Malam ini Jenar memutuskan untuk datang ke kediaman mewah Julian Liandra. Dia ingin mengembalikan semuanya agar tidak ada kesalahpahaman di antara mereka.
"Jadi kenapa kamu membawa semuanya datang ke sini?" Julian menatap semua hadiah yang awalnya dia tinggalkan di rumah Jenar. "Aku sudah bilang kalau itu semua untuk kamu," katanya. Mendorong salah satu hadiah pada Jenar.
Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa menerima itu semua."
"Aku tidak tahu alasan mengapa aku harus menerima semua ini, Pak?" Dia tersenyum dengan rasa canggung di dalam hatinya. "Jika ini semua hanya untuk mengapresiasi ide dari proposal yang aku berikan, aku rasa cukup satu hadiah saja. Tidak perlu ...."
"Sudah kukatakan juga kalau aku melamar kamu," sambung Julian. Dia mengatakan itu dengan keseriusan.
"Kamu bilang kamu butuh waktu untuk memikirkan semua ini. Jadi seharusnya kamu tidak perlu datang hari ini," cetus Julian sembari memandangi wajah Jenar. "Aku akan menunggu."
Jenar menarik nafasnya. "Ada banyak alasan kenapa aku harus mengembalikan ini, Pak Julian."
Dia menatap keadaan sekitarnya. Jenar tidak pernah membayangkan kalau dia akan berada di di sini. "Salah satu alasannya adalah rumah mewah ini," tukas Jenar.
Dia menatap Julian lagi. "Aku datang untuk mengembalikan semuanya sekaligus menolaknya, Pak." Nada bicaranya penuh dengan kecemasan.
Julian tak percaya setelah mendengar keputusan Jenar yang diambil secepat ini.
"Jenar, pikirkan baik-baik dulu." Dia masih mencoba untuk mendesaknya. "Aku tidak mau kamu menyesali semuanya nanti," ucap Julian seraya menggelengkan kepalanya.
"Aku akan menunggu kamu sampai kamu bisa memutuskan semuanya." Julian membenahi posisi duduknya. "Jadi jangan merasa tertekan dan terbebani," pungkas Julian. Nada bicaranya berusaha untuk menenangkan Jenar.
"Jika Pak Julian ingin menikah denganku karena kesalahan malam itu di Los Angeles, aku tidak akan menerimanya." Jenar berbohong, kenyataannya dia butuh tanggung jawab setelah Julian menjamah tubuhnya malam itu.
Julian termangu, mungkin dia tidak menyangka kalau Jenar akan seperti ini. Jenar menunjukkan padanya bahwa dia adalah gadis yang unik.
"Jadi aku mengembalikan semua hadiahnya." Jenar menutup kalimat.
Julian menegakkan duduknya. "Mungkin ini terdengar seperti alasan, Jenar." Dia melipat tangannya di atas pangkuannya. "Jujur saja .... aku merasa bahwa kita cocok," katanya.
"Apa?" Jenar hampir saja terkejut. Untung dia bisa mengembalikan ekspresi wajahnya.
Julian menarik nafas. "Yang terjadi di Los Angeles itu seakan memantapkan hatiku. Aku bisa menikahimu."
Jenar tersenyum tipis. "Aku tidak mendapatkan kecocokan di antara kita berdua, jadi jangan memaksakan situasi, Pak."
"Dengan kata lain aku sedang bertanggung jawab." Fokusnya tidak pernah beralih dari Jenar.
Julian mengerti apa yang ada di dalam kepala Jenar sekarang. Tentang status sosial mereka. Ada kesenjangan yang begitu tinggi.
"Kamu cantik." Julian tiba-tiba saja berbicara. Kalimatnya membuat Jenar menoleh padanya.
"Kamu baik." Julian memuji. "Kamu mandiri. Kamu sopan santun. Kamu inovatif dan kamu luar biasa di usia kamu."
Pujian itu membuat Jenar diam sembari memandangi wajah Julian.
"Bisa dikatakan itu adalah alasan mengapa aku ingin bertanggung jawab menikahimu."
