"Maaf, ini istri Satriya, kan? Kenapa Satriya tidak balik lagi ke Jakarta, Mbak?""Maaf, Mas. Saya dan Satriya batal menikah karena Satriya tidak datang di hari pernikahan kami.""Tidak mungkin. Mbak Alin jangan bercanda. Jelas-jelas Satriya pulang untuk menikah. Bahkan rumah di Jakarta sudah di siapkan, tinggal menempati saja."Aku mematung, sebuah tanda tanya besar memenuhi pikiranku. Kalau Satriya tidak ke Jakarta. Lalu ke mana dia? Apa jangan-jangan .... "Hallo, Mbak Alin masih di situ, kan?" tanyanya lagi. "I-iya," jawabku terbata. "Tolong suruh Satriya ke Jakarta secepatnya."Panggilan telepon ia matikan. Sebuah tanda tanya kembali hadir. Jika Satriya tidak di Jakarta, lalu di mana dia sekarang?"Ma, itu Om Satriya, ya?" Aluna menarik ujung hijab yang aku kenakan."Bukan, tadi temannya Om telepon Mama.""Ah, kenapa bukan Om Satriya?" Aluna mengerucutkan bibir, merajuk. Aku tahu dia merindukan Satriya. Namun sekarang keberadaan Satriya saja tak tahu di mana. Telepon tadi kia
"Tak usah teriak, Satriya tidak ada di sini.""Kamu sembunyikan di mana Satriya, Mas?" "Untuk apa menyembunyikan dia. Dia sudah pergi dan aku tak peduli dengannya.""Tapi dia adik kamu, Mas.""Sudahlah jangan kamu terus mencari Satriya yang gak tahu rimbanya. Di depan sini ada aku yang mencintai kamu dengan tulus. Kembalilah Alin, kita rajut asa bersama lagi.""Sat... Satriya!" teriakku lagi. Masa Tara tersenyum sinis ke arahku. Raut kebahagiaan tergambar jelas di sana. Dasar kakak tak punya hati dan perasaan. "Ketemu, Lin?" tanyanya setelah aku menggeledah semua isi rumah. Namun Satriya tetap tidak ada. Kalau bukan di sini lalu di mana dia? "Sudah aku katakan Satriya tidak ada di sini, Sayang." Mas Tara mendekat, dengan cepat aku berlari keluar rumah. Bahaya jika aku di sana terlalu lama. Mobil kembali kujalankan. Ada yang aneh dalam rumah itu. Kenapa Imelda tidak ada di sana? Apa mereka sedang bertengkar? Ah, untuk apa aku memikirkan urusan orang lain. Saat ini yang paling pent
"Bagaimana, Dok?"Dokter itu menghembuskan napas berat. Tatapan matanya membuat aku yakin ada hal buruk yang akan ia sampaikan. "Maaf, Mbak... Pasien tidak bisa kami selamatkan."Pelan ia berucap tapi bagai halilintar yang menyambar. Hingga mampu membuat tubuhku lemas bagai tak ada tulang di dalamnya. "Sabar, Mbak. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi Tuhan berkehendak lain."Aku luruh, kaki ini tak mampu lagi menopang tubuh. Tanpa diminta bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. "Bapak...," ucapku lirih. Dokter kembali masuk, ia tinggalkan aku dalam keterpurukan. Tuhan, kenapa Engkau ambil lagi orang yang berharga dalam hidupku? Kenapa secepat ini Bapak pergi dariku. "Tolong urus administrasinya agar jenazah bisa segera dibawa pulang," ucap suster yang kini berdiri di sampingku. "Baik, Sus."Dengan langkah gontai aku berjalan meninggalkan ruang operasi. Walau berat kupaksa kaki untuk terus melangkah. Sesekali kuhapus jejak air mata yang menempel di pipi. Semua mata menata
