Berhari-hari aku mencari pekerjaan tapi tak satu pun yang menerimaku. Hingga rasa leleh menyapa. Ternyata mencari pekerjaan tidaklah mudah. Pengalaman dan skill belum menentukan akan diterima. Relasi sangat menentukan dalam hal ini. Dulu dengan mudah aku masuk perusahaan karena Pak Leo yang memberikan jabatan. Namun sekarang jangankan jabatan, menjadi staf biasa saja sudah sulit. Aku melangkah gontai menuju rumah. "Mama!" teriak Aluna kemudian berlari ke arahku. Dia peluk erat tubuh ini. "Aluna udah mandi?" "Udah sama Nenek tadi," jawabnya sambil menunjuk ke belakang. Tepat di mana ibu berdiri di belakang. "Biarkan Mama mandi dulu, Lun." "Aku kan masih pengen main sama Mama, Nek." Aluna menyilangkan kedua tangan di dada. Dia merajuk. "Oke kita main, tapi sebentar saja, ya. Mama mau mandi, udah bau asem." Aluna mengangguk tanda mengerti perkataanku. Aluna mulai menjalankan aksinya, stetoskop ia tempelkan di perut, kening bahkan pipiku. Dia memperagakan menjadi seorang dokter.
Aku berdiri di pintu sambil menatap tiga lelaki yang sedang sibuk menghias ruang tamu. Seperti permintaan Satriya tempo hari, pernikahan akan dimajukan. Ini keputusan ektrem yang pernah kulakukan. Berbagai bunga hidup telah terpasang indah. Pernikahan ini memang sederhana. Tak ada tamu undangan layaknya pernikahan pada umumnya. Hanya tetangga terdekat yang hadir, itu pun tidak semuanya. Bukan karena kami tak mampu membayar Wedding Organizer. Namun karena aku dan Satriya tak mau mendengarkan cemoohan orang lain. Memang tak ada larangan menikah dengan mantan adik ipar. Namun masyarakat sering kali mencemooh bahkan menghina. Itu yang membuat aku dan Satriya memilih menikah secara sederhana. "Mbak kurang apa?" tanya seorang lelaki berkaos biru. "Mawar putihnya ditambahin dikit, Mas." Aku tunjuk bagian pojok kanan dan kiri. "Baik, Mbak.""Persiapannya sudah matang, Lin?" tanya ibu yang ikut berdiri di sampingku. "Sudah, Bu. Tinggal acara besok saja. Doakan semoga semuanya lancar." W
"Coba telepon lagi, Lin."Aku mengangguk, dengan cepat jemari bermain di atas layar. Nomor Farel kembali kuhubungi. Namun tetap sama, nomor itu tidak aktif. Perasaan tak enak kembali menyapa. Tanpa diminta bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Satriya, kamu di mana? Kenapa kamu menghilang di saat seperti ini? Aku duduk lemas, kaki ini seakan tak mampu menopang beratnya tubuh. Aku terisak, takut mimpi buruk akan menjadi nyata. "Satriya pasti datang, Lin. Kamu sabar." Bapak mengelus pundak, menyalurkan energi yang sempat hilang. "Nomornya tidak aktif, Pak.""Mungkin kehabisan baterai."Aku mencoba berpikir positif, meski tak bisa membuang perasaan takut yang ada. Bapak berjalan ke kanan dan kiri, bingung harus bagaimana. Sementara aku terdiam dengan perasaan yang entah, tak bisa lagi dijabarkan. "Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan Satriya, Pak? Perasaan ibu kok gak enak. Dia tidak mungkin pergi diacara sepenting ini."Aku membisu. Tidak tahu lagi harus bagaimana. Hanya rasa tak
Sudah tiga hari setelah insiden memalukan itu. Namun hingga detik ini Satriya tak juga menampakkan batang hidungnya. Jangankan meminta maaf, nomornya saja tidak aktif. "Lin."Suara panggilan disertai ketukan pintu mengusik lamunanku. Dengan langkah gontai aku membuka pintu. Seorang wanita menatap iba ke arahku. Entah mengapa aku membenci tatapan itu. "Jangan tatap aku seperti itu, Bu."Ibu mengangguk, sudut bibir ia tarik paksa hingga membentuk sebuah lengkungan ke atas. Namun terlihat jelas itu sebuah keterpaksaan semata. Seperti aku, Ibu juga mengalami kekecewaan. Dia terluka, mungkin jauh lebih terluka. "Kamu tidak makan, Lin?"Aku melirik jam yang menempel di dinding. Sudah pukul sembilan pagi. Pantas saja Ibu memintaku makan. "Aluna ikut ke sawah lagi, Bu?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Iya."Aku membungkuk saat melewati Ibu yang berdiri di depan kamar."Alin, tunggu!"Aku menghentikan langkah, menatap wanita yang telah melahirkanku dengan penuh tanda tanya. Ibu mengajak
