"Pak Leo... Adnan." Dua lelaki itu melangkah mendekat. Sekali tarik kertas itu sudah berada di tangan atasannya. Tanpa meminta izin dia merobeknya hingga menjadi serpihan kecil. Aku melongo melihat tingkahnya. "Jangan gadaikan kebahagiaanmu, Lin." Pak Tara melirik Adnan. "Ayo, Nan!" Adnan mengangguk lalu mereka melangkah menuju ruang IGD. "Bagaimana kesepakatan kita, Lin?""Batal!" Melangkah pergi, kutinggalkan Mas Tara yang mematung dengan sorot kebingungan. Setelah kami sampai Adnan dan Pak Leo segera mengikuti suster untuk diambil darahnya. Kami memilih menunggu di depan ruang IGD. "Mas Tara ada di depan, apa dia sudah mendonorkan darahnya, Mbak? Apa Mbak Alin menyetujui permintaan gilanya?" cecar Satriya yang sudah duduk di sampingku. "Kalau tanya satu-satu, Sat! Jangan seperti rel kereta api, panjang gak ada ujungnya.""He he he....""Mbak tidak jadi meminta bantuannya, Sat. Ada dua orang suka relawan yang mau mendonorkan darahnya untuk Aluna.""Alhamdulillah, Mbak Alia tak
"Mbak, bangun! Ya, malah tidur pules," ucap Satriya sambil menyentuh pundakku. Aku paksakan mata ini terbuka, hingga kembali kututup saat sinar lampu menyilaukan. "Kamu baru dateng, Sat?" tanyaku. "Baru aja, Mbak. Dimakan gih, habis itu salat. Aku juga membelikkanmu perlengkapan mandi." Satriya menunjukkan dua kantung plastik di atas nakas, di sebelahku. Kalau Satriya baru saja datang, lalu siapa yang mencium pipi kiriku? Apa aku hanya bermimpi? Tapi kenapa seperti nyata? Aku bertanya dengan diriku sendiri. Aku yakin itu sebuah kecupan. Apa jangan-jangan Satriya sempat ke sini lalu menciumku? Astaga, kenapa pikiranku jadi ke mana-mana begini? "Mbak!" Satriya menepuk pundakku hingga aku terkejut. "Ngalamun muluk!" ucapnya kesal. "Ayo, makan."Aku mengangguk lalu makan bersama Satriya. ***Aku kembali bekerja setelah libur selama tiga hari. Saat aku di kantor Satriya selalu datang untuk menjaga Aluna. Lelaki itu memang bisa diandalkan. Satriya memang tulus menyayangi Aluna terl
"Jadi ini lelaki yang membuat kamu ingin berpisah dengan Mas Tara?"Allah... Apa lagi ini? Semua mata menatapku tak suka. Aku bagai penjahat kelas kakap yang harus dihina. Bahkan direndahkan oleh mereka. Astagfirullah. "Tak usah didengarkan, kita masuk saja, Pak." Aku melangkah masuk. Namun kemudian berhenti saat melihat Pak Leo diam. Dia tatap tajam orang-orang yang ada di hadapannya. Sorot mata itu membuat langkahku terhenti. Aku tak ingin terjadi keributan di sini. "Kalau tidak tahu cerita sebenarnya jangan asal menyimpulkan, Bu." "Halah, memang kenyataannya seperti itu," ucap Bu Romlah kesal. Pak Leo mengepalkan tangan di samping. Aku tahu dia tengah menahan amarah yang sangat besar. Beginilah hidup di desa, banyak mata yang menatap tak suka. Susah dihina, bahagia kena hujat. Tak ada pilihannya. "Ibu tolong jaga mulutnya!" ucap Pak Leo penuh penekanan. "Siapa kamu ngatur-ngatur saya!""Saya calon suami Alin."Aku melotot mendengar ucapannya. Astaga, lelaki itu kenapa membu
