Dua cangkir teh menemani diamnya mereka. Jenar tiba-tiba ingin berbicara serius, padahal kedatangan Julio hanya ingin melihat putranya. "Aku membelikan mainan baru," kata Julio mencoba untuk menghilangkan rasa canggung itu. "Aku tahu kalau putra kita belum bisa bermain, aku hanya ingin membelikannya saja."Julio seakan takut penolakan dari Jenar. "Aku juga merindukan putraku. Aku kebetulan lewat sini, jadi aku langsung mampir," ucapnya lagi. Jenar tersenyum. "Kamu baru datang kemarin. Bagaimana bisa merindukannya secepat itu? Kamu baru pulang dari rumah ini kemarin malam, belum ada satu hari."Julio manggut-manggut. "Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya," celetuknya."Julio, aku ingin ....""Aku tahu kalau aku berlebihan." Julio tiba-tiba memotong kalimat Jenar. "Aku tahu kalau tidak seharusnya aku datang setiap hari dan memberikan itu semua."Julio menghela napas. "Namun, seberapa kuat kamu menolak, itu tetap putraku.""Aku tetap punya hak untuk datang dan melihatnya. Member
"Aku janji aku akan bertanggung jawab setibanya kita di Jakarta," ucap Julian Liandra. Pria itu berusaha untuk menerapkan apa yang diajarkan oleh mendiang ayahnya bahwa apa pun yang dilakukan olehnya, dia harus berani untuk bertanggung jawab. Termasuk, tindakan meniduri karyawannya yang ternyata masih perawan ini. "Aku serius," imbuhnya lagi. Pria itu mengusap wajahnya frustrasi sambil menatap jendela dengan tirai yang terbuka separuhnya. "Aku akan menemui orang tuamu," katanya lagi pada si gadis. Sayangnya, yang diajak berbicara hanya diam sembari meremas ujung selimut dan mencoba menariknya setinggi mungkin, berharap tubuhnya tenggelam di dalam sana. "Jenar." Pria itu menyebut nama sang perempuan, berharap mendapat jawaban. "Aku serius dengan kalimat bahwa aku meminta maaf atas apa yang terjadi. Aku tidak sengaja ... melakukan semua itu. Kamu tahu kalau aku berada di bawah pengaruh alkohol semalam. Aku .... Ah, itu tidak perlu dibicarakan." "Aku juga," sahutnya. Dari balik s
Jakarta, Indonesia. "Menikah dengan Pak Julian?" Dia tertawa meledek Jenar. "Jenar!" Dia menatapnya kemudian berjalan mendekat membawa dua mangkuk mie kuah dengan potongan cabai di atasnya. "Hal yang paling lebih mengejutkan untukku bukan fakta bahwa kamu dan Pak Julian tidur dalam satu ranjang dan bermalam bersama dalam keadaan mabuk," ucapnya sembari tertawa. Dia duduk tepat di depan Jenar. "Fakta bahwa kamu berangan-angan untuk menikah dengannya dan menjadi bagian dari Lian DeFood adalah hal yang paling mengejutkan dan paling gila, Jenar." Jenar manggut-manggut. "Kamu benar ... aku sudah gila rupanya," sahut Jenar. Nada bicaranya mengisyaratkan kalau dia putus asa. Tak pernah menyangka kalau dirinya akan terjebak dalam situasi seperti ini. Jenar adalah pemimpi. Di dalam kepalanya hanya berisi tentang mimpi dan ambisi untuk menaklukan kota besar ini. Kalau ditanya pasal fisik, Jenar itu 'kembang desa' yang tinggal di tengah metropolitan. Kulitnya kuning langsat dengan tubuh jen