"Maaf, ini istri Satriya, kan? Kenapa Satriya tidak balik lagi ke Jakarta, Mbak?""Maaf, Mas. Saya dan Satriya batal menikah karena Satriya tidak datang di hari pernikahan kami.""Tidak mungkin. Mbak Alin jangan bercanda. Jelas-jelas Satriya pulang untuk menikah. Bahkan rumah di Jakarta sudah di siapkan, tinggal menempati saja."Aku mematung, sebuah tanda tanya besar memenuhi pikiranku. Kalau Satriya tidak ke Jakarta. Lalu ke mana dia? Apa jangan-jangan .... "Hallo, Mbak Alin masih di situ, kan?" tanyanya lagi. "I-iya," jawabku terbata. "Tolong suruh Satriya ke Jakarta secepatnya."Panggilan telepon ia matikan. Sebuah tanda tanya kembali hadir. Jika Satriya tidak di Jakarta, lalu di mana dia sekarang?"Ma, itu Om Satriya, ya?" Aluna menarik ujung hijab yang aku kenakan."Bukan, tadi temannya Om telepon Mama.""Ah, kenapa bukan Om Satriya?" Aluna mengerucutkan bibir, merajuk. Aku tahu dia merindukan Satriya. Namun sekarang keberadaan Satriya saja tak tahu di mana. Telepon tadi kia
"Tak usah teriak, Satriya tidak ada di sini.""Kamu sembunyikan di mana Satriya, Mas?" "Untuk apa menyembunyikan dia. Dia sudah pergi dan aku tak peduli dengannya.""Tapi dia adik kamu, Mas.""Sudahlah jangan kamu terus mencari Satriya yang gak tahu rimbanya. Di depan sini ada aku yang mencintai kamu dengan tulus. Kembalilah Alin, kita rajut asa bersama lagi.""Sat... Satriya!" teriakku lagi. Masa Tara tersenyum sinis ke arahku. Raut kebahagiaan tergambar jelas di sana. Dasar kakak tak punya hati dan perasaan. "Ketemu, Lin?" tanyanya setelah aku menggeledah semua isi rumah. Namun Satriya tetap tidak ada. Kalau bukan di sini lalu di mana dia? "Sudah aku katakan Satriya tidak ada di sini, Sayang." Mas Tara mendekat, dengan cepat aku berlari keluar rumah. Bahaya jika aku di sana terlalu lama. Mobil kembali kujalankan. Ada yang aneh dalam rumah itu. Kenapa Imelda tidak ada di sana? Apa mereka sedang bertengkar? Ah, untuk apa aku memikirkan urusan orang lain. Saat ini yang paling pent
"Bagaimana, Dok?"Dokter itu menghembuskan napas berat. Tatapan matanya membuat aku yakin ada hal buruk yang akan ia sampaikan. "Maaf, Mbak... Pasien tidak bisa kami selamatkan."Pelan ia berucap tapi bagai halilintar yang menyambar. Hingga mampu membuat tubuhku lemas bagai tak ada tulang di dalamnya. "Sabar, Mbak. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi Tuhan berkehendak lain."Aku luruh, kaki ini tak mampu lagi menopang tubuh. Tanpa diminta bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. "Bapak...," ucapku lirih. Dokter kembali masuk, ia tinggalkan aku dalam keterpurukan. Tuhan, kenapa Engkau ambil lagi orang yang berharga dalam hidupku? Kenapa secepat ini Bapak pergi dariku. "Tolong urus administrasinya agar jenazah bisa segera dibawa pulang," ucap suster yang kini berdiri di sampingku. "Baik, Sus."Dengan langkah gontai aku berjalan meninggalkan ruang operasi. Walau berat kupaksa kaki untuk terus melangkah. Sesekali kuhapus jejak air mata yang menempel di pipi. Semua mata menata
Perlahan kuputar knop pintu. Tidak dikunci, tak mungkin ibu pergi tanpa mengunci pintu depan. Jangan-jangan Ibu di dalam kamar. "Assalamu'alaikum," salamku sambil terus melangkah masuk."Alin." Ibu keluar dari kamar. Sempat kulirik kamar yang terbuka lebar. "Aluna sudah tidur, bagaimana keadaan Bapak, Lin?"Aku diam, mulut ini terasa kelu. Bingung, kata apa yang akan aku ucapkan agar ibu tidak syok dan jatuh pingsan. "Alin, Bapak kamu mana? Bapak baik-baik saja, kan?" cecar Ibu karena aku hanya membisu. "Duduk dulu, Bu." Aku tuntun Ibu lalu mengajaknya duduk di kasur lantai yang ada di depan televisi. Ibu diam, sorot mata penuh tanda tanya tergambar jelas di sana. "Bapak di mana, Lin? Bapak baik-baik saja, to?"Aku tarik napas lalu menghembuskannya perlahan. Aku atur kata yang akan keluar. Lagi, agar tidak mengejutkan Ibu. "Katakan apa yang terjadi, Lin. Bapak kamu tidak kenapa-napa, kan?""Ba-Bapak, Bu." Air bening nan hangat kembali terjun dan membasahi pipi ini. Begitu suli