Jenar menolak lagi. "Aku belum periksa ke rumah sakit dan aku tidak merasakan tanda-tanda kehamilan, jadi menikahiku untuk bertanggung jawab adalah hal yang sedikit berlebihan untukku, Pak Julian. Lagian, kamu sendiri sudah punya ...."
"Ah ... kamu benar!" sahut Julian emosional.
Kini pandangan Julian tertuju pada foto keluarga yang digantung di tengah ruangan. Itu pasti sudah diperbarui setelah perceraiannya, sebab tidak ada Luce Wileen di sana.
Julian menunjuk wajah seorang pemuda, mirip dengan Luce Wileen. "Julio. Dia putra tertuaku."
Tunggu, Jenar mengenal wajahnya. Itu tidak asing untuk dirinya.
"Dia putra tertuaku yang sekarang berusia 21 tahun." Pria itu mulai menceritakan. "Dia duduk di bangku perkuliahan. Dia mengambil hukum bisnis karena aku yang memaksanya padahal dia ingin menjadi seorang atlet basket."
Jenar terus memandangi foto Julio.
"Bukannya aku pria jahat yang suka membatasi keinginan anak-anakku, tetapi aku membutuhkan seorang pewaris untuk meneruskan perusahaanku meskipun putraku yang itu sedikit menjengkelkan. Julio itu ...."
"Lanjutkan ke anak kedua." Jenar memotong setelah mengingat siapa pemuda itu. Pemuda menjengkelkan sore ini.
"Jasmine?" Pria itu menoleh lagi. "Dia jarang tersenyum sebab temperamennya begitu buruk seperti ibunya. Dia paling manja sebab dia adalah anak tengah. Dia keras kepala, egois, dan sedikit sulit diatur." Julian tertawa. "Jadi kalau kamu menikah denganku, mungkin Jasmine sedikit melelahkan."
Jenar memandang Julan. Dia menggelengkan kepalanya. "Aku tidak akan menikah denganmu, Pak Julian."
"Kalau anak yang ketiga ...." Julian mengabaikan kalimat Jenar. Dia fokus dengan tujuannya untuk membuat Jenar berfikir ulang. "Dia yang paling kecil, usianya baru enam tahun. Dia masuk TK tahun ini." Julian kembali menatap Jenar. "Dia yang paling butuh sosok ibu seperti dirimu," bujuk Julian secara tidak langsung.
Julian membuang nafas. "Apa lagi yang ingin kamu tanyakan?" tanyanya memberi kelonggaran.
"Julio ...." Jenar menyebutkan satu nama. "Benar-benar putramu?"
Julian sedikit bingung dengan pertanyaannya. "Ada apa dengannya?" Sekarang dia menangkap ekspresi wajah Jenar yang tidak biasa.
"Jenar?" Julian memanggilnya. "Ada masalah dengan putraku itu?" Dia mencoba memastikan. "Jangan-jangan kamu ...."
"Aku pulang!" Suara seorang pemuda menyela dari ambang pintu yang kemudian terbuka, membuat pandangan keduanya sama-sama mengarah ke sumber suara.
"Julio?" Julian lah yang pertama kali menyapanya. Bangun dari tempat duduk. "Sapa dia," perintahnya pada Julio.
Kerutan muncul di dahi Julio. "Kenapa aku harus menyapanya?" tanyanya. Menatap Jenar kemudian. "Aku tidak pernah menyapa dan mau peduli dengan tamu papa."
Julian menghampiri putranya. "Kemarilah!" titah Julian. Membawa Julio ke ruang tamu. "Sekarang sapa dia."
Julio membeku setelah melihat wajah tamu papanya malam ini. Jenar pun begitu.
"Kenapa malah diam saja?" Julian menyenggol bahu putranya. Dia mulai berbisik. "Papa tahu kamu adalah bocah brandalan yang tidak punya sopan santun seperti ayah kandung kamu." Julian melirik Jenar sejenak. "Tapi, dia spesial," timpalnya lagi.
"Lo?" Julian mengarahkan jari telunjuknya. "Gadis yang tadi kan?"
Sialnya, bukan sapaan seperti itu yang diinginkan Julian.
"Jaga sopan santunmu, Julio!" sentaknya sedikit marah. "Turunkan jari telunjukmu!"
