Share

Jawaban

last update Last Updated: 2023-01-25 11:49:55

Aku mematung, mulutku terkunci. Aku tidak tahu harus menjawab apa?

Menikah tidak semudah mengatakan kata I love you. Menikah itu berjanji di depan Illahi Robbi untuk menjalani hidup bersama hingga maut memisahkan. Meski terkadang harus berakhir di tengah jalan. Sama seperti kisahku dengan Mas Tara.

"Bagaimana, Mbak? Kamu mau menjadi ibu dari anak-anakku, anak-anak kita?" tanyanya lagi karena aku diam membisu.

"Terima!"

"Terima!"

"Terima!"

Teriakan dari orang-orang bagai pendukung Satriya. Mereka memintaku mengatakan iya.

"Bangun, Sat! Malu dilihat banyak orang." Kuangkat pundaknya. Namun Satriya tetap kekeh jongkok sambil memberikan bunga kepadaku.

"Aku ini mantan kakak ipar kamu, Sat. Apa kamu ndak malu?" Aku tatap lekat manik bening itu.

"Aku gak pernah malu, Mbak. Karena cinta ini memang untuk Mbak Alin, bukan untuk wanita lain." Sorot kejujuran terpancar jelas di sana.

Aku melirik Bapak dan Ibu, meminta bantuan mereka untuk menjawab. Tanpa berkata bapak dan ibu menganggukka
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Mengundurkan Diri

    "Sudah siap, Lin?" tanya Bapak ketika aku selesai sarapan. Aku tersenyum lalu mengangguk mantap. Bagiku bekerja di mana pemilik tak menyukai bahkan membenci sama saja bunuh diri. Bukan karena lemah, aku hanya ingin hidup waras tanpa beban yang selalu kutanggung. Hidup hanya sekali kenapa harus mempersulit diri dengan menahan lara seorang diri? "Bagus, Lin. Harga diri itu paling penting. Bapak masih bisa memberimu makan tanpa kamu harus bekerja di sana.""Masih banyak perusahaan yang bisa menerima kamu, Lin. Jangan menyerah," ucap Ibu. Setelah selesai sarapan aku segera berangkat. Kali ini bukan bekerja tetapi memberikan surat pengunduran diri. Berkas berisi surat pengunduran diri sudah berada di tangan. Dengan langkah sedikit gugup aku menuju ruangan Pak Leo. Namun langkahku kembali terhenti saat Mas Tara sudah menunggu di depan lift. "Alin, aku ingin bicara." "Maaf, Mas. Aku buru-buru."Segera aku tekan tombol lalu masuk ke dalam lift saat pintu terbuka. Aku tinggalkan Mas Tar

    Last Updated : 2023-01-25
  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Tara Kena Batunya

    Pov Tara"Apa, Lin? Kamu mau menikah dengan Satriya?" tanyaku lagi karena Alin masih diam membisu. Sempat kulihat dia menelan ludah dengan susah payah. Pasti Alin malu jika semua orang tahu dia akan menikah dengan mantan adik iparnya. Biar saja, biar dia membatalkan rencana konyol itu. Apa mungkin dia hanya ingin memanas-manasi aku saja? Bisa jadi itu. Meski aku tahu Satriya menyukai Alin. Namun tidak mungkin Alin menerima Satriya semudah itu. Aku melangkah mendekat ke arah Alin dan Lusi. Laporan yang hendak kuberikan kepada Pak Leo terpaksa kuabaikan. Masalah ini jauh lebih penting,akan aku pastikan omongan Alin hanya bualan belaka. "Katakan, Lin apa yang aku dengar tadi benar? Atau hanya omong kosong saja? Aku tahu kamu hanya ingin membuatku panas dan marah. Jadi kamu bawa-bawa Satriya dalam masalah ini."Alin tersenyum kemudian mengangguk mantap. "Apa ucapanku ini seperti bercanda, Mas?"Jawabannya bagai samurai yang menembus jantungku. Jika orang lain mungkin rasanya tidak sesa

    Last Updated : 2023-01-26
  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Tara Kena Batunya 2