Perlahan kuputar knop pintu. Tidak dikunci, tak mungkin ibu pergi tanpa mengunci pintu depan. Jangan-jangan Ibu di dalam kamar. "Assalamu'alaikum," salamku sambil terus melangkah masuk."Alin." Ibu keluar dari kamar. Sempat kulirik kamar yang terbuka lebar. "Aluna sudah tidur, bagaimana keadaan Bapak, Lin?"Aku diam, mulut ini terasa kelu. Bingung, kata apa yang akan aku ucapkan agar ibu tidak syok dan jatuh pingsan. "Alin, Bapak kamu mana? Bapak baik-baik saja, kan?" cecar Ibu karena aku hanya membisu. "Duduk dulu, Bu." Aku tuntun Ibu lalu mengajaknya duduk di kasur lantai yang ada di depan televisi. Ibu diam, sorot mata penuh tanda tanya tergambar jelas di sana. "Bapak di mana, Lin? Bapak baik-baik saja, to?"Aku tarik napas lalu menghembuskannya perlahan. Aku atur kata yang akan keluar. Lagi, agar tidak mengejutkan Ibu. "Katakan apa yang terjadi, Lin. Bapak kamu tidak kenapa-napa, kan?""Ba-Bapak, Bu." Air bening nan hangat kembali terjun dan membasahi pipi ini. Begitu suli
"Bagaimana, Alin? Apa kamu menerima tawaranku?" Aku membisu, tawaran Pak Leo begitu berat bagiku. Tidak mungkin aku menyetujui pernikahan itu, sedang statusku masih calon istri orang. Namun Bapak tidak bisa menunggu terlalu lama. Jasadnya harus segera dikebumikan. Tuhan... Kenapa aku selalu berada di situasi seperti ini? Memilih sesuatu yang begitu berat untuk aku lakukan. "Untuk apa memikirkan Satriya. Jelas-jelas dia tak datang di hari pernikahan kalian. Lelaki tidak bertanggung jawab!"Ingin aku bertanya kenapa dia tahu segalanya tentangku. Namun aku tersadar dia bergelimang harta. Dia pasti tahu dengan mudah. Uang bisa membeli segalanya? Apa termasuk membeliku? "Kenapa diam? Ucapanku benar, kan? Satriya bukan lelaki yang baik untukmu. Dia pergi menorehkan luka di hatimu bahkan di hati kedua orang tuamu. Untuk apa kamu menunggu sesuatu yang tidak pasti, Alin.""Satriya pasti datang. Aku yakin itu."Pak Leo mencebikkan bibir lalu menatap tak suka ke arahku. Seketika nyaliku menc
Waktu berjalan begitu cepat, tidak terasa sudah satu minggu Bapak pergi meninggalkan kami. Rumah ini seakan mati, tidak ada gelak tawa yang selalu hadir ketika beliau masih ada. Bahkan di saat kami terpuruk, Bapak mampu memberi warna dan semangat baru. Aku mengatur napas, menghilangkan sesak yang kembali hadir. Bohong jika aku baik-baik saja. Aku hanya berusaha kuat demi Aluna dan Ibu. Meski sebenarnya hatiku hancur. Nada dering panggilan masuk menyentak lamunanku. Segera kuambil benda pipih yang tergeletak di atas kasur. Membuang napas kasar saat kulihat siapa penelepon itu. Terpaksa kutarik gambar telepon berwarna hijau ke atas. Akan jadi masalah jika telepon lelaki itu aku abaikan. "Aku kirim alamat, kamu segera ke sini."Belum sempat aku menjawab panggilan telepon dia matikan sepihak. Menyebalkan. Tidak berapa lama sebuah pesan masuk. Pak Leo mengirimkan sebuah alamat. Terpaksa aku harus pergi. Segera kuganti daster dengan gamis berwarna navy senada dengan hijab yang akan aku
"Apa maksud Pak Leo?"Seketika wajahnya menjadi tegang. Dia mengalihkan pandangan ke samping. "Jangan-jangan Pak Leo yang ....""Apa? Kamu pikir aku yang sudah mencelakai calon suami kamu?" Pak Leo menatapku tajam. Seketika nyaliku menciut. Dia bagai singa kelaparan yang siap menerkam mangsanya, dan itu aku. "Lalu apa maksud ucapan Pak Leo barusan?""Bagiku lelaki yang pergi di hari penting lalu menghilang, dia sudah mati. Tak perlu lagi diharapkan."Kalimat itu memukul telak diriku. Apa aku terlalu bodoh karena masih mengharapkan kedatangan Satriya? Meski hanya sia-sia saja? Bahkan aku tidak tahu di mana lelaki itu berada. Naif memang, tapi hati kecilku berkata demikian. "Kalau benar yang kamu lihat itu Satriya, kenapa dia tidak ke rumahmu? Kenapa dia tidak meminta maaf? Untuk apa kamu masih memikirkan lelaki seperti dia?"Aku menundukkan kepala, perlahan bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Perkataan Pak Leo memang benar. Jika itu Satriya, kenapa ia tak pernah datang hanya untu
