"Gue cabut duluan!" Imelda melambaikan tangan ke arah teman-temannya. Tanpa rasa malu dia bergelayut manja di lenganku. "Cie ... Cie ...." Sorak-sorak remaja seusianya mengantar kepergian kami. Imelda berbeda dari perempuan seusianya. Dia cuek, berani, agresif dan menantang. Bukan seperti remaja yang pemalu pada umumnya. Keadaan mampu mengubah sikap dan tingkah laku seseorang. Seperti itulah yang terjadi kepada Imelda. Besar dari keluarga broken home membuat ia menjadi liar dan susah diatur. Kebebasan adalah protes dari situasi yang membuatnya tak nyaman. "Mau ke mana, Mas?" Dia menatap lekat manikku. "Aku antar pulang saja, ya.""Kok pulang, sih? Memangnya tidak kangen?" rengeknya saat kenyataan tak sesuai yang ia harapkan. Terkadang tingkahnya seperti Aluna saat merengek meminta es krim atau mainan. Aku maklum dia meminta perhatian padaku karena kurangnya kasih sayang dari orang tuanya. Namun sayang, aku justru memanfaatkannya. Melakukan hal yang seharusnya tidak kami lakukan
Pov AlinPLAKSuara tamparan terdengar jelas di telingaku. Aku diam, mempertajam indra pendengaran. Namun tak terlalu jelas. Hati-hati kutarik lengan lalu menggantikannya dengan bantal. Aluna memang selalu meminta lenganku untuk dijadikan bantal. Meski pegal, selalu kuturuti karena itu posisi ternyaman untuknya. Meski tidak untukku. Pintu kututup pelan, jangan sampai Aluna terbangun. Dia masih membutuhkan banyak istirahat agar benar-benar sembuh dan dapat beraktivitas seperti sedia kala. "Menantu kurang ajar!"PLAKAku mempercepat langkah. Takut terjadi sesuatu pada bapak atau ibu. "Hentikan, Pak!"Tangan yang hendak menampar Mas Tara masih melayang di udara, lalu akhirnya turun dengan sendirinya. "Lelaki seperti dia harus diberi pelajaran, Lin!"Mas Tara memegangi pipi yang memerah dengan tangan ayah yang terlukis jelas di sana. Matanya mengiba, meminta belas kasihan dariku. "Harusnya kamu biarkan bapak menghajar Tara, dia sudah menyakiti hati kamu." Tangan Bapak mengepal, soro
Mentari menyapa, hangat sinarnya tak mampu mengalahkan rasa dingin yang sedari tadi terasa. Maklum saja ini di pedesaan, ditambah semalam hujan deras. Tepat setelah Mas Tara meninggalkan rumah ini. Aku yakin dia pasti berhenti di suatu tempat karena hujan disertai angin tiba-tiba datang menyapa. "Melamun wae to, Lin." Ibu datang membawakan secangkir teh dan pisang goreng. "Dimakan dulu mumpung masih anget." Ibu menjatuhkan bobot tepat di sampingku.Kami terdiam, sama-sama menatap lurus ke depan. Aku tahu ada sesuatu yang hendak ia tanyakan tapi bingung harus memulai dari mana. Cangkir yang masih mengeluarkan kepulan itu melambai,memintaku segera menikmati aroma teh melati yang dipadukan dengan gula batu. Aku mengambil cangkir bening itu, meniup lalu menyeruputnya perlahan. "Apa yang ingin ibu bicarakan?" ucapku memecah keheningan yang sedari tadi tercipta. "Kamu yakin akan bercerai dengan Tara?" Ibu masih menatap lurus ke depan. Beliau seolah menatap masa depan yang abstrak saa
"Aku melamar kerja di sini.""Ha ha ha ... Gak salah, Lin? Setahuku tak ada lowongan di sini. Lagi pula...." Mas Tara menjeda kalimatnya, ia tatap penampilanku dari ujung kepala hingga kaki. "Penampilanmu tak cocok bekerja di sini."Ada yang berdenyut nyeri kala mendengar ucapannya barusan. Mas Tara menghina penampilanku, istrinya. Kalau orang lain mungkin tidak masalah tapi dia, lelaki yang kuperjuangkan. Sudahlah, mungkin ini watak aslinya. Beruntung aku tak tinggal satu atap lagi dengannya. Dia bagai bunglon, sikapnya secepat kilat berubah. Kadang manis lalu tiba-tiba pahit. Tidak bisa ditebak. "Kamu yakin diterima dengan penampilan seperti ini?" ledeknya lagi. Aku diam,mengabaikan ucapannya. Biarlah dia menilai seperti apa. Lelah jika aku harus menjawab pertanyaannya satu persatu. Pertanyaan yang justru memojokkanku. "Alin, tak bisakah kita bersama? Kamu tak perlu susah-susah mencari pekerjaan seperti ini. Aku akan bertanggung jawab untuk memenuhi semua kebutuhan kamu dan Alun
