Menerima lamaran pernikahan dari Julian Liandra, sang duda tampan terkaya di Jakarta, mungkin adalah awal dari segala macam bentuk tragedi dalam masa muda Jenar. Penyesalan tidak akan mengembalikan semua kebebasan dan kebahagaiaan masa muda yang dia miliki dulunya. Jenar harus menjadi ibu sambung dan menghadapi tiga macam karakter anak dari pernikahan Julian. Ditambah lagi, sang suami yang masih saja terlihat baik pada mantannya. Bagaimana kehidupan Jenar? Belum lagi, anak tertua Julian sangat sulit ditebak dan terlihat membencinya .... Inilah tujuh perkara Jenar, sang Ibu Sambung. Sanggupkah dia?
View More"Aku janji aku akan bertanggung jawab setibanya kita di Jakarta," ucap Julian Liandra. Pria itu berusaha untuk menerapkan apa yang diajarkan oleh mendiang ayahnya bahwa apa pun yang dilakukan olehnya, dia harus berani untuk bertanggung jawab. Termasuk, tindakan meniduri karyawannya yang ternyata masih perawan ini.
"Aku serius," imbuhnya lagi.
Pria itu mengusap wajahnya frustrasi sambil menatap jendela dengan tirai yang terbuka separuhnya.
"Aku akan menemui orang tuamu," katanya lagi pada si gadis. Sayangnya, yang diajak berbicara hanya diam sembari meremas ujung selimut dan mencoba menariknya setinggi mungkin, berharap tubuhnya tenggelam di dalam sana.
"Jenar." Pria itu menyebut nama sang perempuan, berharap mendapat jawaban.
"Aku serius dengan kalimat bahwa aku meminta maaf atas apa yang terjadi. Aku tidak sengaja ... melakukan semua itu. Kamu tahu kalau aku berada di bawah pengaruh alkohol semalam. Aku .... Ah, itu tidak perlu dibicarakan."
"Aku juga," sahutnya. Dari balik selimut, Jenar akhirnya punya keberanian untuk membuka suaranya.
Jenar tidak pernah menyangka perjalanan bisnis ke Los Angeles justru membawanya terbangun di atas ranjang kamar hotel bersama Bosnya dalam keadaan begini.
"Huh?" Pemilik Lian DeFood yang tampan itu mengerutkan keningnya. Dia menoleh dan menatap gadis yang kembali menyembulkan kepalanya keluar dari selimut.
Pria itu menatapnya dalam diam. Baginya, Jenar itu sempurna! Wajahnya cantik, terlihat muda, dan segar. Tubuhnya bagus ditambah dengan kulit putih susu yang bersih karena tak ada noda dan luka di atas tubuh ramping itu.
“Apa yang kamu maksudkan dengan kalimat ‘aku juga’, Jenar?” tanyanya mencoba untuk memahami. Seingatnya, mereka sama-sama mabuk kemarin. Setelah itu, keduanya tidak ingat apa pun. Namun, ada fakta mengejutkan di sini. Dari pandangan mata Jenar, Julian tahu bahwa perempuan itu mengingat semuanya.
"Bicaralah. Jangan diam saja," katanya memerintah. Masih dengan frustrasi yang sama.
Jenar menelan ludahnya. Setidaknya, dia harus diberi segelas air putih dulu, tenggorokannya terasa begitu kering dan serak. Selain alkohol, semalam dia tidak minuma apapun.
"Aku yang salah." Jenar akhirnya berbicara dengan suara yang parau.
"Seharusnya, aku tidak masuk ke dalam sini," katanya pada laki-laki yang ada di sisinya. Dia perlahan-lahan duduk, bersama dengan selimut yang ditarik lebih tinggi lagi untuk menutupi batas dadanya.
"Kenapa kamu yang salah?" Pria itu menyahut.
"Aku juga seharusnya bisa menahan diri," sambung Julian.
Dia melirik Jenar lagi. Dia bisa membaca ekspresi wajah Jenar. Jenar dipenuhi dengan penyesalan yang luar biasa besarnya.
Jenar diam dan menatap dirinya sendiri dari pantulan cermin yang ada di depannya. Kacau, tentu saja. Siapa pernah menyangka kalau dia akan bermalam dengan bosnya sendiri? Dalam perjalanan bisnis di negara orang? Luar biasa!
