Waktu berjalan begitu cepat, tidak terasa sudah satu minggu Bapak pergi meninggalkan kami. Rumah ini seakan mati, tidak ada gelak tawa yang selalu hadir ketika beliau masih ada. Bahkan di saat kami terpuruk, Bapak mampu memberi warna dan semangat baru. Aku mengatur napas, menghilangkan sesak yang kembali hadir. Bohong jika aku baik-baik saja. Aku hanya berusaha kuat demi Aluna dan Ibu. Meski sebenarnya hatiku hancur. Nada dering panggilan masuk menyentak lamunanku. Segera kuambil benda pipih yang tergeletak di atas kasur. Membuang napas kasar saat kulihat siapa penelepon itu. Terpaksa kutarik gambar telepon berwarna hijau ke atas. Akan jadi masalah jika telepon lelaki itu aku abaikan. "Aku kirim alamat, kamu segera ke sini."Belum sempat aku menjawab panggilan telepon dia matikan sepihak. Menyebalkan. Tidak berapa lama sebuah pesan masuk. Pak Leo mengirimkan sebuah alamat. Terpaksa aku harus pergi. Segera kuganti daster dengan gamis berwarna navy senada dengan hijab yang akan aku
"Apa maksud Pak Leo?"Seketika wajahnya menjadi tegang. Dia mengalihkan pandangan ke samping. "Jangan-jangan Pak Leo yang ....""Apa? Kamu pikir aku yang sudah mencelakai calon suami kamu?" Pak Leo menatapku tajam. Seketika nyaliku menciut. Dia bagai singa kelaparan yang siap menerkam mangsanya, dan itu aku. "Lalu apa maksud ucapan Pak Leo barusan?""Bagiku lelaki yang pergi di hari penting lalu menghilang, dia sudah mati. Tak perlu lagi diharapkan."Kalimat itu memukul telak diriku. Apa aku terlalu bodoh karena masih mengharapkan kedatangan Satriya? Meski hanya sia-sia saja? Bahkan aku tidak tahu di mana lelaki itu berada. Naif memang, tapi hati kecilku berkata demikian. "Kalau benar yang kamu lihat itu Satriya, kenapa dia tidak ke rumahmu? Kenapa dia tidak meminta maaf? Untuk apa kamu masih memikirkan lelaki seperti dia?"Aku menundukkan kepala, perlahan bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Perkataan Pak Leo memang benar. Jika itu Satriya, kenapa ia tak pernah datang hanya untu
"Aluna nyoba baju, yuk. Itu bajunya bagus banget, lho," ucap Ibu mengalihkan pembicaraan. Putri kecilku mengangguk lalu melangkah mengikuti Ibu. Aku bernapas lega, setidaknya aku tidak menjawab pertanyaannya itu. Mbak Citra mulai memoles wajahku. Entah apa saja yang ia tempelkan di wajahku. Aku tak memperhatikan. Lagi, pikiranku masih membayangkan akan nasib pernikahan ini. Bagaimana akhir kisah ini, bahagia atau justru nelangsa? "Sudah selesai belum?" Suara bariton itu membuat aku melirik dari balik cermin. Pak Leo mendekat dengan jas putih senada dengan gaun yang kukenakan. Wajahnya tampan penuh kharisma tetapi tak membuat hati ini bergetar. "Kamu cantik sekali, Alin," ucapnya dengan mata berbinar. Aku menoleh sekilas lalu kembali menatap cermin. Bahkan bibir kupaksa tersenyum, semua demi menyenangkan hati lelaki itu. Meski aku sendiri terluka. Ah, perasaanku sama sekali tidak ada artinya. "Siapa dulu MUA-nya?""Oke, akan kuberi kamu bonus.""Terima kasih Pak Leo." Seulas sen
