"Sudah siap, Lin?" tanya Bapak ketika aku selesai sarapan. Aku tersenyum lalu mengangguk mantap. Bagiku bekerja di mana pemilik tak menyukai bahkan membenci sama saja bunuh diri. Bukan karena lemah, aku hanya ingin hidup waras tanpa beban yang selalu kutanggung. Hidup hanya sekali kenapa harus mempersulit diri dengan menahan lara seorang diri? "Bagus, Lin. Harga diri itu paling penting. Bapak masih bisa memberimu makan tanpa kamu harus bekerja di sana.""Masih banyak perusahaan yang bisa menerima kamu, Lin. Jangan menyerah," ucap Ibu. Setelah selesai sarapan aku segera berangkat. Kali ini bukan bekerja tetapi memberikan surat pengunduran diri. Berkas berisi surat pengunduran diri sudah berada di tangan. Dengan langkah sedikit gugup aku menuju ruangan Pak Leo. Namun langkahku kembali terhenti saat Mas Tara sudah menunggu di depan lift. "Alin, aku ingin bicara." "Maaf, Mas. Aku buru-buru."Segera aku tekan tombol lalu masuk ke dalam lift saat pintu terbuka. Aku tinggalkan Mas Tar
Pov Tara"Apa, Lin? Kamu mau menikah dengan Satriya?" tanyaku lagi karena Alin masih diam membisu. Sempat kulihat dia menelan ludah dengan susah payah. Pasti Alin malu jika semua orang tahu dia akan menikah dengan mantan adik iparnya. Biar saja, biar dia membatalkan rencana konyol itu. Apa mungkin dia hanya ingin memanas-manasi aku saja? Bisa jadi itu. Meski aku tahu Satriya menyukai Alin. Namun tidak mungkin Alin menerima Satriya semudah itu. Aku melangkah mendekat ke arah Alin dan Lusi. Laporan yang hendak kuberikan kepada Pak Leo terpaksa kuabaikan. Masalah ini jauh lebih penting,akan aku pastikan omongan Alin hanya bualan belaka. "Katakan, Lin apa yang aku dengar tadi benar? Atau hanya omong kosong saja? Aku tahu kamu hanya ingin membuatku panas dan marah. Jadi kamu bawa-bawa Satriya dalam masalah ini."Alin tersenyum kemudian mengangguk mantap. "Apa ucapanku ini seperti bercanda, Mas?"Jawabannya bagai samurai yang menembus jantungku. Jika orang lain mungkin rasanya tidak sesa
"Kamu apa-apaan, Mas?""Aku yang harusnya nanya sama kamu, Mel. Apa yang kamu lakukan dari tadi? Piring kotor menumpuk di wastafel, halaman depan kotor. Bahkan seluruh rumah penuh dengan sampah kulit kacang dan plastik bekas bungkusan makanan ringan. Apa yang kamu lakukan seharian tadi?"Lepas sudah amarah yang berusaha aku tahan. Aku tahu dia tengah mengandung anakku. Namun tidak seperti ini. "Aku sedang hamil, Mas. Harusnya kamu mengerti itu. Harusnya kamu layani aku bukan justru ngomel seperti emak-emak."Aku mengepalkan tangan di samping. "Kamu!" Tangan ini melayang tapi berhenti di udara. "Tampar, Mas. Tampar!" Imelda justru memamerkan wajahnya di depanku. Seakan ia menantangku. Aku hempaskan tangan ini di udara. "Bersihkan! Atau kamu pergi dari sini!" Aku membalikkan badan lalu pergi menuju lantai atas.Pintu kubanting hingga menciptakan suara keras. Aku tak peduli, aku hanya ingin melampiaskan amarah yang memenuhi rongga dada. Tidak di kantor, tidak di rumah semua membuatk
Berhari-hari aku mencari pekerjaan tapi tak satu pun yang menerimaku. Hingga rasa leleh menyapa. Ternyata mencari pekerjaan tidaklah mudah. Pengalaman dan skill belum menentukan akan diterima. Relasi sangat menentukan dalam hal ini. Dulu dengan mudah aku masuk perusahaan karena Pak Leo yang memberikan jabatan. Namun sekarang jangankan jabatan, menjadi staf biasa saja sudah sulit. Aku melangkah gontai menuju rumah. "Mama!" teriak Aluna kemudian berlari ke arahku. Dia peluk erat tubuh ini. "Aluna udah mandi?" "Udah sama Nenek tadi," jawabnya sambil menunjuk ke belakang. Tepat di mana ibu berdiri di belakang. "Biarkan Mama mandi dulu, Lun." "Aku kan masih pengen main sama Mama, Nek." Aluna menyilangkan kedua tangan di dada. Dia merajuk. "Oke kita main, tapi sebentar saja, ya. Mama mau mandi, udah bau asem." Aluna mengangguk tanda mengerti perkataanku. Aluna mulai menjalankan aksinya, stetoskop ia tempelkan di perut, kening bahkan pipiku. Dia memperagakan menjadi seorang dokter.
