"Bapak tak melarang kamu dengan dia. Tapi untuk saat ini tolong jaga jarak. Bapak tak mau kamu dinilai buruk oleh orang lain.""Karena statusku yang masih istri Mas Tara, kan, Pak?" Bapak mengangguk lalu kembali menatap layar televisi. Hanya menatap, tapi pikirannya sudah berkelana ke mana-mana. Hening, hanya suara televisi yang menggema, memenuhi ruangan ini. "Ma, udah." Aluna menyerahkan ponsel padaku. "Aluna mau bobog?""Iya. Mau bobog sama Kakek aja."Bapak beranjak lalu menuntun Aluna menuju kamar. Sesaat aku bernapas lega. Akhirnya bisa lepas dari pertanyaan Bapak. ***"Alin! Bangun, Lin!" teriak Ibu sambil mengetuk pintu kamar. Kubuka mata perlahan, mengumpulkan nyawa yang belum terisi sepenuhnya. Rasa kantuk masih terasa hingga mata terasa berat untuk terbuka. "Alin, sudah setengah tujuh!"Seketika kutoleh jam yang menempel di dinding. Astagfirullah, aku benar-benar kesiangan. Aku segera beranjak lalu berlari menuju kamar mandi. "Kamu sarapan di kantor, ya, Lin. Ibu be
Aku dan Pak Leo saling pandang. Kulihat senyum tipis di wajah penuh kharisma itu. Bahagiakah dia dengan kabar ini? "Jangan percaya, Lin. Imelda bohong!" Mas Tara mendekatiku. "Sudahlah, tak usah mengelak, Mas. Kamu sudah menanam benih di rahim Imelda, tak heran jika bening itu berkembang, kan." Kutepis tangan yang berusaha menyentuhku. Jijik, itu yang kini kurasakan. Rasa cinta yang kubanggakan hilang dalam sekejap mata. Nyatanya dia justru mendua bahkan sudah ada kehidupan di dalam rahim simpanannya."Ini tak seperti yang kamu bayangkan, Lin. Bisa saja itu benih orang lain, kan. Aku saja tak percaya jika di dalam perutnya ada anakku. Selama ini aku selalu memakai pengaman.""Kamu lupa, kita pernah melakukannya tanpa pengaman, Mas. Saat putri kamu masuk rumah sakit karena panas,saat itu kita melakukannya di hotel. Kamu jangan pura-pura lupa!" teriak Imelda hingga beberapa orang kembali menatap kami. Nyeri, hatiku bak disayat sembilu. Saat kami berjuang. Dia justru bersenang-senang
"Carilah wanita yang masih lajang, Sat. Masa depanmu masih panjang.""Masa depanku kamu dan Aluna, Mbak."Hening, kami tenggelam dalam rasa canggung. Hingga diam adalah jalan terbaik dari masalah ini. "Ayo turun, Mbak!"Aku mengangguk lalu turun. Kami berjalan beriringan menuju rumah makan dengan menu selat Solo yang terkenal itu. "Mbak mau makan apa?" tanyanya. "Selat Solo saja, Sat."Satriya segera memesan dua selat dan minumannya. Tak berapa lama pesanan kami datang. Segera kami menikmati makanan khas Kota Solo ini. "Mbak.""Hem!" Aku melanjutkan makan selat tanpa menoleh ke arah Satriya. "Kalau orang ngomong dilihat, Mbak."Meletakkan sendok, kutatap lelaki yang kini duduk di hadapanku itu. "Kenapa sih, Sat?""Mbak tahu masa lalu Imelda?" Aku mengangkat bahu. "Yang Mbak tahu sebentar lagi dia akan menjadi kakak iparmu." Satriya mencebikkan bibir. "Aku serius lho, Mbak," ucapnya kesal. "Mbak gak tahu, Sat, dan gak mau tahu!" ucapku kesal. Sedang enak-enak menikmati selat
"Ada apa, Mas?" tanyaku tanpa mempersilakan ia masuk. Apa lagi duduk. Kami berdiri berhadapan di antara mobilku dan mobilnya. "Kalian mau ke mana, Lin?" "Menepati janji pada Aluna karena orang yang telah berjanji padanya sudah lupa. Atau mungkin pura-pura lupa.""Maksud kamu?" Dia mengernyitkan dahi. Menatapku dengan penuh tanda tanya. Tatapan itu sangat menyebalkan, dia sama sekali tak merasa bersalah. Berjanji tapi tak menepati dan akhirnya memilih pergi. "Cepat katakan apa mau kamu? Aku gak ada waktu.""Minggu depan aku akan menikah. Aku ingin Aluna hadir di acara itu. Biar bagaimana pun Aluna adalah putriku meski hak asuh berada di tangannya."Menggeleng pelan, kuelus dada yang terasa berdenyut. Bagaimana bisa ia berkata demikian. Astagfirullah ... Mas Tara memang tak memiliki hati. Di saat Aluna berjuang untuk membiasakan diri tanpa papanya, tapi dia justru ingin menggores luka itu kembali. "Jangan harap! Aluna tak akan ke sana!" "Tapi, Lin. Dia juga anakku.""Pergi dan ja