    "Kamu apa-apaan, Mas?""Aku yang harusnya nanya sama kamu, Mel. Apa yang kamu lakukan dari tadi? Piring kotor menumpuk di wastafel, halaman depan kotor. Bahkan seluruh rumah penuh dengan sampah kulit kacang dan plastik bekas bungkusan makanan ringan. Apa yang kamu lakukan seharian tadi?"Lepas sudah amarah yang berusaha aku tahan. Aku tahu dia tengah mengandung anakku. Namun tidak seperti ini. "Aku sedang hamil, Mas. Harusnya kamu mengerti itu. Harusnya kamu layani aku bukan justru ngomel seperti emak-emak."Aku mengepalkan tangan di samping. "Kamu!" Tangan ini melayang tapi berhenti di udara. "Tampar, Mas. Tampar!" Imelda justru memamerkan wajahnya di depanku. Seakan ia menantangku. Aku hempaskan tangan ini di udara. "Bersihkan! Atau kamu pergi dari sini!" Aku membalikkan badan lalu pergi menuju lantai atas.Pintu kubanting hingga menciptakan suara keras. Aku tak peduli, aku hanya ingin melampiaskan amarah yang memenuhi rongga dada. Tidak di kantor, tidak di rumah semua membuatk

    Last Updated : 2023-01-26
  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Menghilang

    Berhari-hari aku mencari pekerjaan tapi tak satu pun yang menerimaku. Hingga rasa leleh menyapa. Ternyata mencari pekerjaan tidaklah mudah. Pengalaman dan skill belum menentukan akan diterima. Relasi sangat menentukan dalam hal ini. Dulu dengan mudah aku masuk perusahaan karena Pak Leo yang memberikan jabatan. Namun sekarang jangankan jabatan, menjadi staf biasa saja sudah sulit. Aku melangkah gontai menuju rumah. "Mama!" teriak Aluna kemudian berlari ke arahku. Dia peluk erat tubuh ini. "Aluna udah mandi?" "Udah sama Nenek tadi," jawabnya sambil menunjuk ke belakang. Tepat di mana ibu berdiri di belakang. "Biarkan Mama mandi dulu, Lun." "Aku kan masih pengen main sama Mama, Nek." Aluna menyilangkan kedua tangan di dada. Dia merajuk. "Oke kita main, tapi sebentar saja, ya. Mama mau mandi, udah bau asem." Aluna mengangguk tanda mengerti perkataanku. Aluna mulai menjalankan aksinya, stetoskop ia tempelkan di perut, kening bahkan pipiku. Dia memperagakan menjadi seorang dokter.

    Last Updated : 2023-01-27
  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Menghilang 2

    Aku berdiri di pintu sambil menatap tiga lelaki yang sedang sibuk menghias ruang tamu. Seperti permintaan Satriya tempo hari, pernikahan akan dimajukan. Ini keputusan ektrem yang pernah kulakukan. Berbagai bunga hidup telah terpasang indah. Pernikahan ini memang sederhana. Tak ada tamu undangan layaknya pernikahan pada umumnya. Hanya tetangga terdekat yang hadir, itu pun tidak semuanya. Bukan karena kami tak mampu membayar Wedding Organizer. Namun karena aku dan Satriya tak mau mendengarkan cemoohan orang lain. Memang tak ada larangan menikah dengan mantan adik ipar. Namun masyarakat sering kali mencemooh bahkan menghina. Itu yang membuat aku dan Satriya memilih menikah secara sederhana. "Mbak kurang apa?" tanya seorang lelaki berkaos biru. "Mawar putihnya ditambahin dikit, Mas." Aku tunjuk bagian pojok kanan dan kiri. "Baik, Mbak.""Persiapannya sudah matang, Lin?" tanya ibu yang ikut berdiri di sampingku. "Sudah, Bu. Tinggal acara besok saja. Doakan semoga semuanya lancar." W

    Last Updated : 2023-01-27
  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Gagal Menikah

    "Coba telepon lagi, Lin."Aku mengangguk, dengan cepat jemari bermain di atas layar. Nomor Farel kembali kuhubungi. Namun tetap sama, nomor itu tidak aktif. Perasaan tak enak kembali menyapa. Tanpa diminta bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Satriya, kamu di mana? Kenapa kamu menghilang di saat seperti ini? Aku duduk lemas, kaki ini seakan tak mampu menopang beratnya tubuh. Aku terisak, takut mimpi buruk akan menjadi nyata. "Satriya pasti datang, Lin. Kamu sabar." Bapak mengelus pundak, menyalurkan energi yang sempat hilang. "Nomornya tidak aktif, Pak.""Mungkin kehabisan baterai."Aku mencoba berpikir positif, meski tak bisa membuang perasaan takut yang ada. Bapak berjalan ke kanan dan kiri, bingung harus bagaimana. Sementara aku terdiam dengan perasaan yang entah, tak bisa lagi dijabarkan. "Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan Satriya, Pak? Perasaan ibu kok gak enak. Dia tidak mungkin pergi diacara sepenting ini."Aku membisu. Tidak tahu lagi harus bagaimana. Hanya rasa tak

    Last Updated : 2023-01-28
  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Gagal Menikah 2

