"Bisa ganti lagu gak, Sat?""Kenapa, Mbak? Bagus lho ini. Jadi soundtrack sinetron juga.""Sejak kapan kamu suka sinetron?""Lagunya, Mbak. Bukan sinetronnya," ucapnya kesal. "Ganti deh, Sat. Pusing aku dengarnya."Satriya semakin mengencangkan suaranya. Tiap bait ia nyanyikan penuh penjiwaan. Dasar menyebalkan! Aku duduk di bangku di taman Balekambang. Sambil meminum es teh, kuperhatikan gaya Satriya saat mengambil angle foto. Dia begitu menghayati. Kadang membungkuk, kadang tiduran. Semua ia lakukan untuk mendapatkan hasil foto yang memuaskan. Selain mahasiswa abadi, Satriya merupakan fotografer handal di kota Solo. Saat libur semester ia sering kali pergi ke beberapa tempat untuk menjadi fotografer. Bahkan ia sempat ke luar negeri memenuhi permintaan customer. Mungkin ini salah satu alasan ia betah menjabat sebagai mahasiswa. "Apa sih, Sat!" ucapku kesal karena ia membidikkan kamera ke arahku. "Capek, Mbak." Dia menjatuhkan bobot tepat di sampingku. Tanpa merasa bersalah ia me
"Mundur, Mas! Jangan gila kamu!" Aku dorong tubuhnya. PLAAKKupegangi pipi yang terasa panas dan nyeri. Bahkan mungkin ada gambar tangan di sini, di pipi ini. "Kamu milikku, Lin. Selamanya akan menjadi milikku.""Kamu tidak waras!" Aku dorong tubuh lelaki itu. Namun ia justru menarikku dalam pelukannya. "Lepaskan, Mas!""Tidak, kamu milikku!"BRAAK! Pintu kamar mandi di dorong hingga terdengar suara benturan pintu dan dinding. BUUGMas Tara tersungkur di lantai kamar mandi. Sudut bibirnya mengeluarkan cairan merah. Aku meringkuk ketakutan, kakiku gemetar. Dengan cepat pak Leo menarik tubuhku hingga kepala ini menempel di dada bidangnya. "Kamu tak apa-apa, Lin?" Kedua tangannya menempel di pipiku. Dia tatap lekat netra ini. "Aku ... Aku tidak apa-apa, Pak," jawabku dengan suara bergetar. Pak Leo membawaku keluar dari kamar mandi. Kemudian dia kembali masuk. Tak lama terdengar caci dan maki yang keluar dari mulut atasanku. Aku berdiri dengan kaki gemetar. Kejadian tadi membuat
Aku menarik sudut bibir ke atas,sebuah senyuman mengejek kuberikan untuknya. Lucu,setelah perceraian berjalan ia memohon untuk kembali. Lalu untuk apa kesempatanku kemarin? Hanya ia anggap angin lalu dan tak berarti apa pun.Bodoh jika aku percaya dengan ucapan lelaki yang terus mengumbar janji tanpa ada niat menepati. Itu hanya akan menyiksa diri. Aku tak ingin itu terjadi.“Kesempatanmu telah hilang,Mas. Kali ini keputusanku sudah bulat. Kita berpisah.” Kunaikkan kaca hingga tertutup rapat. Beberapa kali Mas Tara mengetuknya. Namun aku memilih abai,pura-pura tak mendengar adalah jurus tetuju.Mobil kembali melaju meninggalkan Mas Tara yang masih berdiri dengan tatapan entah, tak bisa kujabarkan."Bagus, Mbak. Mbak Alin harus tegas, jangan mau dipermainkan," ucapnya berapi-api. Sudah persis provokator unjuk rasa. Aku memilih diam, mengabaikan ucapan Satriya. Hingga akhirnya ia memilih menutup mulut rapat. Lelah karena perkataannya aku abaikan. Hening, kami tenggelam dalam kesunyian
"Kenapa, Mbak? Mas Tara mau ke sini, kan?" Satriya menatapku lekat. "Iya, bagaimana, Lin? Tara ke sini, kan?" tanya bapak penuh harap. Aku menghembuskan napas kasar. Lalu menatap bapak dan Satriya bergantian. "Mas Tara mau mendonorkan darahnya ta ....""Alhamdulillah," ucap mereka serempak. Mereka bahagia mendengar berita yang belum selesai aku ucapkan. "Mas Tara mau mendonorkan darahnya asal aku membatalkan gugatan cerai ke pengadilan.""Apa!" teriak mereka bersamaan. "Bapak edan!" maki bapak dengan wajah merah padam. Kedua tangannya pun mengepal ke samping tubuh. Sebagai orang tua, bapak tahu ini pilihan terberat dalam hidupku. Namun untuk membantu bapak pun tak bisa. Harapan kami hanya pada Mas Tara. Kami terdiam untuk beberapa saat. Sibuk dengan pikiran yang sama. Aku sendiri bingung harus berbuat apa? Di saat genting Mas Tara justru mengambil kesempatan. Harusnya dia berkorban tanpa pamrih tapi nyatanya dia memanfaatkan Aluna demi kepentingannya. Ayah macam apa dia? Sejat
