Share

Sebuah Anting

last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-25 12:31:34

Aku menelan ludah dengan susah payah, tatapan Mas Tara bagai elang yang siap menerkam mangsanya.

"Kenapa kamu menyentuh ponselku, Alin?"

Apa yang harus kujawab? Pasti Mas Tara sudah mendengar ucapanku tadi. Percuma juga berbohong atau menutupinya lebih baik kutanyakan sekalian.

"Ini telepon dari siapa, Mas?" Kuberikan ponsel miliknya. Mas Tara menautkan dua alis mengangkat kedua bahunya siap pura-pura tak tahu. Dia pikir aku akan diam saja,tidak ... Tidak akan!

"Siapa yang menghubungimu lalu memanggilmu mas bahkan berganti Om? Siapa perempuan itu,Mas? Apa jangan-jangan apa yang kulihat di mall waktu itu benar kamu, kan? kamu selingkuh dari aku"

Lepas semua tanda tanya yang memenuhi pikiranku. Aku keluarkan beban yang membuat napasku terasa sesak. Entah bagaimana reaksi suamiku nanti.

Mas Tara kembali menatap layar pada benda mati itu,sudut bibirnya tertarik ke atas. Apa yang lucu hingga ia menertawakan aku?

Mas Tara beranjak di ranjang lalu menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Aroma tubuh yang bercampur dengan keringat menyeruak memenuhi indra penciumanku. Dulu momen ini yang selalu kurindu. Namun kini terasa hambar. Aku kehilangan rasa percaya pada dia, lelaki yang kucinta.

"Ya Allah, Sayang. Kamu cemburu lada nomor baru?" Mas Tara menggeleng pelan.

Dadaku naik turun, kutahan emosi yang hampir meledak ini. Kubiarkan Mas Tara memberikan penjelasan, semoga saja itu sebuah kejujuran bukan hanya kebohongan.

"Si penelepon saja nomor baru, mungkin salah memencet nomor lalu tersambung ke nomor aku."

Alasan itu sudah biasa kudengar, Mas. Apa kamu pikir aku akan mempercayai perkataan itu? Tidak, tidak sama sekali.

"Aku hanya ingin kamu jujur, siapa wanita itu?" Aku masih kekeh dengan pendapat ini, tak masuk akal jika dia langsung memanggil mas bahkan berganti Om.

"Jujur yang seperti apa lagi, Alin? Mas sudah jujur. Hentikan sikap kekanak-kanakan kamu. Mas tak memiliki wanita lain. Hanya kamu yang yang singgah dan bertahta di hati Mas." Mas Tara menarik tangan kananku kemudian meletakkannya di dada, tepat di jantungnya.

Kalimat yang keluar dari mulut Mas Tara memang indah. Namun tak sedikit pun mengurangi rasa curiga yang bersemayam di dada. Kenapa hatiku jadi sekeras baja seperti ini?

"Kalau begitu kenapa ponsel kamu beri sandi tanpa cerita padaku?"

"Ini?" Mas Tara memberikan ponsel berwarna hitam itu padaku. "Sandinya tanggal lahir Aluna. Kenapa Mas beri sandi? Karena sering membuka bahkan menghubungi orang yang ada di dalam kontak."

Penjelasannya cukup masuk akal. Namun kalimat itu jujur atau hanya sebuah sandiwara?

"Bukalah, lihatlah isi pesan di dalamnya."

Aku membuka ponsel, kutekan tanggal nomor sesuai tanggal lahir Aluna 140818,dan berhasil. Kenapa aku tak mencobanya dari tadi?

Aplikasi berwarna hijau menjadi tujuanku kali ini. Dengan teliti kubaca pesan yang ada di sana. Namun tak satu pun yang mengarah ke perselingkuhan. Apa jangan-jangan sudah dihapus Mas Tara? Ya Tuhan... Kenapa susah mencari sebuah bukti?

"Ada tidak yang kamu cari?" Aku menggeleng lalu memberikan benda pipih itu padanya.