    Sudah tiga hari setelah insiden memalukan itu. Namun hingga detik ini Satriya tak juga menampakkan batang hidungnya. Jangankan meminta maaf, nomornya saja tidak aktif. "Lin."Suara panggilan disertai ketukan pintu mengusik lamunanku. Dengan langkah gontai aku membuka pintu. Seorang wanita menatap iba ke arahku. Entah mengapa aku membenci tatapan itu. "Jangan tatap aku seperti itu, Bu."Ibu mengangguk, sudut bibir ia tarik paksa hingga membentuk sebuah lengkungan ke atas. Namun terlihat jelas itu sebuah keterpaksaan semata. Seperti aku, Ibu juga mengalami kekecewaan. Dia terluka, mungkin jauh lebih terluka. "Kamu tidak makan, Lin?"Aku melirik jam yang menempel di dinding. Sudah pukul sembilan pagi. Pantas saja Ibu memintaku makan. "Aluna ikut ke sawah lagi, Bu?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Iya."Aku membungkuk saat melewati Ibu yang berdiri di depan kamar."Alin, tunggu!"Aku menghentikan langkah, menatap wanita yang telah melahirkanku dengan penuh tanda tanya. Ibu mengajak

    Last Updated : 2023-01-28
  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Mencari Satriya

    "Maaf, ini istri Satriya, kan? Kenapa Satriya tidak balik lagi ke Jakarta, Mbak?""Maaf, Mas. Saya dan Satriya batal menikah karena Satriya tidak datang di hari pernikahan kami.""Tidak mungkin. Mbak Alin jangan bercanda. Jelas-jelas Satriya pulang untuk menikah. Bahkan rumah di Jakarta sudah di siapkan, tinggal menempati saja."Aku mematung, sebuah tanda tanya besar memenuhi pikiranku. Kalau Satriya tidak ke Jakarta. Lalu ke mana dia? Apa jangan-jangan .... "Hallo, Mbak Alin masih di situ, kan?" tanyanya lagi. "I-iya," jawabku terbata. "Tolong suruh Satriya ke Jakarta secepatnya."Panggilan telepon ia matikan. Sebuah tanda tanya kembali hadir. Jika Satriya tidak di Jakarta, lalu di mana dia sekarang?"Ma, itu Om Satriya, ya?" Aluna menarik ujung hijab yang aku kenakan."Bukan, tadi temannya Om telepon Mama.""Ah, kenapa bukan Om Satriya?" Aluna mengerucutkan bibir, merajuk. Aku tahu dia merindukan Satriya. Namun sekarang keberadaan Satriya saja tak tahu di mana. Telepon tadi kia

    Last Updated : 2023-01-29

Latest chapter

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Ending

    "Alin, kenapa diam?""Aku kangen ibu, jadi pulang ke kampung.""Sejak kapan putri ibu belajar berbohong? Zaman sudah modern, tak perlu jauh-jauh untuk bisa bertatap muka? Ponsel ada, kan. Apa lagi kamu sedang masa pemulihan, tak bagus melakukan perjalanan jauh, Lin."Aku membisu, memang benar perkataan ibu. Tak mungkin beliau percaya dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Aku tak pandai membuat alasan yang tepat, selalu saja ketahuan. "Ceritakan, Lin.""Bukan di sini, Bu. Nanti malam saja."Ibu mengangguk, menyetujui perkataanku. Karena memang tak baik membicarakan masalah yang menyangkut Satriya tepat di hadapan putri kecilku. Dia memang diam, tapi otaknya merekam semua percakapan kami. Tak menutup kemungkinan kata-kata kami menyakiti hatinya. ***Di sini kami, duduk di teras seraya menatap malam. Tak ada Aluna, dia sudah terlelap setelah azan magrib. Perjalanan jauh membuat dia lelah hingga tidur lebih awal. "Kalian bertengkar?" Ibu menatap penuh selidik. Sebuah anggukan membe

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Alin Pulang ke Kampung

    Nada dering panggilan masuk menghentikan lamunanku. Sesaat Aluna menggeliat, suara ponsel itu sedikit mengusik tidurnya. Aluna baru saja terlelap setelah perjalanan panjang dan sesekali beristirahat karena nyeri terkadang terasa. Benda pipih itu terus saja bernyanyi meski kubiarkan hingga bungkam dengan sendirinya. Aku melirik jam yang melingkar di tangan, hampir tengah malam. Kurasa Satriya baru saja pulang, dia tak menemukan keberadaanku hingga terpaksa menelepon. Ponsel sengaja aku non aktifkan, biarlah Satriya kebingungan untuk sementara waktu. Aku hanya lelah dengan sikapnya akhir-akhir ini. Tak bisakah ia sadar, jika semua ini takdir yang sudah Allah gariskan pada kami. Sebagai seorang ibu, aku pun terpukul atas kepergian Finziya. Putri kecil yang kami nantikan justru kembali pada Sang Pemilik. Bayangan tangis dan tawa saat aku menimangnya harus hilang dalam sekejap mata. Sebenernya akulah yang paling terpukul dan nyaris depresi. Sebagai seorang ibu, aku merasa gagal melind