"Jenar!" Seseorang memanggilnya saat dirinya baru saja masuk ke bangunan Lian DeFood yang cukup ramai oleh para pekerja. Hal itu membuat Jenar menoleh pada sumber suara. "Ah ... dia lagi!" Jenar bergumam pada dirinya sendiri. "Akhirnya kamu masuk juga!" Dia menepuk pundak Jenar. Baginya, mereka adalah rekan kerja yang akrab, tetapi tidak untuk Jenar. Jenar tidak suka bergaul dengan orang yang suka nyablak kalau berbicara seperti Wulan. Wulan berjalan mengekori Jenar kemudian. Dia adalah biangnya gosip di tengah anak-anak magang dan karyawan baru. Jenar selalu saja terseret arus yang dia gosipkan. "Memangnya kenapa kalau aku nggak masuk?" Jenar melanjutkan langkah kakinya. "Pak Julian bilang kalau kamu demam karena udara dingin di Los Angeles. Katanya juga kamu flu berat dan alergi. Jadi mengambil cuti sampai hari Kamis kemarin." Dia mendesah panjang. Menatap Jenar yang diam. Jenar adalah tipe pendiam, jauh berbeda darinya. Wulan adalah tipikal yang akan mengatakan apapun yang a
Jenar masih memikirkan ucapan Wulan dan merasa ingin menjauh dari bosnya itu. Namun, di sinilah dia-- berada di ruangan yang sama dengan Julian karena ide proposal yang dia ajukan. "Ada ide tambahan untuk proposal kamu?" tanya Julian, "Idenya perlu disempurnakan." Jenar tidak memberi jawaban. Dia memilih menundukkan pandangan untuk menghindari kontak mata dengan Julian. Julian mengerti kesalahan di Los Angeles membuat Jenar begitu canggung padanya. Gadis itu sudah menghindari dirinya selama satu minggu. Dia mengabaikan panggilan suara dan pesan dari Julian. Ditambah lagi, keberadaan mantan istrinya--Luce Wileen di sudut ruangan. "Kalau tidak ada, aku kembalikan proposalmu." Julian mendorong tumpukan kertas ke arah Jenar. "Temui aku lagi jika sudah menyempurnakan isi proposalmu." Dia menambahkan lagi. "Di dalam sana aku sudah memberikan beberapa catatan penting untuk membantu," pungkasnya.Jenar mengangguk sekali. "Baik, Pak." Suaranya sangat lirih. "Terima kasih." "Kirimkan pro
Di sela langkah kakinya saat perjalanan pulang, entah mengapa Jenar masih memikirkan tentang hubungan Luce dan Julian. Tanpa sadar, gadis itu bergumam, "Kenapa dia menceraikan Nyonya Luce?" Jenar masih memiliki pendapat yang sama: Luce adalah wanita sempurna! Dia tidak mengerti mengapa Julian menceraikan Luce."Dia cantik. Berwibawa, pintar dan kaya raya. Dia adalah wanita karier yang mapan. Dia pasti jadi istri yang sempurna dan ibu yang pantas untuk ketiga anak-anaknya. Lalu kenapa dia malah menceraikannya?" Jenar mencoba untuk mendalami peran Julian sebagai seorang suami dan ayah. "Mungkinkan karena Pak Julian punya wanita simpanan?" Jenar tak sengaja menunjuk dirinya sendiri. "Seperti diriku sekarang?" Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Apa yang aku pikirkan!" Faktanya, hubungan singkat satu malam tidak cukup untuk bisa mengenal Julian. Byur! Tiba-tiba saja genangan air yang ada di sisi trotoar—sisa hujan kemarin malam— menyembur mengenai baju dan wajahnya. "Sialan!" umpa
"Ya ampun, Mbak Jenar!" Seseorang berteriak menyambut Jenar kembali. Dia bahkan melemparkan sekop yang ada di tangannya, melepas sarung tangan, dan meninggalkan aktivitas berkebunnya sore ini."Mbak ini kenapa?" Dia melihat Jenar dari atas ke bawah. Penampilan Jenar kotor dan basah penuh bercak lumpur. Padahal pagi tadi dia berpamitan hanya untuk pergi bekerja."Ada pemuda rese," katanya. Menyahut seadanya. Berjalan masuk ke dalam rumah. Di sinilah Jenar tinggal selama di Jakarta.Tentang kedua orang tuanyar. Ayah Jenar meninggal karena sebuah penyakit lima tahun lalu. Ibunya merantau ke luar negeri untuk menghasilkan uang lebih. Dia tinggal bersama teman lamanya yang kadang-kadang datang. Di samping kanan, seorang remaja yang baru saja masuk bangku perkuliahan tinggal bersama ayahnya seorang kuli bangunan serabutan yang kadang pulang kadang tidak."Terus gimana?" tanyanya pada Jenar. Mengikuti langkah Jenar masuk ke dalam rumah setelah membuka pintu yang terkunci.Jenar menghela nafa
