Jarum jam sudah menunjukkan angka sepuluh malam. Namun Mas Tara atau Satriya belum memberi kabar lagi. Perasaan gelisah dan takut tiba-tiba menyapa, membuat aku tak bisa tidur. Lelah dengan kejadian hari ini membuat mata ini terasa berat. Hingga akhirnya aku terlelap. "Alin." Suara mama membuat mataku terbuka seketika. Aku membuka mempertajam pengelihatan. Kenapa aku tiba-tiba berada di dalam kamar dengan warna putih mendominasi. Aku berada di dalam ruang rawat mama. Menoleh sekeliling, kucari dua lelaku yang tadi mengantar mama kemari. Namun tak satu pun mereka berada di sini. Apa jangan-jangan mereka pulang? Lalu aku yang mendapat giliran menjaga mama di rumah sakit. Ya, sepertinya begitu. "Alin." Mama menyentuh tanganku. Dingin, sentuhan tangan mama seperti es batu. "Mama sudah sembuh? Jangan buat Alin khawatir, ma." Kugenggam tangan dingin itu. "Maafkan mama, Nak," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Kuhapus jejak air mata yang menempel di pipinya. " Alin yang harusnya mint
"Bagaimana, Lin? Kamu mau, kan memulai dari awal?" tanya Mas Tara seraya menggenggam kedua tanganku. Aku diam, kuselami sorot netra itu. Namun aku tak tahu kejujuran atau kebohongan yang tergambar di sana? Memulai suatu hubungan setelah luka dan pengkhianatan tidaklah mudah. Bahkan rasa ini begitu berat. Apakah aku sanggup memulai pernikahan dari awal? Setelah dia tega menancapkan belati di hati ini. "Tolong pikirkan baik-baik, Lin. Kasihan Aluna. Kalau kita bercerai Aluna pasti terluka. Aku tahu aku salah, Lin. Tolong maafkan aku."Aku menghela napas, perkataan Mas Tara memang benar. Aluna akan menjadi korban dari keegoisan kedua orang tuanya. Namun mengorbankan hati ini, apakah pilihan yang tepat? "Maaf, Mas. Aku tidak bisa menjawabnya sekarang juga? Aku butuh waktu untuk berpikir."Mas Tara membuang napas kasar lalu akhirnya menganggukkan kepala. "Makan dulu, Mas." Aku berjalan meninggalkan Mas Tara yang masih mematung di kamar. Satriya sudah makan saat aku tiba di ruang maka
"Aku tidak tahu, Sat.""Beri dia satu kesempatan, Mbak. Kurasa Mas Tara sudah berubah. Tak ada salahnya memperbaiki hubungan yang rusak, kan?"Aku membisu. Entah angin apa yang membuat sikapnya berubah 180 derajat? "Namun satu yang harus Mbak ingat, kalau sampai Mas Tara melakukan hal yang sama. Aku akan merebut Mbak dengan tanganku sendiri," ucapnya lalu pergi meninggalkanku. Aku melangkah menuju kamar. Rasa lelah menuntunku untuk segera merebahkan tubuh. Aku buka pintu perlahan, takut mengganggu Aluna yang sudah tertidur. Ah, aku lupa, Aluna sudah tertidur pulas bersama kakek dan neneknya. Terpaksa malam ini aku tidur sekamar dengan Mas Tara. Tidak mungkin aku tidur di kamar mama. Ibu dan bapak pasti akan curiga. Aku merebahkan tubuh di atas ranjang. Kutarik selimut hingga menutupi perut. Kali ini aku berharap Mas Tara ketiduran di sofa agar tak sekamar denganku. Kreek... Suara pintu dibuka dari luar. Rupanya aku harus kecewa, harapanku tak dikabulkan oleh Tuhan. "Kamu sudah
"Mau apa kamu kemari, anak kecil?" Aku berdiri sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat ini. Marah dan benci melebur menjadi satu. Kalau boleh ingin kuacak-acak perempuan di hadapanku ini. Namun kutahan agar tak menimbulkan masalah baru. Tak lucu jika aku menghajar seorang anak yang masih sekolah. Kalau dia sudah dewasa pasti akan kuhajar dengan tanganku sendiri. "Aku merindukan suami kamu, Mbak Alin," ucapnya tanpa rasa malu. Ya Allah, apa seperti ini anak muda jaman sekarang? Mencintai lelaki yang pantas menjadi kakaknya atau bahkan ayahnya. “Kamu masih kecil,kamu tak pantas mencintai lelaki yang jauh lebih dewasa. Bahkan dia sudah memiliki anak dan istri. Istighfar kamu,Mel.”“Bukankah cinta tidak pernah memandang usia,kasta bahkan status?” ucapnya penuh keyakinan.Astagfirullah ... setan apa yang menempel di tubuh anak itu. Hingga ia salah mengartikan kata cinta yang sesungguhnya.“Pergi saja kamu dari sini,Mel. Jangan memperkeruh suasa