"Aluna nyoba baju, yuk. Itu bajunya bagus banget, lho," ucap Ibu mengalihkan pembicaraan. Putri kecilku mengangguk lalu melangkah mengikuti Ibu. Aku bernapas lega, setidaknya aku tidak menjawab pertanyaannya itu. Mbak Citra mulai memoles wajahku. Entah apa saja yang ia tempelkan di wajahku. Aku tak memperhatikan. Lagi, pikiranku masih membayangkan akan nasib pernikahan ini. Bagaimana akhir kisah ini, bahagia atau justru nelangsa? "Sudah selesai belum?" Suara bariton itu membuat aku melirik dari balik cermin. Pak Leo mendekat dengan jas putih senada dengan gaun yang kukenakan. Wajahnya tampan penuh kharisma tetapi tak membuat hati ini bergetar. "Kamu cantik sekali, Alin," ucapnya dengan mata berbinar. Aku menoleh sekilas lalu kembali menatap cermin. Bahkan bibir kupaksa tersenyum, semua demi menyenangkan hati lelaki itu. Meski aku sendiri terluka. Ah, perasaanku sama sekali tidak ada artinya. "Siapa dulu MUA-nya?""Oke, akan kuberi kamu bonus.""Terima kasih Pak Leo." Seulas sen
"Alin, kenapa diam?""Aku kangen ibu, jadi pulang ke kampung.""Sejak kapan putri ibu belajar berbohong? Zaman sudah modern, tak perlu jauh-jauh untuk bisa bertatap muka? Ponsel ada, kan. Apa lagi kamu sedang masa pemulihan, tak bagus melakukan perjalanan jauh, Lin."Aku membisu, memang benar perkataan ibu. Tak mungkin beliau percaya dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Aku tak pandai membuat alasan yang tepat, selalu saja ketahuan. "Ceritakan, Lin.""Bukan di sini, Bu. Nanti malam saja."Ibu mengangguk, menyetujui perkataanku. Karena memang tak baik membicarakan masalah yang menyangkut Satriya tepat di hadapan putri kecilku. Dia memang diam, tapi otaknya merekam semua percakapan kami. Tak menutup kemungkinan kata-kata kami menyakiti hatinya. ***Di sini kami, duduk di teras seraya menatap malam. Tak ada Aluna, dia sudah terlelap setelah azan magrib. Perjalanan jauh membuat dia lelah hingga tidur lebih awal. "Kalian bertengkar?" Ibu menatap penuh selidik. Sebuah anggukan membe
Nada dering panggilan masuk menghentikan lamunanku. Sesaat Aluna menggeliat, suara ponsel itu sedikit mengusik tidurnya. Aluna baru saja terlelap setelah perjalanan panjang dan sesekali beristirahat karena nyeri terkadang terasa. Benda pipih itu terus saja bernyanyi meski kubiarkan hingga bungkam dengan sendirinya. Aku melirik jam yang melingkar di tangan, hampir tengah malam. Kurasa Satriya baru saja pulang, dia tak menemukan keberadaanku hingga terpaksa menelepon. Ponsel sengaja aku non aktifkan, biarlah Satriya kebingungan untuk sementara waktu. Aku hanya lelah dengan sikapnya akhir-akhir ini. Tak bisakah ia sadar, jika semua ini takdir yang sudah Allah gariskan pada kami. Sebagai seorang ibu, aku pun terpukul atas kepergian Finziya. Putri kecil yang kami nantikan justru kembali pada Sang Pemilik. Bayangan tangis dan tawa saat aku menimangnya harus hilang dalam sekejap mata. Sebenernya akulah yang paling terpukul dan nyaris depresi. Sebagai seorang ibu, aku merasa gagal melind