"STOP!" teriak Satriya lalu melangkah mendekat. Pak Leo mengedipkan mata, seketika dua lelaki bertubuh tegap mencekal tangan Satriya. Spontan aku berdiri tapi dengan cepat tangannya mencekalku. Aku kembali duduk sambil menatapnya dengan kesal. "Sa-sakit, Mas.""Diam!" Aku menutup mulut rapat. Tatapan lelaki itu membuat nyaliku menciut. "Lanjutkan pernikahan ini, Pak." Pak Leo menatap tajam ke arah lelaki di hadapan kami. "Tapi, Pak ....""Lanjutkan pernikahan ini!"Aku menoleh ke belakang, Satriya di seret keluar ruangan. Kejadian ini membuat semua orang menatap tanda tanya ke arah kami. "Satriya, tolong aku!" pintaku dalam hati. "Hadap ke depan, Alin!" Tanpa menjawab kulakukan perintahnya. "Saya bilang lanjutkan pernikahan ini!" Pak Leo melotot, matanya seperti mau copot. Pak penghulu dan para saksi saling pandang. Aku sangat berharap semoga mereka menolak permintaan gila Pak Leo. Pernikahan ini tidak bisa dilanjutkan, aku tidak mau. "Baik, Pak."Pak penghulu menjabat tanga
Pov Tara"Seorang pengusaha terkenal batal menikah karena ditangkap polisi."Aku letakkan cangkir di atas meja. Mata fokus menatap layar televisi. Mataku membola melihat calon pengantin yang ia maksud. Pak Leo... Kenapa dia ditangkap polisi? Aku semakin fokus menatap layar itu. Posisi pengantin wanita yang membelakangi kamera membuatku tidak mengetahui siapa dia. Rasa penasaran kian menjadi, kukeraskan suara televisi. Kepalaku bergerak ke kanan dan kiri. Rasa tak percaya hadir saat melihat lelaki berkemeja yang berdiri di samping pengantin wanita. Satriya, kenapa dia ada di sana? Jangan-jangan pengantin wanita itu Alin, mantan istriku. Aku kepalkan tangan kanan ini, seketika amarah memenuhi rongga dada. Alin dan Satriya menikah di sebuah hotel mewah. Sial*n! Kenapa selalu anak itu yang beruntung, kenapa tidak aku saja? PYARCangkir yang ada di atas meja kubanting hingga hancur menjadi serpihan kecil. Satriya kenapa kamu selalu mendapatkan apa yang kuinginkan? Harusnya kamu hila
"Kamu suka rumahnya?" Satriya menatapku, tangannya menggenggam tangan ini mesra. Aku kembali menatap rumah minimalis dua lantai yang berada tepat di depanku. Halamannya memang tak seluas rumah ibu dan bapak. Namun rumah ini sangat indah, baik warna maupun modelnya. "Suka, Sat.""Jangan panggil nama, Alin. Satriya sudah menjadi suami kamu!" Ibu menatapku tajam. Aku menghela napas, "oke," jawabku. Satriya tersenyum, tangannya kian erat menggenggamku. Kami seperti anak sekolah yang sedang jatuh cinta. Sungguh memalukan memang. Namun kenyataannya seperti itu. Cinta terkadang melupakan logika, bahkan usia. "Boleh masuk gak sih, Om?" tanya Aluna seraya menarik ujung kemeja yang Satriya kenakan. "Boleh, Sayang. Ini kuncinya."Aluna antusias membuka pintu rumah. Ditemani ibu dia masuk terlebih dahulu. Aku dan Satriya masih berada di teras. Kami menatap berbagai jenis bunga yang tersusun rapi di halaman rumah. "Kamu juga yang memilih tanamannya, Sat?"Lelaki yang kini menjadi suamiku it
Aku melonjak kaget. Teriakan Aluna sudah seperti sirine kebakaran, keras dan mengejutkan. Aku dan Satriya saling pandang. Lelaki itu menghela napas. Melihat ekspresinya membuatku menahan tawa. Tampaknya ia harus bersabar lagi. "Gagal lagi!" Dia menepuk jidatnya. "Mama buka pintunya!" teriaknya lagi. Segera aku berlari masuk ke kamar mandi. Kupakai kembali pakaian itu. Untung kamar sudah terkunci, kalau tidak ... Tak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi. Aluna sudah berada di atas ranjang saat pintu kamar mandi kubuka. Dia tengah bercanda dengan Satriya. Sesekali tertawa, entah apa yang membuatnya tertawa. Mereka berdua memang begitu dekat. "Aluna belum ngantuk?" tanyaku saat menjatuhkan bobot di atas ranjang, tepat di samping Aluna. "Aluna gak bisa bobog sendiri, Ma. Takut."Aku memaklumi jika Aluna tak berani tidur sendirian. Ini malam pertama dia tidur di kamar barunya. Takut dan tak nyaman pasti ia rasakan. Namun perlahan ia akan terbiasa. "Ya udah bobog sini sama Mama."
