Sudah tiga hari aku bekerja di kantor Pak Leo. Sampai detik ini aku selalu menghindar saat berpapasan dengan Mas Tara. Meski tidak setiap saat aku bisa menghindarinya. "Alin siapkan berkas, sebentar lagi kita meeting di luar.""Bersama Mbak Lusi, kan, Pak?" "Tidak, kita berdua saja."Aku mengangguk pasrah meski dalam hati berkecambuk rasa ragu. Menjadi asisten Pak Leo membuat kami selalu menghabiskan waktu berdua, meski semua tuntutan pekerjaan. Berkas yang diminta sudah berada di atas meja. Aku sudah bersiap untuk meeting bersama Pak Leo. "Ayo, Lin!""Baik, Pak."Kami melangkah perlahan menuju lantai bawah. Beberapa kali kami berpapasan dengan karyawan lain. Mereka selalu tersenyum saat berpapasan dengan Pak Leo. Namun senyum itu akan hilang saat menatap aku. "Bukankah itu istrinya Pak Tara, ya?""Iya, rumornya mereka akan bercerai.""Benar ke kantor saja sendiri-sendiri. Mungkin sidah pisah rumah.""Pantas saja dia cari muka pada Pak Leo. Kasihan Pak Tara, ya." Aku mengepalkan
"Kenapa Pak Leo menanyakan hal itu? Apa jangan-jangan Bapak menyukai saya?"Entah dari mana awalnya hingga pertanyaan itu meluncur begitu saja. Ini semua karena ucapan Adnan tempo hari. Pak Leo menatap lalu tersenyum ke arahku. Memang tak baik selalu berhutang budi pada seseorang. Namun pertanyaanku justru hancur harga diri. Adnan memang keterlaluan. "Apa bertanya bisa dibilang suka, Lin? "Ingin kutengelamkan wajah, malu luar biasa. Di hadapan atasan aku bertanya hal yang memalukan. "Bu-bukan begitu maksud saya, Pak.""Naiklah, kita ke kantor sekarang juga. Masih ada pekerjaan yang menanti di depan mata."Sepanjang jalan aku memilih diam. Sesekalu merutuki diri karena bertanya hal yang justru menjatuhkan harga diri di depan pemilik perusahaan. Seperti biasa karyawan selalu berlomba-lomba keluar saat jam kantor telah usai. Mereka segera ingin pulang bertemu anak dan istri atau bahkan suami. Sama sepertiku. "Alin, tunggu!" Sebuah tangan menghentikan langkahku. Aku membalikkan ba
"Kenapa, Lin?" tanya ibu dan bapak yang masuk bersamaan. Mereka berjalan mendekati kami. Raut khawatir tergambar jelas di sana. "Papa mana, Kek, Nek?" tanyanya lagi. Bapak menghembuskan napas kasar. Kemudian memilih diam meski hati bergemuruh rasa kesal. Sebenarnya ini yang kutakutkan jika Aluna dan Mas Tara bertemu. Putriku akan menangis lalu merengek meminta pulang ke rumah papanya. "Papa kerja, Lun. Cari uang yang banyak untuk sekolah Aluna.""Aku mau pulang! Aku mau sama papa!" Aluna menepis kedua tanganku. Dengan cepat ia beranjak dari atas ranjang. Kemudian berlari keluar kamar. "Ini yang Bapak takutkan jika Aluna bertemu dengan Tama saat kamu belum bisa menjelaskan keadaan ini kepada putrimu."Aku menghembuskan napas kasar. Bagaimana menjelaskan jika Aluna saja tak mengerti apa artinya perceraian? Tuhan, sungguh berat ujianmu kali ini. "Papa! Papa!" teriak Aluna seraya mencari keberadaan Mas Tara. Namun nihil, orang yang ia cari tak ada di sini. "Kenapa papa pergi, Ma? K
"Kenapa bisa begini, Ust?""Saya tidak tahu pasti siapa yang menjemput Aluna. Karena saya tidak ada saat penjemputan Aluna."Tubuhku luruh di lantai. Tanpa diminta bulit demi bulir jatuh membasahi pipi. "Kamu di mana, Lun?" ucapku lirih. "Ayo bangun dulu, Ma." Ustadzah Hana menuntunku lalu membantu duduk di depan kelas Aluna. "Keluarga mungkin, Ma. Pihak sekolah tak mungkin mengizinkan Aluna pergi jika bukan keluarga yang menjemput. Apa lagi sekolah dalam keadaan sepi."Benar juga perkataan Ustadzah Hana. Siapa lagi yang menjemput Aluna jika bukan Mas Tara. Dia juga tak terlihat saat aku pulang tadi. Mas Tara pasti ingin merebut Aluna dari ku. Lekas aku ambil benda pipih yang ada di dalam tas. Kutekan dua belas digit nomor Mas Tara. Nomornya memang sudah kuhafal di luar kepala. Tersambung tapi tak kunjung diangkat. Ya Allah, jangan-jangan memang benar dia yang telah menjemput Aluna. "Tidak diangkat papanya, Ust."Ustadzah Hana mulai kebingungan. Dia segera masuk ke ruang guru. M