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Kepergian Alin

    Pov Satriya[Apa kabar, Sat? Benar perkataanku, kan ... Aluna akan menjadi tembok pembatas antara kamu dan Alin. Harusnya kamu sadar, hanya aku papanya, bukan kamu.]Aku mengepalkan tangan di atas meja. Amarah yang belum mereka kini kembali meledak. Tuhan, kenapa kakakku sendiri yang berniat merusak rumah tanggaku? Ponsel kuletakkan kembali di atas meja. Menyalakan laptop Niko yang sempat kupijam. Tanganku menari di atas mouse, mengedit foto klien. Namun pikiran bercabang membuat hasil edit tak memuaskan, aku tak bisa fokus saat masalah memenuhi kepalaku. Aku mengusap wajah kasar, mengeluarkan emosi yang sempat memenuhi rongga dada. Lelah, satu kata yang kini aku rasakan. Ingin aku berteriak, namun nyatanya ini bukan tempat yang tepat. Nada dering panggilan masuk kembali menyita perhatianku. Kulirik layar benda pipih yang tergeletak di atas meja. Untunglah bukan nama Tara yang muncul di sana. Aku tak mampu mengontrol emosi jika lelaki itu kembali menghubungiku. Namun rasa lega hil

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Kemarahan Satriya

    Pov Satriya"Aluna!"Aku berteriak kala es teh dalam gelas tumpah tepat di atas laptop. Cepat-cepat aku cabut kabel charger yang masih menempel di laptop. Membalikkan benda pintar itu, mengelap bekas air yang masih melekat. "Aluna, kenapa bisa tumpah? "Gadis kecil itu berdiri di tempat seraya menangis sesenggukan. Bulir demi bulir terus saja jatuh membasahi pipinya. Namun entah kenapa aku tak iba, rasa kesal justru semakin mengakar. "Mama!"Bukannya menjawab, Aluna justru berteriak memanggil Alin. Dia persis seperti Mas Tara ketika kecil, mengadu, dan mencari perlindungan di punggung mama. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Alin begitu terkejut melihat keadaan ruang keluarga. Apa lagi melihat laptop yang tengah kukeringkan dengan tisu. Belum lagi beberapa foto tersiram air. "Tanyakan saja pada anakmu!"Tangis Aluna kian menjadi seiring suaraku yang memekik. "Kenapa bisa tumpah, Nak?"Hanya tangisan yang keluar dari mulut mungil itu. Entah, lama-lama aku menjadi bosan. Bosan dengan

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Bentakan Satriya

    Dua hari setalah kalimat menyakitkan menghantam hatiku. Kini kembali kami saling diam, seolah ada tembok pembatas meski kami berada dalam satu ranjang. Bahkan kami saling beradu punggung. Sibuk dengan rasa sakit masing-masing. Titik demi titik jatuh membasahi pipi. Aku menangis dalam diam, keluar sudah sesak dalam rongga dada. Menyakitkan, tapi tak mampu kujawab perkataan Satriya. "Gara-gara Aluna, anakku meninggal!"Kalimat itu terus saja terngiang di telinga. Sesak, dadaku seakan terhimpit batu besar, hingga menghirup udara begitu susah. Kenapa Satriya tega mengatakan hal itu? Kenapa? Tarikan napas dan denting jam terdengar jelas di telinga. Keheningan menciptakan atmosfer yang berbeda di kamar ini. Rasa nyaman yang dulu melekat seolah hilang dalam satu kedipan mata. Kembali aku pejamkan mata saat merasakan gerakan di ranjang. Tak lama langkah kaki menjauh hingga gesekan pintu terdengar jelas di telingaku. Satriya pergi seperti kemarin malam. Setelah merasa aman, aku pun memba

