Jenar masih memikirkan ucapan Wulan dan merasa ingin menjauh dari bosnya itu. Namun, di sinilah dia-- berada di ruangan yang sama dengan Julian karena ide proposal yang dia ajukan.
"Ada ide tambahan untuk proposal kamu?" tanya Julian, "Idenya perlu disempurnakan."
Jenar tidak memberi jawaban. Dia memilih menundukkan pandangan untuk menghindari kontak mata dengan Julian.
Julian mengerti kesalahan di Los Angeles membuat Jenar begitu canggung padanya. Gadis itu sudah menghindari dirinya selama satu minggu. Dia mengabaikan panggilan suara dan pesan dari Julian. Ditambah lagi, keberadaan mantan istrinya--Luce Wileen di sudut ruangan.
"Kalau tidak ada, aku kembalikan proposalmu." Julian mendorong tumpukan kertas ke arah Jenar. "Temui aku lagi jika sudah menyempurnakan isi proposalmu." Dia menambahkan lagi. "Di dalam sana aku sudah memberikan beberapa catatan penting untuk membantu," pungkasnya.
Jenar mengangguk sekali. "Baik, Pak." Suaranya sangat lirih. "Terima kasih."
"Kirimkan proposalnya lagi padaku jika kamu memang benar-benar menginginkan ide inovasimu diciptakan. Kamu akan mendapatkan bonus dari itu dan kenaikan pangkat jika memenuhi syarat."
"Baik, Pak." Dia membungkukkan badannya. "Kalau begitu saya pergi dulu." Dia berpamitan kemudian.
"Jenar!" Julian memanggilnya tegas. Berbeda sekali dengan kenangan mereka malam itu. Julian jauh lebih lembut dan pengertian.
"Aku tidak memaksamu jadi santai saja. Tim inovasi dan pengembangan sedang ada project bukan? Kamu bisa fokus dengan project itu dan jika ada waktu luang baru kamu teruskan proposalnya." Julian menukas lagi. Tersenyum pada Jenar. Pria itu berusaha untuk menarik pandangan mata Jenar agar mau menatapnya, tetapi selalu saja gagal.
Jenar membalas senyum itu. "Terima kasih, Pak Julian. Kalau begitu saya langsung pergi saja. Sekali lagi terima kasih."
Dia mengangguk dan membiarkan Jenar pergi.
"Jenar?"
Sialnya dia kembali ditahan. Bukan Julian, itu adalah Luce Wileen. Siapa sangka kalau ternyata dia mendengarkan semua pembicaraan Jenar dan mantan suaminya.
"I--iya, Nyonya Luce?" sahutnya sedikit ragu. Jenar menatap ke arah Luce.
Ternyata benar, Luce Wileen mencerminkan sosok wanita karier patut untuk disanjung dan dibanggakan oleh siapa saja. Anehnya, Julian malah menceraikannya. Padahal, jika mencari kesempurnaan—entah itu secara fisik ataupun tidak—maka Nyonya Luce Wileen adalah jawabannya.
"Itu namamu bukan?" tanyanya seraya tersenyum dengan akrab.
"Benar sekali, Nyonya Luce," jawab Jenar.
"Aku membaca halaman pembahasan." Luce memulai kalimatnya. "Ini tentang proposal yang kamu buat."
Jenar lega. Ternyata itu yang ingin dia bahas, bukan tentang Julian dan skandal mereka di Los Angeles.
"Aku menyukai idemu dan aku yakin Julian juga berpikir hal yang sama." Dia memandang Julian dan tersenyum nyaman. Sedangkan Julian hanya manggut-manggut.
"Aku mengenalnya dengan baik jadi aku tahu koreksi apa yang mungkin ada di dalam kepalanya sekarang," imbuhnya.
Mereka ini sedang memamerkan kebersamaan dan keserasian atau bagaimana—batin Jenar.
Awalnya Jenar tidak peduli dengan mereka berdua, tetapi setelah Julian mengambil keperawanannya Jenar mulai punya dasar alasan yang kuat untuk mulai peduli.
"Mungkin kamu bisa menambahkan sedikit di beberapa bagian inovasi produknya. Berikan kesan tambahan dan poin utama mengapa kita harus menerima proposalmu," ucapnya. Mengoreksi Jenar.
Jenar mengangguk. "Terima kasih, Nyonya Luce."