Aku dan Satriya saling pandang. Perkataan Aluna tak hanya mengagetkan kami. Namun juga menyelipkan tanda tanya di hati kepala sekolah. Ini benar-benar di luar prediksi kami. Anak-anak memang lugu, mereka berbicara apa adanya, tak satu pun yang mereka tutup-tutupi. Kejujuran yang terkadang orang dewasa tak memilikinya. Hilang oleh rasa ego dan malu. "Ust Muslimah, tolong ajak Aluna bermain di luar! Kenalkan dia dengan lingkungan barunya," ucap Bu kepala sekolah. Beliau tahu perbincangan kali ini terlalu sensitif, tak pantas didengar oleh Aluna. Wanita yang mengenakan hijab menjuntai itu tersenyum. Kemudian ia jongkok hingga netranya bertemu dengan manik bening Aluna. Senyum ramah ia berikan sebagai salam pertemuan dengan gadis kecilku. "Perkenalkan saya Ustadzah Muslimah," ucapnya seraya mengulurkan tangan pada Aluna. Putri kecilku diam, menatap lekat Ustadzah Muslimah, kemudian menatapku. Sebuah tatapan yang menggambarkan keraguan. Tak heran, ini kali pertama mereka saling bertem
"Alin, kenapa diam?""Aku kangen ibu, jadi pulang ke kampung.""Sejak kapan putri ibu belajar berbohong? Zaman sudah modern, tak perlu jauh-jauh untuk bisa bertatap muka? Ponsel ada, kan. Apa lagi kamu sedang masa pemulihan, tak bagus melakukan perjalanan jauh, Lin."Aku membisu, memang benar perkataan ibu. Tak mungkin beliau percaya dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Aku tak pandai membuat alasan yang tepat, selalu saja ketahuan. "Ceritakan, Lin.""Bukan di sini, Bu. Nanti malam saja."Ibu mengangguk, menyetujui perkataanku. Karena memang tak baik membicarakan masalah yang menyangkut Satriya tepat di hadapan putri kecilku. Dia memang diam, tapi otaknya merekam semua percakapan kami. Tak menutup kemungkinan kata-kata kami menyakiti hatinya. ***Di sini kami, duduk di teras seraya menatap malam. Tak ada Aluna, dia sudah terlelap setelah azan magrib. Perjalanan jauh membuat dia lelah hingga tidur lebih awal. "Kalian bertengkar?" Ibu menatap penuh selidik. Sebuah anggukan membe
Nada dering panggilan masuk menghentikan lamunanku. Sesaat Aluna menggeliat, suara ponsel itu sedikit mengusik tidurnya. Aluna baru saja terlelap setelah perjalanan panjang dan sesekali beristirahat karena nyeri terkadang terasa. Benda pipih itu terus saja bernyanyi meski kubiarkan hingga bungkam dengan sendirinya. Aku melirik jam yang melingkar di tangan, hampir tengah malam. Kurasa Satriya baru saja pulang, dia tak menemukan keberadaanku hingga terpaksa menelepon. Ponsel sengaja aku non aktifkan, biarlah Satriya kebingungan untuk sementara waktu. Aku hanya lelah dengan sikapnya akhir-akhir ini. Tak bisakah ia sadar, jika semua ini takdir yang sudah Allah gariskan pada kami. Sebagai seorang ibu, aku pun terpukul atas kepergian Finziya. Putri kecil yang kami nantikan justru kembali pada Sang Pemilik. Bayangan tangis dan tawa saat aku menimangnya harus hilang dalam sekejap mata. Sebenernya akulah yang paling terpukul dan nyaris depresi. Sebagai seorang ibu, aku merasa gagal melind
