"Pak Leo.""Anak kamu sakit apa, Lin?" Mengernyitkan dahi mendengar ucapannya. Dari mana ia tahu jika Aluna sakit? Bahkan aku belum mengatakan apa pun. "Bapak tahu dari mana?""Lho, bukankah Tara izin tidak masuk kantor karena anaknya sakit, ya?"DEG! Mas Tara izin tak masuk kantor? Tapi kenapa tadi ia berangkat ke kantor? Ada yang tidak beres di sini. Mas Tara pasti sedang asyik memadu kasih dengan anak ingusan itu. Allah... Ayah macam apa dia? Di sini kami berjuang tapi di sana ia bersenang-senang. "Alin." Sebuah sentuhan di pundak kembali menyentakku. "Eh, iya, Pak.""Anak kamu sakit a...." Belum sempat Pak Leo melanjutkan kalimatnya, kami dikejutkan dengan suara tangis anak kecil. Aku tahu pasti, suara tangis siapa itu, Aluna. Aku segera masuk ke ruang IGD, kutinggalkan Pak Leo begitu saja. "Mama ... Hu hu hu ...." Suara Aluna semakin keras. "Sayang, kenapa?" Kupeluk tubuhnya erat. Kuhapus jejak air mata yang masih menempel di pipinya. Perlahan tangis itu mereda, rasa tak
Pov Tara"Mas berisik!" ucap Imelda kesal karena ponselku terus saja berbunyi. Kuambil benda pipih yang ada di atas nakas, tiga buah panggilan dari Alin. Kenapa Alin menghubungiku di jam seperti ini? Apa terjadi sesuatu dengan Aluna? Mengingat dia kutinggalkan dalam keadaan sakit. Belum sempat kuangkat panggilan telepon itu berhenti seketika. Ah, mungkin Aluna hanya merindukan aku. Jika ada sesuatu Alin pasti mengirim pesan."Sayang, kok aku dianggurin, sih?" Imelda menyilangkan kedua tangan di dada. Bibirnya mengerucut membuatku semakin gemas saja. Ponsel kumatikan kemudian kuletakkan di atas nakas. Alin tak akan bisa menganggu waktuku dengan Imelda. "Mas, ih nyebelin," ucapnya kesal. Anak remaja dengan tingkah manja dan kekanak-kanakan membuatku semakin gemas. Itu yang membuatku enggan berpaling padanya. Alin memang benar, selama ini aku masih menjalin hubungan dengan gadis itu. Di depan Alin saja aku terlihat setia tapi sejujurnya aku masih memikirkan bahkan berkomunikasi den
Pov TaraCepat-cepat menyalakan ponsel yang sempat aku nonaktifkan. Beberapa panggilan tak terjawab dari Alin dan Pak Leo. Tak berapa lama tiga pesan dari nomor Alin masuk ke aplikasi berwarna hijau milikku. Disusul pesan dari Pak Leo. Mereka berdua kenapa kompak menghubungiku? [Mas kamu di mana?][Angkat teleponku! ][Aluna masuk rumah sakit!]Ya Tuhan, ternyata Aluna masuk rumah sakit. Bukankah tadi sudah tak panas? Tapi kenapa bisa masuk rumah sakit lagi. Lampu kunyalakan, lalu bergegas menuju rumah sakit tempat Alin biasa memeriksakan Aluna saat sakit. TINGSebuah pesan masuk. Aku hanya meliriknya lalu kembali fokus mengendarai mobil. Aku melihat mobil Alin terparkir di halaman rumah sakit. Ternyata dugaanku benar, Aluna dirawat di rumah sakit ini. "Malam, Sus. Maaf kamar inap atas nama Aluna ada di mana, ya?""Ada di kamar VVIP, lantai tiga, Pak."Setelah mendapatkan kamar inap Aluna aku segera berjalan ke sana. Tentu dengan mengatakan jika aku ayahnya. Ini bukan jam jengu