"Oh! Satu lagi!" Dia menjeda lagi. "Beri nama produkmu dengan nama yang lebih unik lagi, penilaian konsumen adalah yang terbaik dan yang terpenting."
Jenar hanya bisa mengangguk.
Setelah bertemu langsung, Jenar jadi tahu meskipun wajah Luce menyeramkan—dengan make up tebal itu dan polesan bibir merah merona —tetapi, dari suara dan caranya berbicara, Jenar menyimpulkan kalau Luce Wileen adalah yang terbaik.
"Kamu boleh pergi kalau sudah mengerti. Kalau ada yang ingin ditanyakan kamu bisa hubungi aku. Kita bisa melakukan pertemuan di luar kantor dan aku akan membimbingmu."
Gadis itu melirik ke arah Julian. Mengabaikannya lagi kemudian. "Terima kasih, Nyonya."
"Aku juga dengar bahwa ini adalah pengalaman pertamamu bekerja dan ini adalah proposal pertama yang kamu ajukan langsung pada bosmu. Jadi, wajar saja kalau masih banyak kesalahan di dalamnya. Aku akan dengan senang hati untuk—"
"Jenar sedang sibuk sekarang, jadi biarkan dia pergi." Julian memotong.
Syukurlah—batin Jenar. Dia juga ingin segera pergi dari sini.
"Begitukah?" Luce menoleh pada Jenar. "Kamu boleh pergi kalau begitu."
Jenar merekahkan senyum lagi. Membungkuk dan berterimakasih lalu pergi dari ruangan itu.
"Kenapa ikut campur?" Julian memulai setelah Jenar keluar. "Katanya kamu akan pergi setelah menyelesaikan pekerjaanmu di sini. Kamu bilang itu sudah satu jam yang lalu."
Luce tersenyum. "Lalu? Aku harus membayar sewa karena duduk di sini lebih dari satu jam?" tukasnya tertawa ringan. "Lagian tidak ada salahnya kalau aku berkunjung ke perusahaan yang dulu kita rintis bersama. Sebagian adalah punyaku." Dia mengulas kembali.
"Luce!" Julian nampak sedikit kesal. "Sebentar lagi adalah jam makan siang, jadi pergilah sebelum lorong dipenuhi karyawan yang berlalu-lalang untuk pergi ke kantin dan menikmati waktu istirahat mereka."
Luce mengangkat kedua bahunya. "Memangnya kenapa kalau lorongnya ramai?" tanyanya. Berwajah polos tanpa dosa. "Aku tinggal menyapa mereka jika mereka menyapaku. Lagian aku dulunya juga bos mereka."
"Kita sudah bercerai. Setidaknya jika kamu ingin datang kabari dulu, jangan membuatku seperti pria bodoh yang tidak bisa menjawab pertanyaan dari karyawanku saat mereka bilang bahwa kamu datang mencariku."
Luce mengerutkan keningnya. "Kenapa kamu jadi sensitif begini? Aku tau aku salah dengan datang tiba-tiba. Aku sudah meminta maaf." Dia tidak benar-benar mengaku bersalah.
"Pergilah sekarang. Aku mohon, Luce. Aku tidak nyaman denganmu." Julian menggerutu di tempatnya. "Kita bercerai dengan suasana yang kurang baik satu tahun yang lalu."
"Untuk itu aku berusaha memperbaiki hubungan kita." Dia menyahut. "Setelah bercerai, aku sama sekali tidak pernah bertemu dengan anak-anak," ucapnya mengeluh. "Jadi aku datang untuk mampir dan melihat anak-anak."
Julian berdecak kesal. Frustasi mengusap wajahnya.
"Salah jika aku datang untuk menjenguk anak dan mantan suamiku?" tanyanya sambil menutup laptop. "Aku penjahat dalam perceraian kita?"
"Luce, aku tidak mau bertengkar denganmu sekarang." Julian mengembuskan nafas kasar. "Semuanya sudah berlalu dan kita bangkit dengan cara kita masing-masing."
Pandangan mata Julian nanar pada Luce. "Kamu janji dan aku janji kalau perceraian kita tidak akan mempengaruhi dan mengubah apapun, kecuali hanya bagaimana kita berhubungan."
