Aku sudah seperti orang gila. Berteriak memanggil nama Aluna berulang kali. Tangis tak lagi bisa terhenti, meski banyak pasang mata menatap penuh tanda tanya. Jalan raya hingga gang kecil sudah kami jelajahi. Namun jejak Aluna tetap tak kutemukan. Entah di mana dia sekarang, aku tak tahu. "Ketemu, Yang?"Satriya mendekat, kepalanya menggeleng. Lemas, tubuhku luruh di trotoar. Tangisku kembali pecah. Aluna bak separuh jiwa, kehilangan dia bak kehilangan separuh hidupku. Entah apa yang terjadi jika ia tak kutemukan. Perlahan Satriya membantuku berdiri. Dia papah tubuh lemahku menuju mobil. Aku hanya bisa pasrah mengikuti gerakan lelakiku. "Makan dulu ya, Sayang," ucap Satriya setelah kami masuk ke mobil. "Aku gak laper. Aku mau Aluna, Yang."Satriya menghela napas, tak mampu berkata apa pun lagi. Bingung harus berbuat bagaimana. Namun dapat kulihat kekhawatiran dari sorot mata itu. "Kamu harus makan biar bisa cari Aluna. Kalau gak makan nanti kamu sakit, Yang. Bagaimana mau cari
"Kenapa, Yang?" tanya Satriya seraya melirik ke arahku. "Aluna diculik, Yang. Dia minta tebusan 100 juta. Gimana ini.""Apa!"Seketika Satriya menatapku, mengambil ponsel yang sudah mati itu. Dengan cepat menelepon kembali nomor tadi. Aku mematung, angan memikirkan jika Aluna benar-benar diculik. Rasa bersalah hadir tanpa permisi. Sungguh aku tak bisa memaafkan diriku jika itu benar-benar terjadi. Andai aku tak mengizinkan Mas Tara, mungkin Aluna masih di sampingku. "Sial nomornya gak aktif!" Satriya mengepalkan tangan di samping. "Gimana nasib Aluna, Yang?" Tangisku kembali pecah. Tak bisa dipungkiri rasa takut kian menjadi. Hingga menciptakan sesak dalam rongga dada. Aku ketakutan. Satriya memelukku, menuntun tubuh ini hingga masuk ke dalam mobil. "Bagaimana Aluna, Yang? Bagaimana kalau dia disakiti penculik itu?""Aluna pasti baik-baik saja, Yang. Kita ke rumah ibu dulu. Kita pikirkan jalan keluarnya. Penculik itu pasti akan menghubungi kita lagi. Mereka butuh uang,Yang."Ak
"Mami ...," panggil anak itu lagi. Suara anak kecil itu memang mirip dengan Aluna, tapi kenapa dia memanggilku mami, bukan mama. Seumur-umur belum pernah sekali pun dia memanggil dengan sebutan mami. Itu panggilan yang janggal bagiku. "Ini Aluna, Mi," ucapnya lirih. Dapat kulihat ketakutan dari nada suara itu. Namun seperti bukan putri kecilku. "Bukan mam...."Satriya menggenggam tanganku,kemudian menggelengkan kepala. Kembali aku diam, kata yang hendak terucap kutelan dalam tenggorokan. Satriya tahu apa yang ada di pikiranku kini. "Jangan apa-apakan putri kami," ucap Satriya. Namun ekspesi wajahnya tak khawatir seperti tadi. Apa ia merasakan hal yang sama denganku. "Berikan uang 100 juta besok sore. Waktu dan tempat akan kuberitahu nanti.""Tunggu!""Apa lagi?""Aku minta foto Aluna.""Jangan ngadi-ngadi kamu, ya. Sudah dikasih dengar suara tapi minta lebih!"Suara itu menggelegar hingga membuat nyaliku menciut. Aku dan ibu saling pandang, kami ketakutan. Bagaimana nasib Aluna j
Pov Alin"Alin, tunggu!"Aku pura-pura tak mendengar, kutarik tangan Satriya agar segera melangkah ke rumah Bu Fatimah. Aku abaikan suara Mas Tara yang terus saja memanggil namaku. Sungguh, aku benci lelaki itu. "Alin, tunggu!"Sebuah tangan mencengkeram pergelanganku. Seketika langkah kakiku terhenti. Cepat-cepat aku hempas tangan itu, Mas Tara terdiam, menatapku dengan sorot yang tak dapat aku mengerti. "Maafkan aku, Lin."PLAAAKTangan ibu melayang dan berhenti tepat di depan pipi kiri Mas Tara. Lelaki terdiam, menunduk meski dapat kulihat kemarahan di baliknya. Lebih tepatnya dia memendam amarah karena tahu dia salah. "Maaf, Bu, Al. Saya lalai menjaga Aluna. Saya salah."Aku membuang napas kasar, ingin aku maki, menamparnya berulang kali. Namun teringat dia ayah putriku, dia juga kakak suamiku. Hubungan yang rumit bagi kami. "Jangan pernah kamu ambil Aluna. Dasar ayah gak becus!" maki ibu. "Sudah, ayo, Bu!" Aku tarik tangan ibu, tak baik berdebat di depan rumah orang begini.