Tak lama ibu dan Aluna datang sambil membawa beberapa kantung plastik berwarna putih. "Diisi lima-lima, Bu. Lalu dibagikan ke tetangga," perintah Bapak. Dibantu Aluna, ibu masukkan mangga ke dalam kantung plastik. Masing-masih terisi lima buah mangga. "Kamu berikan ke tetangga, ya, Lin?" pinta Bapak. Diam, aku tak mampu menjawab iya atau tidak. Bayangan kejadian dulu kembali menari di pelupuk mata. Membuat aku enggan melakukan perintah Bapak. Aku takut kejadian dulu terulang kembali. "Biar ibu saja, Pak. Alin kan capek," ucap ibu seolah mengerti apa yang kupikirkan. Ya, capek... Cepak hati dan pikiran. "Aluna ikut nenek, ya, Ma?" tanya Aluna seraya menatap ke arahku. Aku menggeleng pelan. Bukan tak mengizinkan dia untuk bersosialisasi, tapi aku takut ia mendengar perkataan tetangga yang menyakitkan hati. "Kita makan mangga saja, yuk! Nanti dihabiskan Kakek dan Mama, lho."Aluna terdiam lalu menatap kami bergantian. Bingung, ia tak tahu harus memilih apa? "Ya,udah, deh kita mak
Sudah lebih dari dua bulan. Namun surat panggilan sidang tak kunjung datang. Kapan aku terbebas dari Mas Tara? Rasa lelah mulai mendera. "Ma!" teriak Aluna lalu menjatuhkan bobot di sampingku. Aku menggeser tubuh, menyamakan posisi hingga mata kami saling bertemu. Bunyi ranjang yang berderit menjadi saksi pergeseran tubuh ini. "Kenapa? Mau tidur sama Mama?" Aluna menggeleng. Tidak mau tidur denganku, kenapa dia ke sini? "Lalu kenapa?""Aluna kangen Om Satriya. Kenapa Om lama tidak ke sini?"Aku tersenyum mendengar ucapannya. Kukira Mas Tara yang ia rindukan. Namun ternyata bukan. Satriya yang kini ada di hati dah pikirannya. Mungkin karena di saat Aluna terluka, Satriya selalu ada bukan Mas Tara. Atau mungkin Aluna merasakan apa yang kini aku rasakan. Entahlah. "Mau telepon Om?" "Gak mau!""Katanya kangen?""Maunya Om ke sini, Ma," rengeknya. Aku menggeleng pelan, terlalu dimanja Satriya membuatnya susah berpisah. Ditambah Mas Tara mengabaikan putrinya, sosok Satriya bagai pri
"Bapak tak melarang kamu dengan dia. Tapi untuk saat ini tolong jaga jarak. Bapak tak mau kamu dinilai buruk oleh orang lain.""Karena statusku yang masih istri Mas Tara, kan, Pak?" Bapak mengangguk lalu kembali menatap layar televisi. Hanya menatap, tapi pikirannya sudah berkelana ke mana-mana. Hening, hanya suara televisi yang menggema, memenuhi ruangan ini. "Ma, udah." Aluna menyerahkan ponsel padaku. "Aluna mau bobog?""Iya. Mau bobog sama Kakek aja."Bapak beranjak lalu menuntun Aluna menuju kamar. Sesaat aku bernapas lega. Akhirnya bisa lepas dari pertanyaan Bapak. ***"Alin! Bangun, Lin!" teriak Ibu sambil mengetuk pintu kamar. Kubuka mata perlahan, mengumpulkan nyawa yang belum terisi sepenuhnya. Rasa kantuk masih terasa hingga mata terasa berat untuk terbuka. "Alin, sudah setengah tujuh!"Seketika kutoleh jam yang menempel di dinding. Astagfirullah, aku benar-benar kesiangan. Aku segera beranjak lalu berlari menuju kamar mandi. "Kamu sarapan di kantor, ya, Lin. Ibu be
Aku dan Pak Leo saling pandang. Kulihat senyum tipis di wajah penuh kharisma itu. Bahagiakah dia dengan kabar ini? "Jangan percaya, Lin. Imelda bohong!" Mas Tara mendekatiku. "Sudahlah, tak usah mengelak, Mas. Kamu sudah menanam benih di rahim Imelda, tak heran jika bening itu berkembang, kan." Kutepis tangan yang berusaha menyentuhku. Jijik, itu yang kini kurasakan. Rasa cinta yang kubanggakan hilang dalam sekejap mata. Nyatanya dia justru mendua bahkan sudah ada kehidupan di dalam rahim simpanannya."Ini tak seperti yang kamu bayangkan, Lin. Bisa saja itu benih orang lain, kan. Aku saja tak percaya jika di dalam perutnya ada anakku. Selama ini aku selalu memakai pengaman.""Kamu lupa, kita pernah melakukannya tanpa pengaman, Mas. Saat putri kamu masuk rumah sakit karena panas,saat itu kita melakukannya di hotel. Kamu jangan pura-pura lupa!" teriak Imelda hingga beberapa orang kembali menatap kami. Nyeri, hatiku bak disayat sembilu. Saat kami berjuang. Dia justru bersenang-senang