"Aluna akan baik-baik saja." Pak Leo melirikku lalu kembali fokus mengemudikan mobil. Hening. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Kami seolah berada di dimensi waktu yang berbeda. Setelah dua puluh menit kami sampai di depan sebuah rumah. Terpaksa mobil berhenti di jalan karena Ustadzah Rina tak memiliki halaman. Rumah itu kecil dan sederhana. "Ayo!"Pak Leo membuka pintu, belum sempat aku melangkah nada dering panggilan masuk. Segera kurogoh ponsel yang ada di dalam tas. Mengernyitkan dahi kala kulihat profil yang muncul di layar benda pipih itu. Kenapa ia menghubungiku? Aku tak ingin mendengar kata kangen atau lelucon di saat seperti ini. "Siapa?" Pak Leo menatapku penuh tanda tanya. Tak kujawab. Lekas kugeser gambar telepon berwarna hijau ke atas. Lalu menempelkannya di telinga kananku. "Ada apa, Sat?" tanyaku tanpa mengucapkan salam terlebih dulu. "Mama!"Suara ini, kenapa muncul dari telepon Satriya? "Aluna, ada di mana?" tanyaku pelan. Kutahan air mata yan
"Sudah siap, Mbak?"Satriya sudah berdiri di depan pintu rumah. Lelaki masih bergelar adik ipar itu tersenyum hingga tampak gigi gingsulnya. "Rapi bener, Sat?" Kupindai penampilan Satriya dari ujung kepala hingga kaki. Kemeja kotak-kotak dipadukan dengan celana jeans berwarna hitam menambah penampilannya semakin sempurna. "Iya dong, Mbak. Kan, mau menemani calon istri." Kujitak pelan kepalanya. Anak ini terkadang menyebalkan. "Masuk dulu, Sat. Mbak ambil tas."Satriya mengangguk lalu mengikuti langkahku. "Om Satriya!" teriak Aluna lalu berlari ke arah Satriya. Sempat kulirik mereka saling tertawa dan bercanda. Entah apa yang mereka bicarakan. Aluna sangat bahagia saat bersama Om Satriya. "Satriya sudah datang, Lin?" tanya Bapak saat melewatiku. "Baru saja, Pak." Bapak meletakkan botol minum berisi teh lalu melangkah menuju ruang tamu. Tempat Satriya bercanda dengan Aluna.Satriya memang beberapa kali kemari. Sikapnya yang ramah membuat ia mudah dekat dengan siapa pun. Termasuk
"Bisa ganti lagu gak, Sat?""Kenapa, Mbak? Bagus lho ini. Jadi soundtrack sinetron juga.""Sejak kapan kamu suka sinetron?""Lagunya, Mbak. Bukan sinetronnya," ucapnya kesal. "Ganti deh, Sat. Pusing aku dengarnya."Satriya semakin mengencangkan suaranya. Tiap bait ia nyanyikan penuh penjiwaan. Dasar menyebalkan! Aku duduk di bangku di taman Balekambang. Sambil meminum es teh, kuperhatikan gaya Satriya saat mengambil angle foto. Dia begitu menghayati. Kadang membungkuk, kadang tiduran. Semua ia lakukan untuk mendapatkan hasil foto yang memuaskan. Selain mahasiswa abadi, Satriya merupakan fotografer handal di kota Solo. Saat libur semester ia sering kali pergi ke beberapa tempat untuk menjadi fotografer. Bahkan ia sempat ke luar negeri memenuhi permintaan customer. Mungkin ini salah satu alasan ia betah menjabat sebagai mahasiswa. "Apa sih, Sat!" ucapku kesal karena ia membidikkan kamera ke arahku. "Capek, Mbak." Dia menjatuhkan bobot tepat di sampingku. Tanpa merasa bersalah ia me
"Mundur, Mas! Jangan gila kamu!" Aku dorong tubuhnya. PLAAKKupegangi pipi yang terasa panas dan nyeri. Bahkan mungkin ada gambar tangan di sini, di pipi ini. "Kamu milikku, Lin. Selamanya akan menjadi milikku.""Kamu tidak waras!" Aku dorong tubuh lelaki itu. Namun ia justru menarikku dalam pelukannya. "Lepaskan, Mas!""Tidak, kamu milikku!"BRAAK! Pintu kamar mandi di dorong hingga terdengar suara benturan pintu dan dinding. BUUGMas Tara tersungkur di lantai kamar mandi. Sudut bibirnya mengeluarkan cairan merah. Aku meringkuk ketakutan, kakiku gemetar. Dengan cepat pak Leo menarik tubuhku hingga kepala ini menempel di dada bidangnya. "Kamu tak apa-apa, Lin?" Kedua tangannya menempel di pipiku. Dia tatap lekat netra ini. "Aku ... Aku tidak apa-apa, Pak," jawabku dengan suara bergetar. Pak Leo membawaku keluar dari kamar mandi. Kemudian dia kembali masuk. Tak lama terdengar caci dan maki yang keluar dari mulut atasanku. Aku berdiri dengan kaki gemetar. Kejadian tadi membuat