Membuka mataku perlahan.Namun kembali kututup karena cahaya yang menyilaukan mata. Belum lagi aroma minyak kayu putih yang menyengat. Hingga suara Satriya memaksaku membukanya kembali, memulihkan kesadaran yang sempat hilang. "Kamu gak papa, Sayang? Ada yang sakit?" tanyanya seraya menyentuh pipiku. Bahkan matanya berkaca-kaca. "Aku di mana, Yang?" Aku menoleh kanan dan kiri, hanya ada tembok putih dengan sekat tirai berwarna biru muda. "Di rumah sakit, Sayang. Tadi kamu pingsan setelah berbicara dengan Mas Tara. Lalu aku bawa kemari karena kamu gak sadar-sadar.""Aluna mana?"Bayang Aluna dibawa Mas Tara kembali menari di pelupuk mata. Rasa kecewa dan marah muncul dengan sendirinya. Kenapa ada ayah seperti mantan suamiku? Bukan memberikan kebahagiaan tapi justru memberi rasa trauma. "Ibu membawanya pulang naik taksi online karena anak kecil di larang berada di rumah sakit."Aku mengubah posisi tubuh, duduk meski kepala sedikit berdenyut. Aku tak ingin terlalu lama di sini. Kasiha
"Stop!" Pelayan itu diam, menatapku dengan kebingungan. Dia masih berdiri seraya mengawasi makanan yang ada di atas meja. "Kenapa, Yang?" Satriya menatap heran saat aku menutup hidung dengan kedua telapak tangan. "Bau, Sat! Aku gak mau!""Gak ada yang kentut, Yang. Bau apa, sih?" Satriya mendekat padaku, hidungnya mengendus aroma yang membuatku mabuk tak terkira. Namun dia tak menemukan sumber masalah yang ada di depan mata. Entah ke mana fungsi hidungnya. Aku tutup hidung semakin rapat. Bahkan napas ini mulai tersengal. Bau nasi goreng spesial ini membuat kepalaku semakin berputar-putar. Aku sudah tidak tahan lagi, lekas aku berlari menuju kamar mandi yang ada di belakang. Tanpa aku dorong cairan seperti air keluar begitu saja. Menyisakan rasa pahit yang menempel di lidah. Sepertinya aku sedang tidak enak badan. Kelelahan dan kurang makan membuat tubuhku mual seperti ini. "Kamu gak papa, Yang?" tanya Satriya yang sudah berdiri di belakangku. Lelaki yang kini menjadi suamiku i
"Hamil?" Satriya yang baru datang seketika menatapku lekat. Raut tanda tanya tergambar jelas di sana. Sama sepertiku, dia terkejut dengan ucapan ibu. "Iya, Lin, kamu pasti hamil. Sudah haid belum?" tanya ibu seraya berjalan mendekat ke arahku. Piring berisi telur dadar ibu bawa kian mendekat. Aroma yang sempat memudar kini terasa menusuk hidung. Isi perutku pun kembali keluar. Lemas, hingga aku kemudian menutupnya lagi karena cahaya yang menyilaukan. Pusing, rasa itu kian memenuhi kepalaku. Bahkan benda-benda itu seolah berputar-putar."Masih pusing, Yang?" Satriya menggenggam tanganku, menatap diri ini dengan penuh kekhawatiran. "Benda-benda berputar-putar gini, Sat. Itu lemari kenapa bergoyang-goyang?" Aku menunjuk lemari yang berputar seperti gangsing. "Ini karena kamu gak makan, Yang. Kamu mau makan apa? Aku beliin apa masakin?" Satriya terus saja mengomel ini dan itu. Dia seperti radio yang tak ada hentinya menyala. Namun aku tahu, ada kepedulian dalam setiap kata-katanya