Pada awalnya, diajak pak bos datang ke luar negeri adalah hal yang luar biasa mengasyikkan. Akan tetapi, dia tidak tahu kalau 'liburan' itu harus dibayar dengan tubuhnya.
"Aku akan bertanggung jawab, Jenar." Kalimat itu terdengar lagi. "Aku akan berbicara dengan orang tuamu."
"Ayahku sudah meninggal lima tahun lalu," sahut Jenar. Sekarang, kalimat itu cukup bisa untuk membuat pria yang ada di depannya diam. Terkejut.
"Ibuku merantau di Malaysia. Jadi TKW setelah ayah meninggal."
Pria itu menghela nafasnya. Jenar adalah karyawannya. Namun, dia tidak tahu apa pun tentang kehidupan Jenar termasuk latar belakang keluarganya.
Julian pun mengangguk berusaha mengerti situasi ini. "Ah, begitu."
"Aku hanya tinggal dengan teman lamaku di kontrakan," sahut Jenar lagi.
"Aku akan mencoba untuk menghubungi ibumu. Jika terjadi sesuatu denganmu, maka aku langsung bertanggung jawab." Julian berbicara lagi. Sedari tadi hanya membahas pasal tanggung jawab.
Jenar diam sejenak. Menatap paras tampan pak bos yang terlihat awet muda, membuatnya bersyukur. Setidaknya, dia menggila dengan bosnya yang tampan secara fisik—dan sehat tentunya. Bukan dengan pak bos tua yang gendut dengan ribuan penyakit yang bersarang di dalam tubuhnya karena usia yang renta.
"Pak Julian." Jenar memanggilnya dengan lirih.
"Bapak tidak perlu bertanggung jawab," tukas Jenar. Dengan berat hati, dia harus mengatakan itu walaupun dia sudah merugi atas segala-galanya.
Wajah Jenar pucat pasi, Julian tidak tega jika menganggukkan kepalanya. Sepertinya, dia menahan sesuatu, sakit barang kali. Dia masih suci kemarin—sebelum Julian menjamahnya.
"Kenapa tidak harus?" tanya Julian. Nada bicaranya begitu lembut terlihat ingin memberi rasa aman pada Jenar. Sangat berbeda dengan image-nya di kantor yang terkenal sebagai bos galak dengan pembawaan yang dingin bagi orang luar yang tidak dekat dengannya
"Kamu begini ... di sini .... karena aku. Aku akan memikirkan cara untuk--"
"Bapak punya anak," Jenar menyahut setelah memotong kalimat Julian.
Jenar, ah tidak … semua orang tahu kalau Julian Liandra, si bos hebat perusahaan makanan terbesar di Jakarta dan Surabaya ini, memiliki tiga anak dan sudah bercerai dari mantan istrinya. Apakah mereka akan menerima Jenar nantinya?
"Aku memikirkan anak-anak Pak Julian," imbuhnya. Melirih. Nada bicaranya semakin habis saja. Dia berusaha untuk tenang, meskipun itu sulit dilakukan. Di dalam hatinya, bergejolak banyak hal. Termasuk, fakta bahwa dia bukan gadis suci lagi.
"Lalu kamu tidak memikirkan diri kamu sendiri?" tanyanya pada Jenar. "Bagaimana dengan kamu?"
Jenar diam sejenak, memandang ke arah lain. Menyembunyikan kesedihannya yang tiba-tiba datang.
"Aku akan menutupinya. Tidak ada yang tahu kalau kita melakukan itu semalam, jadi aku akan menutupinya dari semua orang. Aku tidak bisa merusak kebahagiaan keluargamu, Pak Julian," putus Jenar pada akhirnya.
Julian memutar tubuhnya serong. "Kemarilah," titahnya. Menarik lengan Jenar.
Gadis itu terkejut kala disentuh olehnya. Padahal, semalam dia menikmatinya.
"Kemarilah, Jenar!" Pria itu menariknya lagi. Membuat Jenar dekat dengannya setelah duduk berjarak cukup jauh.