"Mama mau ke mana?" tanya Aluna yang sudah berada di belakangku. Tak lama Mas Tara masuk ke kamar. "Mama ada perlu, Sayang. Aluna sama papa dulu, ya." Ku elus pucuk kepalanya. "Aluna ikut," rengeknya sambil bergelayut di kakiku. Pasti akan ada drama setelah ini. Betapa susah menikmati waktu sendiri. "Aluna main sama papa dulu, ya. Nanti kita nonton film kartun," bujuk Mas Tara. "Gak mau! Aku mau ikut mama.""Nanti mama belikan es krim kalau Aluna mau main sama papa," bujukku sambil menatap lekat maniknya. "Tapi gak boleh lama." Perlahan tangannya terlepas dari kakiku. Selalu saja ada drama saat aku meminta izin pergi. Tak jarang aku harus pergi diam-diam. Itu pun tak akan bisa lama. Aluna akan menerorku dengan telepon yang memintaku cepat pulang. "Iya, Sayang. Mau es krim rasa apa?""Mau es krim rasa coklat dan vanila.""Siap. Mama pergi dulu, ya." Kuciumi pipi Aluna beberapa kali. "Titip Aluna, Mas," ucapku lalu mencium punggung tangannya. "Hati-hati di jalan, Mama." Mas Ta
Mataku membola melihat Mas Tara berada di atas ranjang tanpa mengenakan pakaian sehelai pun. Bahkan ia melakukan hal menjijikan seperti itu. "A-Alin," ucapnya terbata. Cepat-cepat ia ambil selimut untuk menutupi miliknya yang terekspos sempurna. Aku berlari, dengan cepat kuambil ponsel yang berada di tangannya. Tepat saat ia kebingungan menutupi tubuh. Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat barusan. Jadi begini tingkahnya di belakangku. Menjijikan. Apa jangan-jangan seperti ini kebiasaannya? "Sayang, kamu di mana? Katanya mau sekali lagi.""Sayang, aku sudah memenuhi permintaanmu, lho."Dadaku bergemuruh mendengar suara perempuan di balik telepon itu. Kuarahkan ponsel di depan wajah. Mataku melotot melihat wanita tanpa busana di layar itu. Siapa lagi kalau bukan Imelda. Anak ingusan yang sudah menghancurkan keharmonisan keluarga kecilku. Dia buru-buru mematikan panggilan telepon ketika melihat wajahku di layar ponselnya. "Jadi begini kelakukan kamu di belakangku, Mas!" Ku
"Urusi anakmu jangan urusi gundik kecil itu!" ucapku kesal. Mas Tara diam, dia tak bisa menjawab perkataanku. "Aluna tunggu sebentar, ya. Mama ambilkan kompres dan termometer dulu."Aku segera melangkah menuju lantai bawah untuk mengambil kompres dan termometer. Tak lupa ku ambilkan obat agar menurunkan panasnya. Kutempelkan termometer di ketiaknya. Sambil menunggu termometer berbunyi ku elus pucuk kepalanya. Wajahnya biasanya ceria kini terlihat sayu. "Ma, pusing.""Setelah minum obat pasti sembuh. Sabar, ya, Sayang."Tak berapa lama terdengar bunyi pelan yang keluar dari benda kecil itu. Aku mengambil, melihat tulisan yang ada di sana, 38,8° C. Demam Aluna tinggi. Pasti ia merasakan sakit. Kasihan kamu, Nak. "Aluna minum obat dulu, ya." Aluna mengangguk pelan. Obat yang sudah kugerus, kularutkan dengan air putih di dalam sendok. Dalam hitungan detik obat itu sudah berpindah ke perutnya. Tidak seperti anak kecil lainnya, Aluna termasuk anak yang mudah minum obat. Dia tak akan m
"Hak asuh Aluna akan berada di tanganku. Ingat Alin, kamu itu pengangguran. Kamu mau makan apa jika berpisah denganku? Hakim tak akan memberikan hak asuh anak pada orang tua yang tidak bekerja seperti kamu!"Kalimat itu terus saja terngiang di telinga. Semangatku untuk berpisah seakan menguap di udara. Kehilangan hak asuh anak adalah momok paling menakutkan bagi seorang ibu. Begitu juga diriku. Mas Tara memang benar, saat ini aku tak memiliki pekerjaan. Bayangan akan kerja di mana aku juga tidak tahu. "Ma." Aku tersentak lalu menoleh ke samping. Aluna masih menutup mata sambil memanggil namaku berulang kali. Dia mengigau. Kuperiksa suhu tubuhnya. Astaga, suhu tubuhnya 39,7°C. Ya Allah, kenapa suhu tubuhnya masih panas padahal sudah diperiksakan ke dokter. Dengan cepat ku ambil ponsel, jemari ini menari di atas layar. Dua belas digit nomor ponsel Mas Tara sudah tertulis jelas di sana. Segera kutarik ke atas gambar telepon berwarna hijau itu. Panggilan itu tersambung tapi tak kunj