"Sayang, aku mencintaimu setiap waktu. Jangan berpikiran yang tidak-tidak." Aku mengangguk tapi hanya di hadapan Mas Tara.

Mas Tara kembali menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Kini aku hanya bisa pasrah.

***

Hari demi hari kami lalui seperti biasa. Sikap Mas Tara tak pernah berubah sedikit pun. Dia masih sama seperti awal menikah dulu. Setelah kejadian telepon misterius itu tak ada lagi sesuatu yang mencurigakan.

Mungkin aku harus melupakan seseorang di mall itu. Mungkin benar perkataan Mas Tara. Namun kenapa hati selalu dilanda curiga? Entahlah, aku hanya bisa pasrah pada Sang Pembuat Kehidupan. Biarlah mengalir hingga Tuhan membuka jalan hingga aku menemukan sesuatu yang kucari selama ini.

"Sayang!" teriak Mas Tara dari dalam kamar.

"Iya, Mas sebentar." Kuletakkan piring di atas meja kemudian berlari ke lantai atas.

Menggelengkan kepala kala aku melihat lemari yang sudah tak berbentuk itu. Sebagian pakaian sudah keluar dari tempatnya. Ingin marah tapi ini masih terlalu pagi, akhirnya aku memilih menahan amarah itu sendiri.

"Kenapa bisa berantakan, sih, Mas?" tanyaku kesal.

"Mas cari dasi, Sayang. Tapi gak ketemu. Kamu taruh di mana sih?" tanyanya sambil membalik-balikkan pakaian yang sudah tidak karuan itu.

"Kenapa tidak tanya dari tadi, Mas? Kenapa harus mengeluarkan semua isi lemari?" Mas Tara hanya diam lalu menggaruk kepala yang tak gatal.

Kubuka laci dalam nakas yang paling bawah. Kukekuarkan isi di dalamnya.

"Ini pilih sendiri."

"Cocok yang mana, Lin?" Dia menunjukkan dasi berwarna toska dan navy.

Tanpa menjawab kuambil dasi berwarna navy lalu memasangkannya. Satu kecupan ia berikan padaku.

"Makasih, Sayang."

"Ayo sarapan dulu. Mas harus mengantar Aluna ke sekolah, kan. Mas sudah janji lho semalam."

"Iya, Mama." Mas Tara mentoel daguku.

Kami berjalan menuju ruang makan yang ada di lantai bawah. Aluna sudah duduk manis di kursi kesayangannya kala kami datang.

"Baunya harum, kamu masak apa, Ma?"

"Sambal teri dan goreng ayam, Mas."

"Kamu tahu saja apa kesukaanku."

Mas Tara segera mengambil nasi dan lauk. Dia tahu aku sedang kerepotan menyuapi Aluna.

Keharmonisan sebuah keluarga tergambar jelas di sini. Sesekali kami tertawa melihat siap lucu Aluna. Ah, dia memang selalu bisa menghangatkan suasana.

Setelah selesai sarapan kuantarkan Aluna dan Mas Tara ke depan.

"Hati-hati, Sayang!" Kulambaikan tangan kala mobil itu berjalan meninggalkan halaman rumah.

Rumah terasa sepi kala mereka berdua pergi. Aku melangkah menuju dapur untuk mencuci bekas sarapan kami tadi.

Di rumah ini memang tak ada pembantu atau asisten rumah tangga. Semua pekerjaan rumah aku yang menyelesaikannya sendiri kecuali menyeterika baju. Pakaian yang sudah kucuci akan diambil pegawai laundry tak jauh dari rumahku. Setidaknya bisa mengurangi pekerjaanku.

Setelah selesai urusan dapur aku segera ke lantai atas. Baju-baju yang sudah berserakan melambai meminta diperhatikan. Ah, Mas Tara menambah daftar pekerjaan rumahku.