Pov Satriya[Apa kabar, Sat? Benar perkataanku, kan ... Aluna akan menjadi tembok pembatas antara kamu dan Alin. Harusnya kamu sadar, hanya aku papanya, bukan kamu.]Aku mengepalkan tangan di atas meja. Amarah yang belum mereka kini kembali meledak. Tuhan, kenapa kakakku sendiri yang berniat merusak rumah tanggaku? Ponsel kuletakkan kembali di atas meja. Menyalakan laptop Niko yang sempat kupijam. Tanganku menari di atas mouse, mengedit foto klien. Namun pikiran bercabang membuat hasil edit tak memuaskan, aku tak bisa fokus saat masalah memenuhi kepalaku. Aku mengusap wajah kasar, mengeluarkan emosi yang sempat memenuhi rongga dada. Lelah, satu kata yang kini aku rasakan. Ingin aku berteriak, namun nyatanya ini bukan tempat yang tepat. Nada dering panggilan masuk kembali menyita perhatianku. Kulirik layar benda pipih yang tergeletak di atas meja. Untunglah bukan nama Tara yang muncul di sana. Aku tak mampu mengontrol emosi jika lelaki itu kembali menghubungiku. Namun rasa lega hil
Pov Satriya"Aluna!"Aku berteriak kala es teh dalam gelas tumpah tepat di atas laptop. Cepat-cepat aku cabut kabel charger yang masih menempel di laptop. Membalikkan benda pintar itu, mengelap bekas air yang masih melekat. "Aluna, kenapa bisa tumpah? "Gadis kecil itu berdiri di tempat seraya menangis sesenggukan. Bulir demi bulir terus saja jatuh membasahi pipinya. Namun entah kenapa aku tak iba, rasa kesal justru semakin mengakar. "Mama!"Bukannya menjawab, Aluna justru berteriak memanggil Alin. Dia persis seperti Mas Tara ketika kecil, mengadu, dan mencari perlindungan di punggung mama. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Alin begitu terkejut melihat keadaan ruang keluarga. Apa lagi melihat laptop yang tengah kukeringkan dengan tisu. Belum lagi beberapa foto tersiram air. "Tanyakan saja pada anakmu!"Tangis Aluna kian menjadi seiring suaraku yang memekik. "Kenapa bisa tumpah, Nak?"Hanya tangisan yang keluar dari mulut mungil itu. Entah, lama-lama aku menjadi bosan. Bosan dengan
Dua hari setalah kalimat menyakitkan menghantam hatiku. Kini kembali kami saling diam, seolah ada tembok pembatas meski kami berada dalam satu ranjang. Bahkan kami saling beradu punggung. Sibuk dengan rasa sakit masing-masing. Titik demi titik jatuh membasahi pipi. Aku menangis dalam diam, keluar sudah sesak dalam rongga dada. Menyakitkan, tapi tak mampu kujawab perkataan Satriya. "Gara-gara Aluna, anakku meninggal!"Kalimat itu terus saja terngiang di telinga. Sesak, dadaku seakan terhimpit batu besar, hingga menghirup udara begitu susah. Kenapa Satriya tega mengatakan hal itu? Kenapa? Tarikan napas dan denting jam terdengar jelas di telinga. Keheningan menciptakan atmosfer yang berbeda di kamar ini. Rasa nyaman yang dulu melekat seolah hilang dalam satu kedipan mata. Kembali aku pejamkan mata saat merasakan gerakan di ranjang. Tak lama langkah kaki menjauh hingga gesekan pintu terdengar jelas di telingaku. Satriya pergi seperti kemarin malam. Setelah merasa aman, aku pun memba
"Hati-hati, jangan mengulangi hal yang sama. Ngerti!"Satriya berlalu pergi seraya membawa kamera. Tak lama terdengar suara mobil menjauh. Dia bekerja tanpa mengucapkan salam, apa lagi sarapan. Aku menghela napas, membuang rasa sesak dalam dada. Tak bisa aku pungkiri, ucapan Satriya menyakiti hati. Bukankah kematian adalah takdir, bukan salah Aluna. Dia masih terlalu kecil untuk menanggung kesalahan. "Ma ...."Aluna memeluk tubuhku sambil tersedu, dia menangis mendengar bentakan ayah sambungnya. "Aluna geser dulu, Nak."Perlahan Aluna berjalan hingga berhenti dan menempel tembok. Air matanya masih menetes, dia takut dengan bentakan Satriya. "Aluna di situ dulu, ya. Mama mau bersihin tumpahan airnya."Segera aku ambil pel, membersihkan genangan air yang ada di lantai. Harus segera dibersihkan agar tidak menjatuhkan orang lain, termasuk Aluna. Setelah selesai kami pun sarapan berdua. Ya, hanya berdua karena Satriya sudah berangkat terlebih dahulu. "Aluna libur dulu, ya," ucapku se
