Pov Tara"Seorang pengusaha terkenal batal menikah karena ditangkap polisi."Aku letakkan cangkir di atas meja. Mata fokus menatap layar televisi. Mataku membola melihat calon pengantin yang ia maksud. Pak Leo... Kenapa dia ditangkap polisi? Aku semakin fokus menatap layar itu. Posisi pengantin wanita yang membelakangi kamera membuatku tidak mengetahui siapa dia. Rasa penasaran kian menjadi, kukeraskan suara televisi. Kepalaku bergerak ke kanan dan kiri. Rasa tak percaya hadir saat melihat lelaki berkemeja yang berdiri di samping pengantin wanita. Satriya, kenapa dia ada di sana? Jangan-jangan pengantin wanita itu Alin, mantan istriku. Aku kepalkan tangan kanan ini, seketika amarah memenuhi rongga dada. Alin dan Satriya menikah di sebuah hotel mewah. Sial*n! Kenapa selalu anak itu yang beruntung, kenapa tidak aku saja? PYARCangkir yang ada di atas meja kubanting hingga hancur menjadi serpihan kecil. Satriya kenapa kamu selalu mendapatkan apa yang kuinginkan? Harusnya kamu hila
"Kamu suka rumahnya?" Satriya menatapku, tangannya menggenggam tangan ini mesra. Aku kembali menatap rumah minimalis dua lantai yang berada tepat di depanku. Halamannya memang tak seluas rumah ibu dan bapak. Namun rumah ini sangat indah, baik warna maupun modelnya. "Suka, Sat.""Jangan panggil nama, Alin. Satriya sudah menjadi suami kamu!" Ibu menatapku tajam. Aku menghela napas, "oke," jawabku. Satriya tersenyum, tangannya kian erat menggenggamku. Kami seperti anak sekolah yang sedang jatuh cinta. Sungguh memalukan memang. Namun kenyataannya seperti itu. Cinta terkadang melupakan logika, bahkan usia. "Boleh masuk gak sih, Om?" tanya Aluna seraya menarik ujung kemeja yang Satriya kenakan. "Boleh, Sayang. Ini kuncinya."Aluna antusias membuka pintu rumah. Ditemani ibu dia masuk terlebih dahulu. Aku dan Satriya masih berada di teras. Kami menatap berbagai jenis bunga yang tersusun rapi di halaman rumah. "Kamu juga yang memilih tanamannya, Sat?"Lelaki yang kini menjadi suamiku it
Aku melonjak kaget. Teriakan Aluna sudah seperti sirine kebakaran, keras dan mengejutkan. Aku dan Satriya saling pandang. Lelaki itu menghela napas. Melihat ekspresinya membuatku menahan tawa. Tampaknya ia harus bersabar lagi. "Gagal lagi!" Dia menepuk jidatnya. "Mama buka pintunya!" teriaknya lagi. Segera aku berlari masuk ke kamar mandi. Kupakai kembali pakaian itu. Untung kamar sudah terkunci, kalau tidak ... Tak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi. Aluna sudah berada di atas ranjang saat pintu kamar mandi kubuka. Dia tengah bercanda dengan Satriya. Sesekali tertawa, entah apa yang membuatnya tertawa. Mereka berdua memang begitu dekat. "Aluna belum ngantuk?" tanyaku saat menjatuhkan bobot di atas ranjang, tepat di samping Aluna. "Aluna gak bisa bobog sendiri, Ma. Takut."Aku memaklumi jika Aluna tak berani tidur sendirian. Ini malam pertama dia tidur di kamar barunya. Takut dan tak nyaman pasti ia rasakan. Namun perlahan ia akan terbiasa. "Ya udah bobog sini sama Mama."