"Tunggu, Mbak. Aku akan mencari pendonor di lingkungan rumah sakit. Mbak Alin jangan membatalkan gugatan cerai itu."Seketika Satriya berdiri lalu pergi hingga punggungnya tak terlihat lagi. Kali ini aku benar-benar berharap semoga Satriya menemukan pendonor yang pas untuk Aluna.Aku beranjak berjalan menuju halaman rumah sakit. Kaki ini terus melangkah hingga berhenti tepat di depan seorang lelaki yang memakai seragam berwarna coklat. "Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanya satpam itu. "Maaf, Pak. Apa Bapak bisa membantu saya?""Kalau bisa akan saya bantu, Mbak. Memang mau dibantu apa?""Putri saya mengalami kecelakaan, dia membutuhkan donor darah. Apa Bapak memiliki golongan darah A? Kalau iya, tolong bantu saya, Pak." Aku seka air mata yang jatuh dengan sendirinya. "Saya akan membayar untuk bantuan itu.""Maaf, Mbak. Golongan darah saya AB.""Makasih, Pak."Aku melangkah pergi, lalu menanyai beberapa orang yang ada di dekatku. Lelah hingga akhirnya aku memilih kembali ke ruang IG
"Pak Leo... Adnan." Dua lelaki itu melangkah mendekat. Sekali tarik kertas itu sudah berada di tangan atasannya. Tanpa meminta izin dia merobeknya hingga menjadi serpihan kecil. Aku melongo melihat tingkahnya. "Jangan gadaikan kebahagiaanmu, Lin." Pak Tara melirik Adnan. "Ayo, Nan!" Adnan mengangguk lalu mereka melangkah menuju ruang IGD. "Bagaimana kesepakatan kita, Lin?""Batal!" Melangkah pergi, kutinggalkan Mas Tara yang mematung dengan sorot kebingungan. Setelah kami sampai Adnan dan Pak Leo segera mengikuti suster untuk diambil darahnya. Kami memilih menunggu di depan ruang IGD. "Mas Tara ada di depan, apa dia sudah mendonorkan darahnya, Mbak? Apa Mbak Alin menyetujui permintaan gilanya?" cecar Satriya yang sudah duduk di sampingku. "Kalau tanya satu-satu, Sat! Jangan seperti rel kereta api, panjang gak ada ujungnya.""He he he....""Mbak tidak jadi meminta bantuannya, Sat. Ada dua orang suka relawan yang mau mendonorkan darahnya untuk Aluna.""Alhamdulillah, Mbak Alia tak
"Mbak, bangun! Ya, malah tidur pules," ucap Satriya sambil menyentuh pundakku. Aku paksakan mata ini terbuka, hingga kembali kututup saat sinar lampu menyilaukan. "Kamu baru dateng, Sat?" tanyaku. "Baru aja, Mbak. Dimakan gih, habis itu salat. Aku juga membelikkanmu perlengkapan mandi." Satriya menunjukkan dua kantung plastik di atas nakas, di sebelahku. Kalau Satriya baru saja datang, lalu siapa yang mencium pipi kiriku? Apa aku hanya bermimpi? Tapi kenapa seperti nyata? Aku bertanya dengan diriku sendiri. Aku yakin itu sebuah kecupan. Apa jangan-jangan Satriya sempat ke sini lalu menciumku? Astaga, kenapa pikiranku jadi ke mana-mana begini? "Mbak!" Satriya menepuk pundakku hingga aku terkejut. "Ngalamun muluk!" ucapnya kesal. "Ayo, makan."Aku mengangguk lalu makan bersama Satriya. ***Aku kembali bekerja setelah libur selama tiga hari. Saat aku di kantor Satriya selalu datang untuk menjaga Aluna. Lelaki itu memang bisa diandalkan. Satriya memang tulus menyayangi Aluna terl
"Jadi ini lelaki yang membuat kamu ingin berpisah dengan Mas Tara?"Allah... Apa lagi ini? Semua mata menatapku tak suka. Aku bagai penjahat kelas kakap yang harus dihina. Bahkan direndahkan oleh mereka. Astagfirullah. "Tak usah didengarkan, kita masuk saja, Pak." Aku melangkah masuk. Namun kemudian berhenti saat melihat Pak Leo diam. Dia tatap tajam orang-orang yang ada di hadapannya. Sorot mata itu membuat langkahku terhenti. Aku tak ingin terjadi keributan di sini. "Kalau tidak tahu cerita sebenarnya jangan asal menyimpulkan, Bu." "Halah, memang kenyataannya seperti itu," ucap Bu Romlah kesal. Pak Leo mengepalkan tangan di samping. Aku tahu dia tengah menahan amarah yang sangat besar. Beginilah hidup di desa, banyak mata yang menatap tak suka. Susah dihina, bahagia kena hujat. Tak ada pilihannya. "Ibu tolong jaga mulutnya!" ucap Pak Leo penuh penekanan. "Siapa kamu ngatur-ngatur saya!""Saya calon suami Alin."Aku melotot mendengar ucapannya. Astaga, lelaki itu kenapa membu