Seketika aku dan Satriya saling pandang. Sama halnya denganku, Satriya pun tak tahu harus menjawab apa. Situasi ini sangat menyulitkan diriku. Apa yang harus aku jawab? "Aku gak mau punya adik, Ma. Aku gak mau!" teriaknya seraya berlari pergi. Tak lama suara pintu dibanting terdengar jelas. Aluna marah, dia berlari masuk kamar. Suara tangis pun terdengar hingga di ruang keluarga. Karena memang ruangan ini bersebelahan dengan kamar ibu dan bapak. Aku beranjak, menyingkirkan kursi yang menghalangi langkah kakiku. Namun sebuah tangan menghentikan gerakan kakiku. Satriya menggeleng, memintaku untuk duduk kembali. "Biar aku saja, Yang. Kamu habiskan asinan itu dulu."Satriya pun segera melangkah menuju kamar. Dia ketuk pintu kemudian masuk tanpa dipersilakan oleh pemiliknya. Aku berharap lelaki itu mampu meluluhkan hati Aluna. Menyembuhkan luka karena goresan tangan Mas Tara, ayah kandungnya. "Buruan dimakan, Lin. Nanti ada lalat yang masuk."Kembali aku melihat mangkuk di hadapan. As
"Alin, kenapa diam?""Aku kangen ibu, jadi pulang ke kampung.""Sejak kapan putri ibu belajar berbohong? Zaman sudah modern, tak perlu jauh-jauh untuk bisa bertatap muka? Ponsel ada, kan. Apa lagi kamu sedang masa pemulihan, tak bagus melakukan perjalanan jauh, Lin."Aku membisu, memang benar perkataan ibu. Tak mungkin beliau percaya dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Aku tak pandai membuat alasan yang tepat, selalu saja ketahuan. "Ceritakan, Lin.""Bukan di sini, Bu. Nanti malam saja."Ibu mengangguk, menyetujui perkataanku. Karena memang tak baik membicarakan masalah yang menyangkut Satriya tepat di hadapan putri kecilku. Dia memang diam, tapi otaknya merekam semua percakapan kami. Tak menutup kemungkinan kata-kata kami menyakiti hatinya. ***Di sini kami, duduk di teras seraya menatap malam. Tak ada Aluna, dia sudah terlelap setelah azan magrib. Perjalanan jauh membuat dia lelah hingga tidur lebih awal. "Kalian bertengkar?" Ibu menatap penuh selidik. Sebuah anggukan membe
Nada dering panggilan masuk menghentikan lamunanku. Sesaat Aluna menggeliat, suara ponsel itu sedikit mengusik tidurnya. Aluna baru saja terlelap setelah perjalanan panjang dan sesekali beristirahat karena nyeri terkadang terasa. Benda pipih itu terus saja bernyanyi meski kubiarkan hingga bungkam dengan sendirinya. Aku melirik jam yang melingkar di tangan, hampir tengah malam. Kurasa Satriya baru saja pulang, dia tak menemukan keberadaanku hingga terpaksa menelepon. Ponsel sengaja aku non aktifkan, biarlah Satriya kebingungan untuk sementara waktu. Aku hanya lelah dengan sikapnya akhir-akhir ini. Tak bisakah ia sadar, jika semua ini takdir yang sudah Allah gariskan pada kami. Sebagai seorang ibu, aku pun terpukul atas kepergian Finziya. Putri kecil yang kami nantikan justru kembali pada Sang Pemilik. Bayangan tangis dan tawa saat aku menimangnya harus hilang dalam sekejap mata. Sebenernya akulah yang paling terpukul dan nyaris depresi. Sebagai seorang ibu, aku merasa gagal melind
Pov Satriya[Apa kabar, Sat? Benar perkataanku, kan ... Aluna akan menjadi tembok pembatas antara kamu dan Alin. Harusnya kamu sadar, hanya aku papanya, bukan kamu.]Aku mengepalkan tangan di atas meja. Amarah yang belum mereka kini kembali meledak. Tuhan, kenapa kakakku sendiri yang berniat merusak rumah tanggaku? Ponsel kuletakkan kembali di atas meja. Menyalakan laptop Niko yang sempat kupijam. Tanganku menari di atas mouse, mengedit foto klien. Namun pikiran bercabang membuat hasil edit tak memuaskan, aku tak bisa fokus saat masalah memenuhi kepalaku. Aku mengusap wajah kasar, mengeluarkan emosi yang sempat memenuhi rongga dada. Lelah, satu kata yang kini aku rasakan. Ingin aku berteriak, namun nyatanya ini bukan tempat yang tepat. Nada dering panggilan masuk kembali menyita perhatianku. Kulirik layar benda pipih yang tergeletak di atas meja. Untunglah bukan nama Tara yang muncul di sana. Aku tak mampu mengontrol emosi jika lelaki itu kembali menghubungiku. Namun rasa lega hil