"Siapa dia?" Alif berbisik-bisik sembari mengintip ke dalam. "Teman atau pacar Mbak Jenar?" Pertanyaannya sedikit memaksa. "Bosnya Mbak Jenar?" Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin kalau bos dari perusahaan besar datang berkunjung tanpa alasan begini." Pandangan Alif tertuju pada Jenar. "Ada masalah di kantor, Mbak?" "Udah, pulang aja." Jenar kokoh untuk mengusir Alif. "Urusi kebun kamu itu dulu, nanti malam aku jelaskan." Dia mendorong tubuh Alif menjauh dari rumahnya. "Sekarang aku harus menemui tamuku." Dia menoleh ke belakang. "Kamu lihat sendiri, dia orang berada. Aku gak mau kalau terkesan mengabaikan dan tidak menghormati kedatangannya." Alif menyerah. "Oke!" Dia meraih kedua tangan Jenar. "Janji jelaskan, oke?" Jenar menghela nafas. "Hm, sekarang pulang dulu. Jangan merepotkan diriku." Jenar menggerutu. Kembali mendorong tubuh pemuda itu agar menjauh darinya. Alif pasrah dan pergi. Rasa penasaran disimpan dalam hatinya. Sesuai janji Jenar, dia akan datang malam na
Dua cangkir teh menemani diamnya mereka. Jenar tiba-tiba ingin berbicara serius, padahal kedatangan Julio hanya ingin melihat putranya. "Aku membelikan mainan baru," kata Julio mencoba untuk menghilangkan rasa canggung itu. "Aku tahu kalau putra kita belum bisa bermain, aku hanya ingin membelikannya saja."Julio seakan takut penolakan dari Jenar. "Aku juga merindukan putraku. Aku kebetulan lewat sini, jadi aku langsung mampir," ucapnya lagi. Jenar tersenyum. "Kamu baru datang kemarin. Bagaimana bisa merindukannya secepat itu? Kamu baru pulang dari rumah ini kemarin malam, belum ada satu hari."Julio manggut-manggut. "Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya," celetuknya."Julio, aku ingin ....""Aku tahu kalau aku berlebihan." Julio tiba-tiba memotong kalimat Jenar. "Aku tahu kalau tidak seharusnya aku datang setiap hari dan memberikan itu semua."Julio menghela napas. "Namun, seberapa kuat kamu menolak, itu tetap putraku.""Aku tetap punya hak untuk datang dan melihatnya. Member
Luce's N Property, Jakarta.Jenar duduk sembari memandang keadaan sekitarnya. Suasana begitu asing ketika dia memutuskan untuk masuk ke dalam tempat ini. "Jadi, kamu datang untuk apa?" Luce menyambutnya dengan sedikit aneh, tatapan mata tidak suka melihat Jenar datang tiba-tiba. "Kebetulan aku sibuk hari ini."Jenar tersenyum seadanya. Kepalanya manggut-manggut ringan. "Maaf, karena aku mengganggumu hari ini, Nyonya Luce.""Jadi?" Luce mendesak Jenar untuk segera berbicara. Jujur saja, dia juga penasaran.Jenar menundukkan pandangan mata. Keraguan menyerbu dirinya. Sekarang, Jenar menyesali keputusannya datang kemari tanpa keyakinan dalam hatinya. "Kenapa malah diam?" Luce memecah keheningan. "Sudah aku bilang kalau aku sibuk hari ini. Jika kamu memang tidak ....""Ini tentang Julio." Jenar memberanikan diri untuk menatap Luce. "Sudah sejak beberapa hari yang lalu ketika dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia."Luce mengangguk sekali. "Lantas?""Aku yang menyuruhnya untuk pulang k
