“Mama kenapa?” Kubantu Mama duduk di jalan.Sempat aku melirik Mas Tara,lelaki itu justru melangkah pergi dari kerumunan ini. Lelaki macam apa yang masih menjadi suamiku itu? Degan ibu kandungnya saja tega,apa lagi denganku,wanita asing yang ia hidupi.“Ma-maafkan anak Mama,Lin,” ucapnya lirih seraya memegangi dada. “Kita ke rumah sakit,Ma.”“Lin ....”Seketika tubuh Mama ambruk dalam pelukanku.“Mama bangun,Ma!” Kusentuh kedua pipinya. Tetapi Mama sudah tak sadarkan diri.“Satriya!Tolong! Mama pingsan!”“Ya Allah,bantu-bantu,” ucap seseorang tapi aku tak tahu siapa itu. Pikiranku sudah dipenuhi oleh Mama“Tolong bantu angkat ke mobil,Pak.”Beberapa lelaki segera membopong tubuh Mama kemudian menidurkannya di jok tegah mobil. Tak berapa lama Satriya datang sambil menggendong Aluna.“Oma ....” Aluna menangis melihat Omanya sudah tak sadarkan diri. “Mama kenapa, Mbak?” Satriya mendekat,raut kekhawatiran terlihat jelas di sana.“Mas Tara di mana,Mbak?” Satriya menatap sekeliling tapi l
Aku membisu, pertanyaan Mama tak mampu kujawab. Memang terlalu cepat kata pisah terucap dari mulutku. Namun bagaimana aku bisa bertahan menghadapi suami yang telah membagi hatinya untuk perempuan lain. "Jangan pikirkan hal yang berat, Ma. Mama harus fokus dengan kesembuhan Mama." Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku. Setelah Mama sudah lebih baik, akhirnya Mama diperbolehkan pulang. Dengan catatan beliau tak boleh capek dan banyak pikiran. Karena itu sangat berpengaruh terhadap kesehatannya. "Mbak mau pulang atau menginap di sini?" tanya Satriya setelah kami tiba di rumah mama. "Mbak di sini saja, Sat. Kasihan Mama kalau Mbak pulang," jawabku lalu membantu membaringkan Mama di ranjangnya. Sebenarnya bukan hanya itu alasanku memilih tinggal di sini. Aku tak ingin bertemu Mas Tara untuk sementara waktu. Aku butuh menenangkan diri. "Baiklah, kurasa itu yang terbaik untuk Mbak saat ini." Satriya melangkah pergi menuju pintu. Dengan cepat aku mengikuti langkahnya. "Tunggu, Sat!"
"Apa bedanya kamu dan dia? Dia tak akan masuk jika kamu tak membukakan pintu. Kamu dan Imelda sama-sama murahan!"Tak sepantasnya kata-kata itu keluar dari mulut seorang istri untuk suaminya. Namun suami yang bagaimana dulu? Kalau seperti Mas Tara kata-kata itu tak ada artinya. Dia jauh lebih menjijikkan dari kata yang kuucapkan. "Sayang, maafkan aku." Mas Tara menundukkan kepala, dia takut beradu pandang denganku. "Sejak kapan? Sejak kapan kalian menjalin hubungan? Satu bulan? Tiga bulan? Atau justru satu tahun?" Suaraku bergetar. Kalimat yang kuucapkan sungguh menyesakkan dada. "A-aku... Aku dan Imelda ....""Katakan dengan jelas, kamu bisa ngomong, kan, Mas? Kamu tidak bisu, kan!"Mas Tara menelan ludah dengan susah payah. Kemudian memilih diam, dia seolah sedang merangkai kata agar tak menyakiti hatiku. Dia lupa tanpa ia rangkai kenyataan ini sudah memporak-porandakan hati dan jiwaku. Lelaki yang dulu kubanggakan, kucintai dengan tulus justru menusuk dari belakang. Apa ini bal
CIIT.... BRUGG!Mobil yang aku kemudikan menabrak mobil mewah yang ada di depanku. Ah, gara-gara memikirkan Mas Tara membuat pikiranku kacau seperti ini. Mobil itu menepi ke kiri. Aku pun segera menepikan mobil tepat di belakangnya. Dengan ragu aku keluar dari mobil. Tepat di saat seorang lelaki ke luar dari sana. Masalah satu belum selesai tambah lagi masalah baru. Kenapa cobaan datang bertubi-tubi padaku? Ya Robb... "Maaf, saya tidak sengaja menabrak mobil, Bapak," ucapku pelan seraya menundukkan kepala. Aku tak berani beradu pandang dengan lelaki itu. Aku atur napas sambil menyiapkan mental. Setelah ini cacian dan makian akan kembali kudengar. Memang salahku yang tak fokus mengendarai. Tak salah jika pemilik mobil itu akan marah dan menuntut ganti rugi. "Bu Alin, istri Pak Tara, kan?" Aku mengangkat kepala ke atas saat mendengar namaku disebut. Siapa gerangan lelaki ini? Kenapa mengetahui nama dan suamiku? "Pak... Pak Leo," panggilku lirih.Aku semakin tak enak hati mengetah
