“Boleh aku masuk?”Jenar tidak tahu apakah dia akan melakukan kelancangan yang membuat Jasmine semakin membenci dirianya atau tidak. Dia hanya ingin datang dan berbicara.Jasmine tidak memberi jawaban. Dia meringkuk di dalam selimut tebalnya.“Aku anggap boleh,” ucapnya terdengar bimbang, meskipun begitu Jenar masih memaksakan diri untuk masuk ke dalam kamar Jasmine.“Papa kamu mengijinkan aku masuk ke sini untuk berpamitan pulang.” Jenar memulai kalimatnya. Dia masih takut jika itu hanya akan menambah kemarahan Jasmine saja.Jasmine menurunkan selimutnya. Dia bangkit dari tempat tidurnya dan menatap Jenar.“Kenapa melihatku seperti melihat monster?” Jenar berusaha untuk bergurau. Sayangnya, Jasmine tidak menangkap kalimat itu.“Katakan padaku dengan jujur!” Dia memer
Satu bulan kemudian.Pesta pernikahan menyertakan Jenar dan Julian sebagai tokoh utamanya. Ucapan selamat berdatangan mengiringi kebahagaian mereka berdua. Pesta digelar sederhana, sesuai dengan permintanaan Jenar.“Jujur aku kecewa sama kamu,” bisik Sarah pada Jenar. Dia tidak menyangka kalau temannya akan senekat ini.Jenar tersenyum simpul. “Maafkan aku.”Sarah bersedekap di depannya. Memandang temannya dengan balutan gaun pengantin. “Kamu benar-benar jadi istri seorang duda sekarang. Padahal aku hanya bercanda waktu itu,” katanya pada Jenar. Sedikit ketus, mengekspresikan kecewanya.Jenar hanya mengangguk.“Ingat Jenar. Jangan datang padaku kalau terjadi apapun.” Sarah memberi penekan pada Jenar. “Aku sudah memperingatkan itu padamu dulu.”Jenar malah tertawa kecil. “Ha
“Tidak jadi menemui temanmu?” Luce datang menghampiri Jenar, dia berdiri di sisinya.Jenar menatapnya dalam diam.“Katanya tadi mau pergi karena ingin menjamu tamu yang lain,” ucapnya sembari melirik pada Jenar. Dia mengambil minuman dari atas meja. Tersenyum lagi pada Jenar. “Namun kamu malah di sini.”Jenar merasa risih dengannya. Sikap Nyonya Luce berubah begitu saja. Tidak seperti saat mereka bertemu sebelumnya.“Temanku ternyata sudah pulang,” jawab Jenar seadanya.“Tanpa pamit sama kamu?” Luce menyahut lagi.Jenar manggut-manggut. “Mungkin terburu-buru, dia orang sibuk dan aku memberi undangan dua hari sebelumnya. Itu sangat mendadak,” ujar Jenar. Dia sedang membicarakan Sarah yang menghilang entah ke mana.Luce bersedekap dengan satu tangan. Menoleh ke kanan da
Setelah pesta pernikahan, hidup baru Jenar dimulai. Jenar tersenyum lebar. Menatap Jasmine dan Julio yang duduk berdua, bercengkerama di atas sofa. Setidaknya dia disambut dengan pemandangan wajar yang begitu pantas untuk dilihat. “Boleh aku bergabung?” tanya Jenar seraya berjalan mendekat. Suara Jenar menyela percakapan keduanya. Jasmine dan Julio menoleh padanya. “Tidak boleh?” Jenar langsung menyimpulkan kala raut wajah keduanya berubah. Julio menggeratkan giginya. Dia memilih membuang pandangan matanya sekarang. Tentu saja dia masih belum terbiasa dengan situasinya. “Kamu mengizinkan dia bergabung?” bisiknya pada Jasmine. Jenar terlalu dekat untuk tidak mendengar bisikan itu. Jasmine melirik Jenar, lalu menggelengkan kepalanya. “Aku malah mengira kakak yang akan mengizinkan dia,” ujarnya sembari menyeringai. “Kalian bisa berbicara dengan santai, jika memang tidak nyaman dengan—“ “Ah, aku baru ingat!” Jasmine menyentak dengan nada bicaranya. Memotong kalimat Jenar. “Aku a