Menggeleng kala melihat halaman rumah. Daun berserakan, tempat sampah penuh, belum lagi debu yang menempel di kursi. Astaga, ini rumah atau bukan? Baru dua hari kutinggal tapi rumah sudah seperti kapal pecah. Bagaimana dengan isi rumah? Pasti mengerikan. Belum sempat aku membuka,pintu itu sudah ditarik dari dalam. Mas Tara sudah berdiri dengan pakaian kerjanya.“Lho,kamu kok ada di sini,Lin? Aluna siapa yang jaga?” “Aku titipkan kepada Monica sebentar. Aku hanya ingin menukar pakaian kotor ini dengan pakaian bersih.” Kutunjukkan tas berisi pakaian kotor padanya. “Sekalian kamu cuci pakaian kotor yang ada di keranjang,Lin. Sudah menggunung itu.”Menghembuskan napas kasar,ucapan Mas Tara mampu memancing emosi yang sedari tadi kutahan. Bukankah kemarin ia tak ke rumah sakit dengan alasan membersihkan rumah yang berantakan. Tapi apa ini? "Bisa, kan kamu nyuci baju dulu?" "Lihat nantilah, Mas." Aku berlalu menuju belakang untuk menaruh pakaian kotor ini."Kapan Aluna bisa pulang?" ta
"Saya akan mengganti biaya pengobatan Aluna.""Baiklah kalau kamu memaksa. Aku potong dari gaji kamu."Aku melongo mendengar ucapannya. Belum juga melamar sudah mau dipotong gaji. Mobil melaju perlahan meninggalkan halaman rumah sakit. Belum ada sepuluh menit, Aluna sudah terlelap dengan posisi hampir jatuh ke depan. Kutepikan mobil, dengan hati-hati ku ubah posisi tubuh Aluna agar semakin nyaman. Kembali kulajukan mobil, tapi bukan pulang ke rumah. Melainkan ke kampung tempat tinggalku. Aku sudah memutuskan untuk berpisah dengan Mas Tara. Ternyata melelahkan jika berjuang seorang diri. Musik pop mengalun, memecah keheningan ini. Aku berhenti sayangKu tak bisa lanjutkanKisah ini bersamamu aku tak kan mampuMenghadapi semuaKebohongan yang biasa kau lakukanAku hanya minta bebaskan dirikuLirik lagu Bebaskan Diriku dari Armada seolah menjelaskan perasaanku saat ini. Aku ingin bebas, lepas dari penderitaan yang Mas Tara berikan padaku. Tanpa sadar tetes demi tetes air bening nan
Pov Tara"Pak Leo belum datang, Lus?" Aku berdiri di depan sekretaris Pak Leo. "Belum, hari ini beliau datang siang, Pak. Memangnya ada apa?" Lusi mendongakkan kepala,menatap lekat mataku. "Tidak apa-apa." Melangkah pergi, kutinggalkan Lusi dengan tanda tanya di matanya. Aku membuka pintu ruangan, mencium aroma ketenangan di tempat ini. Setidaknya sampai Pak Leo datang. Setelah itu neraka akan datang menyapa. Pak Leo, pemimpin yang sangat disiplin. Beberapa kali aku mendapat surat peringatan karena membolos. Terakhir kali aku mendapat SP dua karena izin tapi justru pergi bersama Imelda. Entah dari mana lelaki itu tahu aku pergi dari rumah sejak pagi. Lelaki itu terlalu ikut campur dalam masalah pribadiku. Dia bos di kantor tapi tidak di luar, apa lagi dalam rumah tanggaku. Tumpukan laporan dan bekas sudah menggunung di atas meja. Meski malas tetap kukerjakan. Karena hanya ini sumber penghasilanku. Rumah, kantor, laporan, seperti itu setiap hari. Tak bisa dipungkiri rasa jenuh ki
"Gue cabut duluan!" Imelda melambaikan tangan ke arah teman-temannya. Tanpa rasa malu dia bergelayut manja di lenganku. "Cie ... Cie ...." Sorak-sorak remaja seusianya mengantar kepergian kami. Imelda berbeda dari perempuan seusianya. Dia cuek, berani, agresif dan menantang. Bukan seperti remaja yang pemalu pada umumnya. Keadaan mampu mengubah sikap dan tingkah laku seseorang. Seperti itulah yang terjadi kepada Imelda. Besar dari keluarga broken home membuat ia menjadi liar dan susah diatur. Kebebasan adalah protes dari situasi yang membuatnya tak nyaman. "Mau ke mana, Mas?" Dia menatap lekat manikku. "Aku antar pulang saja, ya.""Kok pulang, sih? Memangnya tidak kangen?" rengeknya saat kenyataan tak sesuai yang ia harapkan. Terkadang tingkahnya seperti Aluna saat merengek meminta es krim atau mainan. Aku maklum dia meminta perhatian padaku karena kurangnya kasih sayang dari orang tuanya. Namun sayang, aku justru memanfaatkannya. Melakukan hal yang seharusnya tidak kami lakukan
