Cukup aneh jika seorang pengusaha ingin menikahi karyawannya yang sudah janda sepertiku. Sementara di luar sana banyak wanita yang tergila-gilanya padanya. Mereka pasti jauh lebih cantik dan berpendidikan tinggi. Bukan seperti diriku ini.Orang bilang cinta tak mengenal tahta,harta bahkan rupa. Namun kata-kata itu tak masuk dalam kepalaku. Banyak lelaki selingkuh karena istrinya sudah tak menarik lagi. Apa itu definisi cinta tak memandang rupa? Ada pula yang wanita meminta cerai karena suaminya bangkrut. Lalu cinta seperti apa yang mereka banggakan? Cinta yang tak mengenal rupa dan harta. Omong kosong. Cinta seperti itu hanya ada dalam sebuah cerita. Bukan di dunia nyata. Maka aku tak percaya Pak Leo mencintaiku.“Apa cinta selalu memilih,pada siapa ia akan berlabuh?”Memang benar, cinta tak bisa memilih ke mana ia akan berlabuh. Namun logika terkadang diperhitungkan dalam hal ini. "Apa tidak ada wanita lain, Pak? Saya ini janda beranak satu. Sedang Bapak ....""Aku mencintaimu, Ali
"Mbak Alin balik sendiri?" tanya Meli sedikit keheranan. Seulas senyum kuberikan padanya. Tanpa menjawab aku berlalu pergi. Aku rasa pertanyaan itu tak memerlukan sebuah jawaban. Terkadang lebih baik diam dibandingkan berbicara tapi semakin memperburuk suasana. Itu yang sering kali Ibu ajarkan padaku. Lebih baik diam dari pada mengeluarkan kata yang nantinya akan kamu sesali. Sempat kulirik Meli yang kesal karena pertanyaan kuabaikan. Bibirnya manyun beberapa senti saat menatapku. Aku kembali melanjutkan langkah hingga menuju lantai empat. “Kunjungan pabriknya sudah selesai,Mbak?” tanya Lusi yang berdiri di depan ruangannya.Ruangan Lusi bersebelahan dengan ruanganku. Tak heran jika ia tahu kapan aku datang dan pergi. Seperti kali ini. “Iya,sudah selesai,Lus. Makannya aku sudah di sini lagi.”“Pak Leo tidak kembali ke kantor,Mbak?” Lusi menoleh ke kanan dan kiri. Dia cari sosok lelaki yang tadi pergi bersamaku.“Ada urusan,makannya aku balik duluan.”Lagi dan lagi aku harus berb
Dengan rasa penasaran kulangkahkan kaki menuju ruang tamu. Hingga langkahku terhenti saat melihat seorang wanita paruh baya dengan penampilan wah duduk di kursi tamu. Sesekali ia mengibaskan tangan untuk mengusir nyamuk yang mengusik duduknya.“Rumah apaan ini?” ucapnya kesal.Menggeleng pelan melihat sikap wanita itu. Dia tak bisa menghargai orang lain. Terlihat jelas ia hanya menilai sesuatu dari harta dan materi. "Ada perlu apa Ibu datang kemari?" tanyaku setelah menjatuhkan bobot di kursi tepat di hadapannya. Ibu atasanku itu kembali menepuk tangan dan kaki. Sambutan dari nyamuk membuatnya kewalahan. "Ini rumah atau kandang sapi, sih?" sindirnya tepat di depanku. Apa orang kaya seperti ini? Mengaku berpendidikan tapi tak memiliki etika sedikit pun? "Rumah saya memang seperti ini, bila tak suka silakan pergi.""Kamu ngusir saya!" Dia melotot ke arahku. "Apa yang Anda inginkan hingga datang ke kandang sapi seperti ini?" Kutahan emosi yang hampir meledak. Aku ingat di jauh lebi
"Awas, Pak!" Bapak berusaha memutar mobil ke kiri, meski laju kendaraan masih tak terkendali. Beruntung Bapak bisa mengubah posisi tepat waktu. Hingga akhirnya kami menepi di pinggir jalan. "Ada apa to, Pak?" tanya Ibu sambil memeluk Aluna. Aluna terbangun lalu menangis ketakutan. Sebenarnya bukan hanya dia yang takut, kami semua takut. Terlambat satu detik saja, kecelakaan akan terjadi. Untung saja kendaraan dari belakang tak ada. Kalau tidak... Aku tak bisa membayangkan apa yang akan menimpa kami. "Keluar dulu semuanya biar Bapak cek."Kami semua turun dari mobil. Aku, ibu, dan Aluna duduk di pinggir jalan. Putri kecilku memeluk tubuhku erat. Dia masih sangat ketakutan dengan insiden yang menimpa kami barusan. "Sudah tak apa-apa, ada Mama di sini." Aluna mengangguk meski rasa sakit itu masih ada. "Ban depannya bocor satu, Lin. Pantas goyang-goyang," ucap Bapak setelah memeriksa keadaan mobil. "Mungkin kena paku, Pak.""Ada ban serep gak, Lin?" "Ada di belakang, Pak. Biar Al