"Carilah wanita yang masih lajang, Sat. Masa depanmu masih panjang.""Masa depanku kamu dan Aluna, Mbak."Hening, kami tenggelam dalam rasa canggung. Hingga diam adalah jalan terbaik dari masalah ini. "Ayo turun, Mbak!"Aku mengangguk lalu turun. Kami berjalan beriringan menuju rumah makan dengan menu selat Solo yang terkenal itu. "Mbak mau makan apa?" tanyanya. "Selat Solo saja, Sat."Satriya segera memesan dua selat dan minumannya. Tak berapa lama pesanan kami datang. Segera kami menikmati makanan khas Kota Solo ini. "Mbak.""Hem!" Aku melanjutkan makan selat tanpa menoleh ke arah Satriya. "Kalau orang ngomong dilihat, Mbak."Meletakkan sendok, kutatap lelaki yang kini duduk di hadapanku itu. "Kenapa sih, Sat?""Mbak tahu masa lalu Imelda?" Aku mengangkat bahu. "Yang Mbak tahu sebentar lagi dia akan menjadi kakak iparmu." Satriya mencebikkan bibir. "Aku serius lho, Mbak," ucapnya kesal. "Mbak gak tahu, Sat, dan gak mau tahu!" ucapku kesal. Sedang enak-enak menikmati selat
"Alin, kenapa diam?""Aku kangen ibu, jadi pulang ke kampung.""Sejak kapan putri ibu belajar berbohong? Zaman sudah modern, tak perlu jauh-jauh untuk bisa bertatap muka? Ponsel ada, kan. Apa lagi kamu sedang masa pemulihan, tak bagus melakukan perjalanan jauh, Lin."Aku membisu, memang benar perkataan ibu. Tak mungkin beliau percaya dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Aku tak pandai membuat alasan yang tepat, selalu saja ketahuan. "Ceritakan, Lin.""Bukan di sini, Bu. Nanti malam saja."Ibu mengangguk, menyetujui perkataanku. Karena memang tak baik membicarakan masalah yang menyangkut Satriya tepat di hadapan putri kecilku. Dia memang diam, tapi otaknya merekam semua percakapan kami. Tak menutup kemungkinan kata-kata kami menyakiti hatinya. ***Di sini kami, duduk di teras seraya menatap malam. Tak ada Aluna, dia sudah terlelap setelah azan magrib. Perjalanan jauh membuat dia lelah hingga tidur lebih awal. "Kalian bertengkar?" Ibu menatap penuh selidik. Sebuah anggukan membe
Nada dering panggilan masuk menghentikan lamunanku. Sesaat Aluna menggeliat, suara ponsel itu sedikit mengusik tidurnya. Aluna baru saja terlelap setelah perjalanan panjang dan sesekali beristirahat karena nyeri terkadang terasa. Benda pipih itu terus saja bernyanyi meski kubiarkan hingga bungkam dengan sendirinya. Aku melirik jam yang melingkar di tangan, hampir tengah malam. Kurasa Satriya baru saja pulang, dia tak menemukan keberadaanku hingga terpaksa menelepon. Ponsel sengaja aku non aktifkan, biarlah Satriya kebingungan untuk sementara waktu. Aku hanya lelah dengan sikapnya akhir-akhir ini. Tak bisakah ia sadar, jika semua ini takdir yang sudah Allah gariskan pada kami. Sebagai seorang ibu, aku pun terpukul atas kepergian Finziya. Putri kecil yang kami nantikan justru kembali pada Sang Pemilik. Bayangan tangis dan tawa saat aku menimangnya harus hilang dalam sekejap mata. Sebenernya akulah yang paling terpukul dan nyaris depresi. Sebagai seorang ibu, aku merasa gagal melind