"Kalian saling kenal?"Pertanyaan Pak Leo menyelamatkan aku. Setidaknya untuk sesaat, cepat atau lambat Adnan pasti tahu semuanya. Entah dari Mas Tara atau mungkin dari mulutku sendiri. "Saya sering ke rumah Tara, Pak. Jadi kami cukup kenal."Pak Leo menganggukkan kepala, tanda mengerti."Kalau bagitu kami turun dulu. Kamu silakan melanjutkan pekerjaan."Adnan mengangguk, sesaat ia menatapku sebelum kami berjalan kembali. Lelaki itu terdiam tapi tampak tanda tanya di sorot matanya. Pak Leo menjelaskan setiap ruangan yang kami lalui. Lagi, semua mata menatap kami penuh curiga. Bukan kami, lebih tepatnya menatapku penuh curiga dan tanda tanya. Jujur aku tak nyaman diperlakukan seperti ini. Namun untuk menolak aku juga tak berani. Biar bagaimana pun Pak Leo atasanku di kantor. "Itu ruang bagian pemasaran," ucapnya sambil menunjuk ke kanan."I-iya, Pak."Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulut. "Kalau itu ruangan Tara, suami kamu." Aku menoleh tepat saat pintu ruangan Mas Tar
Aku membalikkan badan, sebuah mobil berwarna biru berhenti tepat di samping mobilku. Siapa pemilik mobil itu? Jelas itu bukan milik Mas Tara. Sebuah kaki dengan sepatu kantor terlihat untuk pertama kalinya. Aku semakin penasaran dengan pemiliknya. Siapa gerangan lelaki itu? "Adnan," gumamku lirih. "Lelaki itu kenapa ada di sini?" tanyaku pada diri sendiri. "Siapa, Lin?" tanya Bapak seraya menengok ke belakang. Beliau tatap Adnan dengan penuh tanda tanya. Pasti akan ada tanda tanya setelah ini. "Teman Mas Tara, Pak.""Untuk apa dia kemari?" Aku mengangkat bahu sambil menggelengkan kepala. "Ajak masuk tapi selesaikan dengan cepat. Ingat, Lin statusmu masih istri Tara. Jangan buat nama baikmu jadi kotor hanya karena lelaki lain."Aku mengangguk walau dalam hati berkecambuk. Perkataan Bapak mampu menyentilku. Meski sebenarnya tak ada hubungan apa pun di antara kami. Namun orang yang benci pasti menyudutkan kami. "Baik, Pak." Bapak berlalu meninggalkan aku yang masih berdiri di dek
Sudah tiga hari aku bekerja di kantor Pak Leo. Sampai detik ini aku selalu menghindar saat berpapasan dengan Mas Tara. Meski tidak setiap saat aku bisa menghindarinya. "Alin siapkan berkas, sebentar lagi kita meeting di luar.""Bersama Mbak Lusi, kan, Pak?" "Tidak, kita berdua saja."Aku mengangguk pasrah meski dalam hati berkecambuk rasa ragu. Menjadi asisten Pak Leo membuat kami selalu menghabiskan waktu berdua, meski semua tuntutan pekerjaan. Berkas yang diminta sudah berada di atas meja. Aku sudah bersiap untuk meeting bersama Pak Leo. "Ayo, Lin!""Baik, Pak."Kami melangkah perlahan menuju lantai bawah. Beberapa kali kami berpapasan dengan karyawan lain. Mereka selalu tersenyum saat berpapasan dengan Pak Leo. Namun senyum itu akan hilang saat menatap aku. "Bukankah itu istrinya Pak Tara, ya?""Iya, rumornya mereka akan bercerai.""Benar ke kantor saja sendiri-sendiri. Mungkin sidah pisah rumah.""Pantas saja dia cari muka pada Pak Leo. Kasihan Pak Tara, ya." Aku mengepalkan
"Kenapa Pak Leo menanyakan hal itu? Apa jangan-jangan Bapak menyukai saya?"Entah dari mana awalnya hingga pertanyaan itu meluncur begitu saja. Ini semua karena ucapan Adnan tempo hari. Pak Leo menatap lalu tersenyum ke arahku. Memang tak baik selalu berhutang budi pada seseorang. Namun pertanyaanku justru hancur harga diri. Adnan memang keterlaluan. "Apa bertanya bisa dibilang suka, Lin? "Ingin kutengelamkan wajah, malu luar biasa. Di hadapan atasan aku bertanya hal yang memalukan. "Bu-bukan begitu maksud saya, Pak.""Naiklah, kita ke kantor sekarang juga. Masih ada pekerjaan yang menanti di depan mata."Sepanjang jalan aku memilih diam. Sesekalu merutuki diri karena bertanya hal yang justru menjatuhkan harga diri di depan pemilik perusahaan. Seperti biasa karyawan selalu berlomba-lomba keluar saat jam kantor telah usai. Mereka segera ingin pulang bertemu anak dan istri atau bahkan suami. Sama sepertiku. "Alin, tunggu!" Sebuah tangan menghentikan langkahku. Aku membalikkan ba