Menjadi ibu rumah tangga terkadang dipandang sebelah mata. Mereka pikir ibu dengan baju dinas daster tak melakukan pekerjaan apa pun. Lalu siapa yang mencuci, menyapu dan memasak? Hantu ataukah robot? Terkadang gemas jika ibu rumah tangga selalu dihina. Untung aku tak memiliki mertua julid seperti kebanyakan mertua di sinteron televisi

"Ya Allah, Mas. Ini mencari barang atau mencari keributan? Semua isi lemari bisa tumpah ruah begini," ucapku kesal.

Satu persatu pakaian kulipat kembali. Kupisahkan pakaian Mas Tara dan pakaianku. Baju rumah dan bepergian juga kupisahkan. Semua itu kulakukan agar mudah mencarinya. Sudah dipilah dan tata rapi saja Mas Tara masih membuat berantakan, apa lagi jika tidak? Tak terbayang bagaimana bentuk kamarku nanti.

Semua sudah kumasukkan ke lemari sesuai tempatnya semula. Kini saatnya mengistirahatkan tubuh.

Astaga, jas kemarin kenapa ada di sini? Mas Tara memang benar-benar!

Aku ambil jas yang ada di atas ranjang. Kemudian meletakkannya di keranjang kotor dekat pintu kamar mandi.

Suara benda jatuh saat jas itu masuk ke keranjang. Aku jongkok sambil melihat ke sana kemari, siapa tahu ada barang penting milik Mas Tara. Namun tak kutemukan apa pun.

"Mungkin hanya koin saja."

Aku berdiri, langkah kaki terhenti saat tak sengaja kulihat benda kecil berwarna kuning berada di dekat pintu kamar mandi. Segera kuambil benda itu. Sebuah anting emas dengan bentuk hati. Ini bukan punyaku? Tapi kenapa ada di saku jas suamiku?

Komen (3)
goodnovel comment avatar
amymende
kelamaan begonya, jadi maless lanjut, udah koin mahal ceritanya bikin maless
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
betul2 g berfungsi otak mu lun
goodnovel comment avatar
Fredi Fredi Pranata
mantap..saya suka semua yg saya baca
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Kebohongan Tara

    Anting? Kenapa ada anting di saku jas Mas Tara? Seketika pikiran buruk memenuhi isi kepalaku. Apa mungkin kecurigaanku benar, Mas Tara memiliki wanita lain di luar sana. Tanpa permisi rasa sesak kembali datang. Mataku memanas air bening hampir saja jatuh. "Ayo, Alin! Jangan cengeng!" Aku menatap langit-langit kamar, berharap air mata tak jadi meluncur. Ya, aku harus kuat meski kenyataan pahit di depan mata. Setelah cukup tenang kuambil jas kotor Mas Tara yang ada di keranjang baju kotor. Satu persatu saku kuraba, kucari pasangan anting berbentuk hati itu. Namun hingga aku lelah membolak-balikkan jas, pasangan anting itu tetap tak kutemukan. Satu anting meyakinkanku jika benda itu bukan untukku. Tak mungkin Mas Tara membelikan anting satu, bukan sepasang. Lagi pula model anting itu terlalu muda untukku. Apa ini milik Imelda? Atau justru perempuan lain? Lagi dan lagi kecurigaan itu muncul. Sekuat apa pun aku menolak tapi realita bertolak belakang. Mas Tara telah bermain api di bel

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-13
  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Ucapan Satriya

    Sebuah pernikahan harus dilandasi oleh kejujuran dan kepercayaan. Namun jika keduanya sudah tak ada mampukah aku bertahan? Atau memilih mundur dan menyerah? Kuhilangkan pikiran ini untuk sesaat. Karena aku sedang berada di rumah Mama. Jangan sampai ibu Mas Tara tahu. Jika putra kesayangannya sudah melakukan perbuatan memalukan. "Mbak Alin diam saja, itu kopi diminum, Mbak! Bukan dianggurin macam aku ini." Satriya duduk di kursi tepat di sampingku. Adik kandung Mas Tara memang suka ceplas-ceplos kalau bicara. Untung aku sudah kebal dengan tingkahnya. "Baru datang, Sat?" tanyaku lalu mengambil cangkir yang berisi kopi yang sudah dingin. "Sudah dari semalam, Mbak. Memangnya Mas Tara tidak cerita?" Dia tatap wajahku dengan lekat. Membuatku sedikit risih lalu memilih mengalihkan pandangan. "Memangnya harus cerita, gitu?" "Iya, aku tahu kok, aku memang gak penting buat kalian. Apa lagi buat Mbak Alin."Aku membuang napas, anak ini lama-lama menguji kesabaranku. Dia tidak tahu apa, per

