Nada dering panggilan masuk menghentikan lamunanku. Sesaat Aluna menggeliat, suara ponsel itu sedikit mengusik tidurnya. Aluna baru saja terlelap setelah perjalanan panjang dan sesekali beristirahat karena nyeri terkadang terasa. Benda pipih itu terus saja bernyanyi meski kubiarkan hingga bungkam dengan sendirinya. Aku melirik jam yang melingkar di tangan, hampir tengah malam. Kurasa Satriya baru saja pulang, dia tak menemukan keberadaanku hingga terpaksa menelepon. Ponsel sengaja aku non aktifkan, biarlah Satriya kebingungan untuk sementara waktu. Aku hanya lelah dengan sikapnya akhir-akhir ini. Tak bisakah ia sadar, jika semua ini takdir yang sudah Allah gariskan pada kami. Sebagai seorang ibu, aku pun terpukul atas kepergian Finziya. Putri kecil yang kami nantikan justru kembali pada Sang Pemilik. Bayangan tangis dan tawa saat aku menimangnya harus hilang dalam sekejap mata. Sebenernya akulah yang paling terpukul dan nyaris depresi. Sebagai seorang ibu, aku merasa gagal melind
"Alin, kenapa diam?""Aku kangen ibu, jadi pulang ke kampung.""Sejak kapan putri ibu belajar berbohong? Zaman sudah modern, tak perlu jauh-jauh untuk bisa bertatap muka? Ponsel ada, kan. Apa lagi kamu sedang masa pemulihan, tak bagus melakukan perjalanan jauh, Lin."Aku membisu, memang benar perkataan ibu. Tak mungkin beliau percaya dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Aku tak pandai membuat alasan yang tepat, selalu saja ketahuan. "Ceritakan, Lin.""Bukan di sini, Bu. Nanti malam saja."Ibu mengangguk, menyetujui perkataanku. Karena memang tak baik membicarakan masalah yang menyangkut Satriya tepat di hadapan putri kecilku. Dia memang diam, tapi otaknya merekam semua percakapan kami. Tak menutup kemungkinan kata-kata kami menyakiti hatinya. ***Di sini kami, duduk di teras seraya menatap malam. Tak ada Aluna, dia sudah terlelap setelah azan magrib. Perjalanan jauh membuat dia lelah hingga tidur lebih awal. "Kalian bertengkar?" Ibu menatap penuh selidik. Sebuah anggukan membe
"Lin, bukannya itu Tara, ya, suami kamu. Tapi kok jalan dengan wanita," ucap Monica seraya menunjuk ke belakang. Seketika aku menoleh ke belakang, mencari sosok Mas Tara.Aku masih menoleh ke kanan dan kiri karena situasi foot court ramai. Maklum saja ini hari sabtu, banyak pasangan kekasih atau anak muda yang menghabiskan waktu di akhir pekan. Mataku melotot kala melihat sepasang manusia berbeda jenis kelamin bergandengan mesra dengan posisi membelakangiku. Ya, dia Mas Tara, suamiku. Tapi siapa wanita muda yang dirangkul mesra. Kenapa wanita muda? Karena dia masih mengenakan seragam sekolah. Khas anak SMA. Dadaku bergemuruh, mataku mengembun, perlahan bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. "Suami kamu selingkuh, Lin?"Aku diam, ingin mengatakan bukan. Namun fakta berkata lain. Tidak mungkin berpelukan mesra jika buka sepasang kekasih. Tapi kenapa anak SMA? "Hapus air mata kamu, Lin! Jangan cengeng! Kita ikuti mereka!" Monica menarik tanganku hingga aku nyaris jatuh berciuman den
"Kamu kenapa, Lin?" tanyanya lagi karena aku terus membisu. "Aku melihat kamu bergandengan mesra dengan wanita, Mas," ucap hanya di dalam hati. Entah kenapa aku ragu mengatakannya. Mas Tara menghembuskan napas perlahan. Kemudian menghapus bekas air mata dengan kedua tangannya. "Kalau belum siap cerita gak apa-apa." Mas Tara melihat sekeliling kemudian tatapannya berhenti padaku. "Aluna belum kamu jemput, Lin?" Ya Allah, aku sampai lupa dengan putri kecil kami. Seharusnya aku menjemput dia setelah acaraku dengan Monica selesai. Gara-gara melihat Mas Tara dengan perempuan itu aku jadi tak bisa berpikir logis. Pikiranku selalu dipenuhi dengan prasangka dan prasangka. "Maaf, Mas. Aku lupa untuk menjemput Aluna."Mas Tara menghembuskan napas kasar lalu melangkah ke luar kamar. Segera aku beranjak dari ranjang, dengan cepat kusambar hijab yang ada di atas kursi. Tergesa aku berlari mengejar dia. "Aku ikut, Mas!" Kubuka pintu mobil sebelum Mas Tara menginjak pedal gas. Mobil melaju m
"Siapa wanita itu, Mas?" Seketika wajahnya menjadi tegang. "Wanita yang mana, Lin?" Mas Tara kembali melajukan kendaraan roda empatnya. Kali ini laju mobil diperlambat. "Yang tadi bersama kamu di mall."Mas Tara melirikku kemudian tertawa terbahak-bahak. Seolah apa yang kukatakan sebuah lelucon yang lucu. Dia tidak tahu betapa hancur hatiku ini. Bagaimana bisa suamiku tertawa lepas setelah aku memergokinya berjalan mesra dengan wanita lain. "Aku serius, Mas!" Aku menatapnya tajam. Mobil segera ia tepikan di pinggir jalan. Lelaki yang telah menikahiku lima tahun yang lalu itu membalikkan badan, ia tatap lekat manik bening milikku. "Kamu pasti salah lihat, Sayang. Dari tadi Mas berada di kantor kok. Kalau tidak percaya kamu bisa telepon OB, Riyan atau mungkin Pak Leo."Mas Tara berkata begitu meyakinkan. Tidak mungkin kami salah lihat. Kalau hanya aku mungkin iya, tapi aku dan Monica yang melihatnya "Model rambut dan pakaian bisa saja sama, Sayang. Kamu lihatnya dari sudut mana?"