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Gara-gara Aluna

    "Hati-hati, jangan mengulangi hal yang sama. Ngerti!"Satriya berlalu pergi seraya membawa kamera. Tak lama terdengar suara mobil menjauh. Dia bekerja tanpa mengucapkan salam, apa lagi sarapan. Aku menghela napas, membuang rasa sesak dalam dada. Tak bisa aku pungkiri, ucapan Satriya menyakiti hati. Bukankah kematian adalah takdir, bukan salah Aluna. Dia masih terlalu kecil untuk menanggung kesalahan. "Ma ...."Aluna memeluk tubuhku sambil tersedu, dia menangis mendengar bentakan ayah sambungnya. "Aluna geser dulu, Nak."Perlahan Aluna berjalan hingga berhenti dan menempel tembok. Air matanya masih menetes, dia takut dengan bentakan Satriya. "Aluna di situ dulu, ya. Mama mau bersihin tumpahan airnya."Segera aku ambil pel, membersihkan genangan air yang ada di lantai. Harus segera dibersihkan agar tidak menjatuhkan orang lain, termasuk Aluna. Setelah selesai kami pun sarapan berdua. Ya, hanya berdua karena Satriya sudah berangkat terlebih dahulu. "Aluna libur dulu, ya," ucapku se

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Perubahan Sikap Satriya

    "Aluna tidak kamu ajak, Pi?"Satriya menolah tapi kembali sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas. Mulut lelakiku masih membisu, tak ada sepatah kata yang keluar saat ia tiba di sini. "Rumah sakit pasti memperbolehkan kalau untuk menjemput pasien, Pi. Dia pasti merindukan aku.""Dia sama ibu di rumah," jawab Satriya datar. Satriya kembali membereskan barang-barang kami. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ya, semenjak kematian putri kami, Satriya menjadi pendiam. Tak ada tawa apa lagi kekonyolan yang biasa ia lakukan. Dia tenggelam dalam luka dan kesedihan. Sebenarnya bukan hanya dia yang kehilangan, aku pun merasakan hal yang sama. Namun hidup harus terus berjalan sekali pun dengan luka yang melekat. "Sebentar, aku panggilkan suster."Satriya keluar dari ruang rawat inapku. Sepi, kurasakan itu lagi. Perasaan bersalah hadir tanpa kuminta. Seandainya aku hati-hati, mungkin putri kecilku akan baik-baik saja. Suara pintu dibuka menyentak lamunanku. Aku menoleh, Satriya masuk bers

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Kepergian Malaikat Kecil

    "Bayiku di mana, Sus?"Kembali aku menanyakan hal yang sama. Namun lagi dua perempuan berpakaian serba putih itu hanya diam membisu. Seolah ada sesuatu yang mereka tutupi. Apa jangan-jangan .... "Kita ke kamar inap dulu, ya, Bu."Kedua suster kembali mendorong brankar, tempatku terbaring tak berdaya. Aku menatap lurus ke atas dengan pandangan kosong. Beberapa prasangka kembali menari dalam angan. Bayang bayi mungil yang belum kulihat terlintas berulang kali. Suara gesekan roda brankar dan lantai bak sirine yang membuat orang-orang menyingkir kala kami lewat. Sempat kulihat beberapa pasang mata mencuri pandang ke arahku. Mungkin bertanya-tanya karena aku hanya seorang diri tanpa ada kelurga yang menemani. Apa lagi baru keluar dari ruang operasi. Pintu kamar dibuka, kosong tak ada Satriya di sana. Prasangka kembali memenuhi isi kepalaku. Di mana suami dan bayiku? Dibantu empat suster aku dipindahkan di atas ranjang khas rumah sakit. "Ada yang sakit, Bu?" tanyanya salah satu suster

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Operasi Sesar

    Darah? Aku menatap bawah, benar saja darah segar keluar dari pangkal paha. Nyeri, perutku terasa tertusuk ... sakit sekali. Bahkan aku tak mampu menjelaskan sakitnya seperti apa."Pi... Papi!"Aku terus memegangi perut, namun Satriya tak kunjung membuka mata. Dia masih terlelap dalam mimpi. Ya Allah, Satriya. "Papi!" teriak Aluna kencang. Seketika Satriya terbangun. Dia menjerit kala melihat aku tergeletak tak berdaya di lantai. Ditambah darah yang keluar darin pangkal paha. "Ya Allah, Yang. Kamu kenapa?""Sa--sakit, Yang." Aku pegangi perut yang terasa sakit. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Satriya kebingungan, dia jongkok hendak membopong tubuhku. "Aluna kedinginan, Yang."Gerakan tangan itu terhenti, Satriya kebingungan hendak mengganti baju Aluna atau menolongku terlebih dahulu. Kami sama-sama membutuhkan bantuan secepatnya. "Aluna tunggu di sini dulu, Papi mau bawa Mama ke mobil.""Tapi, Pi ....""Sebentar, Nak. Papi bawa mama turun dulu."Sempat kudengar hentakkan kaki

DMCA.com Protection Status