Julio menatap Julian. "Kenapa papa menerima gadis kurang ajar seperti dia untuk bertamu?" Dia membuang muka. "Merusak hari saja," katanya tak acuh.
Julio pergi setelahnya, tetapi dicegah Julian dengan menarik pergelangan tangan Julio. "Tetap di sini dan sapa dia!" Julian menarik nafas. "Kali ini saja, papa mohon."
"Sudahlah, Pak. Sepertinya Julio tidak menyukai aku," ucap Jenar pasrah. "Biarkan aku yang pergi saja kalau be—"
"Dia calon ibumu," pekik Julian meninggikan nada bicaranya atas ketidaksopanan putranya malam ini.
"Huh? Calon ibu?" Julio menyeringai. "Papa yakin?" Julio berjalan mendekati Jenar. "Dia tidak pantas menjadi ibuku!"
... Next ...
"Kamu mendekati papaku hanya karena uang?" Julio sarkas. Pertemuan buruk dengan Jenar lah yang membuat dia begini sekarang. "Kalau memang kamu berhubungan dengan ayahku karena uang, aku akan memberikan apa yang kamu minta. Berapa pun!" Dia menatap dengan kemarahan. "Berapa yang kamu inginkan?" Julio memberi penekanan. "Sepuluh juta? Seratus juta?" Pemuda itu mulai menghitung ngawur. "Atau satu miliar?" Jenar diam dan menatap Julio. "Katakan berapa yang kamu mau?" Dia sedikit meninggikan nada bicaranya. Pada awalnya, Julio berkata pada ayahnya bahwa dia yang akan menghantarkan Jenar ke depan pintu gerbang sebagai bentuk permintaan maaf Julio atas ketidaksopanannya. Namun, ternyata inilah tujuan yang sebenarnya. "Jenar!" Dia membentaknya. "Jangan membisu! itu membuatku semakin marah saja." Dia menghela nafas kasar. Membuang pandangan mata. "Memangnya kamu bisa memberikan aku berapa?" Jenar malah menantangnya. "Kamu mau beri pakai uang dari mana?" Dia menyeringai. "Kamu saja b
“Soto hangat penghilang pengar!” Sarah meletakkan semangkuk soto di depan Jenar. “Khusus untuk temanku yang baru saja dihajar alkohol kemarin malam!” Dia duduk di depan Jenar sembari menatapnya dengan tajam.“Kenapa menatapku begitu?” tanya Jenar. Dia masih belum yakin, apa yang terjadi sepulang dari rumah Julian. “Aku ... melakukan kesalahan?”Sarah menghela nafas. “Aku anggap pernyataan kamu tentang bersedia menikahi duda kaya bernama Julian Liandra kemarin malam adalah bagian dari mabuk kamu, Jenar.”Jenar mengernyitkan dahi dan Sarah memahami temannya.“Kamu pamitan mau ke rumah Pak Julian untuk mengembalikan hadiahnya. Lalu, tiba-tiba kamu ditemukan pingsan karena kebanyakan minum alkohol oleh Bu Ranti, tetangga sebelah.” Sarah memprotes. Sedangkan yang diprotes hanya diam dan menatapnya.“Kamu gak
Jenar membuat janji temu dengan Julian. Di sebuah rumah makan sederhana lah tempatnya. “Katanya kamu mau mau bicara sesuatu denganku?” tanya Julian. Dia yang mengambil alih untuk yng pertama kalinya. Jenar masih diam. Dia belum berani mengutarakan tujuannya—mencabut kata-kata dan menolak pernikahan itu. “Kamu sudah menerima lamaranku, jadi mulailah untuk terbiasa denganku.” Julian menatapnya. “Kita bisa saling mengenal satu sama lain di sisa hari sebelum pernikahan.” Jenar mendongakkan pandangan matanya. “Pak Julian,” panggil Jenar. Menarik fokus Julian untuk datang. “Soal pernikahan ....” Dia menjeda lagi. Jenar mengulum saliva saat mendapati Julian menatapnya dengan teduh. “Oh iya, soal pernikahan.” Sialnya, Julian salah duga. Dia antusaias membahas itu. Julian mengeluarkan tablet miliknya. Menyodorkan pada Jenar. “Aku sudah mencari gaun pengantin untuk kita,” katanya. Dia masih dengan senyum yang sama. “Ada beberapa saran dari desainer terbaik kenalanku.” Tatapan Jenar rela