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-13
  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Ke Luar Kota

    Aku memutar mata malas mendengar ucapannya. Ini memang bukan kali pertama Satriya mengatakan hal itu. Namun tak pernah kutanggapi dengan serius. Aku tahu sifatnya humoris dan suka bercanda. Sehingga apa yang keluar dari mulutnya tak pernah kuanggap serius."Bercanda, Mbak. Itu muka biasa aja kali," ucapnya lagi. Perkataan Satriya mampu membuatku semakin tak enak berdua dalam ruangan yang sama dengannya. Rasa canggung kian mendominasi menjadikan batasan untukku bergerak. "Mas Tara gak ke sini, Mbak?" tanyanya memecah keheningan yang sempat melanda. Aku mengangkat bahu tanda tak mengetahui jawaban. Beberapa kali kukirim pesan tapi tak satu pun yang dibaca. Entah di mana Mas Tara berada. "Coba telepon temen kantornya, Mbak."Ah, kenapa aku tak pernah kepikiran untuk menanyakan pada rekan kerja Mas Tara. Namun untuk apa kutanyakan jika aku sendiri yakin Mas Tara sedang berada dalam pelukan wanita lain. "Buruan telepon, Mbak."Dengan terpaksa kucari kontak Adnan, teman sekantor Mas Ta

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-14
  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Mengikuti Mas Tara

    "Mbak Alin percaya?" tanya Satriya lagi karena aku diam membisu. "Mungkin Mas Tara pulang mendadak karena ingin mempersiapkan keberangkatan ke luar kota," jawabku sekenanya. Perkataan ini memang tidak masuk akal, aku yakin Satriya tak akan percaya. Apa yang harus kujelaskan jika ia kembali bertanya?"Alasan klise, Mbak. Anak TK saja tak percaya." Satriya mencebikkan bibir. Dengan kasar ia menjatuhkan tubuhnya di kursi. Dia tatap lurus ke depan. Tampak kekecewaan di sorot mata itu. Haruskah aku berkata jujur pada Satriya? Perlahan kujatuhkan bobot di kursi tepat di sebelahnya. Kuatur napas, tapi rasa sesak masih saja mendera. Sekuat apa pun aku pura-pura bahagia tapi nyatanya luka itu kian menggores hati, menyisakan perih tak bertepi. "Mas Tara memiliki perempuan lain.""APA!"Satriya saja terkejut, bagaimana dengan Mama? Bisa-bisa penyakit Mama kambuh, dan aku tak sanggup melihat itu. Mama memang bukan ibu kandungku, tapi kasih sayangnya sama seperti ibu kandungku sendiri. Belia

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-14
  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Aluna Menagih Janji

    "Kita pulang,Mbak?" tanya Satriya ketika kami gagal membuntuti Mas Tara. Aku menghela napas, mengatur hati yang terlanjur kecewa. "Mbak!" Sentuhan di pundak menyentakku. Kutoleh ke kanan, tepat di mana Satriya menatapku penuh iba. "Kita pulang, kan?" tanyanya lagi. "Ke pasar dulu.""Mau ngapain? Belanja sayur? Mas Tara, kan gak ada di rumah.".Memijit kepala yang terasa berdenyut, begini kalau rekan kerjanya masih anak labil. "Alasan pada Mama tadi ke pasar, Sat. Tidak lucu kalau kita pulang tanpa membawa apa pun.""O, iya, Mbak. Lupa." Satriya menggaruk kepala yang tak gatal. Satriya kembali melajukan kendaraan roda empat ini menuju Pasar Legi. Jarak antara pasar dan tempat kami berhenti sekitar sepuluh menit. Kali ini Satriya mengemudikan mobil dengan hati-hati. "Mau beli apa, Mbak?" tanyanya setelah kami sampai di parkiran pasar. "Gak tahh juga, Sat. Kepala Mbak pusing."Aku tak bisa berpikir jernih. Hati dan pikiran terpaut pada Mas Tara. Aku dan Satriya berjalan sejajar