Pov AlinPLAKSuara tamparan terdengar jelas di telingaku. Aku diam, mempertajam indra pendengaran. Namun tak terlalu jelas. Hati-hati kutarik lengan lalu menggantikannya dengan bantal. Aluna memang selalu meminta lenganku untuk dijadikan bantal. Meski pegal, selalu kuturuti karena itu posisi ternyaman untuknya. Meski tidak untukku. Pintu kututup pelan, jangan sampai Aluna terbangun. Dia masih membutuhkan banyak istirahat agar benar-benar sembuh dan dapat beraktivitas seperti sedia kala. "Menantu kurang ajar!"PLAKAku mempercepat langkah. Takut terjadi sesuatu pada bapak atau ibu. "Hentikan, Pak!"Tangan yang hendak menampar Mas Tara masih melayang di udara, lalu akhirnya turun dengan sendirinya. "Lelaki seperti dia harus diberi pelajaran, Lin!"Mas Tara memegangi pipi yang memerah dengan tangan ayah yang terlukis jelas di sana. Matanya mengiba, meminta belas kasihan dariku. "Harusnya kamu biarkan bapak menghajar Tara, dia sudah menyakiti hati kamu." Tangan Bapak mengepal, soro
"Alin, kenapa diam?""Aku kangen ibu, jadi pulang ke kampung.""Sejak kapan putri ibu belajar berbohong? Zaman sudah modern, tak perlu jauh-jauh untuk bisa bertatap muka? Ponsel ada, kan. Apa lagi kamu sedang masa pemulihan, tak bagus melakukan perjalanan jauh, Lin."Aku membisu, memang benar perkataan ibu. Tak mungkin beliau percaya dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Aku tak pandai membuat alasan yang tepat, selalu saja ketahuan. "Ceritakan, Lin.""Bukan di sini, Bu. Nanti malam saja."Ibu mengangguk, menyetujui perkataanku. Karena memang tak baik membicarakan masalah yang menyangkut Satriya tepat di hadapan putri kecilku. Dia memang diam, tapi otaknya merekam semua percakapan kami. Tak menutup kemungkinan kata-kata kami menyakiti hatinya. ***Di sini kami, duduk di teras seraya menatap malam. Tak ada Aluna, dia sudah terlelap setelah azan magrib. Perjalanan jauh membuat dia lelah hingga tidur lebih awal. "Kalian bertengkar?" Ibu menatap penuh selidik. Sebuah anggukan membe
Nada dering panggilan masuk menghentikan lamunanku. Sesaat Aluna menggeliat, suara ponsel itu sedikit mengusik tidurnya. Aluna baru saja terlelap setelah perjalanan panjang dan sesekali beristirahat karena nyeri terkadang terasa. Benda pipih itu terus saja bernyanyi meski kubiarkan hingga bungkam dengan sendirinya. Aku melirik jam yang melingkar di tangan, hampir tengah malam. Kurasa Satriya baru saja pulang, dia tak menemukan keberadaanku hingga terpaksa menelepon. Ponsel sengaja aku non aktifkan, biarlah Satriya kebingungan untuk sementara waktu. Aku hanya lelah dengan sikapnya akhir-akhir ini. Tak bisakah ia sadar, jika semua ini takdir yang sudah Allah gariskan pada kami. Sebagai seorang ibu, aku pun terpukul atas kepergian Finziya. Putri kecil yang kami nantikan justru kembali pada Sang Pemilik. Bayangan tangis dan tawa saat aku menimangnya harus hilang dalam sekejap mata. Sebenernya akulah yang paling terpukul dan nyaris depresi. Sebagai seorang ibu, aku merasa gagal melind