Julian memeluk Jenar. Aneh! Padahal, tidak seharusnya mereka merayakan kesalahan ini dengan berpelukan dalam keadaan telanjang dada.
"Aku akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu padamu. Jangan khawatirkan soal anak-anakku. Aku yang berbicara dengan mereka."
Jenar diam di dalam pelukannya. Gadis itu mendengarkan semua yang dikatakan oleh Julian. Rasanya mirip seperti obat bius yang menghilangkan sejenak kekhawatiran di dalam dirinya. Jujur saja, dia menyukai aroma tubuh pria ini. Namun—dengan segala kewarasannya yang telah kembali—dia tidak boleh menyukainya.
Bagaimana bisa Jenar menyukai Julian?
Selain duda kaya dan tampan beranak tiga, Julian adalah bosnya di kantor. Mereka juga baru saja mengenal. Ditambah lagi, sebenarnya Jenar adalah karyawan baru yang kebetulan diakui kehebatannya dengan ide-ide yang menarik, itulah sebabnya dia diboyong ke Los Angeles untuk menemui seorang klien.
"Pak Julian?" Jenar tiba-tiba saja mengingat sesuatu. "Aku ingin bilang sesuatu padamu."
Pria itu melepaskan pelukan. "Ada apa?"
"Kemarin, ada yang melihat kita masuk ke dalam kamar." Binar matanya seakan ikut berbicara, kekhawatirannya mulai kembali lagi.
Julian diam sejenak. "Siapa?" tanyanya pada akhirnya. Mengusir rasa penasaran.
"Mr Nico, klien kita."
"Huh? Kamu yakin?"
Jenar mengangguk. "Hm .... Aku baru ingat."
“Itu biar jadi urusanku. Kamu tidak perlu khawatir.”
... Next ...
Dua cangkir teh menemani diamnya mereka. Jenar tiba-tiba ingin berbicara serius, padahal kedatangan Julio hanya ingin melihat putranya. "Aku membelikan mainan baru," kata Julio mencoba untuk menghilangkan rasa canggung itu. "Aku tahu kalau putra kita belum bisa bermain, aku hanya ingin membelikannya saja."Julio seakan takut penolakan dari Jenar. "Aku juga merindukan putraku. Aku kebetulan lewat sini, jadi aku langsung mampir," ucapnya lagi. Jenar tersenyum. "Kamu baru datang kemarin. Bagaimana bisa merindukannya secepat itu? Kamu baru pulang dari rumah ini kemarin malam, belum ada satu hari."Julio manggut-manggut. "Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya," celetuknya."Julio, aku ingin ....""Aku tahu kalau aku berlebihan." Julio tiba-tiba memotong kalimat Jenar. "Aku tahu kalau tidak seharusnya aku datang setiap hari dan memberikan itu semua."Julio menghela napas. "Namun, seberapa kuat kamu menolak, itu tetap putraku.""Aku tetap punya hak untuk datang dan melihatnya. Member
Luce's N Property, Jakarta.Jenar duduk sembari memandang keadaan sekitarnya. Suasana begitu asing ketika dia memutuskan untuk masuk ke dalam tempat ini. "Jadi, kamu datang untuk apa?" Luce menyambutnya dengan sedikit aneh, tatapan mata tidak suka melihat Jenar datang tiba-tiba. "Kebetulan aku sibuk hari ini."Jenar tersenyum seadanya. Kepalanya manggut-manggut ringan. "Maaf, karena aku mengganggumu hari ini, Nyonya Luce.""Jadi?" Luce mendesak Jenar untuk segera berbicara. Jujur saja, dia juga penasaran.Jenar menundukkan pandangan mata. Keraguan menyerbu dirinya. Sekarang, Jenar menyesali keputusannya datang kemari tanpa keyakinan dalam hatinya. "Kenapa malah diam?" Luce memecah keheningan. "Sudah aku bilang kalau aku sibuk hari ini. Jika kamu memang tidak ....""Ini tentang Julio." Jenar memberanikan diri untuk menatap Luce. "Sudah sejak beberapa hari yang lalu ketika dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia."Luce mengangguk sekali. "Lantas?""Aku yang menyuruhnya untuk pulang k