Pov Satriya[Apa kabar, Sat? Benar perkataanku, kan ... Aluna akan menjadi tembok pembatas antara kamu dan Alin. Harusnya kamu sadar, hanya aku papanya, bukan kamu.]Aku mengepalkan tangan di atas meja. Amarah yang belum mereka kini kembali meledak. Tuhan, kenapa kakakku sendiri yang berniat merusak rumah tanggaku? Ponsel kuletakkan kembali di atas meja. Menyalakan laptop Niko yang sempat kupijam. Tanganku menari di atas mouse, mengedit foto klien. Namun pikiran bercabang membuat hasil edit tak memuaskan, aku tak bisa fokus saat masalah memenuhi kepalaku. Aku mengusap wajah kasar, mengeluarkan emosi yang sempat memenuhi rongga dada. Lelah, satu kata yang kini aku rasakan. Ingin aku berteriak, namun nyatanya ini bukan tempat yang tepat. Nada dering panggilan masuk kembali menyita perhatianku. Kulirik layar benda pipih yang tergeletak di atas meja. Untunglah bukan nama Tara yang muncul di sana. Aku tak mampu mengontrol emosi jika lelaki itu kembali menghubungiku. Namun rasa lega hil
Pov Satriya"Aluna!"Aku berteriak kala es teh dalam gelas tumpah tepat di atas laptop. Cepat-cepat aku cabut kabel charger yang masih menempel di laptop. Membalikkan benda pintar itu, mengelap bekas air yang masih melekat. "Aluna, kenapa bisa tumpah? "Gadis kecil itu berdiri di tempat seraya menangis sesenggukan. Bulir demi bulir terus saja jatuh membasahi pipinya. Namun entah kenapa aku tak iba, rasa kesal justru semakin mengakar. "Mama!"Bukannya menjawab, Aluna justru berteriak memanggil Alin. Dia persis seperti Mas Tara ketika kecil, mengadu, dan mencari perlindungan di punggung mama. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Alin begitu terkejut melihat keadaan ruang keluarga. Apa lagi melihat laptop yang tengah kukeringkan dengan tisu. Belum lagi beberapa foto tersiram air. "Tanyakan saja pada anakmu!"Tangis Aluna kian menjadi seiring suaraku yang memekik. "Kenapa bisa tumpah, Nak?"Hanya tangisan yang keluar dari mulut mungil itu. Entah, lama-lama aku menjadi bosan. Bosan dengan
Dua hari setalah kalimat menyakitkan menghantam hatiku. Kini kembali kami saling diam, seolah ada tembok pembatas meski kami berada dalam satu ranjang. Bahkan kami saling beradu punggung. Sibuk dengan rasa sakit masing-masing. Titik demi titik jatuh membasahi pipi. Aku menangis dalam diam, keluar sudah sesak dalam rongga dada. Menyakitkan, tapi tak mampu kujawab perkataan Satriya. "Gara-gara Aluna, anakku meninggal!"Kalimat itu terus saja terngiang di telinga. Sesak, dadaku seakan terhimpit batu besar, hingga menghirup udara begitu susah. Kenapa Satriya tega mengatakan hal itu? Kenapa? Tarikan napas dan denting jam terdengar jelas di telinga. Keheningan menciptakan atmosfer yang berbeda di kamar ini. Rasa nyaman yang dulu melekat seolah hilang dalam satu kedipan mata. Kembali aku pejamkan mata saat merasakan gerakan di ranjang. Tak lama langkah kaki menjauh hingga gesekan pintu terdengar jelas di telingaku. Satriya pergi seperti kemarin malam. Setelah merasa aman, aku pun memba
"Hati-hati, jangan mengulangi hal yang sama. Ngerti!"Satriya berlalu pergi seraya membawa kamera. Tak lama terdengar suara mobil menjauh. Dia bekerja tanpa mengucapkan salam, apa lagi sarapan. Aku menghela napas, membuang rasa sesak dalam dada. Tak bisa aku pungkiri, ucapan Satriya menyakiti hati. Bukankah kematian adalah takdir, bukan salah Aluna. Dia masih terlalu kecil untuk menanggung kesalahan. "Ma ...."Aluna memeluk tubuhku sambil tersedu, dia menangis mendengar bentakan ayah sambungnya. "Aluna geser dulu, Nak."Perlahan Aluna berjalan hingga berhenti dan menempel tembok. Air matanya masih menetes, dia takut dengan bentakan Satriya. "Aluna di situ dulu, ya. Mama mau bersihin tumpahan airnya."Segera aku ambil pel, membersihkan genangan air yang ada di lantai. Harus segera dibersihkan agar tidak menjatuhkan orang lain, termasuk Aluna. Setelah selesai kami pun sarapan berdua. Ya, hanya berdua karena Satriya sudah berangkat terlebih dahulu. "Aluna libur dulu, ya," ucapku se