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-15
  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Tertangkap Basah

    Mobil yang Satriya kendarai melaju dengan kecepatan sedang. Sepanjang jalan Aluna terus menyanyi, putri kecilku sangat bahagia. Harusnya Mas Tara yang ada di depan, bukan justru Satriya. "Om nyalakan musiknya, dong. Lagu balonku ada lima," pinta Aluna sambil menyenggol tangan Satriya. "Adek, duduk yang anteng." Aluna tak menghiraukan ucapanku, dia terus saja meminta Satriya menyalakan musik sesuai permintaannya. "Ditepikan dulu, Sat." Satriya segera menepikan mobil kemudian menyalakan musik sesuai permintaan putriku. Alunan lagu balonku ada lima menggema memenuhi mobil. Aluna pun mengikuti setiap syair lagu itu. Mobil kembali berjalan menuju Tawangmangu, tempat kebun stroberi berada. "Alin." Aku tersentak lalu menoleh ke kiri. Mama menatap penuh tanya ke arahku"Kamu kenapa diam saja, Lin. Mama lihat dari tadi kamu melamun."Aku menelan ludah dengan susah payah. Apa yang harus kukatakan padanya? "Alin tidak melamun, Ma. Alin hanya menikmati pemandangan luar. Ternyata banyak, ya

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-15
  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Pilih Dia atau Aku

    "Aluna ...."Aluna tak menjawab dia fokus menatap ke seberang jalan. Apa dia masih takut? Rasa penasaran membuatku membalikkan badan. Mataku melotot melihat dua orang yang ada di seberang jalan. "Mas Tara ...," ucapku lirih."Papa!" teriak Aluna lantang. Mas Tara memutar badan,tangan yang sempat merangkul wanita itu terlepas begitu saja. Kakiku terasa lemas, menopang tubuh saja tak sanggup. Apa lagi harus menggendong Aluna. Allah... Rasanya begitu berat melihat suami bermesraan dengan orang lain di depan mata. "Tara!" bentak Mama. Wanita yang sudah kuanggap ibu kandung itu berjalan cepat ke arah Mas Tara. Dadanya naik turun, tangan mengepal dengan sorot mata tajam bak elang. PLAAKSatu tamparan Mama hadiahkan pada putra kesayangannya. Mas Tara memegangi pipi yang memerah. Sakit, tapi lebih sakit hatiku."Aluna sama om, ya." Dengan cekatan Satriya mengambil Aluna dari gendonganku. Dia ajak Aluna pergi dari sini. Anak sekecil itu tak pantas melihat pertengkaran yang terjadi pada

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-16
  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Permintaan Mama

    “Mama kenapa?” Kubantu Mama duduk di jalan.Sempat aku melirik Mas Tara,lelaki itu justru melangkah pergi dari kerumunan ini. Lelaki macam apa yang masih menjadi suamiku itu? Degan ibu kandungnya saja tega,apa lagi denganku,wanita asing yang ia hidupi.“Ma-maafkan anak Mama,Lin,” ucapnya lirih seraya memegangi dada. “Kita ke rumah sakit,Ma.”“Lin ....”Seketika tubuh Mama ambruk dalam pelukanku.“Mama bangun,Ma!” Kusentuh kedua pipinya. Tetapi Mama sudah tak sadarkan diri.“Satriya!Tolong! Mama pingsan!”“Ya Allah,bantu-bantu,” ucap seseorang tapi aku tak tahu siapa itu. Pikiranku sudah dipenuhi oleh Mama“Tolong bantu angkat ke mobil,Pak.”Beberapa lelaki segera membopong tubuh Mama kemudian menidurkannya di jok tegah mobil. Tak berapa lama Satriya datang sambil menggendong Aluna.“Oma ....” Aluna menangis melihat Omanya sudah tak sadarkan diri. “Mama kenapa, Mbak?” Satriya mendekat,raut kekhawatiran terlihat jelas di sana.“Mas Tara di mana,Mbak?” Satriya menatap sekeliling tapi l