Aku segera berlari mendekati Aluna. Putri kecilku menangis sambil memegangi lututnya. Melihatku berlari Mas Tara tersentak lalu melangkah tepat di belakangku. "Kamu tidak apa-apa, kan?" Kulihat setiap inci tubuhnya. Ada sedikit goresan di lututnya, pasti karena terjatuh lagi. "Sini sakit, Ma." Aluna menyentuh lutut kanannya. "Maaf, ya, Mbak. Saya tidak sengaja." Wanita itu menatap Aluna dengan rasa bersalah. "Tidak apa-apa, Mbak. Namanya juga tidak sengaja," ucap Mas Tara sambil menatap ke arah kami. Bukan, bukan ke arahku atau Aluna. Melainkan ke arah wanita muda yang memakai pakaian renang itu. Aku kembali memperhatikan wanita dengan pakaian kurang bahan itu. Wajahnya seperti pernah kulihat, tapi di mana? Tubuh langsing khas anak muda dengan bibir ranum menjadi daya tarik di mata laki-laki. Apa termasuk di mata suamiku? Apa mungkin Mas Tara menyukai daun muda? Astaga! Segera kutepis pikiran aneh yang tiba-tiba masuk. Jangan sampai aku salah menduga lagi. "Maaf, sepertinya ak
Aku melangkah mengikuti Mas Tara yang berjalan menggendong Aluna ke kamar. Ya, setelah berenang ia tidur saat perjalanan pulang. Dia begitu kelelahan setelah puas bermain air dengan papanya. Perlahan Mas Tara membaringkan tubuh Aluna di atas ranjang. Segera kunyalakan pendingin ruangan. Putri kecilku tak bisa tidur lama jika AC dalam keadaan mati. Sebuah kecupan Mas Tara berikan di kening Aluna. Melihat itu membuat sudut bibirku tertarik ke atas. Namun secepatnya hilang jika mengingat sikap suamiku dengan Imelda tadi. Suamiku terlihat mencuri pandang pada gadis muda itu. Mereka baru bertemu tapi seperti mengenal sejak lama. Berulang kali kucoba meyakinkan diri jika Mas Tara lelaki setia. Namun semakin ke sini justru kecurigaan yang selalu menghantui. Bahkan aku mulai tak percaya dengan kata-katanya. "Sayang." Sebuah sentuhan membangunkan aku dari lamunan. Mas Tara sudah berdiri di hadapanku dengan sorot mata penuh tanda tanya. "Kenapa diam saja, Sayang?""Tidak apa-apa, kok, Mas
Aku menelan ludah dengan susah payah, tatapan Mas Tara bagai elang yang siap menerkam mangsanya. "Kenapa kamu menyentuh ponselku, Alin?"Apa yang harus kujawab? Pasti Mas Tara sudah mendengar ucapanku tadi. Percuma juga berbohong atau menutupinya lebih baik kutanyakan sekalian. "Ini telepon dari siapa, Mas?" Kuberikan ponsel miliknya. Mas Tara menautkan dua alis mengangkat kedua bahunya siap pura-pura tak tahu. Dia pikir aku akan diam saja,tidak ... Tidak akan! "Siapa yang menghubungimu lalu memanggilmu mas bahkan berganti Om? Siapa perempuan itu,Mas? Apa jangan-jangan apa yang kulihat di mall waktu itu benar kamu, kan? kamu selingkuh dari aku" Lepas semua tanda tanya yang memenuhi pikiranku. Aku keluarkan beban yang membuat napasku terasa sesak. Entah bagaimana reaksi suamiku nanti. Mas Tara kembali menatap layar pada benda mati itu,sudut bibirnya tertarik ke atas. Apa yang lucu hingga ia menertawakan aku? Mas Tara beranjak di ranjang lalu menarik tubuhku ke dalam dekapannya. A