Pov Satriya[Apa kabar, Sat? Benar perkataanku, kan ... Aluna akan menjadi tembok pembatas antara kamu dan Alin. Harusnya kamu sadar, hanya aku papanya, bukan kamu.]Aku mengepalkan tangan di atas meja. Amarah yang belum mereka kini kembali meledak. Tuhan, kenapa kakakku sendiri yang berniat merusak rumah tanggaku? Ponsel kuletakkan kembali di atas meja. Menyalakan laptop Niko yang sempat kupijam. Tanganku menari di atas mouse, mengedit foto klien. Namun pikiran bercabang membuat hasil edit tak memuaskan, aku tak bisa fokus saat masalah memenuhi kepalaku. Aku mengusap wajah kasar, mengeluarkan emosi yang sempat memenuhi rongga dada. Lelah, satu kata yang kini aku rasakan. Ingin aku berteriak, namun nyatanya ini bukan tempat yang tepat. Nada dering panggilan masuk kembali menyita perhatianku. Kulirik layar benda pipih yang tergeletak di atas meja. Untunglah bukan nama Tara yang muncul di sana. Aku tak mampu mengontrol emosi jika lelaki itu kembali menghubungiku. Namun rasa lega hil
Pov Satriya"Aluna!"Aku berteriak kala es teh dalam gelas tumpah tepat di atas laptop. Cepat-cepat aku cabut kabel charger yang masih menempel di laptop. Membalikkan benda pintar itu, mengelap bekas air yang masih melekat. "Aluna, kenapa bisa tumpah? "Gadis kecil itu berdiri di tempat seraya menangis sesenggukan. Bulir demi bulir terus saja jatuh membasahi pipinya. Namun entah kenapa aku tak iba, rasa kesal justru semakin mengakar. "Mama!"Bukannya menjawab, Aluna justru berteriak memanggil Alin. Dia persis seperti Mas Tara ketika kecil, mengadu, dan mencari perlindungan di punggung mama. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Alin begitu terkejut melihat keadaan ruang keluarga. Apa lagi melihat laptop yang tengah kukeringkan dengan tisu. Belum lagi beberapa foto tersiram air. "Tanyakan saja pada anakmu!"Tangis Aluna kian menjadi seiring suaraku yang memekik. "Kenapa bisa tumpah, Nak?"Hanya tangisan yang keluar dari mulut mungil itu. Entah, lama-lama aku menjadi bosan. Bosan dengan
Dua hari setalah kalimat menyakitkan menghantam hatiku. Kini kembali kami saling diam, seolah ada tembok pembatas meski kami berada dalam satu ranjang. Bahkan kami saling beradu punggung. Sibuk dengan rasa sakit masing-masing. Titik demi titik jatuh membasahi pipi. Aku menangis dalam diam, keluar sudah sesak dalam rongga dada. Menyakitkan, tapi tak mampu kujawab perkataan Satriya. "Gara-gara Aluna, anakku meninggal!"Kalimat itu terus saja terngiang di telinga. Sesak, dadaku seakan terhimpit batu besar, hingga menghirup udara begitu susah. Kenapa Satriya tega mengatakan hal itu? Kenapa? Tarikan napas dan denting jam terdengar jelas di telinga. Keheningan menciptakan atmosfer yang berbeda di kamar ini. Rasa nyaman yang dulu melekat seolah hilang dalam satu kedipan mata. Kembali aku pejamkan mata saat merasakan gerakan di ranjang. Tak lama langkah kaki menjauh hingga gesekan pintu terdengar jelas di telingaku. Satriya pergi seperti kemarin malam. Setelah merasa aman, aku pun memba
"Hati-hati, jangan mengulangi hal yang sama. Ngerti!"Satriya berlalu pergi seraya membawa kamera. Tak lama terdengar suara mobil menjauh. Dia bekerja tanpa mengucapkan salam, apa lagi sarapan. Aku menghela napas, membuang rasa sesak dalam dada. Tak bisa aku pungkiri, ucapan Satriya menyakiti hati. Bukankah kematian adalah takdir, bukan salah Aluna. Dia masih terlalu kecil untuk menanggung kesalahan. "Ma ...."Aluna memeluk tubuhku sambil tersedu, dia menangis mendengar bentakan ayah sambungnya. "Aluna geser dulu, Nak."Perlahan Aluna berjalan hingga berhenti dan menempel tembok. Air matanya masih menetes, dia takut dengan bentakan Satriya. "Aluna di situ dulu, ya. Mama mau bersihin tumpahan airnya."Segera aku ambil pel, membersihkan genangan air yang ada di lantai. Harus segera dibersihkan agar tidak menjatuhkan orang lain, termasuk Aluna. Setelah selesai kami pun sarapan berdua. Ya, hanya berdua karena Satriya sudah berangkat terlebih dahulu. "Aluna libur dulu, ya," ucapku se