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-16

Bab terbaru

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Ending

    "Alin, kenapa diam?""Aku kangen ibu, jadi pulang ke kampung.""Sejak kapan putri ibu belajar berbohong? Zaman sudah modern, tak perlu jauh-jauh untuk bisa bertatap muka? Ponsel ada, kan. Apa lagi kamu sedang masa pemulihan, tak bagus melakukan perjalanan jauh, Lin."Aku membisu, memang benar perkataan ibu. Tak mungkin beliau percaya dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Aku tak pandai membuat alasan yang tepat, selalu saja ketahuan. "Ceritakan, Lin.""Bukan di sini, Bu. Nanti malam saja."Ibu mengangguk, menyetujui perkataanku. Karena memang tak baik membicarakan masalah yang menyangkut Satriya tepat di hadapan putri kecilku. Dia memang diam, tapi otaknya merekam semua percakapan kami. Tak menutup kemungkinan kata-kata kami menyakiti hatinya. ***Di sini kami, duduk di teras seraya menatap malam. Tak ada Aluna, dia sudah terlelap setelah azan magrib. Perjalanan jauh membuat dia lelah hingga tidur lebih awal. "Kalian bertengkar?" Ibu menatap penuh selidik. Sebuah anggukan membe

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Alin Pulang ke Kampung

    Nada dering panggilan masuk menghentikan lamunanku. Sesaat Aluna menggeliat, suara ponsel itu sedikit mengusik tidurnya. Aluna baru saja terlelap setelah perjalanan panjang dan sesekali beristirahat karena nyeri terkadang terasa. Benda pipih itu terus saja bernyanyi meski kubiarkan hingga bungkam dengan sendirinya. Aku melirik jam yang melingkar di tangan, hampir tengah malam. Kurasa Satriya baru saja pulang, dia tak menemukan keberadaanku hingga terpaksa menelepon. Ponsel sengaja aku non aktifkan, biarlah Satriya kebingungan untuk sementara waktu. Aku hanya lelah dengan sikapnya akhir-akhir ini. Tak bisakah ia sadar, jika semua ini takdir yang sudah Allah gariskan pada kami. Sebagai seorang ibu, aku pun terpukul atas kepergian Finziya. Putri kecil yang kami nantikan justru kembali pada Sang Pemilik. Bayangan tangis dan tawa saat aku menimangnya harus hilang dalam sekejap mata. Sebenernya akulah yang paling terpukul dan nyaris depresi. Sebagai seorang ibu, aku merasa gagal melind

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Kepergian Alin

    Pov Satriya[Apa kabar, Sat? Benar perkataanku, kan ... Aluna akan menjadi tembok pembatas antara kamu dan Alin. Harusnya kamu sadar, hanya aku papanya, bukan kamu.]Aku mengepalkan tangan di atas meja. Amarah yang belum mereka kini kembali meledak. Tuhan, kenapa kakakku sendiri yang berniat merusak rumah tanggaku? Ponsel kuletakkan kembali di atas meja. Menyalakan laptop Niko yang sempat kupijam. Tanganku menari di atas mouse, mengedit foto klien. Namun pikiran bercabang membuat hasil edit tak memuaskan, aku tak bisa fokus saat masalah memenuhi kepalaku. Aku mengusap wajah kasar, mengeluarkan emosi yang sempat memenuhi rongga dada. Lelah, satu kata yang kini aku rasakan. Ingin aku berteriak, namun nyatanya ini bukan tempat yang tepat. Nada dering panggilan masuk kembali menyita perhatianku. Kulirik layar benda pipih yang tergeletak di atas meja. Untunglah bukan nama Tara yang muncul di sana. Aku tak mampu mengontrol emosi jika lelaki itu kembali menghubungiku. Namun rasa lega hil