Pov Satriya[Apa kabar, Sat? Benar perkataanku, kan ... Aluna akan menjadi tembok pembatas antara kamu dan Alin. Harusnya kamu sadar, hanya aku papanya, bukan kamu.]Aku mengepalkan tangan di atas meja. Amarah yang belum mereka kini kembali meledak. Tuhan, kenapa kakakku sendiri yang berniat merusak rumah tanggaku? Ponsel kuletakkan kembali di atas meja. Menyalakan laptop Niko yang sempat kupijam. Tanganku menari di atas mouse, mengedit foto klien. Namun pikiran bercabang membuat hasil edit tak memuaskan, aku tak bisa fokus saat masalah memenuhi kepalaku. Aku mengusap wajah kasar, mengeluarkan emosi yang sempat memenuhi rongga dada. Lelah, satu kata yang kini aku rasakan. Ingin aku berteriak, namun nyatanya ini bukan tempat yang tepat. Nada dering panggilan masuk kembali menyita perhatianku. Kulirik layar benda pipih yang tergeletak di atas meja. Untunglah bukan nama Tara yang muncul di sana. Aku tak mampu mengontrol emosi jika lelaki itu kembali menghubungiku. Namun rasa lega hil
Pov Satriya"Aluna!"Aku berteriak kala es teh dalam gelas tumpah tepat di atas laptop. Cepat-cepat aku cabut kabel charger yang masih menempel di laptop. Membalikkan benda pintar itu, mengelap bekas air yang masih melekat. "Aluna, kenapa bisa tumpah? "Gadis kecil itu berdiri di tempat seraya menangis sesenggukan. Bulir demi bulir terus saja jatuh membasahi pipinya. Namun entah kenapa aku tak iba, rasa kesal justru semakin mengakar. "Mama!"Bukannya menjawab, Aluna justru berteriak memanggil Alin. Dia persis seperti Mas Tara ketika kecil, mengadu, dan mencari perlindungan di punggung mama. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Alin begitu terkejut melihat keadaan ruang keluarga. Apa lagi melihat laptop yang tengah kukeringkan dengan tisu. Belum lagi beberapa foto tersiram air. "Tanyakan saja pada anakmu!"Tangis Aluna kian menjadi seiring suaraku yang memekik. "Kenapa bisa tumpah, Nak?"Hanya tangisan yang keluar dari mulut mungil itu. Entah, lama-lama aku menjadi bosan. Bosan dengan
Dua hari setalah kalimat menyakitkan menghantam hatiku. Kini kembali kami saling diam, seolah ada tembok pembatas meski kami berada dalam satu ranjang. Bahkan kami saling beradu punggung. Sibuk dengan rasa sakit masing-masing. Titik demi titik jatuh membasahi pipi. Aku menangis dalam diam, keluar sudah sesak dalam rongga dada. Menyakitkan, tapi tak mampu kujawab perkataan Satriya. "Gara-gara Aluna, anakku meninggal!"Kalimat itu terus saja terngiang di telinga. Sesak, dadaku seakan terhimpit batu besar, hingga menghirup udara begitu susah. Kenapa Satriya tega mengatakan hal itu? Kenapa? Tarikan napas dan denting jam terdengar jelas di telinga. Keheningan menciptakan atmosfer yang berbeda di kamar ini. Rasa nyaman yang dulu melekat seolah hilang dalam satu kedipan mata. Kembali aku pejamkan mata saat merasakan gerakan di ranjang. Tak lama langkah kaki menjauh hingga gesekan pintu terdengar jelas di telingaku. Satriya pergi seperti kemarin malam. Setelah merasa aman, aku pun memba
"Hati-hati, jangan mengulangi hal yang sama. Ngerti!"Satriya berlalu pergi seraya membawa kamera. Tak lama terdengar suara mobil menjauh. Dia bekerja tanpa mengucapkan salam, apa lagi sarapan. Aku menghela napas, membuang rasa sesak dalam dada. Tak bisa aku pungkiri, ucapan Satriya menyakiti hati. Bukankah kematian adalah takdir, bukan salah Aluna. Dia masih terlalu kecil untuk menanggung kesalahan. "Ma ...."Aluna memeluk tubuhku sambil tersedu, dia menangis mendengar bentakan ayah sambungnya. "Aluna geser dulu, Nak."Perlahan Aluna berjalan hingga berhenti dan menempel tembok. Air matanya masih menetes, dia takut dengan bentakan Satriya. "Aluna di situ dulu, ya. Mama mau bersihin tumpahan airnya."Segera aku ambil pel, membersihkan genangan air yang ada di lantai. Harus segera dibersihkan agar tidak menjatuhkan orang lain, termasuk Aluna. Setelah selesai kami pun sarapan berdua. Ya, hanya berdua karena Satriya sudah berangkat terlebih dahulu. "Aluna libur dulu, ya," ucapku se