"Aluna tidak kamu ajak, Pi?"Satriya menolah tapi kembali sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas. Mulut lelakiku masih membisu, tak ada sepatah kata yang keluar saat ia tiba di sini. "Rumah sakit pasti memperbolehkan kalau untuk menjemput pasien, Pi. Dia pasti merindukan aku.""Dia sama ibu di rumah," jawab Satriya datar. Satriya kembali membereskan barang-barang kami. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ya, semenjak kematian putri kami, Satriya menjadi pendiam. Tak ada tawa apa lagi kekonyolan yang biasa ia lakukan. Dia tenggelam dalam luka dan kesedihan. Sebenarnya bukan hanya dia yang kehilangan, aku pun merasakan hal yang sama. Namun hidup harus terus berjalan sekali pun dengan luka yang melekat. "Sebentar, aku panggilkan suster."Satriya keluar dari ruang rawat inapku. Sepi, kurasakan itu lagi. Perasaan bersalah hadir tanpa kuminta. Seandainya aku hati-hati, mungkin putri kecilku akan baik-baik saja. Suara pintu dibuka menyentak lamunanku. Aku menoleh, Satriya masuk bers
"Bayiku di mana, Sus?"Kembali aku menanyakan hal yang sama. Namun lagi dua perempuan berpakaian serba putih itu hanya diam membisu. Seolah ada sesuatu yang mereka tutupi. Apa jangan-jangan .... "Kita ke kamar inap dulu, ya, Bu."Kedua suster kembali mendorong brankar, tempatku terbaring tak berdaya. Aku menatap lurus ke atas dengan pandangan kosong. Beberapa prasangka kembali menari dalam angan. Bayang bayi mungil yang belum kulihat terlintas berulang kali. Suara gesekan roda brankar dan lantai bak sirine yang membuat orang-orang menyingkir kala kami lewat. Sempat kulihat beberapa pasang mata mencuri pandang ke arahku. Mungkin bertanya-tanya karena aku hanya seorang diri tanpa ada kelurga yang menemani. Apa lagi baru keluar dari ruang operasi. Pintu kamar dibuka, kosong tak ada Satriya di sana. Prasangka kembali memenuhi isi kepalaku. Di mana suami dan bayiku? Dibantu empat suster aku dipindahkan di atas ranjang khas rumah sakit. "Ada yang sakit, Bu?" tanyanya salah satu suster
Darah? Aku menatap bawah, benar saja darah segar keluar dari pangkal paha. Nyeri, perutku terasa tertusuk ... sakit sekali. Bahkan aku tak mampu menjelaskan sakitnya seperti apa."Pi... Papi!"Aku terus memegangi perut, namun Satriya tak kunjung membuka mata. Dia masih terlelap dalam mimpi. Ya Allah, Satriya. "Papi!" teriak Aluna kencang. Seketika Satriya terbangun. Dia menjerit kala melihat aku tergeletak tak berdaya di lantai. Ditambah darah yang keluar darin pangkal paha. "Ya Allah, Yang. Kamu kenapa?""Sa--sakit, Yang." Aku pegangi perut yang terasa sakit. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Satriya kebingungan, dia jongkok hendak membopong tubuhku. "Aluna kedinginan, Yang."Gerakan tangan itu terhenti, Satriya kebingungan hendak mengganti baju Aluna atau menolongku terlebih dahulu. Kami sama-sama membutuhkan bantuan secepatnya. "Aluna tunggu di sini dulu, Papi mau bawa Mama ke mobil.""Tapi, Pi ....""Sebentar, Nak. Papi bawa mama turun dulu."Sempat kudengar hentakkan kaki