Aku berdiri di pintu sambil menatap tiga lelaki yang sedang sibuk menghias ruang tamu. Seperti permintaan Satriya tempo hari, pernikahan akan dimajukan. Ini keputusan ektrem yang pernah kulakukan. Berbagai bunga hidup telah terpasang indah. Pernikahan ini memang sederhana. Tak ada tamu undangan layaknya pernikahan pada umumnya. Hanya tetangga terdekat yang hadir, itu pun tidak semuanya. Bukan karena kami tak mampu membayar Wedding Organizer. Namun karena aku dan Satriya tak mau mendengarkan cemoohan orang lain. Memang tak ada larangan menikah dengan mantan adik ipar. Namun masyarakat sering kali mencemooh bahkan menghina. Itu yang membuat aku dan Satriya memilih menikah secara sederhana. "Mbak kurang apa?" tanya seorang lelaki berkaos biru. "Mawar putihnya ditambahin dikit, Mas." Aku tunjuk bagian pojok kanan dan kiri. "Baik, Mbak.""Persiapannya sudah matang, Lin?" tanya ibu yang ikut berdiri di sampingku. "Sudah, Bu. Tinggal acara besok saja. Doakan semoga semuanya lancar." W
"Coba telepon lagi, Lin."Aku mengangguk, dengan cepat jemari bermain di atas layar. Nomor Farel kembali kuhubungi. Namun tetap sama, nomor itu tidak aktif. Perasaan tak enak kembali menyapa. Tanpa diminta bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Satriya, kamu di mana? Kenapa kamu menghilang di saat seperti ini? Aku duduk lemas, kaki ini seakan tak mampu menopang beratnya tubuh. Aku terisak, takut mimpi buruk akan menjadi nyata. "Satriya pasti datang, Lin. Kamu sabar." Bapak mengelus pundak, menyalurkan energi yang sempat hilang. "Nomornya tidak aktif, Pak.""Mungkin kehabisan baterai."Aku mencoba berpikir positif, meski tak bisa membuang perasaan takut yang ada. Bapak berjalan ke kanan dan kiri, bingung harus bagaimana. Sementara aku terdiam dengan perasaan yang entah, tak bisa lagi dijabarkan. "Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan Satriya, Pak? Perasaan ibu kok gak enak. Dia tidak mungkin pergi diacara sepenting ini."Aku membisu. Tidak tahu lagi harus bagaimana. Hanya rasa tak
Sudah tiga hari setelah insiden memalukan itu. Namun hingga detik ini Satriya tak juga menampakkan batang hidungnya. Jangankan meminta maaf, nomornya saja tidak aktif. "Lin."Suara panggilan disertai ketukan pintu mengusik lamunanku. Dengan langkah gontai aku membuka pintu. Seorang wanita menatap iba ke arahku. Entah mengapa aku membenci tatapan itu. "Jangan tatap aku seperti itu, Bu."Ibu mengangguk, sudut bibir ia tarik paksa hingga membentuk sebuah lengkungan ke atas. Namun terlihat jelas itu sebuah keterpaksaan semata. Seperti aku, Ibu juga mengalami kekecewaan. Dia terluka, mungkin jauh lebih terluka. "Kamu tidak makan, Lin?"Aku melirik jam yang menempel di dinding. Sudah pukul sembilan pagi. Pantas saja Ibu memintaku makan. "Aluna ikut ke sawah lagi, Bu?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Iya."Aku membungkuk saat melewati Ibu yang berdiri di depan kamar."Alin, tunggu!"Aku menghentikan langkah, menatap wanita yang telah melahirkanku dengan penuh tanda tanya. Ibu mengajak
"Maaf, ini istri Satriya, kan? Kenapa Satriya tidak balik lagi ke Jakarta, Mbak?""Maaf, Mas. Saya dan Satriya batal menikah karena Satriya tidak datang di hari pernikahan kami.""Tidak mungkin. Mbak Alin jangan bercanda. Jelas-jelas Satriya pulang untuk menikah. Bahkan rumah di Jakarta sudah di siapkan, tinggal menempati saja."Aku mematung, sebuah tanda tanya besar memenuhi pikiranku. Kalau Satriya tidak ke Jakarta. Lalu ke mana dia? Apa jangan-jangan .... "Hallo, Mbak Alin masih di situ, kan?" tanyanya lagi. "I-iya," jawabku terbata. "Tolong suruh Satriya ke Jakarta secepatnya."Panggilan telepon ia matikan. Sebuah tanda tanya kembali hadir. Jika Satriya tidak di Jakarta, lalu di mana dia sekarang?"Ma, itu Om Satriya, ya?" Aluna menarik ujung hijab yang aku kenakan."Bukan, tadi temannya Om telepon Mama.""Ah, kenapa bukan Om Satriya?" Aluna mengerucutkan bibir, merajuk. Aku tahu dia merindukan Satriya. Namun sekarang keberadaan Satriya saja tak tahu di mana. Telepon tadi kia