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Kemarahan Satriya

    Pov Satriya"Aluna!"Aku berteriak kala es teh dalam gelas tumpah tepat di atas laptop. Cepat-cepat aku cabut kabel charger yang masih menempel di laptop. Membalikkan benda pintar itu, mengelap bekas air yang masih melekat. "Aluna, kenapa bisa tumpah? "Gadis kecil itu berdiri di tempat seraya menangis sesenggukan. Bulir demi bulir terus saja jatuh membasahi pipinya. Namun entah kenapa aku tak iba, rasa kesal justru semakin mengakar. "Mama!"Bukannya menjawab, Aluna justru berteriak memanggil Alin. Dia persis seperti Mas Tara ketika kecil, mengadu, dan mencari perlindungan di punggung mama. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Alin begitu terkejut melihat keadaan ruang keluarga. Apa lagi melihat laptop yang tengah kukeringkan dengan tisu. Belum lagi beberapa foto tersiram air. "Tanyakan saja pada anakmu!"Tangis Aluna kian menjadi seiring suaraku yang memekik. "Kenapa bisa tumpah, Nak?"Hanya tangisan yang keluar dari mulut mungil itu. Entah, lama-lama aku menjadi bosan. Bosan dengan

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Bentakan Satriya

    Dua hari setalah kalimat menyakitkan menghantam hatiku. Kini kembali kami saling diam, seolah ada tembok pembatas meski kami berada dalam satu ranjang. Bahkan kami saling beradu punggung. Sibuk dengan rasa sakit masing-masing. Titik demi titik jatuh membasahi pipi. Aku menangis dalam diam, keluar sudah sesak dalam rongga dada. Menyakitkan, tapi tak mampu kujawab perkataan Satriya. "Gara-gara Aluna, anakku meninggal!"Kalimat itu terus saja terngiang di telinga. Sesak, dadaku seakan terhimpit batu besar, hingga menghirup udara begitu susah. Kenapa Satriya tega mengatakan hal itu? Kenapa? Tarikan napas dan denting jam terdengar jelas di telinga. Keheningan menciptakan atmosfer yang berbeda di kamar ini. Rasa nyaman yang dulu melekat seolah hilang dalam satu kedipan mata. Kembali aku pejamkan mata saat merasakan gerakan di ranjang. Tak lama langkah kaki menjauh hingga gesekan pintu terdengar jelas di telingaku. Satriya pergi seperti kemarin malam. Setelah merasa aman, aku pun memba

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Gara-gara Aluna

    "Hati-hati, jangan mengulangi hal yang sama. Ngerti!"Satriya berlalu pergi seraya membawa kamera. Tak lama terdengar suara mobil menjauh. Dia bekerja tanpa mengucapkan salam, apa lagi sarapan. Aku menghela napas, membuang rasa sesak dalam dada. Tak bisa aku pungkiri, ucapan Satriya menyakiti hati. Bukankah kematian adalah takdir, bukan salah Aluna. Dia masih terlalu kecil untuk menanggung kesalahan. "Ma ...."Aluna memeluk tubuhku sambil tersedu, dia menangis mendengar bentakan ayah sambungnya. "Aluna geser dulu, Nak."Perlahan Aluna berjalan hingga berhenti dan menempel tembok. Air matanya masih menetes, dia takut dengan bentakan Satriya. "Aluna di situ dulu, ya. Mama mau bersihin tumpahan airnya."Segera aku ambil pel, membersihkan genangan air yang ada di lantai. Harus segera dibersihkan agar tidak menjatuhkan orang lain, termasuk Aluna. Setelah selesai kami pun sarapan berdua. Ya, hanya berdua karena Satriya sudah berangkat terlebih dahulu. "Aluna libur dulu, ya," ucapku se