"Aluna tidak kamu ajak, Pi?"Satriya menolah tapi kembali sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas. Mulut lelakiku masih membisu, tak ada sepatah kata yang keluar saat ia tiba di sini. "Rumah sakit pasti memperbolehkan kalau untuk menjemput pasien, Pi. Dia pasti merindukan aku.""Dia sama ibu di rumah," jawab Satriya datar. Satriya kembali membereskan barang-barang kami. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ya, semenjak kematian putri kami, Satriya menjadi pendiam. Tak ada tawa apa lagi kekonyolan yang biasa ia lakukan. Dia tenggelam dalam luka dan kesedihan. Sebenarnya bukan hanya dia yang kehilangan, aku pun merasakan hal yang sama. Namun hidup harus terus berjalan sekali pun dengan luka yang melekat. "Sebentar, aku panggilkan suster."Satriya keluar dari ruang rawat inapku. Sepi, kurasakan itu lagi. Perasaan bersalah hadir tanpa kuminta. Seandainya aku hati-hati, mungkin putri kecilku akan baik-baik saja. Suara pintu dibuka menyentak lamunanku. Aku menoleh, Satriya masuk bers
"Bayiku di mana, Sus?"Kembali aku menanyakan hal yang sama. Namun lagi dua perempuan berpakaian serba putih itu hanya diam membisu. Seolah ada sesuatu yang mereka tutupi. Apa jangan-jangan .... "Kita ke kamar inap dulu, ya, Bu."Kedua suster kembali mendorong brankar, tempatku terbaring tak berdaya. Aku menatap lurus ke atas dengan pandangan kosong. Beberapa prasangka kembali menari dalam angan. Bayang bayi mungil yang belum kulihat terlintas berulang kali. Suara gesekan roda brankar dan lantai bak sirine yang membuat orang-orang menyingkir kala kami lewat. Sempat kulihat beberapa pasang mata mencuri pandang ke arahku. Mungkin bertanya-tanya karena aku hanya seorang diri tanpa ada kelurga yang menemani. Apa lagi baru keluar dari ruang operasi. Pintu kamar dibuka, kosong tak ada Satriya di sana. Prasangka kembali memenuhi isi kepalaku. Di mana suami dan bayiku? Dibantu empat suster aku dipindahkan di atas ranjang khas rumah sakit. "Ada yang sakit, Bu?" tanyanya salah satu suster
Darah? Aku menatap bawah, benar saja darah segar keluar dari pangkal paha. Nyeri, perutku terasa tertusuk ... sakit sekali. Bahkan aku tak mampu menjelaskan sakitnya seperti apa."Pi... Papi!"Aku terus memegangi perut, namun Satriya tak kunjung membuka mata. Dia masih terlelap dalam mimpi. Ya Allah, Satriya. "Papi!" teriak Aluna kencang. Seketika Satriya terbangun. Dia menjerit kala melihat aku tergeletak tak berdaya di lantai. Ditambah darah yang keluar darin pangkal paha. "Ya Allah, Yang. Kamu kenapa?""Sa--sakit, Yang." Aku pegangi perut yang terasa sakit. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Satriya kebingungan, dia jongkok hendak membopong tubuhku. "Aluna kedinginan, Yang."Gerakan tangan itu terhenti, Satriya kebingungan hendak mengganti baju Aluna atau menolongku terlebih dahulu. Kami sama-sama membutuhkan bantuan secepatnya. "Aluna tunggu di sini dulu, Papi mau bawa Mama ke mobil.""Tapi, Pi ....""Sebentar, Nak. Papi bawa mama turun dulu."Sempat kudengar hentakkan kaki