Aku dan Satriya saling pandang. Perkataan Aluna tak hanya mengagetkan kami. Namun juga menyelipkan tanda tanya di hati kepala sekolah. Ini benar-benar di luar prediksi kami. Anak-anak memang lugu, mereka berbicara apa adanya, tak satu pun yang mereka tutup-tutupi. Kejujuran yang terkadang orang dewasa tak memilikinya. Hilang oleh rasa ego dan malu. "Ust Muslimah, tolong ajak Aluna bermain di luar! Kenalkan dia dengan lingkungan barunya," ucap Bu kepala sekolah. Beliau tahu perbincangan kali ini terlalu sensitif, tak pantas didengar oleh Aluna. Wanita yang mengenakan hijab menjuntai itu tersenyum. Kemudian ia jongkok hingga netranya bertemu dengan manik bening Aluna. Senyum ramah ia berikan sebagai salam pertemuan dengan gadis kecilku. "Perkenalkan saya Ustadzah Muslimah," ucapnya seraya mengulurkan tangan pada Aluna. Putri kecilku diam, menatap lekat Ustadzah Muslimah, kemudian menatapku. Sebuah tatapan yang menggambarkan keraguan. Tak heran, ini kali pertama mereka saling bertem
"Istri?""Iya istri.""Mas Satriya jangan bercanda dong. Mas, kan masih bujangan. Di m6y6y6edia sosial saja belum ada kabar jika Mas Satriya sudah menikah?""Iya, gak ada pesta."Aku mengepalkan tangan di samping. Menatap tajam lelaki yang justru tersenyum saat beradu pandang denganku. Satriya seolah tengah menguji kesabaranku. Begitu pun kedua wanita yang tak memiliki urat malu itu. Ah, menyebalkan. Perempuan sekarang seolah tak memiliki urat malu. Asal tampan pasti dikejar habis-habisan. Entah ke mana perginya sifat pemalu itu. "Saya memang sudah menikah, Mbak. Ini istri dan anak saya," ucapnya seraya melihat ke arahku dan Aluna. "Ha ha ha, Mas jangan bercanda dong. Gak mungkinlah Mas sudah menikah dengan Mbak ini. Gak serasi."Darahku berdesir, amarah kembali memuncak. Dua wanita itu semakin di diamkan semakin menjadi. Astaga, apa seperti ini wanita kota? "Dia lebih cocok jadi kakak kamu."DEG! Apa aku terlihat tua? Hingga tebakan wanita itu benar. Apa aku tak cocok menjadi is
Pov Tara"Sial, kenapa tidak diangkat sih!" Aku melempar ponsel di atas bantal. Dengan kesal kujatuhkan diri di ranjang empuk. Seketika bayang Alin datang menyapa, meninggalkan sesak dan penyesalan yang tak ada ujungnya. Kalau boleh jujur aku sangat mencintai dia. Kini aku menyesal meninggalkan dia demi Imelda, anak bau kencur dengan jutaan masalah yang ada. Kalau tahu menikah dengan anak muda tak enak, lebih baik aku mempertahankan Alin. Sial memang, niat hati dapat permata tapi nyatanya hanya duri yang menggoreskan luka. Rugi. "Mas Tara!" teriak Imelda hingga gendang telingaku rasanya mau pecah. "Mas sini!" Lagi suara cempreng itu terdengar, membuat hari liburku hancur berantakan. Nait hati cuti untuk menenangkan diri tapi justru lelah yang tiada bertepi. Aku beranjak, melangkahkan kaki menuju kamar sebelah. Lebih tepatnya kamar Aluna yang disulap menjadi kamar Imelda. Semenjak tubuhnya membengkak, aku enggan berada satu kamar dengannya. "Mas!" Teriakan Imelda disusul tangi
Pov TaraRumah kubuka, debu menempel di mana-mana. Rumah ini rindu sentuhan. Kehilangan Mama menjadikan rumah ini semakin sepi. Kaki melangkah, menaiki anak tangga. Tujuanku adalah kamar Satriya. Aku buka pintu yang masih tertutup rapat, namun tidak dikunci tersebut. Kamar Satriya masih tertata rapi meski debu menempel di barang dan ranjang. Kamar dengan nuansa putih itu masih sama. Dari letak hingga pernak-pernik yang menempel. Tak ada satu pun yang berubah di sini, tempat ini masih persis saat Satriya ada. Aku membuka lemari, hanya tinggal beberapa pakaian yang tersisa. Selebihnya kosong. Satriya pasti sudah mengambilnya sebelum pergi meninggalkan kota ini. Nakas kuperiksa, satu persatu laci kubuka. Dadaku bergetar kala melihat begitu banyak foto Alin di sana. Satriya memang seorang fotografer tapi aku tak menyangka begitu banyak wajah Alin yang berhasil ia abadikan. Sekarang aku baru sadar jika Satriya menyukai Alin sejak lama. Pantas saja ia begitu kekeh membela Alin. Padaha
Pov AlinSepi ketika Aluna dan Satriya tak ada di rumah. Rumah ini mendadak hening dan membosankan. Beberapa bulan bekerja dan kini tinggal di rumah, membuat rasa bosan kerap kali datang menyapa. Pekerjaan Satriya membuat ia berangkat sesuka hati. Sesuai jadwal dan lokasi pemotretan. Terkadang pagi sekali, kadang pula siang. Tak jarang ia pergi beberapa hari ke luar kota. Keluar kamar, aku langkahkan kaki menuju ruang keluarga untuk mencari keberadaan ibu. Lebih tepatnya mencari teman berbicara karena rasa bosan yang mendera. Beruntung masih ada ibu di sini, sehingga aku tidak terlalu kesepian. "Ibu sudah sarapan?" tanyaku seraya menjatuhkan bobot di sofa, tepat di samping ibu. Ibu menoleh ke samping, menatapku dengan sorot mata yang tak bisa kujelaskan. Tatapan yang aku tahu, ia tak baik-baik saja. "Ibu kenapa?""Kangen bapakmu, Lin."Ibu menundukkan kepala, perlahan bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya. Kehilangan bapak adalah luka yang tak bisa disembuhkan bagi ibu. Hanya