Jenar dikejutkan dengan kedatangan Jasmine pagi ini. Gadis itu membawa setumpuk buku yang tebal dan terlihat begitu berat. Jasmine meletakkannya di atas meja, lalu tersenyum pada Jenar."Kamu bisa membaca ini." Jasmine duduk di tengah sofa. Memberi perintah Jenar untuk duduk bersamanya.Jenar hendak pergi, sebenarnya. Sayang sekali, gadis ini membuatnya tertahan. Dia harus menunda kepergiannya, mungkin untuk beberapa menit hingga jam ke depan."Ayo duduk." Jasmine memberi perintah lagi sembari mengetuk meja di depannya. "Aku yakin ini akan menjawab keraguanmu."Jenar memandangnya tak mengerti. Namun, dia tidak punya pilihan lain untuk menurutinya. Jenar terpaksa duduk dan meladeni Jasmine hari ini. "Apa yang kamu maksudkan?" Jenar membuka salah satu buku di depannya. Alangkah terkejutnya Jenar, ketika dia melihat biodata Julio yang membuka halaman pertama. Jenar memandang Jasmine lagi. "Apa-apaan ini?" tanyanya. "Kenapa kamu memberi buku seperti ini padaku?""Bukan hanya satu, di ba
Jenar ingin sekali mengusirnya, tetapi dia tidak tega melakukan itu. Bukan soal Julio, tetapi bagaimana perasaan putranya? "Dia tampan sekali," gumam Julio sembari mengusap lembut pipi putranya dengan ujung jarinya. "Dia mirip denganmu."Jenar hanya berdiri di ambang pintu. Kepalanya sesekali menunduk, padahal dia tidak salah apapun. "Sudah memberi nama?" tanyanya. Julio menoleh ke arah Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu nama yang bagus untuk dia."Julio terkekeh. "Lalu selama ini kamu memanggilnya bagaimana?"Jenar lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Sekarang dia tidak berucap sepatah kata pun. Julio menatap putranya lagi. "Bolehkah aku yang memberi nama? Aku sudah memikirkannya sejak turun dari pesawat.""Perjalanan kemari aku menyusun nama panjang untuknya," kata Julio lagi. Keduanya saling memandang.Jenar manggut-manggut. "Itu adalah putramu juga.""Bayu Kalandra Joe." Julian menoleh pada Jenar lagi. "Kita bisa memanggilnya Bayu."Jenar langsung mengembangkan
Hari demi hari berlalu begitu saja. Jenar hanya berharap keadaan jauh lebih baik. Dia hanya ingin membesarkan putranya tanpa harus memberi penderitaan pada bayi kecil tak bersalah itu. "Jenar!" Jasmine memanggilnya. Jenar yang hendak masuk ke dalam rumah, harus kembali terhenti. Dia menyambut kedatangan Jasmine dengan senyuman."Baru pulang sekolah?" Jenar menatap penampilan gadis itu. Seragam sekolah masih rapi membungkus tubuhnya. Jasmine menganggukkan kepala. "Begitulah." Sekarang dia lebih lunak pada Jenar. Toh juga tidak ada yang perlu ditutupi, dia mulai mengakui segalanya. "Aku tadi lewat toko kue, aku beli satu buat kamu." Jasmine menyodorkan kue dalam kantung plastik hitam. "Kamu suka keju kan?"Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. "Makasih banyak.""Kalau kamu belum makan siang, kamu bisa makan di sini dulu." Jenar menawarkan. "Aku buat ayam tepung."Jasmine menganggukkan kepala. "Bolehkah?" "Tentu saja. Kamu boleh menghabiskan semuanya." Jenar tertawa kecil semb
"Aku tidak bisa menemui Julio." Jenar menundukkan pandangan mata. Rasa bersalah masih menguasai dirinya acap kali melihat Julian. Julian tersenyum dan menyeruput teh yang dibuatkan Jenar untuknya. Kepalanya mengangguk, bukan berarti dia menyetujui kalimat Jenar. Julian hanya berusaha memahami perasaannya. "Lebih tepatnya kamu tidak mau, kan?" tanya Julian. "Benar kata Jasmine, ternyata kamu berusaha kabur dari kesalahanmu."Jenar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Julian. Julian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Katanya kamu mau pergi keluar Jakarta. Kamu tidak akan kembali dan kamu meminta Jasmine untuk membantu kepergianmu secara diam-diam."Jenar tidak bisa menjawab. Dia mengaku salah."Apa yang kamu inginkan dari keputusan itu?" tanya Julian. "Kamu menginginkan ketenangan?"Jenar menggelengkan kepalanya tak yakin. "Jangan-jangan kamu berpikir, kalau kamu akan terbebas dari dosa jika pergi dari Jakarta," kekeh Julian pelan. "Aku pikir kamu tidak s