"Aluna tidak kamu ajak, Pi?"Satriya menolah tapi kembali sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas. Mulut lelakiku masih membisu, tak ada sepatah kata yang keluar saat ia tiba di sini. "Rumah sakit pasti memperbolehkan kalau untuk menjemput pasien, Pi. Dia pasti merindukan aku.""Dia sama ibu di rumah," jawab Satriya datar. Satriya kembali membereskan barang-barang kami. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ya, semenjak kematian putri kami, Satriya menjadi pendiam. Tak ada tawa apa lagi kekonyolan yang biasa ia lakukan. Dia tenggelam dalam luka dan kesedihan. Sebenarnya bukan hanya dia yang kehilangan, aku pun merasakan hal yang sama. Namun hidup harus terus berjalan sekali pun dengan luka yang melekat. "Sebentar, aku panggilkan suster."Satriya keluar dari ruang rawat inapku. Sepi, kurasakan itu lagi. Perasaan bersalah hadir tanpa kuminta. Seandainya aku hati-hati, mungkin putri kecilku akan baik-baik saja. Suara pintu dibuka menyentak lamunanku. Aku menoleh, Satriya masuk bers
"Bayiku di mana, Sus?"Kembali aku menanyakan hal yang sama. Namun lagi dua perempuan berpakaian serba putih itu hanya diam membisu. Seolah ada sesuatu yang mereka tutupi. Apa jangan-jangan .... "Kita ke kamar inap dulu, ya, Bu."Kedua suster kembali mendorong brankar, tempatku terbaring tak berdaya. Aku menatap lurus ke atas dengan pandangan kosong. Beberapa prasangka kembali menari dalam angan. Bayang bayi mungil yang belum kulihat terlintas berulang kali. Suara gesekan roda brankar dan lantai bak sirine yang membuat orang-orang menyingkir kala kami lewat. Sempat kulihat beberapa pasang mata mencuri pandang ke arahku. Mungkin bertanya-tanya karena aku hanya seorang diri tanpa ada kelurga yang menemani. Apa lagi baru keluar dari ruang operasi. Pintu kamar dibuka, kosong tak ada Satriya di sana. Prasangka kembali memenuhi isi kepalaku. Di mana suami dan bayiku? Dibantu empat suster aku dipindahkan di atas ranjang khas rumah sakit. "Ada yang sakit, Bu?" tanyanya salah satu suster
Darah? Aku menatap bawah, benar saja darah segar keluar dari pangkal paha. Nyeri, perutku terasa tertusuk ... sakit sekali. Bahkan aku tak mampu menjelaskan sakitnya seperti apa."Pi... Papi!"Aku terus memegangi perut, namun Satriya tak kunjung membuka mata. Dia masih terlelap dalam mimpi. Ya Allah, Satriya. "Papi!" teriak Aluna kencang. Seketika Satriya terbangun. Dia menjerit kala melihat aku tergeletak tak berdaya di lantai. Ditambah darah yang keluar darin pangkal paha. "Ya Allah, Yang. Kamu kenapa?""Sa--sakit, Yang." Aku pegangi perut yang terasa sakit. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Satriya kebingungan, dia jongkok hendak membopong tubuhku. "Aluna kedinginan, Yang."Gerakan tangan itu terhenti, Satriya kebingungan hendak mengganti baju Aluna atau menolongku terlebih dahulu. Kami sama-sama membutuhkan bantuan secepatnya. "Aluna tunggu di sini dulu, Papi mau bawa Mama ke mobil.""Tapi, Pi ....""Sebentar, Nak. Papi bawa mama turun dulu."Sempat kudengar hentakkan kaki