Pagi ini langit terlihat muram, hingga air bening turun tanpa permisi. Sempat aku menatap ke atas, memastikan sinar mentari apakah masih bersembunyi atau sebentar lagi akan berseri. Namun tampaknya hujan masim mendominasi. "Mau berangkat jam berapa, Lin? Ini sudah jam enam lebih," ucap Bapak yang tengah memperhatikan aku dari teras. Sesekali ia seruput kopi yang ada di dalam cangkir bening itu. Hujan-hujan begini memang nikmat minum kopi hangat atau teh hangat. "Ini mau berangkat, Pak." Aku melangkah masuk untuk mengambil tas dan berpamitan dengan Aluna. "Bawa payung, Lin!" teriak ibu dari dapur. "Iya, Bu."Setelah berpamitan dengan Aluna aku kembali berjalan keluar.Tak lupa kubawa payung sesuai permintaan ibu. "Berangkat dulu, Pak." Kuletakkan payung lalu mencium tangannya dengan takzim. Sebelum pergi aku comot pisang goreng yang ada di atas meja. Lumayan untuk bekal berangkat kerja. Mobil melaju meninggalkan rumah. Dalam keadaan hujan membuatku tak berani melajukan mobil den
Aku melotot mendengar ucapan Pak Leo. Calon istri? Apa dia tak waras? Astaga... Cobaan apa lagi ini? Pak Leo mendekat, menyelipkan tangannya di sela jemariku. Seketika jantungku berdebar. Ada aliran listrik yang masuk ke seluruh tubuh. Apa-apaan ini? "Masa iddah Alin sudah selesai, sebentar lagi kami akan menikah." Pak Leo menatap ke arahku. "Bukan begitu, Alin?"Aku hanya tersenyum, entah mengapa mulutku kelu. Bahkan untuk berkata tidak saja begitu sulit. "Apa benar, Lin?"Aku menelan ludah dengan susah payah. Apa yang harus kukatakan? Hingga memilih diam adalah solusi bagiku. "Diamnya Alin adalah jawaban iya, Pak Tara."Mas menatap kami tajam, tangannya mengepal. Kilau kemarahan tergambar jelas di sana. "Ayo, Sayang. Kita harus meeting dengan klien sebentar lagi." Pak Leo menuntun tanganku hingga ke pintu. Kemudian ia membalikkan badan, menatap Mas Tara dengan pandangan yang sulit kuartikan. "Urusi saja istri dan calon anakmu,Pak Tara. O, ya satu lagi... Perbaiki penampilanmu.
Sudut bibirku tertarik ke atas membaca undangan wisuda itu. "Seriusan ini, Sat? Wah, predikat mahasiswa abadi lengser dong." Satriya mencebikkan bibir. Mendadak ia kesal, sudah persis Aluna saat keinginannya tidak aku turuti. "Silakan, Mbak." Pemilik warung itu meletakkan dua mangkuk soto di atas meja. Tanpa menunggu, kami mulai menikmati makanan itu. Aku harus meniupnya terlebih dahulu agar panas kuah sedikit berkurang. Rasa lapar membuat makanan sederhana begitu nikmat di lidah. "Aku sudah siap, Mbak." Aku mengernyitkan dahi, tak mengerti dengan ucapannya. Dengan santainya aku meneguk teh hangat itu. "Aku siap menjadi suami kamu, Mbak."Uhuk... Uhuk.... Sepanjang jalan kami diselimuti keheningan. Rasa canggung kian menerpaku. Sebegitu sulitnya menolak pernyataan cinta seseorang. "Aku tidak mencintai wanita lain, Mbak," ucap Satriya seakan tahu isi kepalaku. "Cinta bisa tumbuh dengan sendirinya, Sat.""Berarti itu berlaku untuk Mbak Alin, dong. Cinta bisa tumbuh di hatimu un
Semilir angin melambai,menyentuhku. Bahkan dinginnya malam menusuk tulang ini. Namun tak sedikit pun mengusikku. Aku termenung duduk di teras depan. Sesekali menepuk kaki atau tangan. Karena nyamuk datang mengganggu. Tapi lagi dan lagi tidak membuatku beranjak meninggalkan tempat ini. Aku masih mematung.Bayang kejadian tadi siang kembali hadir,bahkan terasa memenuhi kepalaku. Wajah sedih dan kecewa Satriya serta wajah penuh harap Pak Leo. Kini aku berada di antara mereka.“Kamu belum tidur,Lin?” Aku menoleh, menatap wanita yang tengah berdiri di tengah-tengah pintu.“Belum ngantuk,Bu,” jawabku sekenanya.Ibu menggelengkan kepala lalu melangkah mendekatiku. Dia menjatuhkan bobot di kursi kayu yang berada tepat di sampingku.“Kamu masih memikirkan kejadian tadi pagi?” tanyanya tanpa menoleh ke arahku. Ibu menatap lurus ke depan. Seolah menerawang masa depan.“Iya,Bu.”Wanita itu menghela napas lalu menggeser tubuh hingga mampu menatap lekat netra ini. Tatapan itu seolah menelisik kejuj