Jenar dikejutkan dengan kedatangan Jasmine pagi ini. Gadis itu membawa setumpuk buku yang tebal dan terlihat begitu berat. Jasmine meletakkannya di atas meja, lalu tersenyum pada Jenar."Kamu bisa membaca ini." Jasmine duduk di tengah sofa. Memberi perintah Jenar untuk duduk bersamanya.Jenar hendak pergi, sebenarnya. Sayang sekali, gadis ini membuatnya tertahan. Dia harus menunda kepergiannya, mungkin untuk beberapa menit hingga jam ke depan."Ayo duduk." Jasmine memberi perintah lagi sembari mengetuk meja di depannya. "Aku yakin ini akan menjawab keraguanmu."Jenar memandangnya tak mengerti. Namun, dia tidak punya pilihan lain untuk menurutinya. Jenar terpaksa duduk dan meladeni Jasmine hari ini. "Apa yang kamu maksudkan?" Jenar membuka salah satu buku di depannya. Alangkah terkejutnya Jenar, ketika dia melihat biodata Julio yang membuka halaman pertama. Jenar memandang Jasmine lagi. "Apa-apaan ini?" tanyanya. "Kenapa kamu memberi buku seperti ini padaku?""Bukan hanya satu, di ba
Jenar ingin sekali mengusirnya, tetapi dia tidak tega melakukan itu. Bukan soal Julio, tetapi bagaimana perasaan putranya? "Dia tampan sekali," gumam Julio sembari mengusap lembut pipi putranya dengan ujung jarinya. "Dia mirip denganmu."Jenar hanya berdiri di ambang pintu. Kepalanya sesekali menunduk, padahal dia tidak salah apapun. "Sudah memberi nama?" tanyanya. Julio menoleh ke arah Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu nama yang bagus untuk dia."Julio terkekeh. "Lalu selama ini kamu memanggilnya bagaimana?"Jenar lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Sekarang dia tidak berucap sepatah kata pun. Julio menatap putranya lagi. "Bolehkah aku yang memberi nama? Aku sudah memikirkannya sejak turun dari pesawat.""Perjalanan kemari aku menyusun nama panjang untuknya," kata Julio lagi. Keduanya saling memandang.Jenar manggut-manggut. "Itu adalah putramu juga.""Bayu Kalandra Joe." Julian menoleh pada Jenar lagi. "Kita bisa memanggilnya Bayu."Jenar langsung mengembangkan
Hari demi hari berlalu begitu saja. Jenar hanya berharap keadaan jauh lebih baik. Dia hanya ingin membesarkan putranya tanpa harus memberi penderitaan pada bayi kecil tak bersalah itu. "Jenar!" Jasmine memanggilnya. Jenar yang hendak masuk ke dalam rumah, harus kembali terhenti. Dia menyambut kedatangan Jasmine dengan senyuman."Baru pulang sekolah?" Jenar menatap penampilan gadis itu. Seragam sekolah masih rapi membungkus tubuhnya. Jasmine menganggukkan kepala. "Begitulah." Sekarang dia lebih lunak pada Jenar. Toh juga tidak ada yang perlu ditutupi, dia mulai mengakui segalanya. "Aku tadi lewat toko kue, aku beli satu buat kamu." Jasmine menyodorkan kue dalam kantung plastik hitam. "Kamu suka keju kan?"Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. "Makasih banyak.""Kalau kamu belum makan siang, kamu bisa makan di sini dulu." Jenar menawarkan. "Aku buat ayam tepung."Jasmine menganggukkan kepala. "Bolehkah?" "Tentu saja. Kamu boleh menghabiskan semuanya." Jenar tertawa kecil semb
"Aku tidak bisa menemui Julio." Jenar menundukkan pandangan mata. Rasa bersalah masih menguasai dirinya acap kali melihat Julian. Julian tersenyum dan menyeruput teh yang dibuatkan Jenar untuknya. Kepalanya mengangguk, bukan berarti dia menyetujui kalimat Jenar. Julian hanya berusaha memahami perasaannya. "Lebih tepatnya kamu tidak mau, kan?" tanya Julian. "Benar kata Jasmine, ternyata kamu berusaha kabur dari kesalahanmu."Jenar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Julian. Julian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Katanya kamu mau pergi keluar Jakarta. Kamu tidak akan kembali dan kamu meminta Jasmine untuk membantu kepergianmu secara diam-diam."Jenar tidak bisa menjawab. Dia mengaku salah."Apa yang kamu inginkan dari keputusan itu?" tanya Julian. "Kamu menginginkan ketenangan?"Jenar menggelengkan kepalanya tak yakin. "Jangan-jangan kamu berpikir, kalau kamu akan terbebas dari dosa jika pergi dari Jakarta," kekeh Julian pelan. "Aku pikir kamu tidak s
Beberapa hari kemudian. Jenar meletakkan tas jinjing di atas meja, sedangkan Sarah sibuk menurunkan barang-barang dari taksi yang mengantar mereka pulang ke rumah. Jenar lega, akhirnya dia kembali mencium aroma rumah. Suasana rumah sakit benar-benar membosankan untuk dirinya."Aku harus kembali kerja setelah makan siang," ucap Sarah. "Aku sudah libur beberapa hari untuk menunggu kamu di rumah sakit. Aku tidak bisa libur lagi."Jenar menganggukkan kepalanya paham. "Maaf, karena aku jadi merepotkan kamu."Jenar menggelengkan kepalanya. "Kamu seharusnya bisa fokus pada pekerjaan kamu.""Tidak masalah." Sarah meliriknya. "Aku juga tidak akan bisa fokus kerja kalau meninggalkan kamu sendirian.""Sekarang aku jadi bisa lebih fokus, kamu sudah pulang." Sarah menutup kalimatnya. Dia menata barang-barang itu di sudut ruangan.Jenar tersenyum manis. "Makasih, Sar." "Sama-sama." Sarah menyelesaikan aktivitasnya. Dia berjalan mendekati Jenar. Jari jemarinya mengusap wajah tampan bayi di atas g
Rumah sakit persalinan, Jakarta.Tidak ada yang berani berbicara. Sarah melirik Jenar sesekali, kembali menunduk dan bermain dengan jari jemarinya. Helaan napas sesekali terdengar begitu berat dan penuh beban. Kenyatannya, tidak ada yang berani menghadapi keadaan yang ada. "Haruskah aku mengabari Julio?" Sarah memberanikan diri. Pandangan matanya tak lepas dari Jenar. "Aku akan ....""Bisakah besok kita pulang ke rumah?" Jenar memotongnya kalimat Sarah. Membalas tatapan temannya itu dengan sendu. "Aku ingin pulang."Sarah meraih tangan Jenar. "Jika karena biaya, kamu tidak perlu khawatir. Pak Julian memasukkan semua tagihan atas nama perusahaannya.""Dia memang pria yang bisa diandalkan." Sarah tersenyum mantap sembari mengacungkan jempolnya. Semangatnya seakan diisi ulang. Jenar memandangnya dengan begitu iba. Seakan mengetahui maksud dari perubahan raut wajah temannya, Sarah langsung menurunkan jempolnya."Sorry," gumam Sarah. Jenar menghela napas panjang. "Aku berpikir untuk kem
Malam, kediaman Julian. Jasmine melirik Julian yang baru saja turun dari lantai atas. Pakaiannya sudah diganti dengan kaos seadanya dipadukan celana panjang kain berwarna cokelat muda. "Papa nggak menunggu Jenar di rumah sakit?" Jasmine bertanya, menyela dengan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Julian menarik kursi di depan Jasmine. "Kamu makan jam segini, tidak takut gendut?" kekehnya. "Umumnya gadis seusia kamu menjaga pola makan di jam begini."Pria itu menatap piring yang penuh dengan nasi. "Sepertinya kamu lain.""Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan," jawab Jasmine. Dipandanginya Julian dengan saksama. "Papa hanya akan mengalihkan pembicaraan jika tidak suka dengan topiknya."Julian hanya tersenyum miring, sembari mengambil nasi di depannya."Aku kira Papa peduli dengannya." Jasmine berucap lagi. "Papa bahkan berlari dari luar kota kembali ke Jakarta, setelah mendengar Jenar melahirkan hari ini."Julian manggut-manggut. "Memang. Momen melahirkan hanya sekali kan?