Luce terkekeh dan melipat tangannya. "Kamu yang menceraikan diriku," katanya pada Julian. "Katanya aku tidak sempurna menjadi istri dan ibu."
"Kita sepakat untuk bercerai!" Julian bersikeras. "Kita terus berbeda pendapat seperti sekarang, lalu apa lagi?" tanyanya seraya menaikkan kedua sisi bahunya. "Apa lagi yang bisa dipertahankan dari hubungan aneh seperti itu?"
Kalau sudah membahas masa lalu, dia kalah.
"Luce, jujur saja ... aku sudah mencintai orang lain." Julian tiba-tiba saja mengaku. Membuat Luce terkejut. "Aku akan mengenalkan dia pada anak-anak nanti."
"Julian?" Luce memandangnya serius. "Kamu sedang berbohong hanya karena ingin mengusirku kan?"
Julian menggelengkan kepalanya. "Aku juga akan segera mengenalkannya padamu, Luce. Tunggu saja."
... Next ...
Di sela langkah kakinya saat perjalanan pulang, entah mengapa Jenar masih memikirkan tentang hubungan Luce dan Julian. Tanpa sadar, gadis itu bergumam, "Kenapa dia menceraikan Nyonya Luce?" Jenar masih memiliki pendapat yang sama: Luce adalah wanita sempurna! Dia tidak mengerti mengapa Julian menceraikan Luce."Dia cantik. Berwibawa, pintar dan kaya raya. Dia adalah wanita karier yang mapan. Dia pasti jadi istri yang sempurna dan ibu yang pantas untuk ketiga anak-anaknya. Lalu kenapa dia malah menceraikannya?" Jenar mencoba untuk mendalami peran Julian sebagai seorang suami dan ayah. "Mungkinkan karena Pak Julian punya wanita simpanan?" Jenar tak sengaja menunjuk dirinya sendiri. "Seperti diriku sekarang?" Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Apa yang aku pikirkan!" Faktanya, hubungan singkat satu malam tidak cukup untuk bisa mengenal Julian. Byur! Tiba-tiba saja genangan air yang ada di sisi trotoar—sisa hujan kemarin malam— menyembur mengenai baju dan wajahnya. "Sialan!" umpa
"Ya ampun, Mbak Jenar!" Seseorang berteriak menyambut Jenar kembali. Dia bahkan melemparkan sekop yang ada di tangannya, melepas sarung tangan, dan meninggalkan aktivitas berkebunnya sore ini."Mbak ini kenapa?" Dia melihat Jenar dari atas ke bawah. Penampilan Jenar kotor dan basah penuh bercak lumpur. Padahal pagi tadi dia berpamitan hanya untuk pergi bekerja."Ada pemuda rese," katanya. Menyahut seadanya. Berjalan masuk ke dalam rumah. Di sinilah Jenar tinggal selama di Jakarta.Tentang kedua orang tuanyar. Ayah Jenar meninggal karena sebuah penyakit lima tahun lalu. Ibunya merantau ke luar negeri untuk menghasilkan uang lebih. Dia tinggal bersama teman lamanya yang kadang-kadang datang. Di samping kanan, seorang remaja yang baru saja masuk bangku perkuliahan tinggal bersama ayahnya seorang kuli bangunan serabutan yang kadang pulang kadang tidak."Terus gimana?" tanyanya pada Jenar. Mengikuti langkah Jenar masuk ke dalam rumah setelah membuka pintu yang terkunci.Jenar menghela nafa
"Siapa dia?" Alif berbisik-bisik sembari mengintip ke dalam. "Teman atau pacar Mbak Jenar?" Pertanyaannya sedikit memaksa. "Bosnya Mbak Jenar?" Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin kalau bos dari perusahaan besar datang berkunjung tanpa alasan begini." Pandangan Alif tertuju pada Jenar. "Ada masalah di kantor, Mbak?" "Udah, pulang aja." Jenar kokoh untuk mengusir Alif. "Urusi kebun kamu itu dulu, nanti malam aku jelaskan." Dia mendorong tubuh Alif menjauh dari rumahnya. "Sekarang aku harus menemui tamuku." Dia menoleh ke belakang. "Kamu lihat sendiri, dia orang berada. Aku gak mau kalau terkesan mengabaikan dan tidak menghormati kedatangannya." Alif menyerah. "Oke!" Dia meraih kedua tangan Jenar. "Janji jelaskan, oke?" Jenar menghela nafas. "Hm, sekarang pulang dulu. Jangan merepotkan diriku." Jenar menggerutu. Kembali mendorong tubuh pemuda itu agar menjauh darinya. Alif pasrah dan pergi. Rasa penasaran disimpan dalam hatinya. Sesuai janji Jenar, dia akan datang malam na
"Pokoknya aku gak bisa menikah sama dia!" Jenar berbicara tanpa celah dan jeda. "Apapun alasannya aku nggak bisa menikah sama dia!" Sekarang Jenar memutar tubuhnya, menatap Sarah.Sarah sedang salah fokus sekarang. "Wah! Lihatlah barang-barang mewah ini," gumamnya melirik Jenar. "Ini luar biasa, Jenar! Mana bisa kamu membeli semua ini dengan sisa uang gaji yang tidak seberapa!" Dia meremehkan Jenar. Tertawa kecil lalu. Semuanya berasal dari satu pria yang sama. Julian."Sarah aku serius!" Jenar merengek layaknya bayi. "Apa pentingnya semua itu?" Dia berjalan mendekati Sarah. "Yang paling penting adalah perasaan aku!" Jenar menepuk-nepuk dadanya."Kamu nggak mau nikah sama dia, kenapa?" Sarah mengerutkan keningnya."Tentu saja banyak pertimbangan untuk menikah dengan seorang duda yang punya tiga anak dari pernikahan sebelumnya. Ditambah lagi itu adalah bosmu sendiri," imbuh Sarah. "Namun, pertimbangkan juga kekayaannya." "Haruskah aku menjelaskannya padahal kamu selalu dapat cerita te
Malam ini Jenar memutuskan untuk datang ke kediaman mewah Julian Liandra. Dia ingin mengembalikan semuanya agar tidak ada kesalahpahaman di antara mereka. "Jadi kenapa kamu membawa semuanya datang ke sini?" Julian menatap semua hadiah yang awalnya dia tinggalkan di rumah Jenar. "Aku sudah bilang kalau itu semua untuk kamu," katanya. Mendorong salah satu hadiah pada Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa menerima itu semua." "Aku tidak tahu alasan mengapa aku harus menerima semua ini, Pak?" Dia tersenyum dengan rasa canggung di dalam hatinya. "Jika ini semua hanya untuk mengapresiasi ide dari proposal yang aku berikan, aku rasa cukup satu hadiah saja. Tidak perlu ...." "Sudah kukatakan juga kalau aku melamar kamu," sambung Julian. Dia mengatakan itu dengan keseriusan. "Kamu bilang kamu butuh waktu untuk memikirkan semua ini. Jadi seharusnya kamu tidak perlu datang hari ini," cetus Julian sembari memandangi wajah Jenar. "Aku akan menunggu." Jenar menarik nafasnya.
"Kamu mendekati papaku hanya karena uang?" Julio sarkas. Pertemuan buruk dengan Jenar lah yang membuat dia begini sekarang. "Kalau memang kamu berhubungan dengan ayahku karena uang, aku akan memberikan apa yang kamu minta. Berapa pun!" Dia menatap dengan kemarahan. "Berapa yang kamu inginkan?" Julio memberi penekanan. "Sepuluh juta? Seratus juta?" Pemuda itu mulai menghitung ngawur. "Atau satu miliar?" Jenar diam dan menatap Julio. "Katakan berapa yang kamu mau?" Dia sedikit meninggikan nada bicaranya. Pada awalnya, Julio berkata pada ayahnya bahwa dia yang akan menghantarkan Jenar ke depan pintu gerbang sebagai bentuk permintaan maaf Julio atas ketidaksopanannya. Namun, ternyata inilah tujuan yang sebenarnya. "Jenar!" Dia membentaknya. "Jangan membisu! itu membuatku semakin marah saja." Dia menghela nafas kasar. Membuang pandangan mata. "Memangnya kamu bisa memberikan aku berapa?" Jenar malah menantangnya. "Kamu mau beri pakai uang dari mana?" Dia menyeringai. "Kamu saja b
“Soto hangat penghilang pengar!” Sarah meletakkan semangkuk soto di depan Jenar. “Khusus untuk temanku yang baru saja dihajar alkohol kemarin malam!” Dia duduk di depan Jenar sembari menatapnya dengan tajam.“Kenapa menatapku begitu?” tanya Jenar. Dia masih belum yakin, apa yang terjadi sepulang dari rumah Julian. “Aku ... melakukan kesalahan?”Sarah menghela nafas. “Aku anggap pernyataan kamu tentang bersedia menikahi duda kaya bernama Julian Liandra kemarin malam adalah bagian dari mabuk kamu, Jenar.”Jenar mengernyitkan dahi dan Sarah memahami temannya.“Kamu pamitan mau ke rumah Pak Julian untuk mengembalikan hadiahnya. Lalu, tiba-tiba kamu ditemukan pingsan karena kebanyakan minum alkohol oleh Bu Ranti, tetangga sebelah.” Sarah memprotes. Sedangkan yang diprotes hanya diam dan menatapnya.“Kamu gak
Jenar membuat janji temu dengan Julian. Di sebuah rumah makan sederhana lah tempatnya. “Katanya kamu mau mau bicara sesuatu denganku?” tanya Julian. Dia yang mengambil alih untuk yng pertama kalinya. Jenar masih diam. Dia belum berani mengutarakan tujuannya—mencabut kata-kata dan menolak pernikahan itu. “Kamu sudah menerima lamaranku, jadi mulailah untuk terbiasa denganku.” Julian menatapnya. “Kita bisa saling mengenal satu sama lain di sisa hari sebelum pernikahan.” Jenar mendongakkan pandangan matanya. “Pak Julian,” panggil Jenar. Menarik fokus Julian untuk datang. “Soal pernikahan ....” Dia menjeda lagi. Jenar mengulum saliva saat mendapati Julian menatapnya dengan teduh. “Oh iya, soal pernikahan.” Sialnya, Julian salah duga. Dia antusaias membahas itu. Julian mengeluarkan tablet miliknya. Menyodorkan pada Jenar. “Aku sudah mencari gaun pengantin untuk kita,” katanya. Dia masih dengan senyum yang sama. “Ada beberapa saran dari desainer terbaik kenalanku.” Tatapan Jenar rela
Dua cangkir teh menemani diamnya mereka. Jenar tiba-tiba ingin berbicara serius, padahal kedatangan Julio hanya ingin melihat putranya. "Aku membelikan mainan baru," kata Julio mencoba untuk menghilangkan rasa canggung itu. "Aku tahu kalau putra kita belum bisa bermain, aku hanya ingin membelikannya saja."Julio seakan takut penolakan dari Jenar. "Aku juga merindukan putraku. Aku kebetulan lewat sini, jadi aku langsung mampir," ucapnya lagi. Jenar tersenyum. "Kamu baru datang kemarin. Bagaimana bisa merindukannya secepat itu? Kamu baru pulang dari rumah ini kemarin malam, belum ada satu hari."Julio manggut-manggut. "Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya," celetuknya."Julio, aku ingin ....""Aku tahu kalau aku berlebihan." Julio tiba-tiba memotong kalimat Jenar. "Aku tahu kalau tidak seharusnya aku datang setiap hari dan memberikan itu semua."Julio menghela napas. "Namun, seberapa kuat kamu menolak, itu tetap putraku.""Aku tetap punya hak untuk datang dan melihatnya. Member
Luce's N Property, Jakarta.Jenar duduk sembari memandang keadaan sekitarnya. Suasana begitu asing ketika dia memutuskan untuk masuk ke dalam tempat ini. "Jadi, kamu datang untuk apa?" Luce menyambutnya dengan sedikit aneh, tatapan mata tidak suka melihat Jenar datang tiba-tiba. "Kebetulan aku sibuk hari ini."Jenar tersenyum seadanya. Kepalanya manggut-manggut ringan. "Maaf, karena aku mengganggumu hari ini, Nyonya Luce.""Jadi?" Luce mendesak Jenar untuk segera berbicara. Jujur saja, dia juga penasaran.Jenar menundukkan pandangan mata. Keraguan menyerbu dirinya. Sekarang, Jenar menyesali keputusannya datang kemari tanpa keyakinan dalam hatinya. "Kenapa malah diam?" Luce memecah keheningan. "Sudah aku bilang kalau aku sibuk hari ini. Jika kamu memang tidak ....""Ini tentang Julio." Jenar memberanikan diri untuk menatap Luce. "Sudah sejak beberapa hari yang lalu ketika dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia."Luce mengangguk sekali. "Lantas?""Aku yang menyuruhnya untuk pulang k
Jenar dikejutkan dengan kedatangan Jasmine pagi ini. Gadis itu membawa setumpuk buku yang tebal dan terlihat begitu berat. Jasmine meletakkannya di atas meja, lalu tersenyum pada Jenar."Kamu bisa membaca ini." Jasmine duduk di tengah sofa. Memberi perintah Jenar untuk duduk bersamanya.Jenar hendak pergi, sebenarnya. Sayang sekali, gadis ini membuatnya tertahan. Dia harus menunda kepergiannya, mungkin untuk beberapa menit hingga jam ke depan."Ayo duduk." Jasmine memberi perintah lagi sembari mengetuk meja di depannya. "Aku yakin ini akan menjawab keraguanmu."Jenar memandangnya tak mengerti. Namun, dia tidak punya pilihan lain untuk menurutinya. Jenar terpaksa duduk dan meladeni Jasmine hari ini. "Apa yang kamu maksudkan?" Jenar membuka salah satu buku di depannya. Alangkah terkejutnya Jenar, ketika dia melihat biodata Julio yang membuka halaman pertama. Jenar memandang Jasmine lagi. "Apa-apaan ini?" tanyanya. "Kenapa kamu memberi buku seperti ini padaku?""Bukan hanya satu, di ba
Jenar ingin sekali mengusirnya, tetapi dia tidak tega melakukan itu. Bukan soal Julio, tetapi bagaimana perasaan putranya? "Dia tampan sekali," gumam Julio sembari mengusap lembut pipi putranya dengan ujung jarinya. "Dia mirip denganmu."Jenar hanya berdiri di ambang pintu. Kepalanya sesekali menunduk, padahal dia tidak salah apapun. "Sudah memberi nama?" tanyanya. Julio menoleh ke arah Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu nama yang bagus untuk dia."Julio terkekeh. "Lalu selama ini kamu memanggilnya bagaimana?"Jenar lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Sekarang dia tidak berucap sepatah kata pun. Julio menatap putranya lagi. "Bolehkah aku yang memberi nama? Aku sudah memikirkannya sejak turun dari pesawat.""Perjalanan kemari aku menyusun nama panjang untuknya," kata Julio lagi. Keduanya saling memandang.Jenar manggut-manggut. "Itu adalah putramu juga.""Bayu Kalandra Joe." Julian menoleh pada Jenar lagi. "Kita bisa memanggilnya Bayu."Jenar langsung mengembangkan
Hari demi hari berlalu begitu saja. Jenar hanya berharap keadaan jauh lebih baik. Dia hanya ingin membesarkan putranya tanpa harus memberi penderitaan pada bayi kecil tak bersalah itu. "Jenar!" Jasmine memanggilnya. Jenar yang hendak masuk ke dalam rumah, harus kembali terhenti. Dia menyambut kedatangan Jasmine dengan senyuman."Baru pulang sekolah?" Jenar menatap penampilan gadis itu. Seragam sekolah masih rapi membungkus tubuhnya. Jasmine menganggukkan kepala. "Begitulah." Sekarang dia lebih lunak pada Jenar. Toh juga tidak ada yang perlu ditutupi, dia mulai mengakui segalanya. "Aku tadi lewat toko kue, aku beli satu buat kamu." Jasmine menyodorkan kue dalam kantung plastik hitam. "Kamu suka keju kan?"Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. "Makasih banyak.""Kalau kamu belum makan siang, kamu bisa makan di sini dulu." Jenar menawarkan. "Aku buat ayam tepung."Jasmine menganggukkan kepala. "Bolehkah?" "Tentu saja. Kamu boleh menghabiskan semuanya." Jenar tertawa kecil semb
"Aku tidak bisa menemui Julio." Jenar menundukkan pandangan mata. Rasa bersalah masih menguasai dirinya acap kali melihat Julian. Julian tersenyum dan menyeruput teh yang dibuatkan Jenar untuknya. Kepalanya mengangguk, bukan berarti dia menyetujui kalimat Jenar. Julian hanya berusaha memahami perasaannya. "Lebih tepatnya kamu tidak mau, kan?" tanya Julian. "Benar kata Jasmine, ternyata kamu berusaha kabur dari kesalahanmu."Jenar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Julian. Julian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Katanya kamu mau pergi keluar Jakarta. Kamu tidak akan kembali dan kamu meminta Jasmine untuk membantu kepergianmu secara diam-diam."Jenar tidak bisa menjawab. Dia mengaku salah."Apa yang kamu inginkan dari keputusan itu?" tanya Julian. "Kamu menginginkan ketenangan?"Jenar menggelengkan kepalanya tak yakin. "Jangan-jangan kamu berpikir, kalau kamu akan terbebas dari dosa jika pergi dari Jakarta," kekeh Julian pelan. "Aku pikir kamu tidak s
Beberapa hari kemudian. Jenar meletakkan tas jinjing di atas meja, sedangkan Sarah sibuk menurunkan barang-barang dari taksi yang mengantar mereka pulang ke rumah. Jenar lega, akhirnya dia kembali mencium aroma rumah. Suasana rumah sakit benar-benar membosankan untuk dirinya."Aku harus kembali kerja setelah makan siang," ucap Sarah. "Aku sudah libur beberapa hari untuk menunggu kamu di rumah sakit. Aku tidak bisa libur lagi."Jenar menganggukkan kepalanya paham. "Maaf, karena aku jadi merepotkan kamu."Jenar menggelengkan kepalanya. "Kamu seharusnya bisa fokus pada pekerjaan kamu.""Tidak masalah." Sarah meliriknya. "Aku juga tidak akan bisa fokus kerja kalau meninggalkan kamu sendirian.""Sekarang aku jadi bisa lebih fokus, kamu sudah pulang." Sarah menutup kalimatnya. Dia menata barang-barang itu di sudut ruangan.Jenar tersenyum manis. "Makasih, Sar." "Sama-sama." Sarah menyelesaikan aktivitasnya. Dia berjalan mendekati Jenar. Jari jemarinya mengusap wajah tampan bayi di atas g
Rumah sakit persalinan, Jakarta.Tidak ada yang berani berbicara. Sarah melirik Jenar sesekali, kembali menunduk dan bermain dengan jari jemarinya. Helaan napas sesekali terdengar begitu berat dan penuh beban. Kenyatannya, tidak ada yang berani menghadapi keadaan yang ada. "Haruskah aku mengabari Julio?" Sarah memberanikan diri. Pandangan matanya tak lepas dari Jenar. "Aku akan ....""Bisakah besok kita pulang ke rumah?" Jenar memotongnya kalimat Sarah. Membalas tatapan temannya itu dengan sendu. "Aku ingin pulang."Sarah meraih tangan Jenar. "Jika karena biaya, kamu tidak perlu khawatir. Pak Julian memasukkan semua tagihan atas nama perusahaannya.""Dia memang pria yang bisa diandalkan." Sarah tersenyum mantap sembari mengacungkan jempolnya. Semangatnya seakan diisi ulang. Jenar memandangnya dengan begitu iba. Seakan mengetahui maksud dari perubahan raut wajah temannya, Sarah langsung menurunkan jempolnya."Sorry," gumam Sarah. Jenar menghela napas panjang. "Aku berpikir untuk kem
Malam, kediaman Julian. Jasmine melirik Julian yang baru saja turun dari lantai atas. Pakaiannya sudah diganti dengan kaos seadanya dipadukan celana panjang kain berwarna cokelat muda. "Papa nggak menunggu Jenar di rumah sakit?" Jasmine bertanya, menyela dengan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Julian menarik kursi di depan Jasmine. "Kamu makan jam segini, tidak takut gendut?" kekehnya. "Umumnya gadis seusia kamu menjaga pola makan di jam begini."Pria itu menatap piring yang penuh dengan nasi. "Sepertinya kamu lain.""Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan," jawab Jasmine. Dipandanginya Julian dengan saksama. "Papa hanya akan mengalihkan pembicaraan jika tidak suka dengan topiknya."Julian hanya tersenyum miring, sembari mengambil nasi di depannya."Aku kira Papa peduli dengannya." Jasmine berucap lagi. "Papa bahkan berlari dari luar kota kembali ke Jakarta, setelah mendengar Jenar melahirkan hari ini."Julian manggut-manggut. "Memang. Momen melahirkan hanya sekali kan?