"Aluna tidak kamu ajak, Pi?"Satriya menolah tapi kembali sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas. Mulut lelakiku masih membisu, tak ada sepatah kata yang keluar saat ia tiba di sini. "Rumah sakit pasti memperbolehkan kalau untuk menjemput pasien, Pi. Dia pasti merindukan aku.""Dia sama ibu di rumah," jawab Satriya datar. Satriya kembali membereskan barang-barang kami. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ya, semenjak kematian putri kami, Satriya menjadi pendiam. Tak ada tawa apa lagi kekonyolan yang biasa ia lakukan. Dia tenggelam dalam luka dan kesedihan. Sebenarnya bukan hanya dia yang kehilangan, aku pun merasakan hal yang sama. Namun hidup harus terus berjalan sekali pun dengan luka yang melekat. "Sebentar, aku panggilkan suster."Satriya keluar dari ruang rawat inapku. Sepi, kurasakan itu lagi. Perasaan bersalah hadir tanpa kuminta. Seandainya aku hati-hati, mungkin putri kecilku akan baik-baik saja. Suara pintu dibuka menyentak lamunanku. Aku menoleh, Satriya masuk bers
"Bayiku di mana, Sus?"Kembali aku menanyakan hal yang sama. Namun lagi dua perempuan berpakaian serba putih itu hanya diam membisu. Seolah ada sesuatu yang mereka tutupi. Apa jangan-jangan .... "Kita ke kamar inap dulu, ya, Bu."Kedua suster kembali mendorong brankar, tempatku terbaring tak berdaya. Aku menatap lurus ke atas dengan pandangan kosong. Beberapa prasangka kembali menari dalam angan. Bayang bayi mungil yang belum kulihat terlintas berulang kali. Suara gesekan roda brankar dan lantai bak sirine yang membuat orang-orang menyingkir kala kami lewat. Sempat kulihat beberapa pasang mata mencuri pandang ke arahku. Mungkin bertanya-tanya karena aku hanya seorang diri tanpa ada kelurga yang menemani. Apa lagi baru keluar dari ruang operasi. Pintu kamar dibuka, kosong tak ada Satriya di sana. Prasangka kembali memenuhi isi kepalaku. Di mana suami dan bayiku? Dibantu empat suster aku dipindahkan di atas ranjang khas rumah sakit. "Ada yang sakit, Bu?" tanyanya salah satu suster
Darah? Aku menatap bawah, benar saja darah segar keluar dari pangkal paha. Nyeri, perutku terasa tertusuk ... sakit sekali. Bahkan aku tak mampu menjelaskan sakitnya seperti apa."Pi... Papi!"Aku terus memegangi perut, namun Satriya tak kunjung membuka mata. Dia masih terlelap dalam mimpi. Ya Allah, Satriya. "Papi!" teriak Aluna kencang. Seketika Satriya terbangun. Dia menjerit kala melihat aku tergeletak tak berdaya di lantai. Ditambah darah yang keluar darin pangkal paha. "Ya Allah, Yang. Kamu kenapa?""Sa--sakit, Yang." Aku pegangi perut yang terasa sakit. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Satriya kebingungan, dia jongkok hendak membopong tubuhku. "Aluna kedinginan, Yang."Gerakan tangan itu terhenti, Satriya kebingungan hendak mengganti baju Aluna atau menolongku terlebih dahulu. Kami sama-sama membutuhkan bantuan secepatnya. "Aluna tunggu di sini dulu, Papi mau bawa Mama ke mobil.""Tapi, Pi ....""Sebentar, Nak. Papi bawa mama turun dulu."Sempat kudengar hentakkan kaki