Malam tiba. Jenar menunggu di teras rumah dengan hujan gerimis yang membasahi malam. “Bu Jenar?” Wanita paruh baya memanggilnya. Dia adalah Mariani, pengasuh Jean sejak dia lahir—begitu kata Julian padanya. “Mau pulang?” tanya Jenar. Tersenyum tipis padanya. Dia memandang wanita itu dari atas sampai bawah. “Iya, Bu. Pak Julian kemarin berpesan kalau jam kerjaku akan berkurang karena Bu Jenar ada di sini.” Mariani berbicara lembut, penuh kesopanan meskipun Jenar seusia dengan anak termudanya. “Kalau Jean sudah tidur, aku boleh pulang.” Mariani mengimbuhkan. “Aku baru saja menidurkan dan membersihkan kamarnya, Bu.” Jenar manggut-manggut. “Biasanya kamu pulang jam segini?” Jenar melirik jam tangan miliknya. “Masih pukul tujuh,” sambungnya. “Biasanya pulang jam sembilan atau cepat jam delapan. Tergantung Pak Julian ada lembur atau tidak.” Senyum tidak pernah luntur darinya. Secara personal, tanpa mempertimbangkan banyak hal, sejak pertama kali dia melihat Jenar, Mariani sudah menyuka
“Maaf karena baru pulang.” Julian memasang wajah sedih pada Jenar. Dia berulang kali meminta maafnya sebab keterlambatannya malam ini. “Aku seharusnya tidak mengacaukan malam pertama ini.” Dia menatap punggung Jenar. Gadis itu menyibukkan diri dengan menata jas yang dipakai Julian malam ini. “Jenar ....” Julian memanggilnya dengan lembut. Dia mendekati Jenar perlahan-lahan. “Kamu marah padaku?” Jenar menoleh kala suara Julian semakin dekat dengannya. Jenar lantas menggelengkan kepalanya. “Aku tidak punya alasan untuk marah, Pak Julian.” Jenar hanya canggung. Dia tidak memikirkan alur setelah dia menikah dengan pria yang sama sekali belum pernah masuk ke dalam hatinya. “Kamu pergi ke kantor untuk menemui orang penting, jadi aku harus mengerti itu,” kata Jenar seraya tersenyum. Julian menggelengkan kepalanya. “Tidak. Itu kesalahan,” sahutnya.
“Mulai pagi ini, Mama Jenar akan resmi mengatur urusan rumah ini selagi papa tidak ada.” Julian memberi pengumuman pada anak-anaknya. “Dia adalah ibu kalian dan dia yang akan mendidik kalian mulai sekarang. Turuti semua perintahnya dan hormati dia meskipun usianya tidak jauh dari kalian,” pungkas Julian. Julian menatap Jasmine dan Julio. Seperti biasa kalau mereka tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh ayah mereka. “Kalian mendengarkan papa atau tidak?” tanyanya pada Julio dan Jasmine. “Papa sangat serius sekarang,” ucapnya lagi. Jenar merasakan kecanggungan yang luar biasa pagi ini. Ini adalah kali pertamanya dia duduk di hadapan Julian dan tiga anaknya. Jasmine menghentikan makannya. “Kita hanya perlu mengangguk dan mengiyakan kan, Pa?” tanyanya dengan ketus. “Maka kita akan melakukan itu,” sambung Jasmine seraya melirik Jenar yang duduk sisi ayahnya. “Lagian ada atau tidak, sama saja.” “Jasmine,” timpal Jenar memberi penekanan. “Papa berharap kamu menghargainya seb