Beberapa hari kemudian. Jenar meletakkan tas jinjing di atas meja, sedangkan Sarah sibuk menurunkan barang-barang dari taksi yang mengantar mereka pulang ke rumah. Jenar lega, akhirnya dia kembali mencium aroma rumah. Suasana rumah sakit benar-benar membosankan untuk dirinya."Aku harus kembali kerja setelah makan siang," ucap Sarah. "Aku sudah libur beberapa hari untuk menunggu kamu di rumah sakit. Aku tidak bisa libur lagi."Jenar menganggukkan kepalanya paham. "Maaf, karena aku jadi merepotkan kamu."Jenar menggelengkan kepalanya. "Kamu seharusnya bisa fokus pada pekerjaan kamu.""Tidak masalah." Sarah meliriknya. "Aku juga tidak akan bisa fokus kerja kalau meninggalkan kamu sendirian.""Sekarang aku jadi bisa lebih fokus, kamu sudah pulang." Sarah menutup kalimatnya. Dia menata barang-barang itu di sudut ruangan.Jenar tersenyum manis. "Makasih, Sar." "Sama-sama." Sarah menyelesaikan aktivitasnya. Dia berjalan mendekati Jenar. Jari jemarinya mengusap wajah tampan bayi di atas g
Rumah sakit persalinan, Jakarta.Tidak ada yang berani berbicara. Sarah melirik Jenar sesekali, kembali menunduk dan bermain dengan jari jemarinya. Helaan napas sesekali terdengar begitu berat dan penuh beban. Kenyatannya, tidak ada yang berani menghadapi keadaan yang ada. "Haruskah aku mengabari Julio?" Sarah memberanikan diri. Pandangan matanya tak lepas dari Jenar. "Aku akan ....""Bisakah besok kita pulang ke rumah?" Jenar memotongnya kalimat Sarah. Membalas tatapan temannya itu dengan sendu. "Aku ingin pulang."Sarah meraih tangan Jenar. "Jika karena biaya, kamu tidak perlu khawatir. Pak Julian memasukkan semua tagihan atas nama perusahaannya.""Dia memang pria yang bisa diandalkan." Sarah tersenyum mantap sembari mengacungkan jempolnya. Semangatnya seakan diisi ulang. Jenar memandangnya dengan begitu iba. Seakan mengetahui maksud dari perubahan raut wajah temannya, Sarah langsung menurunkan jempolnya."Sorry," gumam Sarah. Jenar menghela napas panjang. "Aku berpikir untuk kem
Malam, kediaman Julian. Jasmine melirik Julian yang baru saja turun dari lantai atas. Pakaiannya sudah diganti dengan kaos seadanya dipadukan celana panjang kain berwarna cokelat muda. "Papa nggak menunggu Jenar di rumah sakit?" Jasmine bertanya, menyela dengan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Julian menarik kursi di depan Jasmine. "Kamu makan jam segini, tidak takut gendut?" kekehnya. "Umumnya gadis seusia kamu menjaga pola makan di jam begini."Pria itu menatap piring yang penuh dengan nasi. "Sepertinya kamu lain.""Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan," jawab Jasmine. Dipandanginya Julian dengan saksama. "Papa hanya akan mengalihkan pembicaraan jika tidak suka dengan topiknya."Julian hanya tersenyum miring, sembari mengambil nasi di depannya."Aku kira Papa peduli dengannya." Jasmine berucap lagi. "Papa bahkan berlari dari luar kota kembali ke Jakarta, setelah mendengar Jenar melahirkan hari ini."Julian manggut-manggut. "Memang. Momen melahirkan hanya sekali kan?
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments