Beranda / Pernikahan / Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung / 8. Sarah : Teman Persetanan

Share

8. Sarah : Teman Persetanan

Penulis: Lefkilavanta
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Pokoknya aku gak bisa menikah sama dia!" Jenar berbicara tanpa celah dan jeda. "Apapun alasannya aku nggak bisa menikah sama dia!" Sekarang Jenar memutar tubuhnya, menatap Sarah.

Sarah sedang salah fokus sekarang. "Wah! Lihatlah barang-barang mewah ini," gumamnya melirik Jenar. "Ini luar biasa, Jenar! Mana bisa kamu membeli semua ini dengan sisa uang gaji yang tidak seberapa!" Dia meremehkan Jenar. Tertawa kecil lalu. Semuanya berasal dari satu pria yang sama. Julian.

"Sarah aku serius!" Jenar merengek layaknya bayi. "Apa pentingnya semua itu?" Dia berjalan mendekati Sarah. "Yang paling penting adalah perasaan aku!" Jenar menepuk-nepuk dadanya.

"Kamu nggak mau nikah sama dia, kenapa?" Sarah mengerutkan keningnya.

"Tentu saja banyak pertimbangan untuk menikah dengan seorang duda yang punya tiga anak dari pernikahan sebelumnya. Ditambah lagi itu adalah bosmu sendiri," imbuh Sarah. "Namun, pertimbangkan juga kekayaannya." 

"Haruskah aku menjelaskannya padahal kamu selalu dapat cerita tentang dia?" Jenar terlihat begitu cemas. "Jasmine!" Dia menyebutkan satu nama asing untuk Sarah. "Julio?" Dia memicingkan matanya, berharap kalau nama yang baru saja dia sebutkan benar. "Aku tidak tahu siapa anak yang terakhir, tetapi itu adalah alasan mendasar kenapa aku tidak bisa menikahinya."

Jenar menarik kursi rotan dan duduk di atas sana. Sepulangnya Julian dari rumahnya, Sarah datang tak lama kemudian. Tentu saja dia terkejut setelah melihat semua barang-barang mewah ini.

"Alasan kedua dia adalah bosku!" Jenar menaikan kedua jarinya. "Mungkin tidak masalah bagiku ketika aku harus keluar dari perusahaan setelah menikah dengannya dan menjadi nyonya Julian. Namun, aku tidak tahu bagaimana aku menjelaskan situasi ini pada karyawan yang lain."

Sarah memandang Jenar. "Kamu itu tipe orang yang tidak akan mau mendengarkan kata orang lain, jadi kenapa sekarang kata para karyawan penting untukmu?"

Sarah diam dan menunggu Jenar menjawab. Namun, Jenar bisu di tempatnya. 

"Pak Julian punya jaminan kehidupan untuk kamu di masa depan. Kamu nggak harus hidup miskin lagi. Memikirkan bayaran ini dan itu. Paling konyolnya lagi ...." Dia menjeda. "Alif!"

Sarah berbisik. "Pemuda gila itu terus saja bilang kalau dia menyukai kamu, katanya dia akan berusaha untuk jadi laki-laki yang baik demi kamu!" Gadis itu tidak habis pikir. "Aku benar-benar takut padanya."

Jenar tertawa ringan. "Kenapa harus takut pada Alif? Dia itu nggak gigit apalagi sampai membunuh," sahutnya. Terkesan santai dengan semuanya. "Aku menganggapnya hanya cinta monyet, jadi tidak perlu dipikirkan lebih dari itu."

"Apanya yang tidak perlu dipikirkan?" Sarah memprotes. Menepuk punggung lawan bicaranya. "Dia itu benar tergila-gila sama kamu! Bisa-bisa dia berbuat nekat suatu saat nanti."

"Datang dan memperkosa?" Jenar menyahut. Berbicara ngawur lalu tertawa terbahak-bahak. "Maka aku yang akan membunuhnya dulu," imbuhnya. Menarik segelas air putih lalu meneguknya.

"Cobalah menjalin hubungan dulu dengan Pak Julian. Setidaknya memanfaatkan kekayaannya," sambung Sarah. Sarah adalah ahlinya kalau memberi saran gila.

"Setidaknya kamu bisa gunakan kehamilan palsu untuk memoroti hartanya sampai kamu bisa pindah ke rumah yang lebih besar dan punya kehidupan yang sedikit mapan," ujarnya.

"Paling tidak punya satu motor jadi nggak perlu naik bus atau jalan kaki kalau terlambat." Sarah menukas lagi.

Keduanya saling pandang.

"Katakan saja aku mau melakukan itu, kamu pikir akan mudah melewati dua anaknya?" Jenar memprotes. "Meskipun aku belum pernah melihat dua wajahnya, tetapi yang aku dengar kalau anak yang tertua itu anak laki-laki duduk di bangku perkuliahan." Jenar bangkit kursi. berjalan menuju meja berisi jajaran piring dan gelas. Waktunya untuk makan malam seadanya.

"Julio katanya sekolah dihukum dan bisnis seperti Alif, tetapi aku nggak tahu apakah mereka satu kelas atau satu kampus. Aku nggak peduli dengan itu," ucap Jenar terkesan tak acuh. "Kalau putrinya atau anak yang kedua, duduk di bangku sekolah menengah atas tahun kedua ini. Katanya dia gadis yang cerdik, pintar, dan pernah menang lomba cerdas cermat tingkat nasional."

Sarah hanya diam dan mendengarkan sembari memainkan kotak perhiasan yang baru saja dia keluarkan dari dalam tas belacu berwarna merah tua.

"Aku yakin kalau Pak Julian nggak akan asal-asalan menyekolahkan kedua anaknya. Dia bisa dikatakan sebagai jajaran pria terkaya di Jakarta. Jadi untuk masuk ke dalam keluarga itu ...." Jenar memutuskan kalimat. Mengembangkan senyum kecut, menahan tawa agar tidak menertawakan dirinya lagi untuk yang kesekian kalinya setelah kesalahan dia lakukan di Los Angeles bersama bosnya itu.

"Jadi?" Sarah yang mengingatkannya untuk kembali berbicara.

Jenar kembali berjalan mengarah padanya, membawa satu piring berisi nasi juga segelas air putih yang dia ambil sebelumnya.

"Katakan padaku jika kamu berada di posisi menjadi salah satu anak dari Pak Julian ...." Dia berbasa-basi lagi. Meletakkan piring dan gelas di atas meja.

"Keluarga yang mewah dan kaya raya. Kehidupan yang mapan dan dipandang baik oleh orang-orang di sekitarnya," tutur Jenar.

"Apapun yang mereka inginkan pasti tercapai tanpa hambatan apapun. Ditambah lagi mereka punya ayah yang super power dan ibu yang luar biasa tidak bisa diragukan lagi sebagai wanita mandiri!" Jenar kehilangan kepercayaan dirinya.

"Lalu tiba-tiba seorang gadis kampung yang tidak punya apapun, pengalaman kerja yang minim, bahkan kuliah saja tidak lulus ... datang dan bergabung di keluarga mereka sebagai ibu yang baru?" Jenar tertawa tanpa sebab. Menatap Sarah yang mengerutkan keningnya. "Seperti layaknya membuang emas hanya untuk mendapatkan tumpukan batu," ucapnya menutup kalimat.

Pada akhirnya, Jenar lah yang harus menerima dan mengiklaskannya. 

"Hanya karena status keluarga dan sosial?" tanya Sarah. Dia mendorong kotak perhiasan mendekat pada temannya. "Jika tidak mau menikah dengannya, kembalikan semua ini padanya. Menerima ini berarti juga menerima lamarannya secara tidak langsung."

"Kamu bilang aku harus memoroti hartanya. Ini adalah salah satu caranya," ucap Jenar.

Sarah hampir saja mengumpat pada temannya. "Aku hanya bercanda!"

"Aku sedang berbicara serius dan kamu tiba-tiba bercanda." Jenar memprotes. Tertawa kecil.

Sarah menghela nafas. "Kembalikan semua ini dan katakan padanya bahwa kamu tidak bisa menikah dengannya." Dia menatap Jenar intensif.

"Jelaskan apa yang kamu katakan padaku tadi. Kesucianmu sudah hilang karena dia. Jangan harga dirimu juga, Jenar. Hanya itu yang bisa kamu pertahankan sebab kamu hanya gadis kampung yang miskin." 

Jenar diam. Tidak jadi menyantap nasi di dalam sendok. Nafsu makannya hilang begitu saja. 

"Setidaknya ada satu yang kamu banggakan! Itu adalah harga diri." Sarah memberi penekanan. "Kamu tidak boleh dilecehkan lagi, Jenar!"

"Jadi ... aku harus menemui dia?" Jenar melirih.

"Hm, kalau perlu ludahi wajahnya," ucap Sarah geram. "Dia seharusnya tidak menyombong pasal harta dengan membawa semua ini."

Sarah melirik Jenar. "Dia harusnya berlutut dan mohon ampun!"

... Next ...

Bab terkait

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   9. Rumah Calon Suami

    Malam ini Jenar memutuskan untuk datang ke kediaman mewah Julian Liandra. Dia ingin mengembalikan semuanya agar tidak ada kesalahpahaman di antara mereka. "Jadi kenapa kamu membawa semuanya datang ke sini?" Julian menatap semua hadiah yang awalnya dia tinggalkan di rumah Jenar. "Aku sudah bilang kalau itu semua untuk kamu," katanya. Mendorong salah satu hadiah pada Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa menerima itu semua." "Aku tidak tahu alasan mengapa aku harus menerima semua ini, Pak?" Dia tersenyum dengan rasa canggung di dalam hatinya. "Jika ini semua hanya untuk mengapresiasi ide dari proposal yang aku berikan, aku rasa cukup satu hadiah saja. Tidak perlu ...." "Sudah kukatakan juga kalau aku melamar kamu," sambung Julian. Dia mengatakan itu dengan keseriusan. "Kamu bilang kamu butuh waktu untuk memikirkan semua ini. Jadi seharusnya kamu tidak perlu datang hari ini," cetus Julian sembari memandangi wajah Jenar. "Aku akan menunggu." Jenar menarik nafasnya.

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   10. Kucing dan tikus

    "Kamu mendekati papaku hanya karena uang?" Julio sarkas. Pertemuan buruk dengan Jenar lah yang membuat dia begini sekarang. "Kalau memang kamu berhubungan dengan ayahku karena uang, aku akan memberikan apa yang kamu minta. Berapa pun!" Dia menatap dengan kemarahan. "Berapa yang kamu inginkan?" Julio memberi penekanan. "Sepuluh juta? Seratus juta?" Pemuda itu mulai menghitung ngawur. "Atau satu miliar?" Jenar diam dan menatap Julio. "Katakan berapa yang kamu mau?" Dia sedikit meninggikan nada bicaranya. Pada awalnya, Julio berkata pada ayahnya bahwa dia yang akan menghantarkan Jenar ke depan pintu gerbang sebagai bentuk permintaan maaf Julio atas ketidaksopanannya. Namun, ternyata inilah tujuan yang sebenarnya. "Jenar!" Dia membentaknya. "Jangan membisu! itu membuatku semakin marah saja." Dia menghela nafas kasar. Membuang pandangan mata. "Memangnya kamu bisa memberikan aku berapa?" Jenar malah menantangnya. "Kamu mau beri pakai uang dari mana?" Dia menyeringai. "Kamu saja b

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   11. Calon ibu sambung

    “Soto hangat penghilang pengar!” Sarah meletakkan semangkuk soto di depan Jenar. “Khusus untuk temanku yang baru saja dihajar alkohol kemarin malam!” Dia duduk di depan Jenar sembari menatapnya dengan tajam.“Kenapa menatapku begitu?” tanya Jenar. Dia masih belum yakin, apa yang terjadi sepulang dari rumah Julian. “Aku ... melakukan kesalahan?”Sarah menghela nafas. “Aku anggap pernyataan kamu tentang bersedia menikahi duda kaya bernama Julian Liandra kemarin malam adalah bagian dari mabuk kamu, Jenar.”Jenar mengernyitkan dahi dan Sarah memahami temannya.“Kamu pamitan mau ke rumah Pak Julian untuk mengembalikan hadiahnya. Lalu, tiba-tiba kamu ditemukan pingsan karena kebanyakan minum alkohol oleh Bu Ranti, tetangga sebelah.” Sarah memprotes. Sedangkan yang diprotes hanya diam dan menatapnya.“Kamu gak

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   12. Kafe metropolitan

    Jenar membuat janji temu dengan Julian. Di sebuah rumah makan sederhana lah tempatnya. “Katanya kamu mau mau bicara sesuatu denganku?” tanya Julian. Dia yang mengambil alih untuk yng pertama kalinya. Jenar masih diam. Dia belum berani mengutarakan tujuannya—mencabut kata-kata dan menolak pernikahan itu. “Kamu sudah menerima lamaranku, jadi mulailah untuk terbiasa denganku.” Julian menatapnya. “Kita bisa saling mengenal satu sama lain di sisa hari sebelum pernikahan.” Jenar mendongakkan pandangan matanya. “Pak Julian,” panggil Jenar. Menarik fokus Julian untuk datang. “Soal pernikahan ....” Dia menjeda lagi. Jenar mengulum saliva saat mendapati Julian menatapnya dengan teduh. “Oh iya, soal pernikahan.” Sialnya, Julian salah duga. Dia antusaias membahas itu. Julian mengeluarkan tablet miliknya. Menyodorkan pada Jenar. “Aku sudah mencari gaun pengantin untuk kita,” katanya. Dia masih dengan senyum yang sama. “Ada beberapa saran dari desainer terbaik kenalanku.” Tatapan Jenar rela

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   13. Ibu biologis

    “Siapa orang itu?” Jasmine mendatangi ibunya yang duduk di teras rumah.Luce menyambut kedatangan putrinya dengan senyum manis. “Siapa?” Dia mengerutkan keningnya. Mengulang pertanyaan yang sama.Jasmine duduk di sisi Luce. “Orang yang akan dinikahi papa,” sambungnya. Memperjelas.Luce tersenyum tipis. Menyeruput teh yang dibuatnya sendiri. Tak kuat memandang putrinya, dia memilih fokus pada halaman rumah mantan suaminya.“Mama juga gak tahu?” tanya Jasmine lagi. Meskipun setelah perceraian mereka tidak pernah bertemu, tetapi Luce tetaplah ibunya. Jasmine tahu, Luce juga pasti terkejut dengan keputusan Julian.“Namanya Jenar?” Luce malah balik bertanya. Mendapat anggukan dari Jasmine. “Dia karyawan papamu.”Jasmine menyunggingkan senyum. “Selera papa rendah banget,” gumam Jasmine.Jasmine sudah besar, dia tahu mana yang wajar dan tidak wajar. Menurutnya pernikahan papanya adalah hal yang tidak wajar.“Kamu tidak protes sama papa?” Luce menatap wajah putrinya. Identik dengan Julian. Ja

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   14. Selingkuhan Pak Julian

    Rasa canggung menggantung di udara. Jenar mulai menyesal tentang dia yang memutuskan untuk tetap berada di sini.“Dia siapa, Julian?” Logatnya berbicara begitu khas. Dia sepertinya bukan asli orang Indonesia. Wajahnya pun mencerminkan kalau dia adalah orang barat.Julian menatap Jenar. “Kekasihku,” akunya. Tentu saja Jenar terkejut bukan main. Ingin memprotes tetapi dia tidak bisa.“Kami akan menikah.” Julian menambahkan.Ternyata bukan hanya Jenar yang terkejut sekarang, tetapi wanita itu juga.Julian memahami keadaan. “Jenar, perkenalkan ini adalah Anne Daisy.” Julian menatap Anne. "Anne, ini Jenar. Calon istriku.” Julian dengan bangga memperkenalkan Jenar.Anne mengertukan keningnya. “Berapa usiamu?” Dia langsung pergi pada poin pembicaraan. “Kamu awet muda atau memang masih muda?” Anne menelisik penampilan Jenar.“25 tahun,” jawab Jenar seadanya. Melirik Julian. “Usia tidak penting,” imbuhnya dengan lirih. Tersenyum canggung, berpura-pura bahwa hubungan mereka benar-benar berlanda

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   15. Bertemu anak tiri

    Jenar duduk di atas sofa sembari memandangi keadaan sekitarnya. Rumah mewah ini seakan membelenggu kebahagiaannya. Hanya ada kekhawatiran besar di dalam hatinya sekarang."Jasmine akan pulang sebentar lagi. Katanya dia sudah ada di depan gang komplek," ucap Julian. Menghampiri Jenar dengan membawakan secangkir teh untuk kedatangannya.Penyesalannya datang lagi. Dia seharusnya tadi menolak saat dia itu mengajaknya untuk sekalian datang mampir ke rumahnya.Jenar tersenyum manis pada Julian. "Di mana Jean?" tanyanya. Syukurlah kalau nama anak terakhir Julian mudah diingat olehnya."Aku menitipkannya di pengasuh. Katanya mereka sedang jalan-jalan di taman, nanti juga akan kembali karena aku sudah menelepon kalau ada tamu penting yang datang ke rumah." Pria itu menjawab seadanya. Duduk di depan Jenar. "Bagaimana dengan rumahku?" tanya Julian lagi. "Apanya yang bagaimana?" Jenar mengernyitkan dahi. "Nyaman untuk kamu?" Julian sepertinya tergesa-gesa, tentang Jenar yang harus segera menye

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   16. Kamar calon anak tiri

    “Boleh aku masuk?”Jenar tidak tahu apakah dia akan melakukan kelancangan yang membuat Jasmine semakin membenci dirianya atau tidak. Dia hanya ingin datang dan berbicara.Jasmine tidak memberi jawaban. Dia meringkuk di dalam selimut tebalnya.“Aku anggap boleh,” ucapnya terdengar bimbang, meskipun begitu Jenar masih memaksakan diri untuk masuk ke dalam kamar Jasmine.“Papa kamu mengijinkan aku masuk ke sini untuk berpamitan pulang.” Jenar memulai kalimatnya. Dia masih takut jika itu hanya akan menambah kemarahan Jasmine saja.Jasmine menurunkan selimutnya. Dia bangkit dari tempat tidurnya dan menatap Jenar.“Kenapa melihatku seperti melihat monster?” Jenar berusaha untuk bergurau. Sayangnya, Jasmine tidak menangkap kalimat itu.“Katakan padaku dengan jujur!” Dia memer

Bab terbaru

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   154. Ending : Keputusan Akhir

    Dua cangkir teh menemani diamnya mereka. Jenar tiba-tiba ingin berbicara serius, padahal kedatangan Julio hanya ingin melihat putranya. "Aku membelikan mainan baru," kata Julio mencoba untuk menghilangkan rasa canggung itu. "Aku tahu kalau putra kita belum bisa bermain, aku hanya ingin membelikannya saja."Julio seakan takut penolakan dari Jenar. "Aku juga merindukan putraku. Aku kebetulan lewat sini, jadi aku langsung mampir," ucapnya lagi. Jenar tersenyum. "Kamu baru datang kemarin. Bagaimana bisa merindukannya secepat itu? Kamu baru pulang dari rumah ini kemarin malam, belum ada satu hari."Julio manggut-manggut. "Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya," celetuknya."Julio, aku ingin ....""Aku tahu kalau aku berlebihan." Julio tiba-tiba memotong kalimat Jenar. "Aku tahu kalau tidak seharusnya aku datang setiap hari dan memberikan itu semua."Julio menghela napas. "Namun, seberapa kuat kamu menolak, itu tetap putraku.""Aku tetap punya hak untuk datang dan melihatnya. Member

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   153. Bimbang

    Luce's N Property, Jakarta.Jenar duduk sembari memandang keadaan sekitarnya. Suasana begitu asing ketika dia memutuskan untuk masuk ke dalam tempat ini. "Jadi, kamu datang untuk apa?" Luce menyambutnya dengan sedikit aneh, tatapan mata tidak suka melihat Jenar datang tiba-tiba. "Kebetulan aku sibuk hari ini."Jenar tersenyum seadanya. Kepalanya manggut-manggut ringan. "Maaf, karena aku mengganggumu hari ini, Nyonya Luce.""Jadi?" Luce mendesak Jenar untuk segera berbicara. Jujur saja, dia juga penasaran.Jenar menundukkan pandangan mata. Keraguan menyerbu dirinya. Sekarang, Jenar menyesali keputusannya datang kemari tanpa keyakinan dalam hatinya. "Kenapa malah diam?" Luce memecah keheningan. "Sudah aku bilang kalau aku sibuk hari ini. Jika kamu memang tidak ....""Ini tentang Julio." Jenar memberanikan diri untuk menatap Luce. "Sudah sejak beberapa hari yang lalu ketika dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia."Luce mengangguk sekali. "Lantas?""Aku yang menyuruhnya untuk pulang k

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   152. Pertimbangkan!

    Jenar dikejutkan dengan kedatangan Jasmine pagi ini. Gadis itu membawa setumpuk buku yang tebal dan terlihat begitu berat. Jasmine meletakkannya di atas meja, lalu tersenyum pada Jenar."Kamu bisa membaca ini." Jasmine duduk di tengah sofa. Memberi perintah Jenar untuk duduk bersamanya.Jenar hendak pergi, sebenarnya. Sayang sekali, gadis ini membuatnya tertahan. Dia harus menunda kepergiannya, mungkin untuk beberapa menit hingga jam ke depan."Ayo duduk." Jasmine memberi perintah lagi sembari mengetuk meja di depannya. "Aku yakin ini akan menjawab keraguanmu."Jenar memandangnya tak mengerti. Namun, dia tidak punya pilihan lain untuk menurutinya. Jenar terpaksa duduk dan meladeni Jasmine hari ini. "Apa yang kamu maksudkan?" Jenar membuka salah satu buku di depannya. Alangkah terkejutnya Jenar, ketika dia melihat biodata Julio yang membuka halaman pertama. Jenar memandang Jasmine lagi. "Apa-apaan ini?" tanyanya. "Kenapa kamu memberi buku seperti ini padaku?""Bukan hanya satu, di ba

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   151 Lamaran

    Jenar ingin sekali mengusirnya, tetapi dia tidak tega melakukan itu. Bukan soal Julio, tetapi bagaimana perasaan putranya? "Dia tampan sekali," gumam Julio sembari mengusap lembut pipi putranya dengan ujung jarinya. "Dia mirip denganmu."Jenar hanya berdiri di ambang pintu. Kepalanya sesekali menunduk, padahal dia tidak salah apapun. "Sudah memberi nama?" tanyanya. Julio menoleh ke arah Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu nama yang bagus untuk dia."Julio terkekeh. "Lalu selama ini kamu memanggilnya bagaimana?"Jenar lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Sekarang dia tidak berucap sepatah kata pun. Julio menatap putranya lagi. "Bolehkah aku yang memberi nama? Aku sudah memikirkannya sejak turun dari pesawat.""Perjalanan kemari aku menyusun nama panjang untuknya," kata Julio lagi. Keduanya saling memandang.Jenar manggut-manggut. "Itu adalah putramu juga.""Bayu Kalandra Joe." Julian menoleh pada Jenar lagi. "Kita bisa memanggilnya Bayu."Jenar langsung mengembangkan

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   150. Dia Kembali!

    Hari demi hari berlalu begitu saja. Jenar hanya berharap keadaan jauh lebih baik. Dia hanya ingin membesarkan putranya tanpa harus memberi penderitaan pada bayi kecil tak bersalah itu. "Jenar!" Jasmine memanggilnya. Jenar yang hendak masuk ke dalam rumah, harus kembali terhenti. Dia menyambut kedatangan Jasmine dengan senyuman."Baru pulang sekolah?" Jenar menatap penampilan gadis itu. Seragam sekolah masih rapi membungkus tubuhnya. Jasmine menganggukkan kepala. "Begitulah." Sekarang dia lebih lunak pada Jenar. Toh juga tidak ada yang perlu ditutupi, dia mulai mengakui segalanya. "Aku tadi lewat toko kue, aku beli satu buat kamu." Jasmine menyodorkan kue dalam kantung plastik hitam. "Kamu suka keju kan?"Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. "Makasih banyak.""Kalau kamu belum makan siang, kamu bisa makan di sini dulu." Jenar menawarkan. "Aku buat ayam tepung."Jasmine menganggukkan kepala. "Bolehkah?" "Tentu saja. Kamu boleh menghabiskan semuanya." Jenar tertawa kecil semb

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   149. Negosiasi Tanpa Akhir

    "Aku tidak bisa menemui Julio." Jenar menundukkan pandangan mata. Rasa bersalah masih menguasai dirinya acap kali melihat Julian. Julian tersenyum dan menyeruput teh yang dibuatkan Jenar untuknya. Kepalanya mengangguk, bukan berarti dia menyetujui kalimat Jenar. Julian hanya berusaha memahami perasaannya. "Lebih tepatnya kamu tidak mau, kan?" tanya Julian. "Benar kata Jasmine, ternyata kamu berusaha kabur dari kesalahanmu."Jenar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Julian. Julian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Katanya kamu mau pergi keluar Jakarta. Kamu tidak akan kembali dan kamu meminta Jasmine untuk membantu kepergianmu secara diam-diam."Jenar tidak bisa menjawab. Dia mengaku salah."Apa yang kamu inginkan dari keputusan itu?" tanya Julian. "Kamu menginginkan ketenangan?"Jenar menggelengkan kepalanya tak yakin. "Jangan-jangan kamu berpikir, kalau kamu akan terbebas dari dosa jika pergi dari Jakarta," kekeh Julian pelan. "Aku pikir kamu tidak s

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   148. Masih Peduli

    Beberapa hari kemudian. Jenar meletakkan tas jinjing di atas meja, sedangkan Sarah sibuk menurunkan barang-barang dari taksi yang mengantar mereka pulang ke rumah. Jenar lega, akhirnya dia kembali mencium aroma rumah. Suasana rumah sakit benar-benar membosankan untuk dirinya."Aku harus kembali kerja setelah makan siang," ucap Sarah. "Aku sudah libur beberapa hari untuk menunggu kamu di rumah sakit. Aku tidak bisa libur lagi."Jenar menganggukkan kepalanya paham. "Maaf, karena aku jadi merepotkan kamu."Jenar menggelengkan kepalanya. "Kamu seharusnya bisa fokus pada pekerjaan kamu.""Tidak masalah." Sarah meliriknya. "Aku juga tidak akan bisa fokus kerja kalau meninggalkan kamu sendirian.""Sekarang aku jadi bisa lebih fokus, kamu sudah pulang." Sarah menutup kalimatnya. Dia menata barang-barang itu di sudut ruangan.Jenar tersenyum manis. "Makasih, Sar." "Sama-sama." Sarah menyelesaikan aktivitasnya. Dia berjalan mendekati Jenar. Jari jemarinya mengusap wajah tampan bayi di atas g

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   147. Tentang Ayah Kandung

    Rumah sakit persalinan, Jakarta.Tidak ada yang berani berbicara. Sarah melirik Jenar sesekali, kembali menunduk dan bermain dengan jari jemarinya. Helaan napas sesekali terdengar begitu berat dan penuh beban. Kenyatannya, tidak ada yang berani menghadapi keadaan yang ada. "Haruskah aku mengabari Julio?" Sarah memberanikan diri. Pandangan matanya tak lepas dari Jenar. "Aku akan ....""Bisakah besok kita pulang ke rumah?" Jenar memotongnya kalimat Sarah. Membalas tatapan temannya itu dengan sendu. "Aku ingin pulang."Sarah meraih tangan Jenar. "Jika karena biaya, kamu tidak perlu khawatir. Pak Julian memasukkan semua tagihan atas nama perusahaannya.""Dia memang pria yang bisa diandalkan." Sarah tersenyum mantap sembari mengacungkan jempolnya. Semangatnya seakan diisi ulang. Jenar memandangnya dengan begitu iba. Seakan mengetahui maksud dari perubahan raut wajah temannya, Sarah langsung menurunkan jempolnya."Sorry," gumam Sarah. Jenar menghela napas panjang. "Aku berpikir untuk kem

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   146. Dialog Malam : Bukan Anakku

    Malam, kediaman Julian. Jasmine melirik Julian yang baru saja turun dari lantai atas. Pakaiannya sudah diganti dengan kaos seadanya dipadukan celana panjang kain berwarna cokelat muda. "Papa nggak menunggu Jenar di rumah sakit?" Jasmine bertanya, menyela dengan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Julian menarik kursi di depan Jasmine. "Kamu makan jam segini, tidak takut gendut?" kekehnya. "Umumnya gadis seusia kamu menjaga pola makan di jam begini."Pria itu menatap piring yang penuh dengan nasi. "Sepertinya kamu lain.""Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan," jawab Jasmine. Dipandanginya Julian dengan saksama. "Papa hanya akan mengalihkan pembicaraan jika tidak suka dengan topiknya."Julian hanya tersenyum miring, sembari mengambil nasi di depannya."Aku kira Papa peduli dengannya." Jasmine berucap lagi. "Papa bahkan berlari dari luar kota kembali ke Jakarta, setelah mendengar Jenar melahirkan hari ini."Julian manggut-manggut. "Memang. Momen melahirkan hanya sekali kan?

DMCA.com Protection Status