“Panggil aku ibu!” sahut Jenar meninggikan nada bicaranya. “Aku adalah ibu kamu sekarang, Jasmine!” Mata menyorotkan kemarahan yang berlebih. “Hargai aku.” Jasmine malah tertawa. “Kamu berharap terlalu berlebihan, Jenar.” Dia berjalan mendekati Jenar. “Sudah aku katakan, mama aku hanya Mama Luce dan tidak akan ada yang bisa menggantikannya.” Jenar menghela nafas. Ternyata memang gadis ini punya tingkat keras kepala yang begitu tinggi. Entah dia mirip dan mewarisi sikap siapa. “Kamu tidak bisa menyaingi dia. Kamu tidak bisa menggantikan dia,” ujar Jasmine. Dia berjalan semakin dekat dengan Jenar. Matanya menelisik. “Aku dengar dari mama, kamu mengintimidasi mamaku, Jenar.” Keduanya saling diam satu sama lain. Tak ada yang berbicara. Jenar menemukan lawan tandingnya, Jasmine sama kerasnya dengan dia. “Jangan berani lagi mengintimidasi dia. Kamu tidak boleh memandang matanya apalagi sampai memaki-maki dia.” Jasmine memberi penekanan. Dia serius dengan kalimatnya. “Aku tidak akan t
Dua cangkir teh menemani diamnya mereka. Jenar tiba-tiba ingin berbicara serius, padahal kedatangan Julio hanya ingin melihat putranya. "Aku membelikan mainan baru," kata Julio mencoba untuk menghilangkan rasa canggung itu. "Aku tahu kalau putra kita belum bisa bermain, aku hanya ingin membelikannya saja."Julio seakan takut penolakan dari Jenar. "Aku juga merindukan putraku. Aku kebetulan lewat sini, jadi aku langsung mampir," ucapnya lagi. Jenar tersenyum. "Kamu baru datang kemarin. Bagaimana bisa merindukannya secepat itu? Kamu baru pulang dari rumah ini kemarin malam, belum ada satu hari."Julio manggut-manggut. "Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya," celetuknya."Julio, aku ingin ....""Aku tahu kalau aku berlebihan." Julio tiba-tiba memotong kalimat Jenar. "Aku tahu kalau tidak seharusnya aku datang setiap hari dan memberikan itu semua."Julio menghela napas. "Namun, seberapa kuat kamu menolak, itu tetap putraku.""Aku tetap punya hak untuk datang dan melihatnya. Member
Luce's N Property, Jakarta.Jenar duduk sembari memandang keadaan sekitarnya. Suasana begitu asing ketika dia memutuskan untuk masuk ke dalam tempat ini. "Jadi, kamu datang untuk apa?" Luce menyambutnya dengan sedikit aneh, tatapan mata tidak suka melihat Jenar datang tiba-tiba. "Kebetulan aku sibuk hari ini."Jenar tersenyum seadanya. Kepalanya manggut-manggut ringan. "Maaf, karena aku mengganggumu hari ini, Nyonya Luce.""Jadi?" Luce mendesak Jenar untuk segera berbicara. Jujur saja, dia juga penasaran.Jenar menundukkan pandangan mata. Keraguan menyerbu dirinya. Sekarang, Jenar menyesali keputusannya datang kemari tanpa keyakinan dalam hatinya. "Kenapa malah diam?" Luce memecah keheningan. "Sudah aku bilang kalau aku sibuk hari ini. Jika kamu memang tidak ....""Ini tentang Julio." Jenar memberanikan diri untuk menatap Luce. "Sudah sejak beberapa hari yang lalu ketika dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia."Luce mengangguk sekali. "Lantas?""Aku yang menyuruhnya untuk pulang k
Jenar dikejutkan dengan kedatangan Jasmine pagi ini. Gadis itu membawa setumpuk buku yang tebal dan terlihat begitu berat. Jasmine meletakkannya di atas meja, lalu tersenyum pada Jenar."Kamu bisa membaca ini." Jasmine duduk di tengah sofa. Memberi perintah Jenar untuk duduk bersamanya.Jenar hendak pergi, sebenarnya. Sayang sekali, gadis ini membuatnya tertahan. Dia harus menunda kepergiannya, mungkin untuk beberapa menit hingga jam ke depan."Ayo duduk." Jasmine memberi perintah lagi sembari mengetuk meja di depannya. "Aku yakin ini akan menjawab keraguanmu."Jenar memandangnya tak mengerti. Namun, dia tidak punya pilihan lain untuk menurutinya. Jenar terpaksa duduk dan meladeni Jasmine hari ini. "Apa yang kamu maksudkan?" Jenar membuka salah satu buku di depannya. Alangkah terkejutnya Jenar, ketika dia melihat biodata Julio yang membuka halaman pertama. Jenar memandang Jasmine lagi. "Apa-apaan ini?" tanyanya. "Kenapa kamu memberi buku seperti ini padaku?""Bukan hanya satu, di ba
Jenar ingin sekali mengusirnya, tetapi dia tidak tega melakukan itu. Bukan soal Julio, tetapi bagaimana perasaan putranya? "Dia tampan sekali," gumam Julio sembari mengusap lembut pipi putranya dengan ujung jarinya. "Dia mirip denganmu."Jenar hanya berdiri di ambang pintu. Kepalanya sesekali menunduk, padahal dia tidak salah apapun. "Sudah memberi nama?" tanyanya. Julio menoleh ke arah Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu nama yang bagus untuk dia."Julio terkekeh. "Lalu selama ini kamu memanggilnya bagaimana?"Jenar lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Sekarang dia tidak berucap sepatah kata pun. Julio menatap putranya lagi. "Bolehkah aku yang memberi nama? Aku sudah memikirkannya sejak turun dari pesawat.""Perjalanan kemari aku menyusun nama panjang untuknya," kata Julio lagi. Keduanya saling memandang.Jenar manggut-manggut. "Itu adalah putramu juga.""Bayu Kalandra Joe." Julian menoleh pada Jenar lagi. "Kita bisa memanggilnya Bayu."Jenar langsung mengembangkan
Hari demi hari berlalu begitu saja. Jenar hanya berharap keadaan jauh lebih baik. Dia hanya ingin membesarkan putranya tanpa harus memberi penderitaan pada bayi kecil tak bersalah itu. "Jenar!" Jasmine memanggilnya. Jenar yang hendak masuk ke dalam rumah, harus kembali terhenti. Dia menyambut kedatangan Jasmine dengan senyuman."Baru pulang sekolah?" Jenar menatap penampilan gadis itu. Seragam sekolah masih rapi membungkus tubuhnya. Jasmine menganggukkan kepala. "Begitulah." Sekarang dia lebih lunak pada Jenar. Toh juga tidak ada yang perlu ditutupi, dia mulai mengakui segalanya. "Aku tadi lewat toko kue, aku beli satu buat kamu." Jasmine menyodorkan kue dalam kantung plastik hitam. "Kamu suka keju kan?"Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. "Makasih banyak.""Kalau kamu belum makan siang, kamu bisa makan di sini dulu." Jenar menawarkan. "Aku buat ayam tepung."Jasmine menganggukkan kepala. "Bolehkah?" "Tentu saja. Kamu boleh menghabiskan semuanya." Jenar tertawa kecil semb
"Aku tidak bisa menemui Julio." Jenar menundukkan pandangan mata. Rasa bersalah masih menguasai dirinya acap kali melihat Julian. Julian tersenyum dan menyeruput teh yang dibuatkan Jenar untuknya. Kepalanya mengangguk, bukan berarti dia menyetujui kalimat Jenar. Julian hanya berusaha memahami perasaannya. "Lebih tepatnya kamu tidak mau, kan?" tanya Julian. "Benar kata Jasmine, ternyata kamu berusaha kabur dari kesalahanmu."Jenar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Julian. Julian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Katanya kamu mau pergi keluar Jakarta. Kamu tidak akan kembali dan kamu meminta Jasmine untuk membantu kepergianmu secara diam-diam."Jenar tidak bisa menjawab. Dia mengaku salah."Apa yang kamu inginkan dari keputusan itu?" tanya Julian. "Kamu menginginkan ketenangan?"Jenar menggelengkan kepalanya tak yakin. "Jangan-jangan kamu berpikir, kalau kamu akan terbebas dari dosa jika pergi dari Jakarta," kekeh Julian pelan. "Aku pikir kamu tidak s
Beberapa hari kemudian. Jenar meletakkan tas jinjing di atas meja, sedangkan Sarah sibuk menurunkan barang-barang dari taksi yang mengantar mereka pulang ke rumah. Jenar lega, akhirnya dia kembali mencium aroma rumah. Suasana rumah sakit benar-benar membosankan untuk dirinya."Aku harus kembali kerja setelah makan siang," ucap Sarah. "Aku sudah libur beberapa hari untuk menunggu kamu di rumah sakit. Aku tidak bisa libur lagi."Jenar menganggukkan kepalanya paham. "Maaf, karena aku jadi merepotkan kamu."Jenar menggelengkan kepalanya. "Kamu seharusnya bisa fokus pada pekerjaan kamu.""Tidak masalah." Sarah meliriknya. "Aku juga tidak akan bisa fokus kerja kalau meninggalkan kamu sendirian.""Sekarang aku jadi bisa lebih fokus, kamu sudah pulang." Sarah menutup kalimatnya. Dia menata barang-barang itu di sudut ruangan.Jenar tersenyum manis. "Makasih, Sar." "Sama-sama." Sarah menyelesaikan aktivitasnya. Dia berjalan mendekati Jenar. Jari jemarinya mengusap wajah tampan bayi di atas g
Rumah sakit persalinan, Jakarta.Tidak ada yang berani berbicara. Sarah melirik Jenar sesekali, kembali menunduk dan bermain dengan jari jemarinya. Helaan napas sesekali terdengar begitu berat dan penuh beban. Kenyatannya, tidak ada yang berani menghadapi keadaan yang ada. "Haruskah aku mengabari Julio?" Sarah memberanikan diri. Pandangan matanya tak lepas dari Jenar. "Aku akan ....""Bisakah besok kita pulang ke rumah?" Jenar memotongnya kalimat Sarah. Membalas tatapan temannya itu dengan sendu. "Aku ingin pulang."Sarah meraih tangan Jenar. "Jika karena biaya, kamu tidak perlu khawatir. Pak Julian memasukkan semua tagihan atas nama perusahaannya.""Dia memang pria yang bisa diandalkan." Sarah tersenyum mantap sembari mengacungkan jempolnya. Semangatnya seakan diisi ulang. Jenar memandangnya dengan begitu iba. Seakan mengetahui maksud dari perubahan raut wajah temannya, Sarah langsung menurunkan jempolnya."Sorry," gumam Sarah. Jenar menghela napas panjang. "Aku berpikir untuk kem
Malam, kediaman Julian. Jasmine melirik Julian yang baru saja turun dari lantai atas. Pakaiannya sudah diganti dengan kaos seadanya dipadukan celana panjang kain berwarna cokelat muda. "Papa nggak menunggu Jenar di rumah sakit?" Jasmine bertanya, menyela dengan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Julian menarik kursi di depan Jasmine. "Kamu makan jam segini, tidak takut gendut?" kekehnya. "Umumnya gadis seusia kamu menjaga pola makan di jam begini."Pria itu menatap piring yang penuh dengan nasi. "Sepertinya kamu lain.""Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan," jawab Jasmine. Dipandanginya Julian dengan saksama. "Papa hanya akan mengalihkan pembicaraan jika tidak suka dengan topiknya."Julian hanya tersenyum miring, sembari mengambil nasi di depannya."Aku kira Papa peduli dengannya." Jasmine berucap lagi. "Papa bahkan berlari dari luar kota kembali ke Jakarta, setelah mendengar Jenar melahirkan hari ini."Julian manggut-manggut. "Memang. Momen melahirkan hanya sekali kan?