Pov Satriya"Aluna!"Aku berteriak kala es teh dalam gelas tumpah tepat di atas laptop. Cepat-cepat aku cabut kabel charger yang masih menempel di laptop. Membalikkan benda pintar itu, mengelap bekas air yang masih melekat. "Aluna, kenapa bisa tumpah? "Gadis kecil itu berdiri di tempat seraya menangis sesenggukan. Bulir demi bulir terus saja jatuh membasahi pipinya. Namun entah kenapa aku tak iba, rasa kesal justru semakin mengakar. "Mama!"Bukannya menjawab, Aluna justru berteriak memanggil Alin. Dia persis seperti Mas Tara ketika kecil, mengadu, dan mencari perlindungan di punggung mama. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Alin begitu terkejut melihat keadaan ruang keluarga. Apa lagi melihat laptop yang tengah kukeringkan dengan tisu. Belum lagi beberapa foto tersiram air. "Tanyakan saja pada anakmu!"Tangis Aluna kian menjadi seiring suaraku yang memekik. "Kenapa bisa tumpah, Nak?"Hanya tangisan yang keluar dari mulut mungil itu. Entah, lama-lama aku menjadi bosan. Bosan dengan
Dua hari setalah kalimat menyakitkan menghantam hatiku. Kini kembali kami saling diam, seolah ada tembok pembatas meski kami berada dalam satu ranjang. Bahkan kami saling beradu punggung. Sibuk dengan rasa sakit masing-masing. Titik demi titik jatuh membasahi pipi. Aku menangis dalam diam, keluar sudah sesak dalam rongga dada. Menyakitkan, tapi tak mampu kujawab perkataan Satriya. "Gara-gara Aluna, anakku meninggal!"Kalimat itu terus saja terngiang di telinga. Sesak, dadaku seakan terhimpit batu besar, hingga menghirup udara begitu susah. Kenapa Satriya tega mengatakan hal itu? Kenapa? Tarikan napas dan denting jam terdengar jelas di telinga. Keheningan menciptakan atmosfer yang berbeda di kamar ini. Rasa nyaman yang dulu melekat seolah hilang dalam satu kedipan mata. Kembali aku pejamkan mata saat merasakan gerakan di ranjang. Tak lama langkah kaki menjauh hingga gesekan pintu terdengar jelas di telingaku. Satriya pergi seperti kemarin malam. Setelah merasa aman, aku pun memba
"Hati-hati, jangan mengulangi hal yang sama. Ngerti!"Satriya berlalu pergi seraya membawa kamera. Tak lama terdengar suara mobil menjauh. Dia bekerja tanpa mengucapkan salam, apa lagi sarapan. Aku menghela napas, membuang rasa sesak dalam dada. Tak bisa aku pungkiri, ucapan Satriya menyakiti hati. Bukankah kematian adalah takdir, bukan salah Aluna. Dia masih terlalu kecil untuk menanggung kesalahan. "Ma ...."Aluna memeluk tubuhku sambil tersedu, dia menangis mendengar bentakan ayah sambungnya. "Aluna geser dulu, Nak."Perlahan Aluna berjalan hingga berhenti dan menempel tembok. Air matanya masih menetes, dia takut dengan bentakan Satriya. "Aluna di situ dulu, ya. Mama mau bersihin tumpahan airnya."Segera aku ambil pel, membersihkan genangan air yang ada di lantai. Harus segera dibersihkan agar tidak menjatuhkan orang lain, termasuk Aluna. Setelah selesai kami pun sarapan berdua. Ya, hanya berdua karena Satriya sudah berangkat terlebih dahulu. "Aluna libur dulu, ya," ucapku se