"Mbak, melamun?" Aku kembali menoleh ke arah Satriya. "Supnya sudah matang itu!" Satriya menunjukkan panci di atas kompor yang telah mendidih. "Mau, Sat?""Boleh deh, Mbak. Aku juga belum makan dari tadi. Lapar." Dia memegangi perutnya masih sudah kempes itu. "Ambilkan mangkuk dua, Sat!" Dia mengangguk kemudian mengambil mangkuk yang ada di belakangku. Aku hendak memutar badan tapi lantai yang terkena air membuat keseimbangan tubuhku berkurang. BRUUGAku jatuh tepat di tubuh Satriya. Tangan kanan lelaki itu memegang satu mangkuk. Sesaat mata kami saling bertemu. Satriya menatap lekat mata ini, lalu kudengar detak jantungnya yang begitu cepat. Apa jangan-jangan.... Prok! Prok! Prok! Seketika terdengar suara tepuk tangan. Aku dan Satriya menoleh bersamaan ke arah sumber suara. Mataku membola melihat siapa yang berdiri tak jauh dari kami. "Bagus, ya. Ini yang kalian lakukan di belakangku?" Aku dan Satriya langsung berdiri. "Pantas saja kamu kekeh minta cerai, Lin. Ternyata sudah
"Mama!"Kami segera berlari, mama sudah tergelatak di lantai. Beliau tak sadarkan diri. "Ma, bangun, Ma!" Aku mengguncangkan pelan tubuhnya. Namun beliau masih tak sadarkan diri. "Ma ... Mam! " Satriya menepuk pelan pipi mama. Tapi terap saja tidak ada reaksi. "Bawa ke rumah sakit, Sat! Mas Tara tolong siapkan mobil."Mas Tara mengangguk dengan cepat ia berlari ke depan. Tak berapa ia kembali masuk. "Ayo bopong, Sat!"Satriya dan Mas Tara membopong tubuh mama lalu menidurkannya di jok belakang. Dengan cepat Satriya mengangkat kepala mama laku di tidurkan di atas pahanya. "Kamu di rumah saja, Lin. Jaga Aluna." Mas Tara segera masuk ke mobil. Perlahan kendaraan roda empat itu berjalan meninggalkan halaman rumah mama. Ya Allah... Kenapa bisa seperti ini. Harusnya kami tak bertengkar hingga mengganggu tidur mama. Kalau saja kami bisa menahan amarah mungkin mama tak akan seperti ini. Melangkah gontai menuju kamar, Aluna masih tertidur pulas di atas ranjang. Pertengkaran hebat sama
Jarum jam sudah menunjukkan angka sepuluh malam. Namun Mas Tara atau Satriya belum memberi kabar lagi. Perasaan gelisah dan takut tiba-tiba menyapa, membuat aku tak bisa tidur. Lelah dengan kejadian hari ini membuat mata ini terasa berat. Hingga akhirnya aku terlelap. "Alin." Suara mama membuat mataku terbuka seketika. Aku membuka mempertajam pengelihatan. Kenapa aku tiba-tiba berada di dalam kamar dengan warna putih mendominasi. Aku berada di dalam ruang rawat mama. Menoleh sekeliling, kucari dua lelaku yang tadi mengantar mama kemari. Namun tak satu pun mereka berada di sini. Apa jangan-jangan mereka pulang? Lalu aku yang mendapat giliran menjaga mama di rumah sakit. Ya, sepertinya begitu. "Alin." Mama menyentuh tanganku. Dingin, sentuhan tangan mama seperti es batu. "Mama sudah sembuh? Jangan buat Alin khawatir, ma." Kugenggam tangan dingin itu. "Maafkan mama, Nak," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Kuhapus jejak air mata yang menempel di pipinya. " Alin yang harusnya mint
"Bagaimana, Lin? Kamu mau, kan memulai dari awal?" tanya Mas Tara seraya menggenggam kedua tanganku. Aku diam, kuselami sorot netra itu. Namun aku tak tahu kejujuran atau kebohongan yang tergambar di sana? Memulai suatu hubungan setelah luka dan pengkhianatan tidaklah mudah. Bahkan rasa ini begitu berat. Apakah aku sanggup memulai pernikahan dari awal? Setelah dia tega menancapkan belati di hati ini. "Tolong pikirkan baik-baik, Lin. Kasihan Aluna. Kalau kita bercerai Aluna pasti terluka. Aku tahu aku salah, Lin. Tolong maafkan aku."Aku menghela napas, perkataan Mas Tara memang benar. Aluna akan menjadi korban dari keegoisan kedua orang tuanya. Namun mengorbankan hati ini, apakah pilihan yang tepat? "Maaf, Mas. Aku tidak bisa menjawabnya sekarang juga? Aku butuh waktu untuk berpikir."Mas Tara membuang napas kasar lalu akhirnya menganggukkan kepala. "Makan dulu, Mas." Aku berjalan meninggalkan Mas Tara yang masih mematung di kamar. Satriya sudah makan saat aku tiba di ruang maka