“Siapa orang itu?” Jasmine mendatangi ibunya yang duduk di teras rumah.Luce menyambut kedatangan putrinya dengan senyum manis. “Siapa?” Dia mengerutkan keningnya. Mengulang pertanyaan yang sama.Jasmine duduk di sisi Luce. “Orang yang akan dinikahi papa,” sambungnya. Memperjelas.Luce tersenyum tipis. Menyeruput teh yang dibuatnya sendiri. Tak kuat memandang putrinya, dia memilih fokus pada halaman rumah mantan suaminya.“Mama juga gak tahu?” tanya Jasmine lagi. Meskipun setelah perceraian mereka tidak pernah bertemu, tetapi Luce tetaplah ibunya. Jasmine tahu, Luce juga pasti terkejut dengan keputusan Julian.“Namanya Jenar?” Luce malah balik bertanya. Mendapat anggukan dari Jasmine. “Dia karyawan papamu.”Jasmine menyunggingkan senyum. “Selera papa rendah banget,” gumam Jasmine.Jasmine sudah besar, dia tahu mana yang wajar dan tidak wajar. Menurutnya pernikahan papanya adalah hal yang tidak wajar.“Kamu tidak protes sama papa?” Luce menatap wajah putrinya. Identik dengan Julian. Ja
Rasa canggung menggantung di udara. Jenar mulai menyesal tentang dia yang memutuskan untuk tetap berada di sini.“Dia siapa, Julian?” Logatnya berbicara begitu khas. Dia sepertinya bukan asli orang Indonesia. Wajahnya pun mencerminkan kalau dia adalah orang barat.Julian menatap Jenar. “Kekasihku,” akunya. Tentu saja Jenar terkejut bukan main. Ingin memprotes tetapi dia tidak bisa.“Kami akan menikah.” Julian menambahkan.Ternyata bukan hanya Jenar yang terkejut sekarang, tetapi wanita itu juga.Julian memahami keadaan. “Jenar, perkenalkan ini adalah Anne Daisy.” Julian menatap Anne. "Anne, ini Jenar. Calon istriku.” Julian dengan bangga memperkenalkan Jenar.Anne mengertukan keningnya. “Berapa usiamu?” Dia langsung pergi pada poin pembicaraan. “Kamu awet muda atau memang masih muda?” Anne menelisik penampilan Jenar.“25 tahun,” jawab Jenar seadanya. Melirik Julian. “Usia tidak penting,” imbuhnya dengan lirih. Tersenyum canggung, berpura-pura bahwa hubungan mereka benar-benar berlanda
Jenar duduk di atas sofa sembari memandangi keadaan sekitarnya. Rumah mewah ini seakan membelenggu kebahagiaannya. Hanya ada kekhawatiran besar di dalam hatinya sekarang."Jasmine akan pulang sebentar lagi. Katanya dia sudah ada di depan gang komplek," ucap Julian. Menghampiri Jenar dengan membawakan secangkir teh untuk kedatangannya.Penyesalannya datang lagi. Dia seharusnya tadi menolak saat dia itu mengajaknya untuk sekalian datang mampir ke rumahnya.Jenar tersenyum manis pada Julian. "Di mana Jean?" tanyanya. Syukurlah kalau nama anak terakhir Julian mudah diingat olehnya."Aku menitipkannya di pengasuh. Katanya mereka sedang jalan-jalan di taman, nanti juga akan kembali karena aku sudah menelepon kalau ada tamu penting yang datang ke rumah." Pria itu menjawab seadanya. Duduk di depan Jenar. "Bagaimana dengan rumahku?" tanya Julian lagi. "Apanya yang bagaimana?" Jenar mengernyitkan dahi. "Nyaman untuk kamu?" Julian sepertinya tergesa-gesa, tentang Jenar yang harus segera menye