"Pengennya dijawab apa?" "Mbak Alin tinggal jawab apa susahnya, sih? Jangan buat aku mati penasaran, Mbak!" ucapnya kesal. Aku menahan tawa melihat sikapnya. Dia persis anak kecil yang meminta dibelikan permen. Bedanya ia tak sampai gulung-gulung di lantai. "Mbak jawab dong! Jangan senyum-senyum doang!""Aku menolak lamarannya, Sat. Aku juga berniat mengundurkan diri dari perusahaan Pak Leo.""Seriusan, Mbak?" tanyanya dengan wajah berbinar. Sebegitu bahagiakah dia? Astaga! "Iya.""Asyik ... Yes ... Yes. Aku masih punya kesempatan." Satriya berjoget kegirangan. Aku menggelengkan kepala melihat sikap lelaki itu. Ya Tuhan, ada-ada saja tingkahnya. "Mas Tara tidak datang di acara wisuda kamu, Sat?" "Katanya gak bisa, Mbak. Imelda gak mau ikut atau pun ditinggal."Imelda membutakan mata dan hati Mas Tara. Harusnya ia datang karena dia satu-satunya keluarga Satriya. Namun dia justru mementingkan perasaan istrinya. "Tak apa-apa, Mbak. Ada Mbak Alin sudah lebih dari cukup.""Udah ah,
Aku mematung, mulutku terkunci. Aku tidak tahu harus menjawab apa? Menikah tidak semudah mengatakan kata I love you. Menikah itu berjanji di depan Illahi Robbi untuk menjalani hidup bersama hingga maut memisahkan. Meski terkadang harus berakhir di tengah jalan. Sama seperti kisahku dengan Mas Tara. "Bagaimana, Mbak? Kamu mau menjadi ibu dari anak-anakku, anak-anak kita?" tanyanya lagi karena aku diam membisu. "Terima!""Terima!""Terima!"Teriakan dari orang-orang bagai pendukung Satriya. Mereka memintaku mengatakan iya. "Bangun, Sat! Malu dilihat banyak orang." Kuangkat pundaknya. Namun Satriya tetap kekeh jongkok sambil memberikan bunga kepadaku. "Aku ini mantan kakak ipar kamu, Sat. Apa kamu ndak malu?" Aku tatap lekat manik bening itu. "Aku gak pernah malu, Mbak. Karena cinta ini memang untuk Mbak Alin, bukan untuk wanita lain." Sorot kejujuran terpancar jelas di sana. Aku melirik Bapak dan Ibu, meminta bantuan mereka untuk menjawab. Tanpa berkata bapak dan ibu menganggukka
"Sudah siap, Lin?" tanya Bapak ketika aku selesai sarapan. Aku tersenyum lalu mengangguk mantap. Bagiku bekerja di mana pemilik tak menyukai bahkan membenci sama saja bunuh diri. Bukan karena lemah, aku hanya ingin hidup waras tanpa beban yang selalu kutanggung. Hidup hanya sekali kenapa harus mempersulit diri dengan menahan lara seorang diri? "Bagus, Lin. Harga diri itu paling penting. Bapak masih bisa memberimu makan tanpa kamu harus bekerja di sana.""Masih banyak perusahaan yang bisa menerima kamu, Lin. Jangan menyerah," ucap Ibu. Setelah selesai sarapan aku segera berangkat. Kali ini bukan bekerja tetapi memberikan surat pengunduran diri. Berkas berisi surat pengunduran diri sudah berada di tangan. Dengan langkah sedikit gugup aku menuju ruangan Pak Leo. Namun langkahku kembali terhenti saat Mas Tara sudah menunggu di depan lift. "Alin, aku ingin bicara." "Maaf, Mas. Aku buru-buru."Segera aku tekan tombol lalu masuk ke dalam lift saat pintu terbuka. Aku tinggalkan Mas Tar
Pov Tara"Apa, Lin? Kamu mau menikah dengan Satriya?" tanyaku lagi karena Alin masih diam membisu. Sempat kulihat dia menelan ludah dengan susah payah. Pasti Alin malu jika semua orang tahu dia akan menikah dengan mantan adik iparnya. Biar saja, biar dia membatalkan rencana konyol itu. Apa mungkin dia hanya ingin memanas-manasi aku saja? Bisa jadi itu. Meski aku tahu Satriya menyukai Alin. Namun tidak mungkin Alin menerima Satriya semudah itu. Aku melangkah mendekat ke arah Alin dan Lusi. Laporan yang hendak kuberikan kepada Pak Leo terpaksa kuabaikan. Masalah ini jauh lebih penting,akan aku pastikan omongan Alin hanya bualan belaka. "Katakan, Lin apa yang aku dengar tadi benar? Atau hanya omong kosong saja? Aku tahu kamu hanya ingin membuatku panas dan marah. Jadi kamu bawa-bawa Satriya dalam masalah ini."Alin tersenyum kemudian mengangguk mantap. "Apa ucapanku ini seperti bercanda, Mas?"Jawabannya bagai samurai yang menembus jantungku. Jika orang lain mungkin rasanya tidak sesa