tetap tak kutemukan. Entah di mana dia sekarang, aku tak tahu. "Ketemu, Yang?"Satriya mendekat, kepalanya menggeleng. Lemas, tubuhku luruh di trotoar. Tangisku kembali pecah. Aluna bak separuh jiwa, kehilangan dia bak kehilangan separuh hidupku. Entah apa yang terjadi jika ia tak kutemukan. Perlahan Satriya membantuku berdiri. Dia papah tubuh lemahku menuju mobil. Aku hanya bisa pasrah mengikuti gerakan lelakiku. "Makan dulu ya, Sayang," ucap Satriya setelah kami masuk ke mobil. "Aku gak laper. Aku mau Aluna, Yang."Satriya menghela napas, tak mampu berkata apa pun lagi. Bingung harus berbuat bagaimana. Namun dapat kulihat kekhawatiran dari sorot mata itu. "Kamu harus makan biar bisa cari Aluna. Kalau gak makan nanti kamu sakit, Yang. Bagaimana mau cari
"Kenapa, Yang?" tanya Satriya seraya melirik ke arahku. "Aluna diculik, Yang. Dia minta tebusan 100 juta. Gimana ini.""Apa!"Seketika Satriya menatapku, mengambil ponsel yang sudah mati itu. Dengan cepat menelepon kembali nomor tadi. Aku mematung, angan memikirkan jika Aluna benar-benar diculik. Rasa bersalah hadir tanpa permisi. Sungguh aku tak bisa memaafkan diriku jika itu benar-benar terjadi. Andai aku tak mengizinkan Mas Tara, mungkin Aluna masih di sampingku. "Sial nomornya gak aktif!" Satriya mengepalkan tangan di samping. "Gimana nasib Aluna, Yang?" Tangisku kembali pecah. Tak bisa dipungkiri rasa takut kian menjadi. Hingga menciptakan sesak dalam rongga dada. Aku ketakutan. Satriya memelukku, menuntun tubuh ini hingga masuk ke dalam mobil. "Bagaimana Aluna, Yang? Bagaimana kalau dia disakiti penculik itu?""Aluna pasti baik-baik saja, Yang. Kita ke rumah ibu dulu. Kita pikirkan jalan keluarnya. Penculik itu pasti akan menghubungi kita lagi. Mereka butuh uang,Yang."Ak
"Mami ...," panggil anak itu lagi. Suara anak kecil itu memang mirip dengan Aluna, tapi kenapa dia memanggilku mami, bukan mama. Seumur-umur belum pernah sekali pun dia memanggil dengan sebutan mami. Itu panggilan yang janggal bagiku. "Ini Aluna, Mi," ucapnya lirih. Dapat kulihat ketakutan dari nada suara itu. Namun seperti bukan putri kecilku. "Bukan mam...."Satriya menggenggam tanganku,kemudian menggelengkan kepala. Kembali aku diam, kata yang hendak terucap kutelan dalam tenggorokan. Satriya tahu apa yang ada di pikiranku kini. "Jangan apa-apakan putri kami," ucap Satriya. Namun ekspesi wajahnya tak khawatir seperti tadi. Apa ia merasakan hal yang sama denganku. "Berikan uang 100 juta besok sore. Waktu dan tempat akan kuberitahu nanti.""Tunggu!""Apa lagi?""Aku minta foto Aluna.""Jangan ngadi-ngadi kamu, ya. Sudah dikasih dengar suara tapi minta lebih!"Suara itu menggelegar hingga membuat nyaliku menciut. Aku dan ibu saling pandang, kami ketakutan. Bagaimana nasib Aluna j
Pov Alin"Alin, tunggu!"Aku pura-pura tak mendengar, kutarik tangan Satriya agar segera melangkah ke rumah Bu Fatimah. Aku abaikan suara Mas Tara yang terus saja memanggil namaku. Sungguh, aku benci lelaki itu. "Alin, tunggu!"Sebuah tangan mencengkeram pergelanganku. Seketika langkah kakiku terhenti. Cepat-cepat aku hempas tangan itu, Mas Tara terdiam, menatapku dengan sorot yang tak dapat aku mengerti. "Maafkan aku, Lin."PLAAAKTangan ibu melayang dan berhenti tepat di depan pipi kiri Mas Tara. Lelaki terdiam, menunduk meski dapat kulihat kemarahan di baliknya. Lebih tepatnya dia memendam amarah karena tahu dia salah. "Maaf, Bu, Al. Saya lalai menjaga Aluna. Saya salah."Aku membuang napas kasar, ingin aku maki, menamparnya berulang kali. Namun teringat dia ayah putriku, dia juga kakak suamiku. Hubungan yang rumit bagi kami. "Jangan pernah kamu ambil Aluna. Dasar ayah gak becus!" maki ibu. "Sudah, ayo, Bu!" Aku tarik tangan ibu, tak baik berdebat di depan rumah orang begini.
Membuka mataku perlahan.Namun kembali kututup karena cahaya yang menyilaukan mata. Belum lagi aroma minyak kayu putih yang menyengat. Hingga suara Satriya memaksaku membukanya kembali, memulihkan kesadaran yang sempat hilang. "Kamu gak papa, Sayang? Ada yang sakit?" tanyanya seraya menyentuh pipiku. Bahkan matanya berkaca-kaca. "Aku di mana, Yang?" Aku menoleh kanan dan kiri, hanya ada tembok putih dengan sekat tirai berwarna biru muda. "Di rumah sakit, Sayang. Tadi kamu pingsan setelah berbicara dengan Mas Tara. Lalu aku bawa kemari karena kamu gak sadar-sadar.""Aluna mana?"Bayang Aluna dibawa Mas Tara kembali menari di pelupuk mata. Rasa kecewa dan marah muncul dengan sendirinya. Kenapa ada ayah seperti mantan suamiku? Bukan memberikan kebahagiaan tapi justru memberi rasa trauma. "Ibu membawanya pulang naik taksi online karena anak kecil di larang berada di rumah sakit."Aku mengubah posisi tubuh, duduk meski kepala sedikit berdenyut. Aku tak ingin terlalu lama di sini. Kasiha
"Stop!" Pelayan itu diam, menatapku dengan kebingungan. Dia masih berdiri seraya mengawasi makanan yang ada di atas meja. "Kenapa, Yang?" Satriya menatap heran saat aku menutup hidung dengan kedua telapak tangan. "Bau, Sat! Aku gak mau!""Gak ada yang kentut, Yang. Bau apa, sih?" Satriya mendekat padaku, hidungnya mengendus aroma yang membuatku mabuk tak terkira. Namun dia tak menemukan sumber masalah yang ada di depan mata. Entah ke mana fungsi hidungnya. Aku tutup hidung semakin rapat. Bahkan napas ini mulai tersengal. Bau nasi goreng spesial ini membuat kepalaku semakin berputar-putar. Aku sudah tidak tahan lagi, lekas aku berlari menuju kamar mandi yang ada di belakang. Tanpa aku dorong cairan seperti air keluar begitu saja. Menyisakan rasa pahit yang menempel di lidah. Sepertinya aku sedang tidak enak badan. Kelelahan dan kurang makan membuat tubuhku mual seperti ini. "Kamu gak papa, Yang?" tanya Satriya yang sudah berdiri di belakangku. Lelaki yang kini menjadi suamiku i