“Boleh aku masuk?”Jenar tidak tahu apakah dia akan melakukan kelancangan yang membuat Jasmine semakin membenci dirianya atau tidak. Dia hanya ingin datang dan berbicara.Jasmine tidak memberi jawaban. Dia meringkuk di dalam selimut tebalnya.“Aku anggap boleh,” ucapnya terdengar bimbang, meskipun begitu Jenar masih memaksakan diri untuk masuk ke dalam kamar Jasmine.“Papa kamu mengijinkan aku masuk ke sini untuk berpamitan pulang.” Jenar memulai kalimatnya. Dia masih takut jika itu hanya akan menambah kemarahan Jasmine saja.Jasmine menurunkan selimutnya. Dia bangkit dari tempat tidurnya dan menatap Jenar.“Kenapa melihatku seperti melihat monster?” Jenar berusaha untuk bergurau. Sayangnya, Jasmine tidak menangkap kalimat itu.“Katakan padaku dengan jujur!” Dia memer
Satu bulan kemudian.Pesta pernikahan menyertakan Jenar dan Julian sebagai tokoh utamanya. Ucapan selamat berdatangan mengiringi kebahagaian mereka berdua. Pesta digelar sederhana, sesuai dengan permintanaan Jenar.“Jujur aku kecewa sama kamu,” bisik Sarah pada Jenar. Dia tidak menyangka kalau temannya akan senekat ini.Jenar tersenyum simpul. “Maafkan aku.”Sarah bersedekap di depannya. Memandang temannya dengan balutan gaun pengantin. “Kamu benar-benar jadi istri seorang duda sekarang. Padahal aku hanya bercanda waktu itu,” katanya pada Jenar. Sedikit ketus, mengekspresikan kecewanya.Jenar hanya mengangguk.“Ingat Jenar. Jangan datang padaku kalau terjadi apapun.” Sarah memberi penekan pada Jenar. “Aku sudah memperingatkan itu padamu dulu.”Jenar malah tertawa kecil. “Ha
Dua cangkir teh menemani diamnya mereka. Jenar tiba-tiba ingin berbicara serius, padahal kedatangan Julio hanya ingin melihat putranya. "Aku membelikan mainan baru," kata Julio mencoba untuk menghilangkan rasa canggung itu. "Aku tahu kalau putra kita belum bisa bermain, aku hanya ingin membelikannya saja."Julio seakan takut penolakan dari Jenar. "Aku juga merindukan putraku. Aku kebetulan lewat sini, jadi aku langsung mampir," ucapnya lagi. Jenar tersenyum. "Kamu baru datang kemarin. Bagaimana bisa merindukannya secepat itu? Kamu baru pulang dari rumah ini kemarin malam, belum ada satu hari."Julio manggut-manggut. "Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya," celetuknya."Julio, aku ingin ....""Aku tahu kalau aku berlebihan." Julio tiba-tiba memotong kalimat Jenar. "Aku tahu kalau tidak seharusnya aku datang setiap hari dan memberikan itu semua."Julio menghela napas. "Namun, seberapa kuat kamu menolak, itu tetap putraku.""Aku tetap punya hak untuk datang dan melihatnya. Member
Luce's N Property, Jakarta.Jenar duduk sembari memandang keadaan sekitarnya. Suasana begitu asing ketika dia memutuskan untuk masuk ke dalam tempat ini. "Jadi, kamu datang untuk apa?" Luce menyambutnya dengan sedikit aneh, tatapan mata tidak suka melihat Jenar datang tiba-tiba. "Kebetulan aku sibuk hari ini."Jenar tersenyum seadanya. Kepalanya manggut-manggut ringan. "Maaf, karena aku mengganggumu hari ini, Nyonya Luce.""Jadi?" Luce mendesak Jenar untuk segera berbicara. Jujur saja, dia juga penasaran.Jenar menundukkan pandangan mata. Keraguan menyerbu dirinya. Sekarang, Jenar menyesali keputusannya datang kemari tanpa keyakinan dalam hatinya. "Kenapa malah diam?" Luce memecah keheningan. "Sudah aku bilang kalau aku sibuk hari ini. Jika kamu memang tidak ....""Ini tentang Julio." Jenar memberanikan diri untuk menatap Luce. "Sudah sejak beberapa hari yang lalu ketika dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia."Luce mengangguk sekali. "Lantas?""Aku yang menyuruhnya untuk pulang k