"Aluna tidak kamu ajak, Pi?"Satriya menolah tapi kembali sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas. Mulut lelakiku masih membisu, tak ada sepatah kata yang keluar saat ia tiba di sini. "Rumah sakit pasti memperbolehkan kalau untuk menjemput pasien, Pi. Dia pasti merindukan aku.""Dia sama ibu di rumah," jawab Satriya datar. Satriya kembali membereskan barang-barang kami. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ya, semenjak kematian putri kami, Satriya menjadi pendiam. Tak ada tawa apa lagi kekonyolan yang biasa ia lakukan. Dia tenggelam dalam luka dan kesedihan. Sebenarnya bukan hanya dia yang kehilangan, aku pun merasakan hal yang sama. Namun hidup harus terus berjalan sekali pun dengan luka yang melekat. "Sebentar, aku panggilkan suster."Satriya keluar dari ruang rawat inapku. Sepi, kurasakan itu lagi. Perasaan bersalah hadir tanpa kuminta. Seandainya aku hati-hati, mungkin putri kecilku akan baik-baik saja. Suara pintu dibuka menyentak lamunanku. Aku menoleh, Satriya masuk bers
"Bayiku di mana, Sus?"Kembali aku menanyakan hal yang sama. Namun lagi dua perempuan berpakaian serba putih itu hanya diam membisu. Seolah ada sesuatu yang mereka tutupi. Apa jangan-jangan .... "Kita ke kamar inap dulu, ya, Bu."Kedua suster kembali mendorong brankar, tempatku terbaring tak berdaya. Aku menatap lurus ke atas dengan pandangan kosong. Beberapa prasangka kembali menari dalam angan. Bayang bayi mungil yang belum kulihat terlintas berulang kali. Suara gesekan roda brankar dan lantai bak sirine yang membuat orang-orang menyingkir kala kami lewat. Sempat kulihat beberapa pasang mata mencuri pandang ke arahku. Mungkin bertanya-tanya karena aku hanya seorang diri tanpa ada kelurga yang menemani. Apa lagi baru keluar dari ruang operasi. Pintu kamar dibuka, kosong tak ada Satriya di sana. Prasangka kembali memenuhi isi kepalaku. Di mana suami dan bayiku? Dibantu empat suster aku dipindahkan di atas ranjang khas rumah sakit. "Ada yang sakit, Bu?" tanyanya salah satu suster
Darah? Aku menatap bawah, benar saja darah segar keluar dari pangkal paha. Nyeri, perutku terasa tertusuk ... sakit sekali. Bahkan aku tak mampu menjelaskan sakitnya seperti apa."Pi... Papi!"Aku terus memegangi perut, namun Satriya tak kunjung membuka mata. Dia masih terlelap dalam mimpi. Ya Allah, Satriya. "Papi!" teriak Aluna kencang. Seketika Satriya terbangun. Dia menjerit kala melihat aku tergeletak tak berdaya di lantai. Ditambah darah yang keluar darin pangkal paha. "Ya Allah, Yang. Kamu kenapa?""Sa--sakit, Yang." Aku pegangi perut yang terasa sakit. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Satriya kebingungan, dia jongkok hendak membopong tubuhku. "Aluna kedinginan, Yang."Gerakan tangan itu terhenti, Satriya kebingungan hendak mengganti baju Aluna atau menolongku terlebih dahulu. Kami sama-sama membutuhkan bantuan secepatnya. "Aluna tunggu di sini dulu, Papi mau bawa Mama ke mobil.""Tapi, Pi ....""Sebentar, Nak. Papi bawa mama turun dulu."Sempat kudengar hentakkan kaki