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Perubahan Sikap Satriya

    "Aluna tidak kamu ajak, Pi?"Satriya menolah tapi kembali sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas. Mulut lelakiku masih membisu, tak ada sepatah kata yang keluar saat ia tiba di sini. "Rumah sakit pasti memperbolehkan kalau untuk menjemput pasien, Pi. Dia pasti merindukan aku.""Dia sama ibu di rumah," jawab Satriya datar. Satriya kembali membereskan barang-barang kami. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ya, semenjak kematian putri kami, Satriya menjadi pendiam. Tak ada tawa apa lagi kekonyolan yang biasa ia lakukan. Dia tenggelam dalam luka dan kesedihan. Sebenarnya bukan hanya dia yang kehilangan, aku pun merasakan hal yang sama. Namun hidup harus terus berjalan sekali pun dengan luka yang melekat. "Sebentar, aku panggilkan suster."Satriya keluar dari ruang rawat inapku. Sepi, kurasakan itu lagi. Perasaan bersalah hadir tanpa kuminta. Seandainya aku hati-hati, mungkin putri kecilku akan baik-baik saja. Suara pintu dibuka menyentak lamunanku. Aku menoleh, Satriya masuk bers

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Kepergian Malaikat Kecil

    "Bayiku di mana, Sus?"Kembali aku menanyakan hal yang sama. Namun lagi dua perempuan berpakaian serba putih itu hanya diam membisu. Seolah ada sesuatu yang mereka tutupi. Apa jangan-jangan .... "Kita ke kamar inap dulu, ya, Bu."Kedua suster kembali mendorong brankar, tempatku terbaring tak berdaya. Aku menatap lurus ke atas dengan pandangan kosong. Beberapa prasangka kembali menari dalam angan. Bayang bayi mungil yang belum kulihat terlintas berulang kali. Suara gesekan roda brankar dan lantai bak sirine yang membuat orang-orang menyingkir kala kami lewat. Sempat kulihat beberapa pasang mata mencuri pandang ke arahku. Mungkin bertanya-tanya karena aku hanya seorang diri tanpa ada kelurga yang menemani. Apa lagi baru keluar dari ruang operasi. Pintu kamar dibuka, kosong tak ada Satriya di sana. Prasangka kembali memenuhi isi kepalaku. Di mana suami dan bayiku? Dibantu empat suster aku dipindahkan di atas ranjang khas rumah sakit. "Ada yang sakit, Bu?" tanyanya salah satu suster

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Operasi Sesar

    Darah? Aku menatap bawah, benar saja darah segar keluar dari pangkal paha. Nyeri, perutku terasa tertusuk ... sakit sekali. Bahkan aku tak mampu menjelaskan sakitnya seperti apa."Pi... Papi!"Aku terus memegangi perut, namun Satriya tak kunjung membuka mata. Dia masih terlelap dalam mimpi. Ya Allah, Satriya. "Papi!" teriak Aluna kencang. Seketika Satriya terbangun. Dia menjerit kala melihat aku tergeletak tak berdaya di lantai. Ditambah darah yang keluar darin pangkal paha. "Ya Allah, Yang. Kamu kenapa?""Sa--sakit, Yang." Aku pegangi perut yang terasa sakit. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Satriya kebingungan, dia jongkok hendak membopong tubuhku. "Aluna kedinginan, Yang."Gerakan tangan itu terhenti, Satriya kebingungan hendak mengganti baju Aluna atau menolongku terlebih dahulu. Kami sama-sama membutuhkan bantuan secepatnya. "Aluna tunggu di sini dulu, Papi mau bawa Mama ke mobil.""Tapi, Pi ....""Sebentar, Nak. Papi bawa mama turun dulu."Sempat kudengar hentakkan kaki

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status