Jenar dikejutkan dengan kedatangan Jasmine pagi ini. Gadis itu membawa setumpuk buku yang tebal dan terlihat begitu berat. Jasmine meletakkannya di atas meja, lalu tersenyum pada Jenar."Kamu bisa membaca ini." Jasmine duduk di tengah sofa. Memberi perintah Jenar untuk duduk bersamanya.Jenar hendak pergi, sebenarnya. Sayang sekali, gadis ini membuatnya tertahan. Dia harus menunda kepergiannya, mungkin untuk beberapa menit hingga jam ke depan."Ayo duduk." Jasmine memberi perintah lagi sembari mengetuk meja di depannya. "Aku yakin ini akan menjawab keraguanmu."Jenar memandangnya tak mengerti. Namun, dia tidak punya pilihan lain untuk menurutinya. Jenar terpaksa duduk dan meladeni Jasmine hari ini. "Apa yang kamu maksudkan?" Jenar membuka salah satu buku di depannya. Alangkah terkejutnya Jenar, ketika dia melihat biodata Julio yang membuka halaman pertama. Jenar memandang Jasmine lagi. "Apa-apaan ini?" tanyanya. "Kenapa kamu memberi buku seperti ini padaku?""Bukan hanya satu, di ba
Jenar ingin sekali mengusirnya, tetapi dia tidak tega melakukan itu. Bukan soal Julio, tetapi bagaimana perasaan putranya? "Dia tampan sekali," gumam Julio sembari mengusap lembut pipi putranya dengan ujung jarinya. "Dia mirip denganmu."Jenar hanya berdiri di ambang pintu. Kepalanya sesekali menunduk, padahal dia tidak salah apapun. "Sudah memberi nama?" tanyanya. Julio menoleh ke arah Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu nama yang bagus untuk dia."Julio terkekeh. "Lalu selama ini kamu memanggilnya bagaimana?"Jenar lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Sekarang dia tidak berucap sepatah kata pun. Julio menatap putranya lagi. "Bolehkah aku yang memberi nama? Aku sudah memikirkannya sejak turun dari pesawat.""Perjalanan kemari aku menyusun nama panjang untuknya," kata Julio lagi. Keduanya saling memandang.Jenar manggut-manggut. "Itu adalah putramu juga.""Bayu Kalandra Joe." Julian menoleh pada Jenar lagi. "Kita bisa memanggilnya Bayu."Jenar langsung mengembangkan
Hari demi hari berlalu begitu saja. Jenar hanya berharap keadaan jauh lebih baik. Dia hanya ingin membesarkan putranya tanpa harus memberi penderitaan pada bayi kecil tak bersalah itu. "Jenar!" Jasmine memanggilnya. Jenar yang hendak masuk ke dalam rumah, harus kembali terhenti. Dia menyambut kedatangan Jasmine dengan senyuman."Baru pulang sekolah?" Jenar menatap penampilan gadis itu. Seragam sekolah masih rapi membungkus tubuhnya. Jasmine menganggukkan kepala. "Begitulah." Sekarang dia lebih lunak pada Jenar. Toh juga tidak ada yang perlu ditutupi, dia mulai mengakui segalanya. "Aku tadi lewat toko kue, aku beli satu buat kamu." Jasmine menyodorkan kue dalam kantung plastik hitam. "Kamu suka keju kan?"Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. "Makasih banyak.""Kalau kamu belum makan siang, kamu bisa makan di sini dulu." Jenar menawarkan. "Aku buat ayam tepung."Jasmine menganggukkan kepala. "Bolehkah?" "Tentu saja. Kamu boleh menghabiskan semuanya." Jenar tertawa kecil semb
"Aku tidak bisa menemui Julio." Jenar menundukkan pandangan mata. Rasa bersalah masih menguasai dirinya acap kali melihat Julian. Julian tersenyum dan menyeruput teh yang dibuatkan Jenar untuknya. Kepalanya mengangguk, bukan berarti dia menyetujui kalimat Jenar. Julian hanya berusaha memahami perasaannya. "Lebih tepatnya kamu tidak mau, kan?" tanya Julian. "Benar kata Jasmine, ternyata kamu berusaha kabur dari kesalahanmu."Jenar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Julian. Julian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Katanya kamu mau pergi keluar Jakarta. Kamu tidak akan kembali dan kamu meminta Jasmine untuk membantu kepergianmu secara diam-diam."Jenar tidak bisa menjawab. Dia mengaku salah."Apa yang kamu inginkan dari keputusan itu?" tanya Julian. "Kamu menginginkan ketenangan?"Jenar menggelengkan kepalanya tak yakin. "Jangan-jangan kamu berpikir, kalau kamu akan terbebas dari dosa jika pergi dari Jakarta," kekeh Julian pelan. "Aku pikir kamu tidak s
Beberapa hari kemudian. Jenar meletakkan tas jinjing di atas meja, sedangkan Sarah sibuk menurunkan barang-barang dari taksi yang mengantar mereka pulang ke rumah. Jenar lega, akhirnya dia kembali mencium aroma rumah. Suasana rumah sakit benar-benar membosankan untuk dirinya."Aku harus kembali kerja setelah makan siang," ucap Sarah. "Aku sudah libur beberapa hari untuk menunggu kamu di rumah sakit. Aku tidak bisa libur lagi."Jenar menganggukkan kepalanya paham. "Maaf, karena aku jadi merepotkan kamu."Jenar menggelengkan kepalanya. "Kamu seharusnya bisa fokus pada pekerjaan kamu.""Tidak masalah." Sarah meliriknya. "Aku juga tidak akan bisa fokus kerja kalau meninggalkan kamu sendirian.""Sekarang aku jadi bisa lebih fokus, kamu sudah pulang." Sarah menutup kalimatnya. Dia menata barang-barang itu di sudut ruangan.Jenar tersenyum manis. "Makasih, Sar." "Sama-sama." Sarah menyelesaikan aktivitasnya. Dia berjalan mendekati Jenar. Jari jemarinya mengusap wajah tampan bayi di atas g
Rumah sakit persalinan, Jakarta.Tidak ada yang berani berbicara. Sarah melirik Jenar sesekali, kembali menunduk dan bermain dengan jari jemarinya. Helaan napas sesekali terdengar begitu berat dan penuh beban. Kenyatannya, tidak ada yang berani menghadapi keadaan yang ada. "Haruskah aku mengabari Julio?" Sarah memberanikan diri. Pandangan matanya tak lepas dari Jenar. "Aku akan ....""Bisakah besok kita pulang ke rumah?" Jenar memotongnya kalimat Sarah. Membalas tatapan temannya itu dengan sendu. "Aku ingin pulang."Sarah meraih tangan Jenar. "Jika karena biaya, kamu tidak perlu khawatir. Pak Julian memasukkan semua tagihan atas nama perusahaannya.""Dia memang pria yang bisa diandalkan." Sarah tersenyum mantap sembari mengacungkan jempolnya. Semangatnya seakan diisi ulang. Jenar memandangnya dengan begitu iba. Seakan mengetahui maksud dari perubahan raut wajah temannya, Sarah langsung menurunkan jempolnya."Sorry," gumam Sarah. Jenar menghela napas panjang. "Aku berpikir untuk kem
Malam, kediaman Julian. Jasmine melirik Julian yang baru saja turun dari lantai atas. Pakaiannya sudah diganti dengan kaos seadanya dipadukan celana panjang kain berwarna cokelat muda. "Papa nggak menunggu Jenar di rumah sakit?" Jasmine bertanya, menyela dengan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Julian menarik kursi di depan Jasmine. "Kamu makan jam segini, tidak takut gendut?" kekehnya. "Umumnya gadis seusia kamu menjaga pola makan di jam begini."Pria itu menatap piring yang penuh dengan nasi. "Sepertinya kamu lain.""Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan," jawab Jasmine. Dipandanginya Julian dengan saksama. "Papa hanya akan mengalihkan pembicaraan jika tidak suka dengan topiknya."Julian hanya tersenyum miring, sembari mengambil nasi di depannya."Aku kira Papa peduli dengannya." Jasmine berucap lagi. "Papa bahkan berlari dari luar kota kembali ke Jakarta, setelah mendengar Jenar melahirkan hari ini."Julian manggut-manggut. "Memang. Momen melahirkan hanya sekali kan?